-->

sosial media

Thursday, 2 October 2025

ERAUNATEOLOGI ; KEHILANGAN SEGALA SESUATU DEMI KRISTUS: ANALISIS TEOLOGIS DAN KONTEKSTUAL FILIPI 3:1–16

ERAUNATEOLOGI ; KEHILANGAN SEGALA SESUATU DEMI KRISTUS: ANALISIS TEOLOGIS DAN KONTEKSTUAL FILIPI 3:1–16

 © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

KEHILANGAN SEGALA SESUATU DEMI KRISTUS: ANALISIS TEOLOGIS DAN KONTEKSTUAL FILIPI 3:1–16

PENULIS : PDT. HENDRA CRISVIN MANULLANG

 Nomor : eAMK021025008

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Surat Paulus kepada jemaat di Filipi dikenal sebagai salah satu surat yang sarat dengan nada sukacita, penghiburan, dan dorongan iman, meskipun ditulis dalam kondisi Paulus yang sedang berada dalam penjara. Surat ini bukan hanya sebuah pesan pastoral, tetapi juga menyimpan refleksi teologis yang dalam tentang hidup dalam Kristus. Salah satu bagian penting terdapat dalam Filipi 3:1–16, di mana Paulus menyingkapkan pengalaman rohaninya sendiri: bagaimana ia meninggalkan segala keunggulan lahiriah dan kebenaran berdasarkan hukum Taurat, demi memperoleh kebenaran sejati yang hanya terdapat dalam Kristus.

Konteks pasal ini memperlihatkan peringatan keras terhadap kelompok yang masih menekankan keunggulan lahiriah, khususnya penyunatan dan legalisme Yahudi. Paulus dengan tegas menyebut mereka sebagai “anjing-anjing” dan “pekerja-pekerja jahat” (Fil. 3:2). Bagi Paulus, ukuran rohani sejati bukanlah praktik lahiriah, melainkan penyembahan kepada Allah dalam Roh dan bermegah dalam Kristus Yesus (Fil. 3:3). Ia bahkan menyingkapkan bahwa segala prestasi keagamaannya—status sebagai orang Ibrani, Farisi, dan penurut Taurat—sekarang dianggapnya sebagai kerugian, bahkan “sampah” (skubala), bila dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus.

Pernyataan Paulus ini mengandung bobot teologis yang mendalam. Di satu sisi, ia menegaskan doktrin pembenaran oleh iman, di mana keselamatan tidak didasarkan pada usaha manusia atau prestasi religius, melainkan pada kasih karunia Allah melalui Kristus. Di sisi lain, teks ini juga memuat aspek eksistensial dan etis: hidup dalam Kristus berarti mengarahkan seluruh hidup kepada tujuan surgawi, melupakan apa yang di belakang, dan mengejar panggilan Allah yang penuh.

Dalam konteks masa kini, pesan Filipi 3:1–16 relevan bagi gereja yang berhadapan dengan godaan materialisme, legalisme modern, dan kecenderungan untuk mencari identitas pada hal-hal duniawi. Ketika banyak orang bermegah pada prestasi, status sosial, atau religiositas lahiriah, teks ini menantang orang percaya untuk kembali kepada pusat iman: kehilangan segala sesuatu demi Kristus, karena hanya dalam Dia terdapat hidup yang sejati.

Oleh sebab itu, kajian ini penting dilakukan dengan pendekatan teologis dan kontekstual. Analisis teologis akan menyingkapkan makna iman, kebenaran, dan panggilan surgawi dalam teks, sementara analisis kontekstual akan menolong melihat relevansinya bagi kehidupan orang percaya dan gereja di era modern.

 

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan bagian penting dalam sebuah penelitian ilmiah karena menjadi arah dan batas lingkup pembahasan. Dalam kajian terhadap Filipi 3:1–16, ada beberapa isu mendasar yang perlu dijawab. Paulus dalam perikop ini menampilkan suatu kontras tajam antara hidup lama yang bermegah dalam kebenaran lahiriah dengan hidup baru yang hanya berpusat pada Kristus. Kontras ini tidak hanya bersifat pribadi, melainkan juga bersifat teologis dan pastoral bagi jemaat Filipi.

 

Pertama, masalah yang muncul adalah apa makna kehilangan segala sesuatu yang dikemukakan Paulus. Pernyataan ini bukanlah sekadar pengakuan pribadi yang emosional, melainkan sebuah deklarasi iman yang memiliki dimensi teologis mendalam. Apakah “kehilangan” ini menunjuk pada penolakan Paulus terhadap segala prestasi religiusnya, ataukah juga pada perubahan paradigma hidup sepenuhnya menuju orientasi pada Kristus?

Kedua, terdapat pertanyaan mengenai makna kebenaran karena iman. Paulus membandingkan kebenaran berdasarkan hukum Taurat dengan kebenaran dalam Kristus. Bagaimana Paulus memaknai peralihan ini, dan apa signifikansinya bagi doktrin pembenaran oleh iman yang menjadi inti teologi Perjanjian Baru?

Ketiga, perlu dijawab pula relevansi teks ini bagi kehidupan iman gereja masa kini. Jemaat Filipi menghadapi tantangan legalisme dan kesombongan rohani, sementara gereja modern berhadapan dengan materialisme, individualisme, dan kecenderungan mencari kebanggaan dalam hal-hal duniawi. Dengan demikian, penelitian ini perlu merumuskan bagaimana pesan Paulus tetap hidup dan berbicara bagi konteks gereja kontemporer.

Dengan demikian, rumusan masalah penelitian ini adalah:

Bagaimana Paulus memahami “kehilangan segala sesuatu” dalam Filipi 3:1–16?

Apa makna teologis dari peralihan Paulus dari kebenaran berdasarkan hukum Taurat menuju kebenaran karena iman dalam Kristus?

Bagaimana teks Filipi 3:1–16 relevan secara kontekstual bagi kehidupan iman gereja masa kini?

 

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini lahir dari pergumulan terhadap permasalahan di atas. Dengan kata lain, setiap rumusan masalah berkorespondensi langsung dengan tujuan yang hendak dicapai.

Pertama, karya ini bertujuan menguraikan makna teologis dari pengalaman Paulus yang menyatakan bahwa ia rela kehilangan segala sesuatu demi Kristus. Analisis ini akan menolong memperjelas dimensi spiritual dan teologis dari kesaksian Paulus, serta memperlihatkan bagaimana pengalaman pribadinya menjadi dasar pengajaran iman bagi jemaat Filipi.

 

Kedua, penelitian ini bertujuan menganalisis pemahaman Paulus tentang kebenaran karena iman. Fokus ini sangat penting karena perikop Filipi 3:1–16 tidak dapat dilepaskan dari diskursus Paulus yang lebih luas mengenai doktrin pembenaran oleh iman, sebagaimana terlihat dalam surat-surat lain (misalnya Roma dan Galatia). Dengan demikian, penelitian ini menolong memperkaya pemahaman gereja mengenai salah satu doktrin utama iman Kristen.

 

Ketiga, tujuan lain adalah menggali relevansi teks bagi kehidupan iman gereja masa kini. Gereja tidak hidup dalam ruang hampa; ia terus-menerus berhadapan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, teks Alkitab perlu dibaca dalam terang konteks kontemporer. Dalam hal ini, penelitian bertujuan menunjukkan bagaimana pengajaran Paulus dapat memberi jawaban konkret terhadap pergeseran nilai, krisis spiritual, dan arus pemikiran modern.

Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menemukan jembatan antara pemahaman teologis dan aplikasi praktis, sehingga teks Alkitab tidak berhenti pada tataran akademis, tetapi berbuah dalam kehidupan nyata umat Allah.

 

1.4 Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam berbagai dimensi:

Manfaat Akademis Karya ini dapat memperkaya kajian Perjanjian Baru, khususnya studi tentang teologi Paulus. Dengan melakukan analisis historis, biblis, dan teologis terhadap Filipi 3:1–16, penelitian ini menyumbangkan pemahaman baru tentang relasi antara pengalaman iman Paulus dengan pengajarannya yang sistematis.

Manfaat Teologis Secara teologis, penelitian ini memperdalam pemahaman mengenai pembenaran oleh iman, relasi antara hukum Taurat dan Injil, serta panggilan hidup baru dalam Kristus. Kajian ini juga menolong menghindarkan gereja dari bahaya reduksi iman menjadi sekadar praktik lahiriah atau moralitas tanpa Kristus.

Manfaat Pastoral Bagi para pemimpin dan pelayan gereja, karya ini bermanfaat sebagai bahan refleksi dan pembinaan iman. Jemaat dapat diarahkan untuk memahami arti kehilangan segala sesuatu demi Kristus sebagai panggilan untuk hidup dalam kesederhanaan, kerendahan hati, dan pelayanan yang tulus.

Manfaat Kontekstual Dalam konteks sosial-budaya masa kini, penelitian ini memberi jawaban bagi problematika iman yang dihadapi jemaat: misalnya, kecenderungan mencari identitas dalam hal-hal duniawi, mengejar kesuksesan semu, atau jatuh dalam legalisme modern. Teks Filipi 3:1–16 memberi pesan bahwa segala sesuatu yang dianggap keuntungan dalam dunia ini tidak sebanding dengan pengenalan akan Kristus.

Dengan demikian, manfaat penulisan ini mencakup aspek akademis, teologis, pastoral, sekaligus praktis, sehingga karya ini tidak hanya berguna bagi kalangan akademisi tetapi juga bagi gereja dan masyarakat.

 

1.5 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian adalah kerangka kerja yang menentukan bagaimana teks akan diteliti dan dianalisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisipliner yang terintegrasi:

Pendekatan Historis Penelitian ini memperhatikan konteks historis penulisan surat Filipi, termasuk kondisi Paulus saat menulis (dalam penjara), kondisi sosial-politik jemaat Filipi sebagai koloni Romawi, dan pengaruh Yudaisme terhadap jemaat. Pendekatan ini penting agar teks tidak dipahami secara ahistoris, melainkan dalam realitas konkret yang melatarbelakanginya.

Pendekatan Eksegesis Biblis Metode utama yang digunakan adalah eksegesis terhadap Filipi 3:1–16. Analisis dilakukan dengan memperhatikan struktur teks, makna kata-kata Yunani penting (misalnya skubala, dikaiosyne, dioko), serta konteks literer dalam surat Filipi secara keseluruhan.

Pendekatan Teologis Penelitian ini mengkaji gagasan teologis utama dalam teks, khususnya mengenai kebenaran oleh iman, pengenalan Kristus, dan orientasi hidup eskatologis. Teologi Paulus akan dipahami bukan hanya sebagai doktrin, tetapi juga sebagai pengalaman iman yang bersifat eksistensial.

Pendekatan Kontekstual Selain analisis historis dan teologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kontekstual dengan menafsirkan teks dalam terang tantangan iman kontemporer. Dengan demikian, hasil kajian bukan hanya memperdalam pemahaman akademis, tetapi juga memberi kontribusi praktis bagi kehidupan gereja di era modern.

Dengan metodologi ini, penelitian diharapkan dapat memberikan analisis yang menyeluruh: akurat secara historis, mendalam secara teologis, dan relevan secara praktis.

 

II. KAJIAN HISTORIS

2.1 Latar Belakang Kitab Filipi

Surat Filipi ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di kota Filipi, sebuah koloni Romawi yang terletak di Makedonia. Kota ini memiliki arti penting secara politik dan ekonomi. Menurut catatan sejarah, Filipi dinamai sesuai dengan raja Filipus II dari Makedonia, ayah dari Aleksander Agung, yang merebut wilayah tersebut sekitar tahun 356 SM. Pada masa Paulus, kota ini memiliki status colonia, yang berarti bahwa warganya secara hukum dianggap sebagai warga Roma dengan hak istimewa.

Sejarawan Romawi, Appian, mencatat bahwa setelah pertempuran besar di Filipi pada tahun 42 SM antara Oktavianus dan Antonius melawan Brutus dan Cassius, kota ini dijadikan sebagai koloni militer (colonia Augusta Iulia Philippensis). Hal ini menjadikan kota Filipi sarat dengan identitas Romawi, baik dari segi hukum, bahasa Latin, maupun tradisi sosial.

Transkrip arkeologis dari batu-batu prasasti yang ditemukan di Filipi menunjukkan adanya praktik pemujaan kaisar (cultus Augusti). Di salah satu inskripsi kuno, ditemukan kalimat yang memuliakan kaisar sebagai “savior” (soter) dan “lord” (kyrios). Pernyataan ini sangat kontras dengan pengakuan iman Kristen yang menegaskan “Yesus adalah Tuhan” (Kyrios Iesous), sehingga jelas menempatkan orang percaya dalam posisi rawan konflik dengan ideologi negara.

Dengan demikian, surat Filipi dapat dipahami bukan hanya sebagai ungkapan kasih Paulus kepada jemaat, melainkan juga sebagai sebuah dokumen teologis yang mengajarkan bagaimana hidup setia dalam iman di tengah-tengah kekuatan politik dan budaya yang menuntut kesetiaan pada Roma.

 

2.2 Situasi Jemaat Filipi

Jemaat di Filipi terdiri dari berbagai lapisan sosial. Kisah Para Rasul 16 memberikan gambaran awal:

Lidia, seorang perempuan pedagang kain ungu dari Tiatira, yang menjadi orang pertama yang percaya di Filipi.

Seorang budak perempuan yang kerasukan roh tenung dan kemudian disembuhkan oleh Paulus.

Penjaga penjara bersama keluarganya, yang bertobat setelah mengalami gempa yang membebaskan Paulus dan Silas.

Komposisi jemaat yang beragam ini menunjukkan bahwa Injil menembus batas status sosial dan ekonomi. Dalam konteks masyarakat Romawi, komunitas semacam ini menjadi unik karena menyatukan orang kaya dan miskin, budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan dalam satu persekutuan iman.

Namun, keragaman ini sekaligus membawa tantangan. Dalam surat Filipi, Paulus menyinggung potensi perpecahan (misalnya antara Euodia dan Sintikhe dalam Fil. 4:2–3). Selain itu, jemaat menghadapi dua ancaman besar:

Ancaman Eksternal: Kekaisaran Romawi dan Kultus Kaisar Pemujaan terhadap kaisar sebagai “tuhan” dan “juru selamat” tercatat dalam banyak sumber kuno. Kaisar Augustus disebut divi filius (anak dewa), sebuah gelar yang jelas bertentangan dengan gelar Kristus sebagai Anak Allah. Plinius Muda dalam suratnya kepada Kaisar Trajan (sekitar tahun 112 M) mencatat bahwa orang Kristen disebut “berkumpul pada hari tertentu untuk menyanyikan pujian bagi Kristus sebagai Tuhan.” Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal orang Kristen Filipi dan di seluruh wilayah Romawi menghadapi kecurigaan dan bahkan persekusi karena iman mereka.

Ancaman Internal: Kaum Yudais (Judaizers) Dalam Filipi 3:2, Paulus menyebut mereka sebagai “anjing-anjing, pekerja-pekerja jahat, penyunat-penyunat palsu.” Kelompok ini menekankan bahwa orang non-Yahudi harus menaati hukum Taurat, termasuk praktik sunat, agar diselamatkan. Hal ini bukan sekadar perbedaan teologis, tetapi menyentuh identitas dan status orang percaya. Paulus menegaskan bahwa identitas Kristen sejati bukan pada tanda lahiriah, melainkan pada hidup yang dipimpin oleh Roh Allah (Fil. 3:3).

 

2.3 Paulus dan Identitasnya

Paulus mengemukakan biografinya dalam Filipi 3:5–6 sebagai bukti kredibilitasnya dalam berdebat dengan kaum Yudais. Ia menuliskan:

“disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli; tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi; tentang kegiatan, aku penganiaya jemaat; tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.”

Bukti ini sesuai dengan tradisi Yahudi yang menekankan garis keturunan dan ketaatan pada hukum sebagai sumber kebenaran. Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi abad pertama, mencatat bahwa kaum Farisi adalah kelompok yang paling ketat dalam menafsirkan Taurat. Paulus, sebagai seorang Farisi, memiliki latar belakang religius yang kuat. Namun, dalam Filipi 3:7–8, ia dengan radikal menolak semua itu dengan menyebutnya sebagai “kerugian” bahkan “sampah” (skubala).

Pernyataan ini sangat berani dalam konteks Yahudi-Romawi. Secara historis, orang Yahudi bermegah dalam status mereka sebagai umat pilihan dan dalam tanda sunat sebagai identitas perjanjian. Paulus justru menyatakan bahwa semua itu tidak lagi menjadi dasar kebenaran; hanya Kristus yang menjadi pusat keselamatan.

 

2.4 Sitz im Leben Filipi 3:1–16

Sitz im Leben teks ini mencerminkan tiga lapisan kehidupan:

1.     Kehidupan Paulus sebagai tahanan Roma. Dalam Filipi 1:13 ia menyebutkan bahwa “seluruh istana dan semua orang lain tahu bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.” Keadaan ini memberi bobot tersendiri pada seruannya agar jemaat tetap setia.

2.     Kehidupan jemaat Filipi dalam dunia Romawi. Sebagai warga koloni Romawi, jemaat dituntut setia kepada kaisar. Namun, identitas Kristen menuntut kesetiaan utama kepada Kristus.

3.     Kehidupan komunitas Kristen mula-mula di bawah ancaman ajaran sesat. Paulus mengingatkan bahwa iman sejati adalah bermegah dalam Kristus, bukan dalam status lahiriah atau pencapaian agama.

 

2.5 Relevansi Historis terhadap Tema Kehilangan

Konsep “kehilangan segala sesuatu demi Kristus” dalam konteks historis memiliki bobot nyata. Paulus kehilangan status sosial, jaringan komunitas Yahudi, bahkan kebebasannya karena Injil. Seperti dicatat dalam Kisah Para Rasul, pelayanan Paulus berulang kali membuatnya dipenjara, diasingkan, bahkan dianiaya.

Dalam dunia Romawi, banyak orang Kristen juga mengalami kerugian serupa. Dokumen Martir Polikarpus (sekitar 155 M) mencatat bahwa para murid Kristus berani kehilangan nyawa demi kesetiaan kepada Tuhan. Dengan demikian, pernyataan Paulus dalam Filipi 3:8 bahwa ia “menganggap semuanya sebagai sampah, supaya aku memperoleh Kristus” bukanlah retorika kosong, melainkan sebuah realitas iman yang dapat dibuktikan dalam sejarah gereja mula-mula.

 

Tabel 1: Konteks Sosial-Politik Kota Filipi

Aspek

Fakta Historis

Dampak bagi Jemaat Filipi

Status Kota

Koloni Romawi (Colonia Augusta Iulia Philippensis) sejak 42 SM setelah perang Oktavianus–Antonius vs Brutus–Cassius.

Jemaat hidup dengan hak kewarganegaraan Romawi yang tinggi, tetapi juga dengan tuntutan kesetiaan politik kepada Kaisar.

Budaya Religius

Kultus Kaisar berkembang; Kaisar dipandang sebagai Kyrios (tuan) dan Soter (juruselamat).

Mengaku “Yesus adalah Tuhan” (Fil. 2:11) menimbulkan konflik ideologis dengan Roma.

Struktur Sosial

Penduduk terdiri dari veteran tentara Romawi, pedagang, budak, dan pendatang.

Jemaat terdiri dari berbagai lapisan sosial (Lidia, budak, penjaga penjara).

Bahasa & Budaya

Bahasa resmi: Latin; budaya Romawi dominan.

Tantangan bagi jemaat non-Yahudi dalam memahami iman Kristen yang berakar pada tradisi Yahudi.

 

Tabel 2: “Keuntungan” Paulus vs. “Kerugian dalam Kristus” (Fil. 3:5–9)

Identitas Paulus sebagai Yahudi

Nilai dalam Tradisi Yahudi

Pandangan Paulus setelah mengenal Kristus

Disunat pada hari kedelapan

Tanda perjanjian sejak Abraham

Tidak lagi menjadi dasar kebenaran

Dari bangsa Israel

Status sebagai umat pilihan Allah

Tidak menyelamatkan tanpa Kristus

Dari suku Benyamin

Suku kehormatan; keturunan raja Saul

Tidak memberi nilai rohani kekal

Orang Ibrani asli

Kemurnian etnis

Tidak memberi keuntungan rohani

Seorang Farisi

Golongan religius paling ketat

Tidak menjadi ukuran keselamatan

Penganiaya jemaat

Bukti kesalehan menurut hukum

Malah menjadi kesalahan masa lalu

Tidak bercacat dalam hukum Taurat

Kebenaran lahiriah

Hanya kebenaran Kristus yang sejati

Kesimpulan

Semua dianggap “keuntungan” (kerdē)

Semua dianggap “kerugian” (zēmia) dan “sampah” (skubala) dibandingkan dengan Kristus

 

Tabel 3: Tantangan Eksternal vs. Internal Jemaat Filipi

Jenis Tantangan

Bukti Historis/Biblis

Respon Paulus

Eksternal: Tekanan Roma

Prasasti di Filipi menyebut Kaisar sebagai Kyrios dan Soter.

Paulus menegaskan: hanya Yesus adalah Tuhan (Fil. 2:11; 3:20).

Internal: Yudaisme/Legalistik

Paulus menyebut “penyunat palsu” (Fil. 3:2).

Paulus: kebenaran bukan karena Taurat, melainkan karena iman (Fil. 3:9).

 

Bagan 1: Struktur Retorika Paulus dalam Filipi 3:1–16

PERINGATAN (ay. 13)

 

KESAKSIAN PRIBADI (ay. 46)

 

PENYATAAN RADIKAL: Segala sesuatu rugi dibanding Kristus (ay. 79)

 

KERINDUAN ESKATOLOGIS: Mengenal kuasa kebangkitan Kristus (ay. 1011)

 

METAFORA PERLOMBAAN: Melupakan yang di belakang, mengejar ke depan (ay. 1214)

 

AJAKAN KESEDERHANAAN DAN KESATUAN PIKIRAN (ay. 1516)

 

 

 

III. ANALISIS BIBLIS FILIPI 3:1–16

3.1 Struktur Perikop

Secara literer, Filipi 3:1–16 memiliki struktur retorika yang khas. Paulus memadukan peringatan, kesaksian pribadi, teologi soteriologis, dan metafora atletik. Berikut pembagian perikop:

1.     Ay. 1–3: Peringatan terhadap ajaran sesat

a.     Paulus mengingatkan jemaat agar berhati-hati terhadap “anjing-anjing” dan “penyunat-penyunat palsu.”

b.     Identitas orang percaya bukan pada tanda lahiriah, melainkan “beribadah oleh Roh Allah, bermegah dalam Kristus Yesus, dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah.”

2.     Ay. 4–6: Biografi Paulus sebelum mengenal Kristus

a.     Paulus menguraikan “keuntungan lahiriah” yang dimilikinya: sunat, bangsa Israel, suku Benyamin, orang Ibrani asli, seorang Farisi, penganiaya jemaat, dan ketaatan hukum Taurat.

3.     Ay. 7–9: Pergeseran radikal nilai hidup

a.     Semua keuntungan itu dianggap “kerugian” (zēmia), bahkan “sampah” (skubala).

b.     Pusat hidup Paulus kini adalah kebenaran karena iman dalam Kristus, bukan karena hukum Taurat.

4.     Ay. 10–11: Kerinduan eskatologis Paulus

a.     Paulus ingin mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya.

b.     Bahkan penderitaan bersama Kristus dianggap jalan menuju kebangkitan.

5.     Ay. 12–14: Metafora perlombaan

a.     Paulus menggambarkan hidup imannya seperti seorang pelari: “melupakan yang di belakang dan mengarahkan diri kepada yang di depan.”

b.     Tujuannya: “panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

6.     Ay. 15–16: Ajaran tentang kesatuan pikiran

a.     Paulus mendorong jemaat yang dewasa agar memiliki satu cara pikir.

b.     Jika ada perbedaan, Allah sendiri yang akan menyatakannya.

 

3.2 Analisis Teks Yunani

Untuk memahami kedalaman makna, perlu memperhatikan kata-kata Yunani kunci:

1.     σκύβαλα (skubala) – “sampah/kotoran” (ay. 8).

a.     Istilah ini sangat keras, bisa berarti kotoran manusia, sisa makanan, atau sesuatu yang hina.

b.     Paulus memakai istilah ini untuk menegaskan betapa tidak bernilainya prestasi lahiriah dibandingkan Kristus.

2.     δικαιοσύνη (dikaiosynē) – “kebenaran” (ay. 9).

a.     Konsep utama teologi Paulus: bukan kebenaran yang berasal dari hukum Taurat, tetapi kebenaran yang diberikan Allah melalui iman.

b.     Kontras dengan teologi Farisi yang menekankan kebenaran karena perbuatan.

3.     ἐπιλανθανόμενος (epilanthanomenos) – “melupakan” (ay. 13).

a.     Menunjukkan sikap aktif untuk tidak terikat pada masa lalu, melainkan fokus pada masa depan.

b.     Bagi Paulus, kehidupan iman bukan nostalgia, melainkan orientasi ke depan.

4.     διώκω (diōkō) – “mengejar/berlari” (ay. 12, 14).

a.     Kata yang sama dipakai untuk “menganiaya” (sebelumnya Paulus “mengejar” jemaat dengan maksud menghancurkan).

b.     Kini Paulus memakai kata itu untuk mengejar Kristus. Terjadi transformasi radikal: dari penganiaya menjadi pengejar Kristus.

5.     βραβεῖον (brabeion) – “hadiah” (ay. 14).

a.     Istilah atletik yang merujuk pada hadiah kemenangan dalam perlombaan Yunani-Romawi.

b.     Paulus meminjam metafora ini untuk menggambarkan kehidupan iman sebagai perlombaan menuju mahkota surgawi.

 

3.3 Analisis Retorika

Retorika Paulus dalam Filipi 3:1–16 menampilkan strategi yang meyakinkan:

Kontras tajam: keuntungan vs kerugian, lahiriah vs rohani, masa lalu vs masa depan.

Kesaksian pribadi: Paulus tidak sekadar mengajar, tetapi memberikan teladan hidup.

Bahasa hiperbolis: penggunaan kata skubala menunjukkan intensitas emosional.

Metafora atletik: menggambarkan iman Kristen sebagai perlombaan, sebuah gambaran yang sangat akrab bagi dunia Yunani-Romawi.

 

3.4 Dimensi Historis dalam Analisis Biblis

Dalam perikop ini, Paulus memadukan autobiografi dengan pengajaran teologis. Sebagai seorang Yahudi Farisi, ia memahami betapa berartinya tanda lahiriah. Namun, dalam terang Kristus, semua itu dianggap tidak bernilai.

Sumber sejarah mendukung hal ini. Yosefus (Antiquities 18.12–15) menulis bahwa kaum Farisi sangat ketat dalam menjalankan hukum dan menekankan sunat sebagai tanda identitas. Paulus, yang dulunya menganiaya jemaat, kini berani menyatakan bahwa hal-hal itu tidak menyelamatkan.

Dengan demikian, perikop ini menunjukkan transformasi identitas Paulus:

Dari “keuntungan duniawi” (status, hukum Taurat, prestasi)

Menuju “keuntungan sejati” (Kristus sebagai pusat hidup).

 

3.5 Analisis Teologis dalam Perikop

1. Kebenaran karena Iman (Justifikasi)

a.Paulus menekankan bahwa kebenaran tidak berasal dari hukum Taurat, melainkan iman kepada Kristus (ay. 9).

b.Hal ini sejalan dengan ajaran dalam Roma 3:28: “Manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat.”

2. Kristus sebagai Nilai Tertinggi

a. Segala sesuatu yang dahulu dianggap berharga kini dianggap sampah demi pengenalan akan Kristus (ay. 8).

b. Ini adalah teologi kristosentris: Kristus sebagai pusat seluruh eksistensi.

3. Hidup dalam Orientasi Eskatologis

a. Paulus menekankan kuasa kebangkitan Kristus dan pengharapan akan kebangkitan (ay. 10–11).

b. Hidup Kristen adalah ziarah menuju tujuan surgawi.

4. Etos Perlombaan Iman

a. Hidup Kristen bukan diam pasif, melainkan “berlari” mengejar tujuan (ay. 12–14).

b. Etos ini menuntut ketekunan, disiplin, dan fokus.

5. Kesatuan dalam Pikiran Kristus

Paulus mendorong kesatuan pikiran di antara orang percaya (ay. 15–16).

Bagi Paulus, kedewasaan iman bukan diukur dari perbedaan lahiriah, tetapi dari kesetiaan kepada Kristus.

 

3.6 Implikasi Eksegesis bagi Jemaat Filipi

1. Mereka tidak perlu merasa inferior di tengah tekanan Romawi karena status warga surgawi jauh lebih mulia.

2. Mereka tidak perlu terjebak dalam legalisme Yudais karena kebenaran adalah anugerah Allah dalam Kristus.

3. Mereka dipanggil untuk hidup dalam kerendahan hati, kesatuan, dan pengharapan eskatologis.

 

IV. ANALISIS TEOLOGIS DAN KONTEKSTUAL FILIPI 3:1–16

4.1 Pendahuluan

Dalam Filipi 3:1–16, Paulus menyingkapkan jantung dari spiritualitasnya: hidup bukan lagi berlandaskan hukum Taurat dan prestasi manusiawi, melainkan pada iman kepada Kristus. Ia memandang segala sesuatu yang dahulu menjadi “keuntungan” sebagai “kerugian,” bahkan “sampah,” demi pengenalan akan Kristus.

Bab ini membahas bagaimana teks tersebut dipahami dalam kerangka teologi Paulus, lalu bagaimana relevansinya bagi gereja dan orang percaya masa kini.

 

4.2 Dimensi Teologis Paulus

4.2.1 Teologi Kebenaran karena Iman

Paulus menekankan bahwa kebenaran sejati bukanlah hasil usaha manusia, melainkan pemberian Allah melalui iman dalam Kristus (ay. 9). Ini merupakan inti dari doktrin justifikasi oleh iman, yang juga menjadi dasar Reformasi di kemudian hari.

Bagi jemaat Filipi, pesan ini meneguhkan bahwa mereka tidak perlu mencari pengakuan melalui hukum Taurat atau ritual Yahudi, melainkan percaya penuh pada karya Kristus.

4.2.2 Kristus sebagai Pusat Eksistensi

Paulus menegaskan bahwa mengenal Kristus lebih berharga daripada segala hal duniawi (ay. 7–8). Segala prestasi, status sosial, dan keagamaan dianggap tidak berarti dibandingkan “keuntungan yang sejati,” yakni Kristus.

Teologi ini bersifat kristosentris, menjadikan Kristus pusat makna, nilai, dan tujuan hidup.

4.2.3 Dimensi Eskatologis

Hidup iman menurut Paulus memiliki orientasi eskatologis: pengharapan pada kebangkitan (ay. 10–11) dan hadiah panggilan surgawi (ay. 14). Hidup Kristen bukan hanya tentang masa kini, melainkan tentang kepenuhan dalam Kristus kelak.

4.2.4 Dimensi Etis

Paulus menekankan pentingnya kesatuan pikiran (ay. 15–16) dan etos perjuangan iman. Hidup Kristen adalah proses berlari menuju tujuan, bukan berhenti dalam kepuasan diri.

 

4.3 Dimensi Kontekstual dalam Jemaat Filipi

4.3.1 Latar Sosial-Politik

Jemaat Filipi hidup di kota koloni Romawi, dengan tekanan untuk menghormati kaisar. Identitas Kristen mereka dipertaruhkan: apakah mereka mengikuti pola Romawi atau setia pada Kristus?

Pesan Paulus memberi arah: identitas utama mereka adalah warga surgawi, bukan warga Romawi semata.

4.3.2 Latar Religius

Muncul ancaman dari pengajar Yudais yang menekankan pentingnya sunat dan hukum Taurat (ay. 2–3). Paulus menolak keras ajaran ini, karena dapat menjerumuskan jemaat kembali pada legalisme.

4.3.3 Implikasi Pastoral

Pesan Paulus mendorong jemaat Filipi untuk:

Tidak bangga pada tanda lahiriah, melainkan pada Kristus.

Hidup dengan ketekunan iman, seperti pelari yang terus berlari menuju garis akhir.

Menjadi komunitas yang bersatu dalam pikiran dan tujuan.

 

4.4 Kontribusi Teologi Paulus bagi Gereja Masa Kini

4.4.1 Mengatasi Legalisme Modern

Banyak gereja masih terjebak dalam ukuran-ukuran lahiriah (ritual, status, tradisi). Pesan Paulus mengingatkan bahwa keselamatan bukan hasil usaha manusia, melainkan kasih karunia Allah.

4.4.2 Hidup Kristosentris

Dalam dunia yang materialistis dan berorientasi prestasi, Paulus mengingatkan bahwa Kristus adalah nilai tertinggi. Hal ini menantang orang percaya untuk meninjau ulang prioritas hidupnya.

4.4.3 Spiritualitas Eskatologis

Hidup orang percaya bukan berhenti pada keberhasilan duniawi, tetapi menuju tujuan surgawi. Gereja masa kini dipanggil menanamkan pengharapan eskatologis, terutama di tengah penderitaan dan ketidakpastian global.

4.4.4 Etos Perlombaan dalam Iman

Metafora atletik Paulus relevan bagi masa kini: iman bukanlah pasif, tetapi perjuangan yang memerlukan ketekunan, disiplin, dan konsistensi.

 

4.5 Tabel Kontras Nilai Paulus

Sebelum Kristus (Ay. 4–6)

Sesudah Kristus (Ay. 7–16)

Sunat lahiriah

Ibadah dalam Roh Allah

Bangsa Israel, suku Benyamin

Identitas dalam Kristus

Farisi, ahli Taurat

Kebenaran karena iman

Menganiaya jemaat

Mengejar Kristus

Prestasi religius

Hadiah panggilan surgawi

Fokus pada masa lalu

Orientasi ke depan

 

Tabel ini menegaskan adanya transformasi total identitas Paulus dari kebanggaan manusiawi menuju hidup yang sepenuhnya berakar pada Kristus.

 

4.6 Bagan Visual: Hidup Sebagai Perlombaan Iman

[Masa Lalu] -------> [Mengejar Kristus] -------> [Tujuan Akhir: Panggilan Surgawi]

Bagan ini menggambarkan dinamika iman: melupakan masa lalu, berfokus pada Kristus, dan terus bergerak menuju tujuan eskatologis.

 

4.7 Relevansi Kontekstual bagi Orang Kristen Indonesia

Dalam konteks multireligius: Pesan Paulus mengingatkan untuk tidak menilai iman berdasarkan identitas lahiriah, tetapi relasi dengan Kristus.

Dalam konteks sosial-ekonomi: Banyak orang mengejar status, harta, atau gelar. Paulus menantang agar semuanya dianggap “kerugian” jika tidak mengarah pada Kristus.

Dalam konteks pelayanan gereja: Paulus mengajarkan bahwa pertumbuhan rohani memerlukan kesatuan visi, disiplin iman, dan pengharapan eskatologis.

 

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

5.1 Kesimpulan

Dari hasil kajian historis, biblis, dan teologis terhadap Filipi 3:1–16, dapat ditarik beberapa poin utama:

Transformasi Identitas Paulus

Paulus menegaskan bahwa semua keuntungan lahiriah yang dahulu ia miliki (sunat, kebangsaan, status Farisi, ketaatan Taurat) kini dianggap sebagai kerugian bahkan “sampah” (skubala).

Kristus menjadi pusat dan dasar seluruh eksistensi hidupnya.

Kebenaran karena Iman

Paulus mengajarkan bahwa kebenaran sejati bukan berasal dari hukum Taurat, tetapi merupakan anugerah Allah yang diterima melalui iman kepada Kristus.

Hal ini menjadi inti teologi soteriologis Paulus dan membedakan iman Kristen dari legalisme Yahudi.

Hidup dalam Orientasi Eskatologis

Paulus hidup dengan kerinduan mengenal kuasa kebangkitan Kristus.

Hidup Kristen bukan hanya masa kini, melainkan perjalanan menuju “hadiah panggilan surgawi.”

Etos Perlombaan dalam Iman

Paulus menggunakan metafora atletik: hidup Kristen adalah proses “berlari” menuju tujuan, bukan berhenti dalam kepuasan diri.

Orientasi ini menuntut ketekunan, kerendahan hati, dan konsistensi iman.

Kesatuan Pikiran dalam Jemaat

Paulus menekankan pentingnya kesatuan pikiran di antara orang percaya.

Jemaat dipanggil untuk berpegang teguh pada kebenaran Injil dan tidak terpecah oleh perbedaan lahiriah.

 

5.2 Evaluasi Teologis

Analisis terhadap Filipi 3:1–16 memperlihatkan bahwa teologi Paulus memiliki kekuatan korektif terhadap kecenderungan:

Legalisme → yang mengukur iman dari prestasi lahiriah atau ritual keagamaan.

Materialisme → yang menilai hidup dari pencapaian dan keuntungan duniawi.

Egosentrisme → yang menjadikan manusia sebagai pusat hidup, bukan Kristus.

Sebaliknya, Paulus mengarahkan jemaat pada kehidupan kristosentris, eskatologis, dan penuh perjuangan iman.

 

5.3 Implikasi Praktis

5.3.1 Bagi Gereja

Gereja perlu kembali menekankan Kristus sebagai pusat pengajaran dan pelayanan, bukan pada tradisi, ritual, atau ukuran lahiriah semata.

Gereja harus menumbuhkan spiritualitas perlombaan iman: disiplin doa, pembacaan Kitab Suci, pelayanan, dan kesaksian hidup.

Gereja perlu menjaga kesatuan jemaat, mengutamakan kasih dan kerendahan hati dalam menghadapi perbedaan.

5.3.2 Bagi Orang Percaya

Orang percaya dipanggil untuk mengevaluasi prioritas hidup, apakah Kristus sungguh menjadi pusat nilai tertinggi.

Hidup Kristen menuntut sikap melupakan yang di belakang (masa lalu, dosa, prestasi) dan mengarahkan diri kepada yang di depan (panggilan surgawi).

Dalam dunia yang kompetitif, orang Kristen dipanggil untuk berlari bukan demi mahkota duniawi, melainkan mahkota surgawi yang kekal.

5.3.3 Bagi Konteks Indonesia

Di tengah pluralitas agama, Paulus mengingatkan bahwa iman Kristen tidak diukur dari simbol lahiriah, tetapi dari relasi hidup dengan Kristus.

Di tengah krisis moral dan materialisme, Paulus menegaskan pentingnya nilai rohani yang abadi.

Gereja di Indonesia dapat menjadi saksi dengan menampilkan hidup yang fokus pada Kristus dan pelayanan kepada sesama.

 

5.4 Saran Penelitian Lanjutan

Penelitian ini terbatas pada kajian teologis dan kontekstual Filipi 3:1–16. Untuk penelitian berikutnya, dapat dilakukan kajian:

Perbandingan Paulus dengan penulis lain (misalnya Yakobus tentang iman dan perbuatan).

Kajian resepsi: bagaimana teks ini ditafsirkan dalam tradisi Patristik, Reformasi, hingga gereja kontemporer.

Kajian kontekstual lokal: penerapan Filipi 3:1–16 dalam konteks budaya Indonesia, misalnya budaya Batak, Jawa, atau Papua yang memiliki nilai khas tentang kehormatan dan prestasi.

 

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim