-->

sosial media

Monday, 29 September 2025

ERAUNATEOLOGI ; Yesus Kristus :  Pemenuhan Janji Allah dalam Silsilah dan Kelahiran-Nya (Analisis Teologis Matius 1:1–25)

ERAUNATEOLOGI ; Yesus Kristus : Pemenuhan Janji Allah dalam Silsilah dan Kelahiran-Nya (Analisis Teologis Matius 1:1–25)

© [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Yesus Kristus: Pemenuhan Janji Allah dalam Silsilah dan Kelahiran-Nya (Analisis Teologis Matius 1:1–25)


Penulis : Pdt. Hendra Crisvin Manullang

Nomor : eAMK290925006

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Injil Matius menempati posisi yang unik dalam Perjanjian Baru karena diletakkan sebagai kitab pertama setelah Perjanjian Lama. Penempatan ini bukan tanpa alasan. Matius memulai tulisannya dengan menyajikan silsilah Yesus Kristus (Mat. 1:1–17) dan catatan tentang kelahiran-Nya (Mat. 1:18–25). Dengan demikian, Injil Matius secara eksplisit hendak menunjukkan bahwa kehidupan dan karya Yesus Kristus merupakan kelanjutan dan pemenuhan dari janji-janji Allah dalam Perjanjian Lama.

Silsilah Yesus yang ditulis Matius tidak sekadar daftar nama, melainkan pernyataan teologis yang dalam. Silsilah itu menghubungkan Yesus dengan Abraham—bapa orang beriman, dan dengan Daud—raja yang dijanjikan keturunannya akan duduk di takhta untuk selama-lamanya. Dengan cara ini, Matius menegaskan bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan, penggenapan dari nubuat Perjanjian Lama. Bahkan, kehadiran tokoh-tokoh “tidak sempurna” dalam silsilah itu—seperti Rahab, Rut, dan Batsyeba—menunjukkan karya anugerah Allah yang bekerja melalui kelemahan manusia untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya.

Lebih jauh lagi, catatan kelahiran Yesus (Mat. 1:18–25) memperlihatkan bagaimana janji Allah benar-benar terwujud dalam sejarah. Kelahiran Yesus bukan hasil hubungan manusiawi, melainkan karya Roh Kudus, sehingga menegaskan keilahian-Nya. Nubuat Yesaya 7:14, “Seorang perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel,” dipenuhi secara nyata dalam diri Yesus. Kehadiran Yesus sebagai Imanuel (Allah beserta kita) merupakan puncak dari kesetiaan Allah terhadap janji-Nya.

Di tengah realitas dunia modern yang penuh dengan krisis moral, ketidakadilan, dan ketidakpastian, pesan teologis Matius 1:1–25 menjadi sangat relevan. Umat Kristen perlu diyakinkan kembali bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang setia pada janji-Nya, Allah yang hadir dalam sejarah, dan Allah yang berdaulat atas segala sesuatu. Pemahaman ini tidak hanya memperkaya teologi gereja, tetapi juga menguatkan iman jemaat untuk tetap percaya dan hidup setia kepada-Nya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa makna teologis dari silsilah Yesus dalam Matius 1:1–17?

  2. Bagaimana kelahiran Yesus dalam Matius 1:18–25 menggenapi nubuat Perjanjian Lama?

  3. Apa pesan teologis dari Matius 1:1–25 bagi kehidupan orang percaya masa kini?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

  1. Menjelaskan makna silsilah Yesus dalam rencana keselamatan Allah.

  2. Menguraikan pemenuhan janji Allah melalui kelahiran Yesus Kristus dari Roh Kudus.

  3. Memberikan refleksi teologis dan aplikatif bagi gereja di masa kini.

1.4 Manfaat Penelitian

  1. Secara Teoretis

    • Penelitian ini diharapkan memperkaya kajian biblis-teologis tentang Injil Matius, khususnya mengenai silsilah dan kelahiran Yesus.

    • Memberikan kontribusi akademis dalam studi Perjanjian Baru tentang konsep pemenuhan janji Allah.

  2. Secara Praktis

    • Menjadi bahan pembelajaran teologi dan Alkitab bagi mahasiswa, pelayan gereja, maupun jemaat.

    • Menjadi dasar pengajaran, khotbah, dan renungan yang menekankan kesetiaan Allah dalam Kristus.

    • Menguatkan iman umat Kristen bahwa Allah yang setia di zaman Abraham, Daud, dan Yesus, adalah Allah yang tetap setia menyertai umat-Nya di masa kini.

II. KAJIAN TEORI DAN METODOLOGI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka diperlukan untuk melihat bagaimana para teolog, penafsir, dan penulis sebelumnya membahas Injil Matius, khususnya Matius 1:1–25.

  1. Pandangan tentang Injil Matius
    Injil Matius sering disebut sebagai Injil yang paling “Yahudi” karena kaya dengan kutipan Perjanjian Lama, pola pemikiran rabinik, dan struktur yang menekankan penggenapan nubuat. R.T. France menegaskan bahwa tujuan utama Matius adalah menunjukkan Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan dalam PL, sehingga pembaca Yahudi dapat melihat kesinambungan rencana Allah (France, The Gospel of Matthew).

  2. Kajian tentang Silsilah Yesus (Mat. 1:1–17)
    Ulrich Luz menyatakan bahwa silsilah bukan sekadar catatan historis, tetapi merupakan deklarasi teologis bahwa Yesus adalah keturunan Daud dan Abraham, serta pewaris janji Allah kepada umat-Nya (Matthew 1–7: A Commentary). Donald A. Hagner menambahkan bahwa kehadiran tokoh-tokoh perempuan (Tamar, Rahab, Rut, Batsyeba) menunjukkan keterlibatan bangsa-bangsa lain dalam rencana keselamatan Allah (Word Biblical Commentary).

  3. Kajian tentang Kelahiran Yesus (Mat. 1:18–25)
    Raymond E. Brown menekankan bahwa kisah kelahiran Yesus memperlihatkan dua hal utama: (1) kelahiran dari Roh Kudus menandai keilahian Yesus; (2) nubuat Yesaya 7:14 tentang Immanuel menemukan penggenapannya dalam Kristus (The Birth of the Messiah).

  4. Kajian tentang Teologi Pemenuhan Janji
    George Eldon Ladd menjelaskan bahwa seluruh Perjanjian Baru dibangun di atas konsep “sudah tetapi belum” (already–not yet), di mana janji Allah telah digenapi dalam Kristus, tetapi kepenuhannya masih menanti penggenapan eskatologis (A Theology of the New Testament).

Dari kajian pustaka tersebut terlihat bahwa penelitian terdahulu menekankan dua aspek: pertama, Yesus sebagai Mesias keturunan Daud dan Abraham; kedua, kelahiran Yesus sebagai penggenapan nubuat PL. Namun, penelitian ini akan mencoba mengintegrasikan keduanya dalam satu kerangka teologis yang utuh: Yesus sebagai pemenuhan janji Allah dalam silsilah dan kelahiran-Nya.

2.2 Landasan Teori

  1. Teologi Pemenuhan Nubuat dalam Perjanjian Baru
    Injil Matius memperlihatkan suatu pola teologis yang khas, yakni penggunaan formula “hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan Tuhan oleh nabi…” (bdk. Mat. 1:22; 2:15; 2:23, dll.). Pola ini menunjukkan bahwa kehidupan Yesus dipahami sebagai penggenapan nubuat PL. Teologi ini menegaskan kesetiaan Allah pada janji-Nya.

  2. Konsep Mesias dalam PL dan PB
    Dalam PL, Mesias (מָשִׁיחַ / mashiach) berarti “yang diurapi,” biasanya merujuk pada raja atau imam. Nubuat mengenai keturunan Daud (2 Sam. 7:12–16; Yes. 9:5–6; Yer. 23:5–6) menjadi dasar pengharapan Mesianik Israel. PB, khususnya Matius, menegaskan bahwa Yesus adalah Christos (Χριστός) atau Mesias sejati, pemenuh janji itu.

  3. Teologi Inkarnasi
    Inkarnasi berarti Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 1:14; Fil. 2:6–7). Kelahiran Yesus dari Roh Kudus dalam Matius 1:18–25 adalah bukti nyata inkarnasi. Allah tidak hanya berbicara melalui nabi, tetapi benar-benar hadir sebagai Immanuel di tengah umat manusia.

2.3 Metodologi Penelitian

  1. Metode Penelitian
    Penelitian ini menggunakan metode analisis teologis-biblis. Analisis ini berusaha menafsirkan teks Matius 1:1–25 berdasarkan konteks historis, literer, dan teologisnya, lalu menarik implikasi bagi teologi Kristen masa kini.

  2. Pendekatan Penelitian

    • Eksegesis Teks: Teks Yunani dianalisis dengan memperhatikan kata-kata kunci seperti biblos geneseos (kitab silsilah/permulaan), Christos (Mesias), parthenos (perawan), dan Emmanuel.

    • Latar Historis: Konteks Yahudi abad pertama, tradisi silsilah, serta pemahaman tentang nubuat PL.

    • Konteks Kanonik: Hubungan antara PL (Abraham, Daud, Yesaya) dengan PB (Yesus Kristus).

    • Refleksi Teologis: Menggali makna teks bagi kehidupan iman Kristen masa kini.

  3. Batasan Penelitian
    Penelitian ini dibatasi hanya pada Matius 1:1–25, dengan fokus pada dua aspek utama: (1) silsilah Yesus (ay. 1–17) dan (2) kelahiran Yesus (ay. 18–25).

III. ANALISIS TEKS MATIUS 1:1–25

3.1 Analisis Bahasa dan Struktur

  1. Analisis Bahasa

    • Biblos geneseōs (βίβλος γενέσεως) – “kitab silsilah” atau “kitab asal-usul” (Mat. 1:1). Istilah ini menggemakan kitab Kejadian (Septuaginta: γενέσεως), sehingga Matius secara sengaja menempatkan Yesus sebagai “permulaan baru” dalam sejarah keselamatan, melanjutkan kisah penciptaan dan perjanjian Allah.

    • Christos (Χριστός) – “Yang Diurapi” (Mesias). Dalam PL, pengurapan (מָשִׁיחַ / mashiach) biasanya diberikan pada raja (1 Sam. 16:13), imam (Kel. 28:41), atau nabi (1 Raj. 19:16). Matius menegaskan sejak awal bahwa Yesus adalah Mesias sejati, yang menggenapi ketiganya.

    • Parthenos (παρθένος) – “perawan” (Mat. 1:23). Kata ini diambil dari Septuaginta Yes. 7:14, menekankan mukjizat kelahiran Yesus.

    • Emmanouēl (Ἐμμανουήλ) – “Allah beserta kita.” Penutup pasal 1 ini membuka tema besar Injil Matius, yang ditutup dengan janji Yesus: “Aku menyertai kamu senantiasa” (Mat. 28:20).

  2. Struktur Literer

    • Matius 1:1–17 – Silsilah Yesus Kristus (3 kelompok: Abraham–Daud, Daud–pembuangan, pembuangan–Kristus).

    • Matius 1:18–25 – Kelahiran Yesus Kristus: karya Roh Kudus, ketaatan Yusuf, penggenapan nubuat Yesaya.

Struktur ini memperlihatkan kesinambungan sejarah keselamatan: Allah bekerja dari awal penciptaan, melalui Abraham, Daud, sampai Yesus, lalu hadir dalam kelahiran Kristus sebagai puncak janji-Nya.

3.2 Silsilah Yesus (Matius 1:1–17)

  1. Hubungan dengan Perjanjian Lama

    • Abraham: Allah berjanji bahwa keturunan Abraham akan menjadi berkat bagi segala bangsa (Kej. 12:3). Dengan menyebut Yesus sebagai “anak Abraham,” Matius menegaskan Yesus sebagai penggenap janji universal ini.

    • Daud: Janji Allah kepada Daud (2 Sam. 7:12–16) bahwa takhta keturunannya akan tegak untuk selamanya, tergenapi dalam diri Yesus sebagai Raja Mesias.

    • Pembuangan ke Babel: Momen paling kelam dalam sejarah Israel, tetapi Allah tetap bekerja. Dari kehancuran itu, lahirlah pengharapan baru dalam Yesus.

  2. Tokoh-Tokoh Penting

    • Tamar (Kej. 38) – kisah penuh dosa, tetapi melahirkan Perez, leluhur Mesias.

    • Rahab (Yos. 2) – seorang pelacur dari Yerikho, tetapi beriman pada Allah Israel.

    • Rut (Rut 1–4) – perempuan Moab yang setia kepada Allah Israel, nenek moyang Daud.

    • Batsyeba (2 Sam. 11–12) – kisah kelam dengan Daud, tetapi dari keturunannya lahir Salomo.

    Dengan menyebut perempuan-perempuan ini, Matius menegaskan bahwa Allah tidak hanya bekerja melalui orang-orang “suci” dalam arti moral, tetapi juga melalui mereka yang dianggap lemah, berdosa, bahkan orang asing. Ini adalah bukti inklusivitas rencana keselamatan Allah.

  3. Pandangan Para Tokoh

    • Ulrich Luz: Silsilah Matius adalah teologi dalam bentuk sejarah; ia mengajarkan bahwa sejarah bangsa Israel mengarah pada Kristus.

    • Donald A. Hagner: Kehadiran perempuan dalam silsilah menunjukkan keterlibatan bangsa-bangsa lain dalam rencana keselamatan.

    • John Stott: Silsilah Yesus adalah deklarasi bahwa Allah setia pada janji-Nya meski manusia sering gagal.

  4. Makna Teologis

    • Yesus adalah Mesias yang sah secara genealogis dan teologis.

    • Allah setia menepati janji-Nya kepada Abraham dan Daud.

    • Sejarah keselamatan adalah sejarah anugerah, di mana orang berdosa dan bangsa asing dilibatkan dalam karya Allah.

3.3 Kelahiran Yesus (Matius 1:18–25)

  1. Kelahiran dari Roh Kudus (ay. 18, 20)
    Kelahiran Yesus adalah tindakan supranatural dari Allah, bukan hasil usaha manusia. Hal ini menegaskan:

    • Keilahian Kristus: Ia adalah Anak Allah yang sejati.

    • Inkarnasi: Allah turun ke dunia, menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia.

    Raymond E. Brown menyatakan bahwa kelahiran dari Roh Kudus menegaskan bahwa Yesus adalah permulaan ciptaan baru, seperti penciptaan dalam Kejadian.

  2. Peran Yusuf (ay. 19–24)
    Yusuf adalah “seorang benar.” Dalam tradisi Yahudi, seorang tunangan yang mendapati pasangannya hamil dianggap memiliki hak untuk menceraikan secara resmi. Namun Yusuf memilih jalan kasih: menceraikan Maria secara diam-diam. Setelah malaikat Tuhan berbicara, ia taat untuk mengambil Maria sebagai istri dan menamai anak itu “Yesus.”

    • Yusuf menjadi teladan iman yang taat meski harus menanggung malu.

    • Ia berperan dalam mengukuhkan status legal Yesus sebagai keturunan Daud.

    N.T. Wright menekankan bahwa Yusuf berfungsi sebagai figur Israel sejati: taat kepada Allah meski jalannya sulit dimengerti.

  3. Penggenapan Nubuat (ay. 22–23)
    Nubuat Yesaya 7:14 dipenuhi: “Sesungguhnya, seorang perawan akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel.”

    • Dalam konteks Yesaya, nubuat ini menunjuk pada tanda Allah bagi Yehuda.

    • Matius melihat penggenapan penuh nubuat itu dalam Yesus, Sang Imanuel sejati.

    Craig L. Blomberg menegaskan bahwa Matius ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah yang hadir secara nyata, bukan sekadar secara simbolis.

  4. Makna Nama Yesus (ay. 21)
    Nama “Yesus” (Ἰησοῦς / Iēsous, dari Ibr. Yehoshua) berarti “YHWH menyelamatkan.” Nama ini menegaskan misi utama Kristus: menyelamatkan umat-Nya dari dosa.

  5. Makna Teologis

    • Allah setia pada nubuat-Nya: Yesus adalah penggenapan janji Imanuel.

    • Kehadiran Yesus adalah bukti penyertaan Allah yang nyata dalam sejarah.

    • Melalui Yesus, manusia tidak lagi sendirian, sebab Allah hadir dan menyelamatkan.

3.4 Sintesis Teologis

  • Dari PL ke PB: Janji Allah kepada Abraham dan Daud mencapai puncaknya dalam Yesus.

  • Dari sejarah ke penggenapan: Silsilah menunjukkan kesinambungan sejarah, sementara kelahiran menunjukkan puncak penggenapan.

  • Dari Israel ke semua bangsa: Kehadiran perempuan asing dalam silsilah memperlihatkan bahwa keselamatan melampaui batas etnis Yahudi.

  • Dari nubuat ke realisasi: Yesaya 7:14 menemukan makna terdalamnya dalam kelahiran Yesus Kristus.

Dengan demikian, Matius 1:1–25 menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah: Mesias keturunan Abraham dan Daud, Anak Allah yang lahir dari perawan Maria oleh Roh Kudus, Sang Imanuel yang menyertai umat-Nya.

3.5 Masalah Perbedaan Silsilah Yesus

Salah satu pertanyaan kritis yang sering muncul adalah:
Mengapa silsilah Yesus dalam Injil Matius (Mat. 1:1–17) berbeda dengan silsilah dalam Injil Lukas (Luk. 3:23–38)?

  1. Perbedaan Utama

    • Matius menelusuri silsilah dari Abraham ke Yesus melalui garis Yusuf (ayah legal Yesus). Fokusnya adalah untuk menegaskan Yesus sebagai keturunan Abraham (bapak iman) dan Daud (raja Israel).

    • Lukas menelusuri dari Yesus ke Adam, menunjukkan bahwa Yesus datang untuk seluruh umat manusia. Lukas menyebut nama ayah Yusuf sebagai Eli, sedangkan Matius menyebutnya Yakub (Mat. 1:16; Luk. 3:23).

    Jadi ada perbedaan nama dan urutan.

  2. Penjelasan Teologis dan Historis
    Ada beberapa pandangan yang mencoba menjawab perbedaan ini:

    • Teori Legal vs. Biologis:

      • Matius menulis silsilah legal (hukum Yahudi) melalui garis Yusuf, menunjukkan hak Yesus atas takhta Daud.

      • Lukas menulis silsilah biologis, kemungkinan besar melalui garis Maria (meski tetap menyebut Yusuf, karena tradisi patriarkal). Dengan demikian, “Eli” yang disebut Lukas mungkin ayah Maria, sehingga Yusuf menjadi menantu.

    • Teori Saudara Ipar (Levirat Marriage):
      Dalam hukum Yahudi, jika seorang pria meninggal tanpa anak, saudaranya menikahi janda itu untuk meneruskan garis keturunan (Ul. 25:5–6). Ada kemungkinan Yakub dan Eli memiliki hubungan demikian, sehingga Yusuf sah disebut anak dari keduanya dalam konteks berbeda.

    • Perbedaan Tujuan Penulisan:

      • Matius menekankan Yesus sebagai Raja Mesias (karena itu ia berhenti pada Abraham dan Daud, serta memakai pola 14 generasi).

      • Lukas menekankan Yesus sebagai Anak Manusia bagi semua bangsa (karena itu ia menelusuri sampai Adam).

  3. Jawaban Teologis
    Perbedaan ini bukanlah kontradiksi, tetapi justru melengkapi gambaran Yesus:

    • Secara legal (hak kerajaan): Yesus adalah keturunan Daud melalui Yusuf (Matius).

    • Secara biologis (darah dan daging): Yesus adalah keturunan Daud melalui Maria (Lukas).

    • Dengan demikian, Yesus memenuhi syarat Mesias sejati menurut nubuat PL: keturunan Abraham, keturunan Daud, dan Juru Selamat bagi semua bangsa.

  4. Pandangan Para Tokoh

    • Irenaeus (abad ke-2): Silsilah ganda adalah bukti keotentikan Yesus yang benar-benar manusia, bukan tokoh mitos.

    • Eusebius dari Kaisarea: Matius mencatat silsilah hukum, Lukas mencatat silsilah biologis.

    • John Calvin: Kedua penulis, dengan cara yang berbeda, meneguhkan kebenaran yang sama: Yesus adalah Mesias yang dijanjikan.

IV. PEMBAHASAN TEOLOGIS

4.1 Pemenuhan Janji Allah dalam Perspektif Perjanjian Lama

Kitab Matius menegaskan sejak awal bahwa Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang Perjanjian Lama.

  1. Janji kepada Abraham (Kej. 12:1–3; 22:18)
    Allah berjanji bahwa melalui keturunan Abraham, semua bangsa di bumi akan mendapat berkat. Matius menyebut Yesus sebagai “anak Abraham” (Mat. 1:1), menegaskan bahwa janji universal itu tergenapi dalam Kristus.

  2. Janji kepada Daud (2 Sam. 7:12–16)
    Allah berfirman kepada Daud bahwa takhta keturunannya akan kokoh selamanya. Dengan menyebut Yesus sebagai “anak Daud” (Mat. 1:1), Matius menegaskan Yesus sebagai Raja Mesias sejati yang akan memerintah kekal.

  3. Janji tentang Imanuel (Yes. 7:14)
    Nubuat Yesaya tentang seorang perawan yang mengandung anak bernama Imanuel mencapai penggenapan tertinggi dalam kelahiran Yesus (Mat. 1:22–23). Kehadiran Kristus adalah kehadiran Allah di tengah umat-Nya.

Dengan demikian, janji Allah dalam PL bukanlah kata-kata kosong. Janji itu bertumbuh sepanjang sejarah, dari Abraham hingga Daud, dari nubuat hingga penggenapan, sampai sempurna dalam Kristus.

4.2 Pemenuhan Janji dalam Perspektif Perjanjian Baru

Perjanjian Baru menafsirkan kelahiran Yesus sebagai perwujudan puncak janji Allah yang telah dinantikan.

  1. Paulus (Gal. 3:16) menegaskan bahwa janji Allah kepada Abraham tergenapi dalam “keturunan” yang tunggal, yaitu Kristus.

  2. Petrus (Kis. 2:29–36) menafsirkan kebangkitan Yesus sebagai penggenapan janji Allah kepada Daud tentang takhta yang kekal.

  3. Yohanes (Yoh. 1:14) menyatakan bahwa Firman telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita — sejajar dengan tema “Imanuel” dalam Matius.

Dengan demikian, Perjanjian Baru konsisten melihat Yesus sebagai pusat sejarah keselamatan dan pemenuhan semua janji Allah.

4.3 Dimensi Teologis Silsilah Yesus

  1. Kesetiaan Allah dalam Sejarah
    Silsilah Matius menunjukkan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya, bahkan dalam masa kelam pembuangan. Allah tetap setia membawa garis keturunan hingga lahirnya Kristus.

  2. Anugerah bagi Orang Berdosa
    Dengan mencantumkan tokoh-tokoh seperti Tamar, Rahab, Rut, dan Batsyeba, Matius menekankan bahwa Allah bekerja melalui orang berdosa dan orang asing. Keselamatan adalah anugerah, bukan hasil kesalehan manusia semata.

  3. Universalitas Keselamatan
    Kehadiran perempuan bangsa asing (Rahab, Rut) dalam silsilah menegaskan bahwa karya keselamatan Allah terbuka bagi segala bangsa.

Teologi silsilah ini mengajarkan bahwa Kristus hadir sebagai bukti kasih karunia Allah yang melampaui dosa, tradisi, dan batas etnis.

4.4 Dimensi Teologis Kelahiran Yesus

  1. Inkarnasi dan Mukjizat Roh Kudus
    Kelahiran dari Roh Kudus menandakan bahwa Kristus bukan sekadar manusia, tetapi Allah yang menjadi manusia (Yoh. 1:14). Inkarnasi adalah dasar iman Kristen bahwa Allah hadir dalam sejarah manusia untuk menyelamatkan.

  2. Ketaatan Yusuf sebagai Teladan
    Yusuf digambarkan sebagai “orang benar” yang taat pada firman Allah. Ia tidak hanya percaya, tetapi juga bertindak, meski harus menanggung risiko sosial. Ini menunjukkan bahwa keselamatan Allah bekerja melalui ketaatan manusia.

  3. Imanuel sebagai Realitas Teologis
    Nama “Imanuel” menegaskan penyertaan Allah yang kekal. Dalam Matius, tema ini berpuncak pada janji Yesus: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20).

Teologi kelahiran Yesus menegaskan bahwa Allah bukan jauh atau abstrak, melainkan hadir dan menyelamatkan.

4.5 Pandangan Para Tokoh Teolog

  • Irenaeus: Inkarnasi adalah cara Allah memulihkan manusia dengan masuk ke dalam sejarah manusia itu sendiri.

  • Athanasius: “Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi anak-anak Allah.”

  • Karl Barth: Kelahiran Yesus adalah bukti penyataan Allah yang mutlak, di mana Allah memilih untuk mengikat diri-Nya dengan umat manusia.

  • John Stott: Salib dan kelahiran Kristus tidak bisa dipisahkan; Kristus lahir untuk mati, dan mati untuk menyelamatkan.

4.6 Relevansi bagi Gereja Masa Kini

  1. Kesetiaan Allah yang Layak Diandalkan
    Gereja masa kini dipanggil untuk percaya bahwa Allah yang menepati janji-Nya kepada Abraham dan Daud adalah Allah yang sama yang setia mendampingi umat-Nya sekarang.

  2. Kasih Karunia yang Merangkul Semua Orang
    Gereja tidak boleh eksklusif. Sama seperti silsilah Yesus melibatkan orang berdosa dan bangsa asing, gereja harus terbuka merangkul semua orang tanpa diskriminasi.

  3. Panggilan untuk Hidup dalam Ketaatan
    Yusuf menjadi teladan iman dan ketaatan. Gereja masa kini dipanggil untuk hidup taat kepada Firman, meskipun bertentangan dengan arus budaya atau menimbulkan risiko sosial.

  4. Pengharapan di Tengah Krisis
    Seperti bangsa Israel yang pernah mengalami pembuangan, banyak orang Kristen hari ini menghadapi tantangan iman, krisis moral, atau tekanan hidup. Kelahiran Kristus sebagai Imanuel meneguhkan: Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya.

Sintesis:
Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah dalam sejarah keselamatan, penggenap nubuat PL, pengukuh harapan PB, dan pengharapan bagi gereja masa kini. Teologi Matius 1:1–25 menegaskan bahwa Allah setia, Allah hadir, dan Allah menyelamatkan.

V. KESIMPULAN DAN APLIKASI

5.1 Kesimpulan

Dari kajian Matius 1:1–25 dapat disimpulkan bahwa:

  1. Yesus Kristus adalah pemenuhan janji Allah dalam sejarah keselamatan, sebagaimana dijanjikan kepada Abraham, Daud, dan melalui nubuat para nabi.

  2. Silsilah Yesus menunjukkan kesetiaan Allah yang bekerja melalui sejarah panjang, bahkan melalui orang-orang berdosa dan bangsa asing. Hal ini menegaskan universalitas kasih Allah.

  3. Kelahiran Yesus dari Roh Kudus menegaskan keilahian-Nya dan misteri inkarnasi: Allah yang menjadi manusia demi menyelamatkan umat-Nya.

  4. Peran Yusuf sebagai teladan iman dan ketaatan menunjukkan bahwa Allah bekerja melalui orang yang bersedia taat, sekalipun harus menanggung resiko sosial.

  5. Nama Yesus (YHWH menyelamatkan) dan Imanuel (Allah beserta kita) menjadi pusat teologi Injil Matius: Allah yang setia, Allah yang menyelamatkan, dan Allah yang selalu menyertai.

Dengan demikian, Matius 1:1–25 bukan sekadar catatan sejarah atau dokumen silsilah, tetapi sebuah deklarasi iman bahwa Yesus adalah Raja Mesias, Juru Selamat, dan bukti kesetiaan Allah bagi dunia.

5.2 Aplikasi bagi Kehidupan Iman

  1. Allah Setia, Maka Kita Percaya
    Jika Allah setia menepati janji-Nya selama ribuan tahun, maka kita pun dapat percaya kepada janji-Nya bagi hidup kita. Iman Kristen berdiri di atas dasar Allah yang setia, bukan sekadar optimisme manusia.

  2. Allah Menggunakan Orang Biasa dan Berdosa
    Silsilah Yesus menunjukkan bahwa Allah memakai Tamar, Rahab, Rut, dan Batsyeba. Maka, tidak ada orang yang terlalu hina atau terlalu berdosa untuk dipakai Allah. Gereja harus meneladani kasih Allah yang inklusif.

  3. Allah Hadir dalam Kehidupan Kita
    Nama “Imanuel” bukan hanya teori, tetapi realitas iman. Allah hadir dalam penderitaan, kesepian, dan pergumulan kita. Karena itu, umat Kristen tidak pernah berjalan sendirian.

  4. Taat pada Firman Meski Berat
    Yusuf adalah contoh nyata bahwa ketaatan kepada Allah kadang berlawanan dengan logika manusia atau norma sosial. Namun ketaatan itu membuka jalan bagi rencana Allah yang besar. Kita pun dipanggil untuk taat tanpa kompromi.

PENUTUP

Saudara-saudari yang dikasihi Kristus,
Injil Matius mengingatkan kita bahwa Allah adalah Allah yang setia. Janji-Nya tidak pernah gagal. Dari Abraham sampai Daud, dari pembuangan sampai kelahiran Kristus, Allah tetap setia. Maka, jika hari ini kita berada dalam pergumulan, janganlah kita putus asa. Allah yang menepati janji-Nya dahulu, adalah Allah yang sama yang memegang hidup kita sekarang.

Yesus disebut Imanuel – Allah beserta kita. Artinya, kita tidak sendirian menghadapi hidup ini. Dalam sakit, dalam susah, dalam takut, bahkan dalam kematian, Allah ada bersama kita. Nama Yesus juga berarti “YHWH menyelamatkan”. Dialah yang melepaskan kita dari dosa, memberi pengampunan, dan membawa hidup baru.

Karena itu, marilah kita hidup dengan iman kepada Allah yang setia, taat seperti Yusuf, dan membuka hati seperti Maria yang bersedia dipakai dalam rencana Allah. Biarlah Natal bukan hanya perayaan tahunan, tetapi pengalaman nyata bahwa Allah hadir dan berkarya dalam hidup kita setiap hari.


Yesus Kristus adalah bukti bahwa Allah setia, Allah hadir, dan Allah menyelamatkan. Dialah pemenuhan janji Allah yang lama, terang bagi bangsa-bangsa, dan pengharapan bagi gereja di segala zaman.


DAFTAR PUSTAKA

  • Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: LAI, 2019.

  • The Holy Bible. New International Version (NIV). Grand Rapids: Zondervan, 2011.

  • The Holy Bible. Septuagint (LXX). Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1979.

  • The Holy Bible. Greek New Testament (Nestle-Aland 28th Edition). Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 2012.

  • Blomberg, Craig L. Matthew: The New American Commentary. Nashville: Broadman, 1992.

  • Brown, Raymond E. The Birth of the Messiah. New York: Doubleday, 1993.

  • France, R.T. The Gospel of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 2007.

  • Hagner, Donald A. Matthew 1–13, Word Biblical Commentary. Dallas: Word Books, 1993.

  • Luz, Ulrich. Matthew 1–7: A Commentary. Minneapolis: Fortress Press, 2007.

  • Nolland, John. The Gospel of Matthew: The New International Greek Testament Commentary. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.

  • Athanasius. On the Incarnation. Translated by John Behr. Yonkers: St. Vladimir’s Seminary Press, 2011.

  • Augustine. The City of God. Translated by Henry Bettenson. London: Penguin Classics, 2003.

  • Barth, Karl. Church Dogmatics, Vol. I/2: The Doctrine of the Word of God. Edinburgh: T&T Clark, 1956.

  • Calvin, John. Commentary on a Harmony of the Evangelists, Matthew, Mark, and Luke. Translated by William Pringle. Grand Rapids: Eerdmans, 1949.

  • Irenaeus. Against Heresies. Translated by Dominic J. Unger. New York: Paulist Press, 1992.

  • Stott, John. The Incomparable Christ. Leicester: InterVarsity Press, 2001.

  • Wright, N.T. Matthew for Everyone, Part 1. London: SPCK, 2002.

  • Eusebius of Caesarea. Ecclesiastical History. Translated by Kirsopp Lake. Cambridge: Harvard University Press, 1926.

  • Kaiser, Walter C. The Messiah in the Old Testament. Grand Rapids: Zondervan, 1995.

  • Marshall, I. Howard. New Testament Theology. Downers Grove: IVP Academic, 2004.

  • Morris, Leon. The Gospel According to Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 1992.


Friday, 26 September 2025

ERAUNATEOLOGI MKI : FIRMAN ALLAH DAN TRADISI MANUSIA : ANALISIS TEOLOGIS - BIBLIS MARKUS 7:1–23

ERAUNATEOLOGI MKI : FIRMAN ALLAH DAN TRADISI MANUSIA : ANALISIS TEOLOGIS - BIBLIS MARKUS 7:1–23

 © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Firman Allah dan Tradisi Manusia: Analisis Teologis-Biblis Markus 7:1–23

Penulis : Pdt. Hendra Crisvin Manullang, S.Th
Nomor : eAMK270925005


I. Pendahuluan

Salah satu perdebatan besar dalam pelayanan Yesus adalah mengenai hubungan antara firman Allah dan tradisi manusia. Injil Markus 7:1–23 menampilkan konflik antara Yesus dan orang Farisi serta ahli Taurat mengenai praktik pencucian tangan sebelum makan. Tradisi tersebut telah dianggap sebagai bagian dari kekudusan hidup, padahal asalnya hanyalah adat istiadat nenek moyang.

Yesus menegur keras mereka dengan menyatakan bahwa tradisi yang tidak sesuai dengan firman Allah justru meniadakan kehendak Allah itu sendiri. Perikop ini relevan bagi gereja masa kini, yang seringkali berada di antara dua kutub: mempertahankan tradisi atau kembali pada otoritas firman.

Tulisan ini bertujuan menganalisis Markus 7:1–23 secara teologis-biblis dengan memperhatikan konteks Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), lalu memberikan refleksi bagi kehidupan bergereja kontemporer.

II. Kajian Teks Markus 7:1–23

1. Tradisi Manusia vs. Firman Allah (ay. 1–13)

Konflik berawal ketika orang Farisi dan ahli Taurat menegur murid-murid Yesus karena tidak mencuci tangan sebelum makan. Bagi mereka, tindakan itu dianggap najis. Yesus menjawab dengan mengutip nubuat Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku” (Yes. 29:13).

Yesus menegur bahwa mereka lebih mementingkan tradisi dibandingkan firman Allah. Kasus korban (ay. 11–13) adalah contoh nyata. Dengan dalih mempersembahkan sesuatu kepada Allah, seseorang bisa mengabaikan kewajibannya untuk menolong orang tua. Dengan demikian, tradisi digunakan untuk membatalkan hukum Allah tentang menghormati orang tua (Kel. 20:12; Ul. 5:16)¹.

2. Sumber Kenajisan Sesungguhnya (ay. 14–23)

Yesus kemudian mengajarkan prinsip radikal: “Tidak ada sesuatu pun dari luar yang masuk ke dalam seseorang dapat menajiskannya, tetapi yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya” (ay. 15). Perkataan ini menekankan bahwa hati manusia adalah sumber kenajisan rohani.

Yesus memberikan daftar dosa yang lahir dari hati: pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, keserakahan, kelicikan, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan (ay. 21–22). Dengan demikian, inti persoalan manusia bukanlah pada ritual lahiriah, tetapi pada kondisi hati yang berdosa².

III. Analisis Teologi Perjanjian Lama (PL)

Dalam PL, hukum kemurnian (ritual dan makanan) berfungsi untuk:

  1. Menegaskan kekudusan umat Israel – Umat dipanggil untuk berbeda dari bangsa lain melalui hukum makanan dan ritual (Im. 11; Ul. 14).

  2. Mendidik umat akan kekudusan Allah – Setiap aspek kehidupan diatur untuk menanamkan kesadaran bahwa Allah itu kudus (Im. 19:2).

  3. Mempersiapkan jalan bagi penekanan hati – Para nabi sering menegur Israel bahwa ketaatan lahiriah tanpa hati yang benar adalah sia-sia (Yes. 1:11–17; Mi. 6:6–8; Yer. 7:22–23)³.

Dengan demikian, PL tidak semata-mata legalistis. Justru PL sudah mengantisipasi bahwa yang terpenting adalah hati, bukan sekadar ritual. Markus 7 adalah penggenapan prinsip tersebut.

IV. Analisis Teologi Perjanjian Baru (PB)

PB memperdalam ajaran ini melalui:

  1. Yesus Kristus sebagai penggenap Taurat – Dalam Markus 7, Yesus menegaskan bahwa makanan tidak menajiskan, yang menjadi dasar perubahan paradigma dalam gereja mula-mula. Petrus menerima penglihatan tentang makanan tahir (Kis. 10:15), yang menandai keterbukaan Injil bagi bangsa-bangsa lain⁴.

  2. Paulus dan hukum kasih – Paulus menulis: “Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm. 14:17). Dengan demikian, ukuran kekudusan bukan lagi hukum makanan, tetapi hidup dalam Roh Kudus.

  3. Ibadah sejati – PB menekankan ibadah batiniah. Roma 12:1 menegaskan bahwa ibadah sejati adalah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan hidup. Ini sejalan dengan Markus 7: bahwa ibadah tanpa hati yang murni adalah sia-sia.

V. Implikasi bagi Gereja Masa Kini

  1. Tradisi harus tunduk pada Firman Allah
    Gereja perlu membedakan antara tradisi yang memperkuat iman dan tradisi yang meniadakan Injil. Liturgi, simbol, atau adat hanya bermanfaat sejauh menunjang firman.

  2. Bahaya formalisme ibadah
    Gereja harus waspada agar tidak jatuh ke dalam formalisme: rajin beribadah, bernyanyi, atau berdoa, tetapi hati jauh dari Allah.

  3. Pembinaan iman yang menekankan transformasi hati
    Pendidikan rohani harus menekankan perubahan karakter, bukan sekadar kepatuhan ritual. Spiritualitas Kristen adalah hidup yang lahir dari hati yang diperbarui oleh Roh Kudus.

VI. Kajian Penulis

Penulis menilai bahwa Markus 7:1–23 adalah teks yang sangat relevan untuk konteks gereja masa kini, khususnya di Indonesia, di mana tradisi gereja, budaya lokal, bahkan kebiasaan denominasi sering kali lebih diutamakan daripada firman Allah.

Pertama, teks ini menegur kecenderungan gereja untuk memelihara tradisi tanpa evaluasi teologis. Tradisi seperti tata ibadah tertentu, aturan berpakaian, atau pola pelayanan bisa menjadi baik, tetapi tidak boleh menggantikan otoritas firman.

Kedua, teks ini menekankan bahwa akar persoalan manusia adalah hati yang berdosa. Gereja harus menolong jemaat mengalami pembaruan hati, bukan sekadar mematuhi aturan luar. Dengan demikian, pelayanan yang menekankan disiplin rohani tanpa pembaruan batin hanya menghasilkan kepatuhan formal, bukan iman sejati.

Ketiga, teks ini mengingatkan gereja agar selalu kembali pada inti Injil: Kristus sebagai pusat ibadah. Tradisi tanpa Kristus akan menjadi beban; tetapi tradisi yang berpusat pada Kristus akan menjadi sarana pertumbuhan iman.

ERAUNATEOLOGI MKI : DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

ERAUNATEOLOGI MKI : DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

  © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

 Ditulis Oleh : Pdt Hendra C Manullang, S.Th

Nomor : eAMK260925004

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Narasi air bah (Kejadian 6–9) merupakan salah satu kisah paling monumental dalam Perjanjian Lama. Peristiwa ini menggambarkan penghukuman Allah terhadap dunia yang dipenuhi kekerasan dan dosa, namun sekaligus membuka jalan bagi karya pemulihan melalui perjanjian dengan Nuh. Perjanjian ini menandai pergeseran fundamental dari murka menuju kasih karunia, dari penghukuman menuju pemulihan.

Kejadian 9 khususnya memuat janji Allah untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah, serta memperkenalkan simbol pelangi sebagai tanda perjanjian kosmik. Perikop ini memiliki nilai teologis yang mendalam, bukan hanya dalam konteks historis, tetapi juga dalam pemahaman soteriologi Kristen.

Tulisan ini hendak menelaah Kejadian 9 dalam perspektif soteriologi, dengan menekankan bahwa karya keselamatan Allah tidak pernah berhenti pada penghukuman, melainkan berujung pada pemulihan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konteks penghukuman dalam narasi air bah?

Bagaimana pemulihan dipahami dalam perjanjian Allah dengan Nuh?

Apa dimensi soteriologis yang terkandung dalam Kejadian 9?

Bagaimana relevansi teologisnya bagi umat Kristen masa kini?

1.3 Tujuan Penelitian

Tulisan ini bertujuan untuk:

Menganalisis konteks penghukuman dalam Kejadian 6–9.

Mengkaji perjanjian Allah dengan Nuh sebagai inisiatif pemulihan.

Menarik implikasi soteriologis dari Kejadian 9.

Merelevansikan pesan teologisnya dengan kehidupan iman Kristen masa kini.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian teologis-biblis dengan metode:

Analisis historis-kritis terhadap konteks Kejadian 9.

Kajian literatur terhadap tafsiran teolog dan komentator Alkitab.

Sintesis teologis dalam perspektif soteriologi.

Refleksi kontekstual bagi kehidupan iman masa kini.

II. KAJIAN LITERATUR

2.1 Tafsiran Tradisional

Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen awal, Kejadian 9 dipahami sebagai bukti kesetiaan Allah untuk menjaga ciptaan. Rabi-rabi Yahudi menekankan dimensi etis dari perjanjian ini, seperti larangan menumpahkan darah (Kej. 9:6).

2.2 Tafsiran Reformatoris

Martin Luther melihat pelangi sebagai tanda nyata kasih karunia Allah yang menahan murka-Nya terhadap dunia[1]. John Calvin menekankan universalitas perjanjian ini, yang berlaku bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi Israel[2].

2.3 Tafsiran Teologi Modern

Gerhard von Rad menyebut perjanjian Nuh sebagai “perjanjian kosmik yang bersifat unilateral” di mana Allah sendiri yang mengikat janji tanpa syarat manusia[3]. Karl Barth melihatnya sebagai fondasi awal seluruh sejarah keselamatan, yang mencapai puncaknya dalam Kristus[4].

2.4 Kajian Kontemporer

Christopher Wright menggarisbawahi dimensi misiologis dan ekologis Kejadian 9: bahwa Allah peduli bukan hanya pada manusia, melainkan pada seluruh ciptaan5[5].

III. KONTEN NARASI KEJADIAN 9

3.1 Struktur Narasi

Kejadian 9 dapat dibagi menjadi tiga bagian utama:

Pemberian mandat kepada Nuh (ayat 1–7).

Perjanjian Allah dengan Nuh (ayat 8–17).

Kisah Nuh dan anak-anaknya (ayat 18–29).

Bagian yang menjadi fokus soteriologis adalah perjanjian Allah (ayat 8–17).

3.2 Dimensi Etis: Mandat Hidup

Allah memerintahkan Nuh untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” (ay. 1). Hal ini menunjukkan kesinambungan ciptaan dan pengulangan mandat budaya Kejadian 1:28.

3.3 Dimensi Kosmik: Perjanjian dan Pelangi

Pelangi (Ibrani: qeshet) adalah simbol perang yang dibalikkan. Dalam arti simbolis, Allah “menggantung busurnya di awan” sebagai tanda Ia menahan murka-Nya[6].

IV. DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN

4.1 Realitas Penghukuman

Air bah membuktikan keadilan Allah terhadap dosa. Penghukuman bukan sekadar tindakan destruktif, melainkan cara Allah menegakkan kekudusan-Nya.

4.2 Pemulihan sebagai Inisiatif Allah

Pemulihan tidak lahir dari usaha manusia. Nuh diselamatkan karena kasih karunia Allah (Kej. 6:8). Perjanjian pasca-air bah menegaskan inisiatif ilahi yang unilateral.

4.3 Soteriologi dalam Perspektif Perjanjian

Soteriologi Perjanjian Lama memandang keselamatan sebagai shalom—pemulihan relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Perjanjian Nuh adalah bentuk awal dari soteriologi ini.

V. DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

5.1 Keselamatan Preventif

Janji Allah untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah (ay. 11) menunjukkan karya penyelamatan yang bersifat preventif. Allah menahan murka demi keberlangsungan hidup manusia[7].

5.2 Keselamatan Kosmik

Perjanjian meliputi manusia, hewan, dan seluruh ciptaan (ay. 10). Hal ini menegaskan bahwa keselamatan dalam Alkitab bersifat kosmik, bukan sekadar individual[8].

5.3 Keselamatan Eskatologis

Pelangi menunjuk pada pengharapan eskatologis. Dalam Perjanjian Baru, Rasul Petrus menafsirkan air bah sebagai tipe baptisan yang membawa pemulihan dalam Kristus (1Ptr. 3:20–21)[9].

VI. RELEVANSI BAGI TEOLOGI MASA KINI

6.1 Kesadaran akan Dosa dan Murka Allah

Manusia modern cenderung mengabaikan realitas dosa. Kejadian 9 mengingatkan bahwa dosa memiliki konsekuensi serius di hadapan Allah.

6.2 Hidup dalam Kasih Karunia

Keselamatan adalah anugerah Allah. Respons manusia seharusnya berupa syukur dan ketaatan.

6.3 Dimensi Ekoteologi

Karena perjanjian Allah mencakup seluruh ciptaan, umat Kristen dipanggil untuk merawat bumi. Soteriologi Kristen harus mencakup dimensi ekologis.

VII. PANDANGAN PENULIS

Sebagai penulis, saya melihat bahwa Kejadian 9 merupakan salah satu teks kunci dalam membangun pemahaman teologi keselamatan yang utuh. Narasi pasca-air bah bukan hanya kisah historis yang bersifat etiologis, melainkan juga memiliki bobot teologis yang terus berbicara melintasi zaman.

Pertama, saya memandang bahwa teks ini menegaskan keseimbangan antara keadilan dan kasih Allah. Air bah menyingkapkan keadilan Allah dalam menghadapi dosa, namun perjanjian dengan Nuh menyingkapkan kasih-Nya yang tidak pernah membiarkan manusia binasa seluruhnya. Keseimbangan ini penting, karena pemahaman soteriologi Kristen yang sehat harus mengakui realitas dosa dan murka Allah, sekaligus mengakui anugerah-Nya yang memulihkan.

Kedua, saya meyakini bahwa dimensi kosmik dari perjanjian Nuh memberi warna baru dalam pemahaman keselamatan. Keselamatan tidak boleh direduksi hanya pada aspek personal-eskatalogis (pengampunan dosa individu dan hidup kekal), tetapi juga harus dipahami dalam kerangka pemulihan ciptaan. Hal ini semakin relevan dalam konteks krisis ekologis global saat ini, di mana teologi keselamatan mesti juga berbicara tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi.

Ketiga, dalam perspektif iman Kristen, saya melihat bahwa janji dalam Kejadian 9 menemukan penggenapan akhirnya dalam Yesus Kristus. Pelangi yang menjadi tanda perjanjian hanyalah bayangan dari karya salib yang menjadi tanda pemulihan sejati. Dengan demikian, Kejadian 9 bukan sekadar kisah lampau, melainkan bagian integral dari narasi besar keselamatan Allah yang berpuncak dalam Injil.

Dengan refleksi ini, saya berkesimpulan bahwa Kejadian 9 menghadirkan sebuah pesan teologis yang holistik: Allah menghukum dosa, tetapi kasih karunia-Nya lebih besar daripada penghukuman. Pemulihan yang Allah berikan melampaui manusia, mencakup seluruh ciptaan, dan pada akhirnya terarah kepada Kristus.


[1] Martin Luther, Lectures on Genesis, vol. 2 (St. Louis: Concordia, 1958), 121

[2] John Calvin, Commentaries on the First Book of Moses Called Genesis (Grand Rapids: Baker, 1996), 284.

[3] Gerhard von Rad, Genesis: A Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1961), 127.

[4] Karl Barth, Church Dogmatics III/1 (Edinburgh: T&T Clark, 1958), 94.

[5] Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 329.

[6] Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Waco: Word Biblical Commentary, 1987), 195.

[7] Walton, Genesis: The NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 325.

[8] Wright, The Mission of God, 332.

[9] F. F. Bruce, The Epistles of Peter (Grand Rapids: Eerdmans, 1968), 102.

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim