-->

sosial media

Monday, 29 September 2025

KHOTBAH; HABAKUK 1 : 12 - 17 (TUHAN ALLAH MAHA KUDUS DAN MAHA TAHU)

KHOTBAH; HABAKUK 1 : 12 - 17 (TUHAN ALLAH MAHA KUDUS DAN MAHA TAHU)

 Tuhan Allah Maha Kudus dan Maha Tahu (Analisis Teologis Habakuk 1:12–17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kitab Habakuk merupakan salah satu kitab nabi kecil yang unik, sebab tidak hanya berisi nubuat Allah kepada umat-Nya, tetapi juga percakapan dan pergumulan seorang nabi dengan Allah. Habakuk hidup dalam masa transisi yang sulit, di mana Yehuda berada di bawah ancaman bangsa-bangsa besar seperti Asyur dan Babel. Nabi ini melihat kejahatan merajalela di dalam bangsanya sendiri, dan pada saat yang sama Allah menyatakan bahwa bangsa Babel—yang bahkan lebih fasik—akan dipakai sebagai alat penghukuman. Hal inilah yang memunculkan pergumulan iman: bagaimana mungkin Allah yang kudus dan mahatahu membiarkan bangsa yang jahat menghancurkan umat-Nya?

Habakuk 1:12–17 adalah bagian penting dari pergumulan ini. Nabi mengakui kekudusan Allah dan kemahatahuan-Nya, namun juga berani mempertanyakan cara kerja Allah. Pertanyaan Habakuk ini bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan ekspresi iman yang jujur dan mendalam. Oleh karena itu, bagian ini kaya makna teologis yang relevan untuk kehidupan umat percaya masa kini.

1.2 Pandangan Para Tokoh

Para penafsir Alkitab memberikan beragam pandangan mengenai Habakuk 1:12–17.

  • John Calvin menegaskan bahwa Habakuk mengajarkan iman yang berani berdialog dengan Allah. Menurut Calvin, keberanian Habakuk menyuarakan kebingungan justru menegaskan kedalaman relasinya dengan Allah, sebab ia tidak mencari jawaban di luar Allah, tetapi kepada Allah sendiri.

  • Matthew Henry menafsirkan bagian ini sebagai doa penuh iman. Habakuk mengakui kekudusan Allah terlebih dahulu sebelum melayangkan keluhannya. Ini memberi teladan bahwa doa harus dimulai dari pengakuan iman.

  • Walter Eichrodt melihat teks ini sebagai pergumulan antara kekudusan Allah dan realitas sejarah. Menurutnya, Habakuk mengajarkan bahwa iman tidak menutup mata terhadap kenyataan, tetapi menempatkan kenyataan dalam terang sifat Allah.

  • C. F. Keil dan F. Delitzsch menekankan dimensi profetisnya: Allah memang mengizinkan Babel, tetapi pada akhirnya Babel pun akan dihakimi. Dengan demikian, teks ini tidak hanya mengandung keluhan, tetapi juga pengharapan eskatologis.

1.3 Bukti Sejarah

Konteks sejarah Habakuk berkaitan erat dengan kebangkitan Kekaisaran Babel (Neo-Babilonia) pada abad ke-7 SM. Setelah jatuhnya Asyur pada 612 SM, Babel menjadi kekuatan dominan di Timur Dekat. Catatan arkeologi seperti Kronik Babilonia (Babylonian Chronicle) menunjukkan bagaimana Nebukadnezar II melakukan penaklukan demi penaklukan, termasuk Yehuda pada 597 SM.

Bukti sejarah menunjukkan kebengisan Babel, seperti praktik deportasi massal (lih. 2 Raj. 24–25), yang sejalan dengan gambaran Habakuk 1:15–17 tentang menjaring bangsa-bangsa seperti ikan. Dengan demikian, keluhan Habakuk bukanlah imajinasi, tetapi didasarkan pada realitas sejarah yang benar-benar menimpa bangsanya.

1.4 Kajian Bahasa Asli

Analisis istilah kunci dalam teks Ibrani menolong kita memahami nuansa teologisnya:

  1. Ayat 12 – miqqedem YHWH ’ĕlōhāy qĕdōshî

    • miqqedem = sejak purba kala, menunjuk kekekalan Allah.

    • qĕdōshî = “Yang Mahakudusku” (bentuk possessif), menekankan relasi perjanjian.

  2. Ayat 13 – ṭĕhôr ‘ênayim mērā’ôt rā‘

    • ṭĕhôr = murni, suci, tanpa noda.

    • rā‘ = jahat, kerusakan moral dan sosial.
      → Allah tidak berkenan pada kejahatan, meski mengetahui seluruhnya.

  3. Ayat 14 – ‘āśîtā ’ādām kĕdagê hayyām

    • kĕdagê = “seperti ikan” → metafora kerentanan manusia tanpa pemimpin sejati.

  4. Ayat 15 – ḥakkô … ḥērĕmô

    • ḥakkô = kail; ḥērĕm = jala.
      → Gambar kemenangan Babel: menjerat bangsa dengan berbagai cara.

  5. Ayat 16 – yizbaḥ lāḥĕrmô

    • “ia mempersembahkan korban kepada jalanya” → ironis: senjata menjadi berhala.

  6. Ayat 17 – hălā‘ ‘al-kēn yārîq ḥērĕmô

    • yārîq = “mengosongkan berulang-ulang” → Babel tidak pernah puas menjarah.

Kajian bahasa ini menunjukkan bahwa doa Habakuk sarat metafora yang menggugah, sekaligus teologi yang dalam: Allah tetap kudus dan mahatahu meski dunia tampak dikuasai bangsa jahat.

1.5 Makna Teologis per Ayat & Kajian Penulis

  • Ayat 12 → Allah kekal dan kudus, namun relasional (“Allahku”). Habakuk percaya Allah berdaulat, meski cara-Nya misterius.

  • Ayat 13 → Allah tidak kompromi dengan dosa, tetapi bisa memakai bangsa berdosa untuk menggenapi rencana-Nya.

  • Ayat 14 → Umat tampak rapuh seperti ikan tanpa gembala, gambaran kerentanan umat manusia tanpa pimpinan Allah.

  • Ayat 15 → Babel dipotret sebagai penangkap ikan yang sombong, simbol penindasan imperialis.

  • Ayat 16 → Kesombongan Babel mencapai puncaknya dengan menyembah alat kekuatannya. Ini adalah penyembahan berhala politik.

  • Ayat 17 → Habakuk mempertanyakan: sampai kapan Allah membiarkan? Pergumulan iman tidak meniadakan iman, tetapi justru menguatkan hubungan dengan Allah.

BAB II. KAJIAN BIBLIKAL

2.1 Struktur Literer Habakuk 1:12–17

Perikop ini dapat dipetakan dalam struktur doa keluhan (lament) khas Perjanjian Lama. Unsurnya meliputi:

  1. Pengakuan iman kepada Allah (ay. 12)

    • Habakuk menyebut Allah sebagai kekal (miqqedem), kudus (qĕdōshî), dan sumber kehidupan (“Kami tidak akan mati”).

    • Fungsi: dasar keyakinan sebelum mengajukan protes.

  2. Masalah teologis (ay. 13)

    • Pertanyaan: bagaimana mungkin Allah yang kudus membiarkan bangsa yang jahat menghukum yang lebih benar?

  3. Gambaran penderitaan umat (ay. 14–15)

    • Yehuda digambarkan seperti ikan yang tak berdaya.

    • Babel digambarkan sebagai penangkap ikan yang rakus dan sombong.

  4. Kritik terhadap musuh (ay. 16)

    • Babel menyembah jalanya sendiri, yakni kekuatannya, simbol penyembahan berhala militeristik.

  5. Pertanyaan penutup (ay. 17)

    • Nada interogatif: “Sampai kapan?”

    • Berfungsi sebagai penutup yang terbuka, menunggu jawaban Allah pada pasal berikutnya.

Struktur ini menunjukkan dinamika doa yang dimulai dengan iman, berlanjut pada keluhan, lalu diakhiri dengan pengharapan akan jawaban Allah.

2.2 Analisis Bentuk Sastra (Genre)

Habakuk 1:12–17 termasuk dalam genre doa keluhan (lament prayer), mirip dengan Mazmur keluhan (mis. Mzm. 13, 22, 73). Ciri-cirinya:

  • Dimulai dengan pengakuan iman.

  • Berisi keluhan atau protes teologis.

  • Menggunakan metafora puitis (ikan, jala, kurban).

  • Berakhir dengan pertanyaan terbuka.

Namun berbeda dengan Mazmur, doa ini ada dalam bentuk dialog profetis: Habakuk berbicara langsung dengan Allah, bukan sekadar doa pribadi. Hal ini menjadikan kitab Habakuk unik, karena nabi diizinkan memperdebatkan jalan Allah.

2.3 Konteks Kanonik dalam Kitab Habakuk

Habakuk 1:12–17 adalah bagian dari siklus tanya-jawab antara nabi dan Allah:

  1. Pertanyaan I (1:2–4) → Mengapa kejahatan di Yehuda dibiarkan?

  2. Jawaban Allah (1:5–11) → Allah akan memakai Babel sebagai alat penghukuman.

  3. Pertanyaan II (1:12–17) → Mengapa bangsa yang lebih jahat dipakai untuk menghukum yang lebih benar?

  4. Jawaban Allah (2:1–20) → Babel pun akan dihakimi, dan “orang benar akan hidup oleh iman” (2:4).

Dengan demikian, 1:12–17 adalah pusat pergumulan iman Habakuk yang menyiapkan jalan bagi pewahyuan kunci pada 2:4, ayat yang kemudian menjadi landasan teologi Paulus dan Reformasi.

2.4 Perbandingan dengan Teks Lain

  • Mazmur 73: Pemazmur juga bergumul mengapa orang fasik hidup makmur, sementara orang benar menderita. Akhirnya pemazmur menemukan jawabannya di hadirat Allah.

  • Yeremia 12:1–4: Nabi Yeremia juga memprotes Allah karena orang jahat tampak berhasil.

  • Ayub: Seperti Habakuk, Ayub mempertanyakan keadilan Allah, namun tetap berpegang kepada-Nya.

  • Roma 1:17 & Ibrani 10:38: Paulus dan penulis Ibrani mengutip Habakuk 2:4 untuk menegaskan prinsip hidup oleh iman. Walaupun 1:12–17 tidak dikutip langsung, pergumulan Habakuk menjadi konteks penting lahirnya ayat tersebut.

2.5 Simpulan Kajian Biblika

Habakuk 1:12–17 adalah keluhan profetis yang menampilkan pergumulan iman antara pengakuan teologis (Allah kudus dan mahatahu) dan realitas sejarah (Babel menindas Yehuda). Teks ini menunjukkan bahwa Alkitab tidak menyajikan iman yang buta, melainkan iman yang kritis, jujur, dan berani bergulat dengan Allah. Perikop ini juga membuka jalan bagi jawaban Allah di pasal 2, yaitu hidup oleh iman di tengah misteri rencana-Nya. TEOLOGIS

III. ANALISIS TEOLOGIS

3.1 Allah Maha Kudus

Dimensi Ontologis – Kekudusan Allah berarti ke-“lain”-an-Nya. Ia berbeda dari ciptaan (Yes. 6:3).

Dimensi Etis – Kekudusan Allah adalah standar moral. Allah tidak dapat berkompromi dengan kejahatan (Hab. 1:13).

Dimensi Relasional – Habakuk menyebut Allah sebagai “Yang Mahakudusku” (qĕdōshî), menandakan relasi perjanjian yang akrab.

3.2 Allah Maha Tahu

Pengetahuan Universal – Allah mengetahui segala sesuatu, termasuk isi hati manusia (Maz. 139; Ibr. 4:13).

Pengetahuan Sejarah – Allah mengetahui jalannya sejarah sejak awal hingga akhir (Yes. 46:10).

Dalam PB – Yesus Kristus mengetahui hati manusia (Yoh. 2:24–25), menegaskan kemahatahuan Allah yang berinkarnasi.

3.3 Dialektika Kekudusan dan Kemahatahuan

Kekudusan Allah menolak dosa, sementara kemahatahuan Allah membuat-Nya mampu memakai bahkan bangsa berdosa sebagai alat penghakiman. Habakuk menghadapi misteri ini dengan iman.

3.4 Sintesis PL dan PB

  • PL: Allah kudus (Im. 19:2), Allah tahu segala sesuatu (Maz. 139).

  • PB: Allah kudus dalam Kristus (1 Ptr. 1:15–16), Allah mahatahu dalam Yesus (Ibr. 4:13).

  • Integrasi: Dalam Kristus, kekudusan dan kemahatahuan Allah bertemu. Ia kudus tanpa dosa, tetapi juga mengenal isi hati manusia.

3.5 Dimensi Dogmatis dan Etis

  • Dogmatis: Kekudusan Allah → dasar pengudusan umat. Kemahatahuan Allah → dasar providensia.

  • Etis: Umat dipanggil hidup kudus (Rm. 12:1) dan percaya penuh pada pemeliharaan Allah, meskipun realitas dunia tampak kacau.

3.6 Relevansi Masa Kini

Habakuk relevan dengan zaman modern:

  • Kekudusan Allah menantang dunia yang kompromistis terhadap dosa, seperti korupsi, ketidakadilan, dan hedonisme.

  • Kemahatahuan Allah meneguhkan iman di tengah globalisasi, krisis lingkungan, pandemi, maupun konflik politik.

  • Penyembahan berhala modern (Hab. 1:16) tampak dalam ketergantungan manusia pada teknologi, ekonomi, dan kekuasaan. Habakuk mengingatkan bahwa hanya Allah yang layak disembah.

IV. IMPLIKASI BAGI IMAN ORANG PERCAYA

  1. Keberanian dalam doa – Orang percaya boleh jujur kepada Allah, seperti Habakuk.

  2. Penghiburan dalam penderitaan – Allah mengetahui dan mengendalikan sejarah.

  3. Panggilan hidup kudus – Kekudusan Allah menuntut umat untuk tidak berkompromi dengan dosa.

  4. Iman di tengah misteri – Meski tidak mengerti cara kerja Allah, iman tetap bersandar pada sifat-Nya yang kudus dan mahatahu.

V. KAJIAN PENULIS (PESAN KHOTBAH)

Saudara-saudara yang terkasih, pernahkah kita bertanya kepada Tuhan: “Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi?”
Habakuk pun bertanya. Ia melihat Yehuda menderita, lalu Allah justru mengatakan bahwa bangsa yang lebih jahat, yaitu Babel, akan dipakai menghukum mereka. Hati Habakuk berteriak: “Ya Tuhan, Engkau Mahakudus, Engkau Mahatahu… tetapi mengapa seperti ini jalan-Mu?”

Pertanyaan itu bukan sekadar keraguan, tetapi doa iman. Habakuk mengajarkan kepada kita bahwa orang benar boleh datang dengan jujur di hadapan Allah.

1. Allah Kita adalah Allah yang Kudus (ay. 12–13)

Habakuk memulai doanya dengan pengakuan iman: “Ya TUHAN, Allahku Yang Mahakudus…”
Kekudusan Allah berarti:

  • Allah berbeda dengan dunia yang cemar,

  • Allah membenci dosa,

  • Allah menjadi tolok ukur moral yang sejati.

Ketika kita melihat kejahatan merajalela, mari kita percaya: Allah tetap kudus. Ia tidak pernah kompromi dengan dosa.

2. Allah Kita adalah Allah yang Mahatahu (ay. 12–13)

Habakuk berkata: “Ya TUHAN, Engkau tidak akan mati.” Itu artinya Allah bukan hanya kekal, tetapi juga mengetahui seluruh jalannya sejarah. Ia tahu awal dan akhir, bahkan apa yang tersembunyi dalam hati manusia.

Mungkin kita sering merasa hidup kita kacau, doa belum dijawab, kejahatan seolah menang. Tetapi ingat: Allah tahu semua. Tidak ada air mata yang tersembunyi di hadapan-Nya (Mzm. 56:9).

3. Realitas Pahit dalam Hidup (ay. 14–17)

Habakuk melihat Yehuda seperti ikan yang tak berdaya. Babel seperti nelayan rakus yang menjaring mereka, bahkan mempersembahkan kurban kepada jalanya.
Bukankah itu juga dunia kita hari ini?

  • Banyak orang menyembah “jala modern” mereka: uang, teknologi, kekuasaan.

  • Banyak orang merasa kuat karena senjata, jabatan, atau kekayaan.

Namun firman Tuhan mengingatkan: semua itu hanyalah berhala. Mereka akan binasa, tetapi Allah kekal selamanya.

4. Panggilan untuk Hidup oleh Iman

Habakuk menutup doanya dengan pertanyaan: “Sampai kapan, ya Tuhan?”
Tuhan menjawab di pasal berikutnya: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Hab. 2:4).

Inilah kuncinya: kita tidak selalu mendapat jawaban yang kita inginkan, tetapi kita dipanggil untuk tetap hidup oleh iman.

  • Iman pada Allah yang kudus → membuat kita serius melawan dosa.

  • Iman pada Allah yang mahatahu → membuat kita tetap tenang meski dunia kacau.

Saudara-saudara, Habakuk mengajarkan doa yang jujur, iman yang berani, dan pengharapan yang teguh.

Ketika kita tidak mengerti jalan Tuhan, jangan berhenti berdoa.
Ketika kita bingung dengan rencana-Nya, jangan berpaling kepada dunia.
Mari kita tetap berseru kepada Allah yang kudus dan mahatahu, sebab hanya kepada-Nya ada penghiburan dan keselamatan.

Amin.

Saturday, 27 September 2025

MINGGU XV SET TRINITATIS; LUKAS 16 : 19 - 31 (TUHAN PEDULI KEPADA KAUM LEMAH)

MINGGU XV SET TRINITATIS; LUKAS 16 : 19 - 31 (TUHAN PEDULI KEPADA KAUM LEMAH)

 

Tuhan Peduli kepada Kaum Lemah

(Lukas 16:19–31)

I. Pendahuluan

Kesenjangan sosial-ekonomi adalah realitas sepanjang sejarah manusia. Ada yang hidup dalam limpah kemewahan, sementara yang lain berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Injil Lukas mencatat salah satu perumpamaan Yesus yang paling keras mengenai hal ini, yaitu kisah orang kaya dan Lazarus (Luk. 16:19–31).

Yesus menyampaikannya kepada orang Farisi yang “cinta uang” (Luk. 16:14). Pesan utamanya jelas: Allah peduli kepada kaum lemah dan akan menghakimi sikap tidak peduli dari mereka yang berkuasa.

II. Analisis Eksegetis Per Ayat

Ayat 19

“Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.”

  • Jubah ungu melambangkan status elit (raja, imam, bangsawan).

  • Lenan halus (byssos) adalah kain Mesir yang sangat mahal.

  • Hidup pesta pora menjadi simbol sikap konsumtif dan egois.

Makna teologis: Kekayaan tanpa belas kasih menjadi berhala yang menutup mata dari penderitaan orang lain.

Ayat 20–21

“Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok...”

  • Lazarus (Eleazar) berarti “Allah adalah penolong.”

  • Hanya Lazarus yang disebut namanya – tanda bahwa Allah mengenalnya.

  • Ia terbuang di gerbang, tubuhnya penuh borok, bahkan anjing menjilat lukanya.

Makna teologis: Allah berpihak kepada yang hina dan menderita; yang tak dikenal manusia, dikenal oleh Allah.

Ayat 22–23

  • Lazarus mati dan dibawa malaikat ke “pangkuan Abraham” → simbol kehormatan dan pemulihan.

  • Orang kaya juga mati dan dikubur, tetapi di Hades menderita sengsara.

Makna teologis: Kematian membalikkan keadaan; ada keadilan eskatologis bagi mereka yang tertindas.

Ayat 24–26

  • Orang kaya meminta setetes air, tetapi Abraham menjelaskan ada jurang besar yang tak dapat diseberangi.

  • Tidak ada kesempatan kedua setelah mati.

Makna teologis: Kesempatan untuk bertobat hanya ada di dunia. Hidup sekarang menentukan kekekalan.

Ayat 27–31

  • Orang kaya memohon Lazarus diutus memperingatkan keluarganya.

  • Jawaban Abraham: “Mereka sudah punya Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan dia.”

  • Firman Allah cukup sebagai pedoman hidup.

Makna teologis: Pertobatan sejati lahir dari ketaatan pada Firman, bukan dari mujizat sensasional.

III. Tabel Sosial-Ekonomi dalam Alkitab

Tokoh / KelompokStatus EkonomiSikap HidupRespon Allah
Orang kaya (Luk. 16:19)Sangat kayaEgois, tidak peduli LazarusDihukum di Hades
Lazarus (Luk. 16:20)Sangat miskinHanya menderita, tak berdayaDihormati di pangkuan Abraham
Janda miskin (Luk. 21:1–4)Paling miskinMemberi dengan tulusDipuji Yesus
Zakheus (Luk. 19:1–10)KayaBertobat, berbagi hartaDiselamatkan
Jemaat mula-mula (Kis. 2:44–45)BeragamSaling berbagi, tiada yang kekuranganMenjadi kesaksian bagi dunia

Grafik: Tema Pembalikan Sosial dalam Injil Lukas

(Dari kisah ini jelas terlihat: orang kaya → dihukum; orang miskin → dibela.)

IV. Kajian Teologi PL dan PB

  • Perjanjian Lama:
    Taurat menekankan kepedulian pada orang miskin, yatim, janda, dan orang asing (Ul. 15:7–11; Im. 19:9–10). Allah dikenal sebagai pembela kaum tertindas (Mzm. 68:6).

  • Perjanjian Baru:
    Yesus menyatakan misi-Nya “memberitakan kabar baik kepada orang miskin” (Luk. 4:18). Yakobus mengingatkan bahwa agama yang murni adalah melawat yatim piatu dan janda (Yak. 1:27).

Sintesis: Dari PL sampai PB, konsistensi terlihat: Allah berpihak pada kaum lemah, dan umat-Nya dipanggil untuk peduli.

V. Pandangan Para Teolog

  • Joel Green (NICNT: Luke): Perumpamaan ini menyingkapkan bahwa kekayaan sering menciptakan tembok sosial yang melumpuhkan kasih.

  • N.T. Wright: Menyebut kisah ini sebagai “kritik terhadap tatanan sosial Yahudi-Romawi yang menindas.”

  • Gustavo Gutiérrez (Teologi Pembebasan): Allah memiliki “preferential option for the poor” (keberpihakan khusus bagi orang miskin).

VI. Kisah Nyata Kontemporer

Di India, seorang pria miskin bernama Narayan pernah tidur di depan restoran mewah, berharap sisa makanan. Namun banyak orang lewat tanpa peduli. Suatu hari, seorang pemilik restoran kecil melihatnya, lalu mengundangnya makan gratis setiap hari. Kisah ini viral sebagai “The Man Who Fed a Million” karena kemudian ia membuka gerakan sosial memberi makan kaum miskin.

Refleksi: Situasi Lazarus masih nyata hari ini. Pertanyaannya: apakah kita hidup seperti orang kaya yang menutup mata, atau seperti tangan Allah yang peduli?

VII. Kajian Teologis: Perjanjian Lama (PL) & Perjanjian Baru (PB) - Keadilan sosial, Hukum Taurat, dan Pengajaran Yesus


A. Tema pusat: Allah sebagai Pembela Orang Lemah
Dalam tradisi PL, Allah digambarkan berulang-ulang sebagai pembela orang lemah, yatim, janda, orang asing, dan miskin. Kesalehan religius yang sejati diukur juga dari bagaimana umat memperlakukan mereka yang rentan (contoh: Mazmur, nabi-nabi).
Hukum Taurat memberi ketentuan konkret untuk melindungi mereka: larangan menindas orang miskin, peraturan tentang jemaat yang melepaskan orang yang terlilit hutang (yobel), ketentuan tentang sedekah/korban yang diarahkan bagi yang membutuhkan (lihat mis. Ul. 15:7–11; Im. 19:9–10; bdk. konsep gleaning — sisa panen untuk orang miskin, lihat Rut 2 sebagai ilustrasi praktik).
Teologis: PL menempatkan keadilan sosial bukan sekadar etika sosial, tetapi sebagai cerminan sifat Allah sendiri — Allah bertindak untuk membebaskan dan memulihkan mereka yang tertindas.

B. Yesus dan Injil Lukas: kelanjutan & penajaman
Yesus (terutama dalam Lukas) membawa pesan PL ke dalam bentuk praktis: pelayanan-Nya mengawasi yang termarjinalkan (Luk. 4:18—“kabar baik bagi orang miskin”) dan sering menegur mereka yang kaya tetapi tidak berbelas kasih (Luk. 6:20; 16:19–31).
Lukas menonjolkan tema great reversal (pembalikan keadaan) — orang yang tampak rendah di dunia ini dimuliakan, sementara yang memonopoli kekayaan tanpa belas kasih dikritik (lihat Magnificat dalam Luk. 1:46–55).
Yesus menegaskan bahwa respon terhadap Firman Allah harus tampak dalam tindakan sosial (lihat perilaku Zakheus, atau pujian terhadap janda miskin di bait Allah). Keselamatan melibatkan perubahan hati yang menghasilkan tindakan yang adil dan belas kasih.

C. Implikasi normatif (dari PL ke PB)

Hukum Taurat menuntut struktur praksis (aturan, ritual, peringatan) untuk menjamin perlindungan sosial; Yesus menuntut perubahan hati yang menghasilkan tindakan — keduanya saling melengkapi: struktur dan hati.
Gereja sebagai komunitas rohani dipanggil menerjemahkan tuntutan ini menjadi program konkrit: perlindungan hukum, dukungan ekonomi, pelayanan kesehatan, advokasi terhadap struktur ketidakadilan.

VIII. Pandangan teolog-teolog modern (ringkasan & relevansi)

A. N. T. Wright — pendekatan naratif/kontekstual
Garis besar: Wright menekankan membaca perumpamaan sebagai bagian dari naratif besar Allah tentang Kerajaan — perumpamaan harus dipahami dalam konteks misi Yesus, bukan sekadar sebagai doktrin pasca-kematian tentang detail eskatologi. Ia menekankan fungsi etis dan polemik sosial parabel tersebut (parabel menegur praktik-praktik sosial dan agama yang menutup mata terhadap keadilan). Banyak pembacaan modern mengikuti penekanan Wright: jangan menjadikan Lukas 16 sebagai deskripsi teknis tentang alam akhir tapi sebagai kritik etis dan teologis. 
B. Joel B. Green — fokus Lukas dan “good news to the poor”
Garis besar: Joel Green (komentari Lukas dalam seri NICNT dan tulisan-tulisan lain) melihat Lukas 16:19–31 sebagai bagian dari tema besar Lukas tentang kabar baik bagi kaum lemah. Green menafsirkan perumpamaan sebagai kritik terhadap struktur sosial yang menindas dan menekankan panggilan gereja untuk menjadi komunitas yang berpihak pada yang kecil. Interpretasinya mengaitkan teks dengan keseluruhan motif lukasian—dari pemberitaan Yesus sampai tindakan jemaat awal. 
C. Gustavo Gutiérrez — teologi pembebasan & “preferential option for the poor”
Garis besar: Gutiérrez — tokoh sentral teologi pembebasan — menegaskan bahwa Allah secara historis menunjukkan keberpihakan khusus kepada orang miskin; iman Kristen menuntut solidaritas praktis dan kerja pembebasan. Konsep preferential option for the poor bukan sekadar memberi amal, melainkan menuntut perubahan struktur sosial dan kerja pembelaan yang mengatasi akar kemiskinan. Dalam perspektif ini Lukas 16 menjadi teks kunci yang menegaskan tuntutan pembebasan konkret

D. Persinggungan & kesimpulan dari ketiganya
Semua teolog ini, meski berbeda fokus metodologis, sepakat bahwa: (1) Lukas 16 relevan sebagai kritik atas ketidakadilan; (2) teks memanggil respon etis nyata (bukan hanya teori); (3) pembelaan terhadap kaum miskin adalah pusat misi Kristen. Wright menekankan pembacaan naratif-kontekstual, Green menekankan tema lukasian internal, Gutiérrez mengubah hal ini menjadi panggilan politik-etis untuk pembebasan.
(Sumber ringkas tentang masing-masing: N.T. Wright ringkasan interpretasi parabel — treat as parable not literal afterlife description; Joel B. Green tulisan-tulisannya tentang “Good News to the Poor”; Gutiérrez menulis langsung tentang preferential option). 

IX. Kisah nyata kontemporer tentang ketidakadilan sosial & bagaimana gereja hadir untuk kaum lemah


A. Mother Teresa / Missionaries of Charity (Kalkuta) — pelayanan kepada “poorest of the poor”
Ringkasan: Mother Teresa mendirikan Missionaries of Charity (1950) untuk merawat tunawisma, orang sakit, dan mati dalam kemiskinan di Kalkuta. Karya ini memperlihatkan tanggapan pastoral yang ekstrem terhadap penderitaan, berfokus pada perawatan langsung (hospis, dapur umum, rumah bagi terlantar). Karyanya menjadi ikon betapa gereja/gerejani dapat hadir fisik di tengah penderitaan. 
Kaitannya dengan Lukas 16: tindakan merawat yang paling tersingkir sama dengan menempatkan diri di sisi Lazarus — bukti iman yang berbuah tindakan kasih.

B. Food banks & gereja komunitas (contoh: Salvation Army, gereja lokal)
Ringkasan: Organisasi-organisasi Kristen seperti The Salvation Army dan banyak jemaat lokal menjalankan bank makanan, dapur umum, program bantuan darurat. Data riset dan laporan menunjukkan food bank sering dioperasikan (atau didukung) oleh organisasi gerejawi sebagai respon cepat terhadap krisis pangan dan kemiskinan. 
Kaitannya dengan Lukas 16: memberi makan yang lapar — wujud konkrit perhatian terhadap kebutuhan material sehari-hari Lazarus zaman modern.

C. Gereja sebagai advokat perubahan struktural (Contoh: Ajaran sosial Katolik & tindakan advokasi)
Ringkasan: Doktrin sosial Katolik (Compendium; USCCB) menekankan option for the poor and vulnerable — bukan hanya layanan amal tetapi juga advokasi kebijakan untuk mengatasi penyebab kemiskinan (mis. akses pelayanan kesehatan, perumahan, keadilan ekonomi). Paus Fransiskus dan dokumen-dokumen Vatikan menegaskan opsi preferensial ini sebagai bukti autentisitas iman. 
Kaitannya dengan Lukas 16: menerjemahkan peringatan perumpamaan menjadi tindakan sistemik — bukan hanya memberi remah, tetapi bekerja untuk mengubah struktur yang membuat orang kelaparan.

D. Kasus lokal / gerakan jemaat yang menyentuh (representatif, model intervensi)
Model 1 — Klinik/pos pelayanan gereja: gereja membuka klinik gratis bagi warga miskin (layanan kesehatan dasar, imunisasi, advokasi medis). Ini mengurangi beban kesehatan yang seringkali menyandera kemiskinan. (Studi tentang peran organisasi keagamaan di komunitas menunjukkan mereka sering menyediakan layanan semacam ini). 

Model 2 — Program pemberdayaan ekonomi: gereja menjalankan pelatihan keterampilan mikro, koperasi simpan pinjam anggota, atau bantuan modal usaha kecil (micro-finance berbasis komunitas). Ini mengatasi aspek struktural kemiskinan. (Banyak praktik gereja lokal di seluruh dunia menerapkan model ini—lihat kajian umum tentang praktik jemaat dan organisasi keagamaan). 

Rangkuman praktis: bagaimana gereja bisa hadir sebagai jawaban Luk. 16
Pelayanan langsung — dapur umum, penampungan, klinik gratis → menjawab kebutuhan "remah meja" Lazarus hari ini.
Pemberdayaan — pendidikan, pelatihan keterampilan, akses pembiayaan mikro → mengatasi kemiskinan jangka panjang.
Advokasi struktural — gereja menyuarakan kebijakan pro-miskin; ikut menegakkan keadilan sosial (sejalan dengan ajaran PL dan doktrin sosial Gereja Katolik). 
Pembentukan kesadaran liturgis & teologis — khotbah, pengajaran, dan formasi jemaat yang menanamkan nilai-nilai Firman (Firman cukup, tetapi harus berbuah). (Ini mengaitkan kembali ke ay. 27–31 tentang Musa dan para nabi).

Kesimpulan & Kajian 

Secara teologis dan historis kitab suci (PL → PB) menegaskan: Allah peduli kepada kaum lemah, dan umat dipanggil untuk memberi perhatian praktis yang nyata.
Pandangan teolog-modern memperkaya pemahaman kita: baca teks dalam konteks naratif (Wright), sebagai suara kabar baik bagi yang miskin (Green), dan sebagai panggilan untuk pembebasan struktural (Gutiérrez).
Praktik gereja yang efektif menggabungkan pelayanan langsung, pemberdayaan, advokasi, dan pembentukan rohani — sehingga iman bukan hanya kata-kata, melainkan tindakan yang menyentuh “Lazarus” di depan pintu kita.

Lukas 16:19–31 adalah teguran keras tentang ketidakpedulian sosial. Allah bukan hanya menuntut kesalehan rohani, tetapi juga kesalehan sosial. Kekayaan adalah tanggung jawab, bukan hak egois.

Sebagai penulis, saya melihat bahwa:

  1. Firman Allah jelas: kita dipanggil menjadi berkat bagi kaum lemah.

  2. Pembalikan sosial eskatologis mengingatkan bahwa dunia ini bukan akhir.

  3. Tugas gereja masa kini adalah menghadirkan Kerajaan Allah lewat pelayanan sosial, advokasi keadilan, dan kasih konkret.

Tuhan peduli pada kaum lemah – dan Ia memanggil kita untuk peduli juga.

Tuesday, 29 April 2025

PELITA HIDUP MINGGU MISERIKORDIAS DOMINI ; YOHANES 21 : 15 - 19 ( Mengasihi dan mengikut Yesus dengan setia )

PELITA HIDUP MINGGU MISERIKORDIAS DOMINI ; YOHANES 21 : 15 - 19 ( Mengasihi dan mengikut Yesus dengan setia )

 


I.          Pendahuluan

Kasih adalah tanda krusial dalam ajaran dan perbuatan Yesus. Bagi Yesus, ekspressi tertinggi dari kasih seseorang adalah “memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Ekspressi tertinggi ini merupakan sebuah tuntutan dalam mengikuti Yesus. Hidup seperti Yesus berarti hidup bukan untuk diri sendiri melainkan bagi orang lain, memelihara, menyelamatkan sampai mati. Dari beberapa pengertian kasih yang tersebut dalam Injil Yohanes, tulisan ini hendak menguraikan tuntutan kasih sebagaimana diwajibkan dalam Yoh 21: 15-19 mengenai pertanyaan tentang kasih, yang disampaikan oleh Yesus kepada Petrus sampai tiga kali berturut-turut, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?”. Pertanyaan tersebut membuat Petrus merasa tidak nyaman. Apa sebenarnya definisi kasih dan mengasihi?

 

II.         Penjelasan

Apakah engkau mengasihi Allah?

Mengapakah Tuhan Yesus bertanya sampai dengan "tiga kali"? Bukankah sekali saja cukup? Toh Dia adalah Allah yang Mahatahu. Mengapa harus diulang-ulang 3 kali?

Ada berbagai pembahasan/ penafsiran mengenai: Mengapakah Tuhan Yesus bertanya kepada Petrus sampai dengan "tiga kali"? Banyak orang melihatnya secara simple bahwa ini berkaitan dengan 3X peristiwa penyangkalan Petrus kepada Tuhan Yesus sehingga ini membuat Yesus bertanya sebanyak 3X pula, ini benar. Tapi apa hanya karena itu? Dan, salah satu tafsir yang paling terkenal adalah dengan menelaah naskah bahasa Yunaninya, yaitu perbedaan penggunaan kata "Kasih":

Tuhan Yesus bertanya dengan menggunakan kata αγαπαω - AGAPAÔ; dan Petrus menjawab kepada-Nya dengan kata φιλεω - PHILEÔ.

Para penafsir berpendapat bahwa makna kata αγαπαω - AGAPAÔ adalah lebih tinggi daripada φιλεω - PHILEÔ. Terbukti (menurut mereka) pada pertanyaan-Nya yang ketiga kepada Petrus, Tuhan Yesus tidak lagi menggunakan menggunakan kata αγαπαω - AGAPAÔ tetapi "menurunkan"-nya dengan penggunaan kata φιλεω - PHILEÔ. Sebab Petrus selalu menjawab-Nya dengan menggunakan kata φιλεω - PHILEÔ (bukan αγαπαω - AGAPAÔ seperti yang Yesus pakai)

Ayat : 15 - 17 “Apakah engkau mengasihi Aku ... Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau... Gembalakanlah domba-dombaKu”. Dalam bahasa Yunani, ada dua kata kerja untuk kata “mengasihi” yaitu agapan artinya kasih dan philein artinya persahabatan. Menurut komentator bangsa Yunani yaitu John Chrysostom dan Cyril dari Alexandria, serta para ahli dari zaman reformasi seperti Erasmus, mereka belum melihat perbedaan arti dari variasi dua kosakata tersebut. Sejumlah ahli zaman modern juga mengatakan bahwa variasi tersebut kurang bermanfaat untuk memahamai teks menganalisis kata kerja “mengasihi” melalui pertanyaan dan jawaban Pasal 21: 15-17, variasinya sebagai berikut: 15: Agapas me ... philo se 16: Agapas me ... philo se 17: Agapas me… philo se . Dari analisa tersebut di atas, mucul sebuah pertanyaan: apakah Yesus menanyakan bentuk kasih yang lebih agung (agapan) dari Petrus, tetapi kemudian Petrus menjawab pertanyaan itu dalam bentuk kasih yang lebih rendah yaitu persahabatan (philein)? atau apakah Yesus meminta kasih yang khusus (agapan) tetapi kemudian Petrus mengekspresikan afeksi personal (philein)?, atau sebaliknya. Adapun persoalan yang mungkin, tidak ada perbedaan arti yang signifikan antara agapan dan philein dalam Yoh 15-17. Jawaban “Ya” dari Petrus terhadap Yesus sama dengan ekspresi kata kerja agapan. Walaupun Petrus mengekspresikannya dalam kata philein, hal itu tidak memperlihatkan kesadaran bahwa Petrus menjawab permintaan untuk bentuk kasih yang lebih tinggi atau lebih relasional dari kasih agapan. Dalam Yoh 15: 13, Yesus mengajarkan bahwa hal yang paling besar ialah kasih agape, dan rela memperlihatkan kasih itu dengan “memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” philon. Dalam Yoh 21: 15- 19, hal yang dijanjikan Petrus ialah memberikan nyawanya untuk Yesus banyak dari para ahli yang berpendapat bahwa tiga kali pengulangan pertanyaan yang sama “apakah engkau mengasihi Aku?” dari Yesus dan tiga kali pengulangan jawaban yang sama dari Petrus, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” adalah simbol dari tiga kali penyangkalan Petrus. Petrus membaharui kemuridannya setelah ia gagal sebagaimana tampak dalam jawabannya.

Ketika Tuhan Yesus meminta Petrus untuk yang ketiga kalinya untuk mengasihi-Nya, Petrus teringat akan kesalahan yang pernah dilakukannya, dan itu fatal, bukan hal biasa yang dapat diabaikan begitu saja dalam mindset orang semit. Dan Petrus begitu sedih mengingat kesalahannya itu. Dan Petrus menyambut ajakan sekaligus pengampunan dari Guru-nya, Petrus-pun memberikan pernyataan "extremely" untuk mengasihi-Nya, kita baca lagi ayatnya:


Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi ( הֲתֶאֱהַב - HATE'EHAV) Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi ( הֲתֶאֱהַב - HATE'EHAV) Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau ( אֲהַבְתִּיךָ - 'AHAV'TIKHA)." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku. (Yohanes 1:17)

Pada akhirnya Petrus dapat memenuhi permintaan Tuhan Yesus. Sebab Petrus membuktikan bahwa dia mengasihi Tuhan Yesus dengan ekstrim. Ia menjadi pekabar Injil yang tangguh dan berani, bahkan berani mati sebagai saksi bagi Kristus. Pada akhir hidupnya dalam menjalani hukuman mati sebagai saksi-Kristus

 

 Menjadi Gembala

 Menggembalakan domba-domba kurang mendapat tekanan bila dibandingkan dengan misi yang diembankan kepada Petrus yakni sebagai gembala. Dia tidak menjadi superior terhadap domba-dombanya. Petrus diminta untuk menggembalakan, artinya akrab dengan mereka, berdedikasi juga bila nyawanya terancam dalam pelaksaan misi tersebut. Jadi, dia melaksanakan perintah tersebut sungguh karena dedikasi dan kasihnya kepada Yesus gurunya dan domba-domba. Yesus mengenal Petrus dengan baik. Petrus sombong, dia mengatakan bahwa dia mengasihi Yesus lebih dari siapapun dan dia bersedia memberikan hidupnya untuk Yesus tetapi akhirnya Petrus mengkhianati Yesus. Akan tetapi sesudah itu, Yesus membaharui Petrus. Perintah untuk menggembalakan domba-domba yang diikuti dengan pembaharuan diri Petrus memperlihatkan bahwa Petrus dijadikan gembala bukan karena Petrus layak, melainkan karena kesediannya. Oleh karena dedikasinya kepada kawanan domba, gurunya menyerahkan tugas itu padanya. Pilihan Petrus memperlihatkan karya Allah dalam kerapuhan ciptaan, sesuatu yang merupakan bagian dari dunia ini., Petrus sedih karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya, “apakah engkau mengasihi Aku?”. Hal ini membawa kita pada sebuah tafsiran, yang mengandaikan sebuah kesedihan dalam diri Yesus juga, seperti dia katakan kepada muridnya: “apakah kamu percaya kepadaku sekarang; lihatlah waktunya akan tiba... Kamu meninggalkan saya seorang diri” (Yoh 16:31-32). Ini adalah sebuah nubuat, ungkapan kenabian yang menunjuk keadaan para muridnya, khususnya Petrus. Yesus mengharapkan kasih Petrus. Petrus memahami dengan baik apa yang diminta oleh Yesus dari padanya. Pemahaman ini sungguh penting karena bimbingan atau permintaan itu berdasar pada relasi guru dan murid. Selanjutnya, Petrus memahami dengan lebih baik tentang tuntutan dari kasihnya kepada Yesus daripada sebelumnya. Itulah sebabnya Petrus bersedia memberikan dirinya untuk kawanan domba. Kematian Petrus akan menjadi seperti kematian Yesus, sebagaimana telah dikatakan Yesus. Dengan itu, Petrus memenuhi undangan Yesus “follow me” (Yoh 21:19)

III.        Kesimpulan

Kasih merupakan sebuah ungkapan fundamental dari seseorang kepada orang yang dikasihi. Kasih merupakan pemberian diri kepada orang yang dicintai sehingga ada relasi mendalam. Dalam relasi seperti ini, ada kerinduan untuk mencintai yang lain, menerima dan mengampuni. Dalam setiap relasi kadang-kadang terjadi kesalah pahaman karena keegoisan yang menghalangi kita untuk melihat dan menjawab kebutuhan orang lain. Dalam situasi seperti ini, pengampunan amat sangat dibutuhkan demi kasih seperti yang dilakukan Yesus kepada Petrus.

Wednesday, 9 April 2025

PELITA HIDUP JUMAT AGUNG; MARKUS 15 : 33 - 41 ( YESUS MENYERAHKAN NYAWA-NYA )

PELITA HIDUP JUMAT AGUNG; MARKUS 15 : 33 - 41 ( YESUS MENYERAHKAN NYAWA-NYA )

 


I.               Pendahuluan

Jumat Agung adalah momen sentral dalam iman Kristen, di mana Gereja di seluruh dunia memperingati penderitaan dan kematian Yesus Kristus. Teks Markus 15: 33–41 membawa kita menyaksikan langsung peristiwa klimaks dari pengorbanan Anak Allah: penyerahan nyawa-Nya di kayu salib. Dalam narasi yang penuh kesunyian dan penderitaan ini, kita menemukan kedalaman teologi salib dan kekuatan historis yang membentuk dasar keselamatan umat manusia. 

 

II.            PenjelasanTeks

1.     Kegelapan yang Menyelubungi Dunia (ayat 33)

Ketika waktu menunjuk jam 12 siang, tiba-tiba kegelapan menyelimuti seluruh negeri sampai jam 3 sore. Secara historis, ini bukan fenomena alam biasa. Dalam pemahaman Yahudi, kegelapan sering kali menjadi lambing murka Allah atau penghakiman (band. Amos 8:9). Kegelapan ini menjadi tanda bahwa sesuatu yang dahsyat sedang terjadi: Sang Pencipta sedang menghakimi dosa dunia, dan Sang Anak sedang menanggung murka tersebut dalam tubuh-Nya.

Teologisnya, kegelapan ini melambangkan pemisahan antara Yesus dan Bapa. Ia yang tidak mengenal dosa telah dijadikan dosa karena kita (2 Korintus 5:21). Kegelapan menjadi saksi bisu bahwa dosa membawa keterpisahan dari Allah, dan Yesus masuk sepenuhnya kedalam realitas itu demi menebus kita.

 

2.     SeruanKesakitandanPemutusanRelasi (ayat 34–36)

Seruan Yesus, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” adalah kutipan dari Mazmur 22, yang mengungkapkan perasaan ditinggalkan oleh Allah. Ini adalah momen terdalam penderitaan Yesus, bukan karena paku atau cambuk, tetapi karena relasi kekal dengan Bapa diputuskan untuk sesaat. Inilah inti penderitaan-Nya: penyerahan total dalam keterpisahan, agar kita tidak pernah dipisahkan dari kasih Allah.

Secara historis, orang-orang di sekitar-Nya gagal memahami seruan ini, mengira Yesus memanggil Elia. Hal ini menyoroti ketidakpekaan rohani mereka, meskipun mereka menyaksikan langsung karya penebusan yang sedang berlangsung.

 

3.     Kematian yang Membuka Tabir (ayat 37–38)

Yesus bukan sekadar meninggal— Dia menyerahkan nyawa-Nya. Markus dengan tegas mencatat bahwa Yesus “berseru nyaring dan menyerahkan nyawa-Nya.” Ini bukan seruan kekalahan, melainkan deklarasi kemenangan. DalamYohanes 10:18, Yesus berkata: "Tidak seorang pun mengambil nyawa-Ku daripada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri."

Segera setelah itu, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas kebawah. Ini sangat signifikan secara teologis dan historis. Tabir memisahkan ruang kudus dari ruang maha kudus, tempat hadirat Allah bersemayam. Kini, dengan kematianYesus, pemisah itu dihancurkan. Jalan masuk kepada Allah telah terbuka bagi semua orang, bukanhanya imam besar.

 

4.     Pengakuan dari Bangsa Lain (ayat 39)

Perwira Romawi, seorang penyembah berhala, orang non-Yahudi,  wakil dari kekaisaran penjajah—menyatakan iman: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” Ini adalah momen puncak pengakuan iman dalam Injil Markus. Ironisnya, pengakuan ini tidak datang dari murid-murid Yesus, tetapi dari seorang asing.

Secara historis dan teologis, ini memperlihatkan bahwa kematian Kristus adalah untuk seluruh dunia. Dari titik ini, Injil akan bergerak keluar batas Israel, menjangkau bangsa-bangsa, dan membuka jalan bagi gereja untuk menjadi komunitas lintas suku dan bangsa.

 

5.     Kesaksian Para Perempuan (ayat 40–41)

Di tengah kepergian para murid laki-laki, para perempuan tetap hadir: Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome. Mereka menjadi saksi setia di kaki salib. Dalam konteks masyarakat patriarki abad pertama, kesaksian perempuan tidak dianggap sah. Namun, Injil menempatkan mereka sebagai saksi utama kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus.

Ini adalah pesan radikal: Allah memakai yang lemah untuk mempermalukan yang kuat. Kesaksian mereka menjadi penopang historis dan spiritual bagi berita Injil.

 

III.          Penutup

 

Salib Sebagai Takhta Kemuliaan

Markus 15:33–41 mengajak kita melihat bahwa salib bukan hanya tempat penderitaan, tetapi juga tempat penyerahan, penggenapan nubuat, dan pembukaan jalan keselamatan. Yesus tidak menjadi korban keadaan, melainkan Raja yang secara sukarela menyerahkan nyawa-Nya. Di dalam kegelapan salib, ada terang pengharapan. Di dalam seruan penderitaan, ada suara kasih penebusan.

Pada Jumat Agung ini, kita tidak hanya mengenang kematian Yesus, tetapi merenungkan makna terdalam dari pengorbanan-Nya: bahwa dalam penyerahan-Nya, kita memperoleh kehidupan.

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim