Konfesi Augsburg 1530 (Tinjauan Dogmatis Tentang Hubungan HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh dan Pemerintah Aceh untuk memperoleh IMB Gereja dengan ajaran Huria Kristen Indonesia dalam Pokok Kepercayaan dan Pengajaran Konfesi Augsburg 1530 Pasal XVI) Ditulis Oleh Hendra Crisvin Manullang, Teologi STT ABDI SABDA
I.
Abstraksi
Konfesi Augsburg 1530 menjadi bahagian dari ajaran
yang dipegang oleh Huria Kristen Indonesia, secara khusus hubungan antara
gereja dan pemerintah tertulis dalam Bab I Pasal XVI Konfesi Augsburg 1530. Hal
tersebut juga menjadi pedoman bagi HKI Suka Makmur Aceh Singkil dalam menjalin
hubungan dengan pemerintah. Sebab HKI Suka Makmur adalah bahagian dari Huria
Kristen Indonesia, sikap egois disingkirkan demi terciptanya suatu ketaatan dan
kedamaian sejati yang berasal dari Alkitab.Demikian juga Alkitab turut
menyerukan hubungan yang baik antara gereja dan pemerintah.
Kata
Kunci: Konfesi Augsburg, HKI Suka Makmur, Aceh
II.
Pendahuluan
2.1. Latar Belakang
Masalah
Konflik
yang terjadi di HKI Suka Makmur pada 13 Oktober 2015, bukan yang pertama
terjadi di Aceh Singkil. Sejak 1979, beberapa konflik terkait pendirian gereja
terjadi di kabupaten Aceh Singkil . Seiring dengan bertambahnya jumlah umat
Kristen di Aceh Singkil, jumlah gereja dan undung-undung yang
dibangun di Aceh Singkil pun terus bertambah. Hal itu diprotes warga Muslim
yang merasa bahwa pembangunan rumah ibadah-rumah ibadah tersebut menyalahi Qanun
Aceh.
Banyaknya
Jemaat Kristen yang mulai resah, bahkan perlawanan pun dilakukan oleh
masyarakat Kristen yang tinggal di daerah Aceh Singkil, demikian Jemaat HKI
Suka Makmur, tidak sedikit Jemaat yang memberikan masukan kepada Pendeta untuk
mengambil sikap tegas dan memberikan perlawanan kepada masyarakat dan
pemerintah Aceh yang dengan keji bekerjasama membakar dan mempersulit
orang-orang Kristen yang berada di Aceh, khususnya gereja HKI Suka Makmur.
Pendeta melalui komunikasinya dengan Pucuk Pimpinan HKI terus memberikan
dukungan pastoral, pendampingan dan pemahaman-pemahan yang dipegang oleh gereja
HKI kepada Jemaat HKI Suka Makmur. Proses dan perjuangan gereja HKI Suka makmur
dalam menjalin hubungan dengan pemerintah dan hubungannya dengan ajaran HKI
yang akan diterangkan dalam seminar ini.
Dengan demikian penulis mengambil 5 sumber
wawancara, dengan pertimbangan bahwa kelima tokoh tersebut adalah mereka yang
bersentuhan langsung dengan permasalahan yang dihadapi oleh HKI Suka Makmur.
2.2. Temuan-Temuan
Penelitian
1. Nama : Pdt. Ester Naibaho,S.Th
Jabatan : Pendeta Jemaat
Alamat : Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Gereja HKI Suka Makmur mengalami kebakaran Pada
tanggal 13 Oktober 2015, Gereja HKI Suka Makmur mengalami penolakan dari para
masyarakat mayoritas setempat dan pembakaran gedung gereja pun terjadi yang
dilakukan karena IMB gereja tidak ada,
dan sebenarnya itu bukan pertama kali kebakaran terjadi pada gereja HKI Suka
Makmur.Namun kebakaran kali ini sangat terlihat jelas para kelompok masyarakat
secara terang-terangan membakar gereja.[1] Rekonsiliasi telah dilakukan dan dampak dari
Rekonsiliasi tersebut HKI Suka Makmur tidak mendapatkan Dana Perdamaian yang
dikeluarkan dari Pemerintah Pusat dan sampai hari ini setiap peribadahan atau
acara Gereja HKI Suka Makmur harus melapor kepada pihak pemerintah setempat
seperti Camat, Kepala Desa, Koramil, Kodim, Polsek, Babinsa, Kantibnas, dan
Polres.[2]
2. Nama : Lamijar Tumangger
Jabatan : Tokoh Jemaat HKI Suka
Makmur
Alamat : Rumah Amang Lamijar Tumangger, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Pimpinan Pusat selalu memberikan dukungan-dukungan
terhadap Jemaat HKI Suka Makmur, mulai dari segi pastoral. Secara administrasi
tahun 2016 HKI Suka Makmur telah menyelesaikan berkas persyaratan sampai pada
tingkat Kepala Desa, Camat, Kantor Urusan Agama, Kemenag, FKUB, Dinas PU, Kantor
Pertanahan dan pada tingkat Bupati terjadi permasalahan mengenai berkas yang
harus diminta kepada Kepala Mukim.[3]
3. Nama : St. Masariani Berutu
Jabatan : Sintua HKI Suka Makmur
Alamat : Rumah Inang St. Masariani Berutu , Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
HKI Suka Makmur dalam usaha-usahanya mendapatkan IMB
terus menjalin komunikasi dengan pihak Bupati Aceh Singkil sehingga pada
tanggal 15 Oktober 2018, Bupati menerbitkan Surat Keputusan Bupati Aceh Singkil
dengan Nomor 172 Tahun 2018 dengan hal Pembentukan Tim Percepatan Rekonsiliasi
Penyelesaian Konflik Rumah Ibadah Kabupaten Aceh Singkil.[4]
4. Nama : Salmen Berutu
Jabatan : Kepala Desa Suka
Makmur
Alamat : Rumah Kepala Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Melalui Rekonsiliasi yang ditengahi oleh Bupati ditemukan dan diketahui pada tanggal 19 Desember 2019 melalui anggota Tim Percepatan Rekonsiliasi Penyelesaian Konflik Rumah Ibadah Kabupaten Aceh Singkil, bahwa telah disepakati dan ditandatanganinya Surat Perdamaian Penyelesaian Konflik Rumah Ibadah Kabupaten Aceh Singkil dalam kaitan perizinan/pemberian IMB bagi Gereja hanya 7 ( Tujuh Gereja ) di Kabupaten Aceh Singkil, dan HKI Suka Makmur tidak ada dalam Ke 7 Gereja tersebut.[5]
5. Nama : St.Rasmen Manik
Jabatan : Sintua HKI Suka Makmur
Alamat : Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Jemaat
HKI Suka Makmur lebih mengedepankan dan menjunjung tinggi ajaran dan pemahaman
yang dipegang oleh Huria Kristen Indonesia, bahkan Pdt Ewen J.Silitonga dan
Pdt. Ester Naibaho yang bertugas di Ressort HKI Manduamas dan Jemaat HKI Suka
Makmur selalu memberikan dorongan-dorongan dan himbauan kepada jemaat untuk
menahan diri dari segala bentuk tindakan-tindakan anarkis masyarakat Aceh dan
peraturan-peraturan pemerintah yang sangat menekan rakyat Kristen di Aceh
Singkil, khususnya Jemaat HKI Suka Makmur. Pendeta Ester Naibaho, S.Th selalu
berjuang dan tak henti mengedepankan solusi dan berjuang membangkitkan semangat
jemaat-jemaat untuk selalu berjuang dan bersabar, meskipun banyak jemaat yang
telah lelah berjuang dan bersabar.[6]
III.
Pembahasan
3.1. Latar Belakang
3.1.1.
Konfesi Augsburg 1530
Pada
tanggal 21 Januari 1530, Kaisar Charles V memanggil sidang kerajaan untuk
bertemu pada bulan April berikutnya di Augsburg, Jerman. la menghendaki suatu
front kesatuan dalam operasi-operasi militernya melawan orang Turki dan hal ini
rupanya memerlukan penyelesaian persengketaan agama yang telah timbul di negara
itu sebagai akibat dari Reformasi. Oleh sebab itu Kaisar mengundang para
pangeran dan wakil-wakil dari kota-kota otonom di seluruh ke-Kaisaran itu untuk
membahas perbedaan-perbedaan agama pada persidangan yang akan datang, dengan
harapan akan dapat mengatasinya dan memulihkan kesatuan.
Sejalan
dengan undangan ini Elektor Sakson meminta kepada para Theolognya yang ada di
Wittenberg untuk mempersiapkan suatu laporan mengenai kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan
Gerejani di daerahnya. Oleh karena sesuatu pernyataan dogma yang disebut
sebagai pasal Schwabach telah dipersiapkan pada musim panas 1529, hanya
dibutuhkan sekarang suatu tambahan mengenai perubahan-perubahan dalam kebiasaan
Gerejani yang berlaku di Sakson. Oleh sebab itu suatu pernyataan yang demikian
telah dipersiapkan oleh para Theolog dari Wittenberg, dan karena pasal itu
telah disahkan (diterima) pada pertemuan di Torgau pada
akhir bulan Maret 1530 pasal itu disebut pasal-pasal Torgau.[7]
Bersama-sama dengan naskah lainnya, pasal Schwabch dan
Torgau dibawa serta ke Augsburg. Keadaan juga memerlukan kejelasan dalam
pernyataan itu bahwa golongan Lutheran tidak dapat disamakan begitu saja dengan
semua penentang-penentang lainnya kepada Gereja Roma, pertimbangan pertimbangan
lain hendaknya ditekakkan persetujuan dengan Roma daripada perbedaan dengan
Gereja Roma. Semua faktor-faktor ini berperanan dalam penentuan ciri dari
naskah yang akan dipersiapkan oleh Philip Melanthon. Pasal Schwabach ini merupakan
dasar utama dari bagian pertama dan Pasal Torgau merupakan dasar utama dari
dari bagian kedua dari apa yang kemudian disebut Konfesi Augsburg. Nasehat
Luther diminta melalui korespondesi, tetapi penambahan dan perbaikan diadakan
terus sampai pada hari menjelang penyerahan resmi kepada Raja pada tanggal 25
Juni 1530.
Setelah penandatangan oleh tujuh orang pangeran dan
dua utusan dari kota otonom, Konfesi itu menjadi hal yang penting sebagai
pernyataan kepercayaan yang umum. Sesuai dengan perintah Kaesar, nats konfesi
itu dipersiapkan dan diserahkan dalam bahasa Jerman dan Latin. Dalam sidang
dibacakan dalam bahasa Jerman, karena dianggap lebih resmi, Sayang, kini tidak
ada satupun didapati dari aslinya baik dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Latin
yang diserahkan dahulu.
Namun demikian, lebih dari limapuluh naskah yang berasal dari tahun 1530 telah diperoleh termasuk beberapa konsep yang menunjukkan berbagai- bagai tahap dalam persiapan sebelum tanggal 25 Juni dan juga beberapa salinan yang mengandung perobahan perobahan dalam rumusan kata-kata yang baru, setelah tanggal 25 Juni. Salinan-salinan ini merupakan bahan studi yang kritis dan memakan waktu yang lama bagi pihak para ahli, dan disusunlah kembali suatu nats berbahasa Jerman dan beberapa bahasa Latin yang dapat dianggap keasliannya, mirip sekali, meskipun tidak dapat dikatakan sama dengan naskah yang diserahkan kepada Kaisar. Diantara kedua naskah itu, ada perbedaan dan karena itu kedua-duanya dimuat dalam terjemahan yang berbahasa Jerman sebelah atas dan berbahasa Latin sebelah bawahnya.[8]
3.1.2.
Berdirinya Gereja HKI Suka Makmur, Singkil – Aceh
Semula gereja HKI Suka Makmur adalah gereja HKBP, awal mula lahirnya gereja ini dipicu dengan sebuah peristiwa, dimana ketika itu pada tanggal 15 bulan maret tahun 1978 seorang anak Jemaat HKBP meninggal dunia, yaitu anak dari amang St. D. Berutu. Pendeta yang ketika itu melayani lebih mendahulukan rapat di sebuah kampung, sehingga dilakukan dan dilayani secara terburu-buru oleh sintua lainnya. Setelah acara penguburan, yaitu keesokan harinya, 16 Maret 1978 diadakan sebuah musyawarah yang dipelopori oleh St. D.Berutu, St.Lemat, St. Durea Berutu, dan Medal Berutu untuk membentuk suatu perkumpulan kebaktian dengan dibawah naungan gereja Huria Kristen Indonesia, mereka segera mendaftarkan jemaat ke Praeses Daerah V, yang berada di Tapanuli Tengah. Pelayan yang pertama melayani ditempat tersebut adalah Evangelis.St. B. Banurea.[9]
3.1.3.
Nangroe
Aceh Darussalam
Aceh atau secara resmi, Nangroe Aceh
Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa yang terletak di Pulau Sumatra. Secara
geografis Aceh terdiri atas 9 kabupaten, 2 kodya, 3 kotip, 142 kecamatan dan
5463 desa. Luas wilayahnya adalah 57,365.57 km per segi atau merangkumi 12.26%
pulau Sumatra persegi, yang meliputi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan
status daerah istimewa. Aceh terletak di barat laut Sumatra[10]. Aceh mempunyai lahan
hutan terluas yaitu mencapai 39.615.76 km persegi, diikuti lahan perkebunan
kecil seluas 3.135.22 km persegi, sedangkan lahan pertambangan mempunyai luas
terkecil yaitu 4,42 km persegi. Aceh mempunyai luas perairan 56.563 km persegi
yang terdiri dari laut teritorial 23.563 km persegi dan perairan laut dalam
33.000 km persegi. Di samping zona ekslusif ekonomi (ZEE) 200 mil dari pantai.[11]
Indonesia telah mengalami beberapa konflik
internal, beberapa konflik horisontal dan ada juga konflik vertikal salah satu
konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik Aceh. Konflik di Aceh
merupakan konflik vertikal yang cukup panjang yang terjadi selama
bertahun-tahun karena adanya kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sejak dari tahun 1945 sampai dengan terjadinya perdamaian pada tahun 2005,
konflik Aceh telah banyak menelan korban akibat pertempuran antara militer dan
tentara GAM. Gerakan Aceh Merdeka yang menuntut pemisahan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, tidak mendapat tanggapan dari pemerintah.
Perlawanan yang dilakukan oleh GAM, ditanggapi pemerintah Indonesia dengan
mengirimkan tentara untuk menaklukkan pemberontak di Aceh.[12]
Konflik Aceh terus bergejolak mulai sejak
Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan
terakhir pada Susilo Bambang Yudhoyono, konflik antara pemerintah Indonesia dan
Aceh dapat diselesaikan melalui nota kesepakatan antara pemerintah Republik
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (perjanjian Helsinki). Dengan
diberikannya otonomi khusus Aceh melalui dasar nota kesepakatan antara
pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (perjanjian Helsinki)
yang dirasa akan menghentikan gejolak separatisme memang dirasa berhasil namun
ada permasalahan baru lagi yang timbul dimana pemberian otonomi khusus
kekuasaannya terlalu berlebihan.[13]
3.2.Pokok Ajaran Kepercayaan
dan Pengajaran Konfesi Augsburg Pasal
XVI dan Dasar Hukum Pendirian Gereja Menurut Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016
3.2.1.
Pokok Kepercayaan
dan Pengajaran Konfesi Augsburg 1530
Pasal XVI
Gereja
kami mengajarkan bahwa peraturan serta undang-undang sipil adalah perbuatan
baik bagi Allah. Gereja kami mengajarkan bahwa orang Kristen boleh menduduki
jabatan pemerintahan, bertugas sebagai hakim-hakim, membuat keputusan-keputusan
dan menjatuh- kan hukuman sesuai dengan undang-undang kekaisaran dan undang-
undang lainnya yang berlaku, melaksanakan hukuman mati atas para penjahat, ikut
berperang untuk menegakkan keadilan, menjadi serdadu, berniaga, mengangkat
janji bila perlu, memiliki harta, berke-luarga dan sebagainya (Rm 13; 1Kor.
7:2).[14]
Gereja kami mengutuk kaum Anabaptis yang menolak jabatan politik bagi orang
Kristen. Gereja kami juga mengutuk mereka yang mengajarkan, bahwa demi
kesempurnaan Kristen, orang harus meninggalkan rumah dan keluarga, anak istri,
serta menolak kegiatan- kegiatan politik. Karena Injil mengajarkan kebenaran
kekal di dalam hati (Rm. 10:10), Pada waktu bersamaan, Injil tidak mengajarkan
penolakan pemerintah sipil atau keluarga. Injil sangat menghendaki supaya semua
hal itu dipelihara sebagai ketentuan-ketentuan Allah yang benar, dan setiap
orang, sesuai dengan panggilannya sendiri, mewujudkan kasih dan perbuatan baik
dalam semua hal itu. Karena itu, orang Kristen wajib tunduk kepada pemerintah
dan undang- undangnya. Kecuali mereka memerintahkan untuk berbuat dosa. Kita
harus lebih taat kepada Allah dari pada
kepada manusia (Kis. 5:29)[15]
3.2.2.
Dasar Hukum Pendirian Rumah Ibadah Menurut Qanun Aceh
Nomor 4 Tahun 2016
BAB V[16]
SYARAT PENDIRIAN TEMPAT IBADAH
Pasal 13
(1) Pendirian Tempat Ibadah didasarkan pada
kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi
pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah Gampong atau nama lain.
(2) Pendirian Tempat Ibadah dilakukan dengan tetap
menjaga kerukunan umat beragama, sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundangundangan.
(3) Dalam hal kebutuhan nyata bagi pelayanan umat
beragama di wilayah Gampong atau nama lain sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
terpenuhi pertimbangan komposisi jumlah penduduk, digunakan batas wilayah
Kecamatan dalam wilayah Aceh.
Pasal
14
(1) Pendirian Tempat Ibadah harus memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pendirian Tempat Ibadah harus memenuhi persyaratan
khusus meliputi:
a. daftar
nama paling sedikit 140 (seratus empat puluh) orang penduduk setempat sebagai
pengguna Tempat Ibadah yang bertempat tinggal tetap dan dibuktikan dengan Kartu
Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat batas wilayah;
b. dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 110 (seratus sepuluh puluh) orang yang bukan
pengguna Tempat Ibadah disahkan oleh Keuchik atau nama lain;
c. rekomendasi
tertulis dari Keuchik atau nama lain setempat;
d. rekomendasi
tertulis dari Imuem Mukim atau nama lain setempat;
e. rekomendasi
tertulis Camat, Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat;
f. surat
keterangan status tanah dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat;
g. rencana
gambar bangunan yang disahkan oleh Instansi Teknis yang berwenang di Kabupaten/Kota setempat;
h. keputusan tentang susunan pengurus/panitia pembangunan Tempat
Ibadah yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang;
i. rekomendasi
tertulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota; dan
j. rekomendasi
tertulis FKUB Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal pemberian rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, huruf i, dan huruf j
bersifat berdiri sendiri dan tidak memiliki keterhubungan antara satu dengan
yang lain.
(4) Kartu Tanda Penduduk dan Kartu keluarga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a hanya berlaku untuk pendirian 1
(satu) Tempat Ibadah.
(5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan huruf b terpenuhi sedangkan persyaratan huruf c
sampai dengan huruf j belum terpenuhi, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan Tempat Ibadah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung Tempat Ibadah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal
15
Rekomendasi FKUB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf j merupakan hasil musyawarah
mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pasal
16
(1) Permohonan izin pendirian Tempat Ibadah
diajukan oleh
Panitia Pembangunan
Tempat Ibadah kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh izin pendirian Tempat
Ibadah.
(2) Khusus izin pendirian Tempat Ibadah di Ibu
kota Aceh diberikan oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi Walikota Banda Aceh.
(3) Gubernur dan Bupati/Walikota memberikan
keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan
pendirian Tempat Ibadah diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).
(4) Gubernur dan Bupati/Walikota memberikan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dalam bentuk:
a. persetujuan;
b. penangguhan; atau
c. penolakan.
Pasal
17
Pemerintah Kabupaten/Kota
memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung Tempat Ibadah yang
telah memiliki izin pendirian Tempat Ibadah dan Izin Mendirikan Bangunan yang
dipindahkan karena perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah.
Pasal
18
Gubernur dan
Bupati/Walikota wajib menertibkan dan/atau melarang penggunaan bangunan untuk
Tempat Ibadah yang tidak memiliki izin.
Pasal
19
Dalam rangka penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 18, tidak berlaku untuk pendirian Tempat Ibadah umat Islam.
3.3.Tinjauan Dogmatis Hubungan HKI Suka Makmur –
Singkil,Aceh dalam menjalin hubungan
kepada Pemerintah untuk memperoleh IMB Gereja dengan Pokok
Kepercayaan dan Pengajaran Konfesi Augsburg 1530 Pasal XVI
Kuasa apapun, dalam pandangan iman
Alkitab, termasuk kuasa yang dimiliki oleh pemerintahan duniawi adalah berasal
dari Allah, yang adalah Pencipta dan Penguasa atas bangsa-bangsa serta Tuhan atas
sejarah dunia. Dengan demikian suatu negara atau pemerintah
terbentuk,pertama-tama, oleh karena ada kuasa yang diberikan dari atas,
sebagaimana dikatakan oleh Yesus Kristus kepada Pilatus, “Engkau tidak
mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu
dari atas” (Yoh. 19:11). Negara ada tidak semata-mata karena keinginan manusia
tetapi karena Allah menghendakinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul
Paulus:“... sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan
pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1). Meskipun
demikian, tidak dapat dikatakan bahwa setiap bentuk pemerintahan yang ada di
dunia ini selalu sesuai dengan kehendak Allah. Yang ditekankan di sini adalah
kuasa yang dimiliki oleh setiap bentuk apapun pemerintahan yang ada di dunia
ini semuanya berasal atau bersumber dari Allah.[17]
Dalam perjalanan HKI Suka Makmur untuk memperoleh IMB
gereja, banyak permasalahan dan tantangan yang dihadapi gereja HKI Suka Makmur,
adapun beberapa permasalahan tersebut ialah:
Pergumulan HKI Suka makmur sangatlah berat, belum lagi
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2015 Bab V Pasal 19 “Dalam rangka penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antar umat beragama, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 sampai dengan Pasal 18, tidak berlaku untuk pendirian Tempat Ibadah umat
Islam.” Sungguh sangat mendiskriminasi kalangan umat Kristen yang berada di
Kabupaten Aceh Singkil, khususnya HKI Suka Makmur.[18]
HKI Suka Makmur dalam perjuangan membangun dan
mendapatkan IMB gereja sangat memegang kuat ajaran-ajaran HKI, hal ini sangat
sejalan dengan apa yang tertuang dalam ajaran Huria Kristen Indonesia di
Konfesi Augsburg 1530 tentang bagaimana seharusnya Gereja dan Pemerintah dalam
menjalin hubungan.Meskipun perlakuan yang diterima oleh kalangan umat Kristen
berat, khususnya gereja HKI Suka Makmur – Singkil, Aceh.[19]
Sikap yang dominan dari gereja atau jemaat mula-mula
di masa PB dalam relasinya terhadap negara atau pemerintah pada waktu itu
adalah penerimaan (acceptance) dan ketaatan (obedience). Gereja mempunyai sikap
ini karena percaya bahwa negara ada di dalam dunia untuk melakukan tugas
pemeliharaan ilahi. Sikap gereja ini direpresentasikan secara utama dalam
pandangan teologi Rasul Paulus (Rm. 13:1-7) dan Rasul Petrus (1Ptr. 2:13-14).
Dua pandangan teologi ini terlihat sangat jelas dan fokus dalam mengatur sikap
gereja dalam relasinya dengan negara di PB. Alasan-alasan untuk mengambil sikap
penerimaan dan ketaatan sedikitnya didasari oleh dua hal. Pertama, karena
gereja pada waktu itu ada dalam posisi minoritas dan kebanyakan dari kelompok
masyarakat kelas bawah yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa; kedua, karena
gereja mengira bahwa kedatangan Kristus yang kedua kali akan terjadi dalam
waktu yang dekat.[20]
Gereja berharap bahwa zaman waktu itu segera berlalu
dan Kerajaan Allah datang segera. Konsekuensi dari sikap tersebut adalah bahwa
gereja pada waktu itu cenderung untuk tidak mempunyai sikap lain selain
ketaatan kepada negara. Jika negara tidak melakukan tugasnya dengan baik
sebagai hamba Allah dan malahan bertindak sewenangwenang maka gereja pada waktu
itu percaya bahwa Tuhan Allah sendiri yang akan datang segera mengakhiri zaman
waktu itu melalui merealisasikan Kerajaan-Nya.
Sikap penerimaan dan ketaatan menjadikan gereja mempunyai sikap untuk
tunduk kepada negara sekalipun gereja mengalami penganiayaan yang teramat
berat. Penganiayaan akan berakhir dengan sendirinya dan gereja dianjurkan untuk
tetap berbuat baik supaya melalui perbuatanperbuatan baik mereka dapat
membungkamkan kepicikan orangorang yang bodoh (1Ptr. 2:15).[21]
Saat ini juga Jemaat dan penduduk Kristen yang tinggal
di wilayah Kabupaten Aceh Singkil akan menghadapi ketakutan, dimana telah
dikeluarkannya surat Bupati Aceh Singkil Nomor 450/1168 tanggal 1 September
2020 tentang Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 18 tahun 2015 tentang bangunan
Gedung Pasal 10 ayat (1) dan (2) bahwa setiap bangunan gedung harus memiliki
persyaratan administrasi,meliputi: status hak atas tanah, izin pemanfaatan dari
pemegang ha katas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan IMB.Sehingga
bukan hanya rumah ibadah namun tempat tinggal pun masyarakat Kristen akan
mengalami kesulitan.[22]
3.3.1.
Penjabaran
Pasal XVI Konfesi Augsburg 1530 BAB I
Sebab Pasal XVI tidak bisa lepas dari ADK. Maka dalam hal
ini, kita menyetujui isi pasal XVI tersebut adalah menjelaskan hubungan gereja
dengan negara. Walaupun Melanchthon punya andil besar dalam Konfesi Augsbur
yang sudah dijelaskan dilatar belakang. Pikiran Luther-lah yang dipakainya
untuk menerangkan pasal XVI.
Pikiran Luther tentang hubungan ini dilandasi oleh teologi
Abad Pertengahan yang sudah ada di gereja itu sendiri. Teologi Abad Pertengahan
membagi kehidupan dalam dua tingkatan yaitu temporal
dan spiritual. Katolisisme Abad
Pertengahan memandang perbedaan yang fundamental antara “tingkatan spiritual”
dan “tingkatan temporal”. Luther menyatakan bahwa perbedaan ini kosong dan
tidak mempunyai arti, suatu rekaan manusia, bukan suatu ketetapan dari Allah.
Jadi, setelah menghapuskan perbedaan dari Abad Pertengahan antara tingkatan
“temporal” dan “spiritual”, Luther melanjutkan untuk mengembangkan suatu teori
alternatif tentang bidang-bidang kekuasaan yang didasarkan atas suatu perbedaan
antara “Dua Kerajaan” atau “Dua Pemerintahan.” Ajaran tentang “Dua Kerajaan”
inilah yang sangat penting bagi pemikiran sosial Luther dan yang sekarang ini
menjadi pusat perhatian kita.[23]
Luther menarik suatu perbedaan antara
pemerintahan “spiritual” dan “duniawi” atas masyarakat. Pemerintahan
“spiritual” dari Allah diberlakukan melalui Firman Allah dan tuntunan Roh
Kudus. Pemerintahan “duniawi” dari Allah diberlakukan melalui raja-raja,
pangeran-pangeran dan hakim-hakim, dengan mempergunakan pedang dan hukum
negara. Dengan demikian, kewenangan spiritual dari gereja bersifat membujuk
(persuasif), tidak memaksa, dan menyangkut jiwa seorang individu daripada
tubuhnya atau harta miliknya. Sedangkan kewenangan temporal (baca: duniawi)
dari negara bersifat memaksa daripada membujuk serta menyangkut tubuh dan harta
milik seorang individu daripada jiwanya. Luther juga memperkuat kewenangan
politis dunia dengan melandaskannya di dalam pemeliharaan ilahi. Allah
memerintah dunia, termasuk gereja, melalui pangeran-pangeran dan hakim-hakim.
Gereja berada di dalam dunia dan dengan demikian harus menundukkan dirinya pada
peraturan dari dunia.[24]
Dalam apologi Konfesi Augsburg, dituliskan bahwa [3] Injil tidak memperkenalkan
suatu peraturan yang baru tentang pemerintahan umum, tetapi memerintahkan kita
untuk mematuhi undang-undang yang berlaku, tidak soal apakah itu buatan kafir
atau yang lain, dan dalam kepatuhan ini kita harus melakukan kasih.[25]
Dalam hal ini, pastinya apa yang dicetuskan oleh Martin Luther telah
menjadi obyek kritik yang hebat. Etika sosial Luther telah dijelaskan sebagai
bersifat mengalah (defeatis) dan
menolak aksi (quietist) yang
selanjutnya mendorong orang Kristen untuk membiarkan (atau sekurangnya tidak
menentang) struktur-struktur sosial yang tidak adil.[26]
Hal senada dikatakan oleh Mangisi, secara etis Luther menuntut kepatuhan mutlak
kepada pemerintah. Tetapi sebenarnya doktrin ini mengandung konsekuensi yang
sangat luas, a.l. sejauh mana orang Kristen akan toleran (setia) pada kekuasaan
yang menindas? Apakah kepatuhan yang dimaksudkan dalam Roma 13: 1-7 adalah
keputusan mutlak atau masih terbuka kepada penafsiran? Jawabnya terletak pada
pemahaman teologis Kristen bahwa Paulus berbicara tentang penghindaran anarki
dan pembangunan kepentingan damai di tengah masyarakat. Tindakan etis di sini
sosio-kultural dan politis, sebab tidak ada manusia yang tidak mempunyai
keterikatan dengan kultur dan politik.[27]
3.4. Refleksi Teologis
“HKI
Suka Makmur selalu mengabdi kepada Allah dan Pemerintah” ada
beberapa kebenaran yang tersirat dari frase ini: Pertama, bahwa kita
harus takluk kepada penguasa sebab mereka adalah mewakili Allah. Bila
menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan manusia yang
sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan sendiri.
Kedua, bahwa Keberadaan pemerintah berdasar pada ketetapan Allah.
Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa orang atau golongan tertentu merupakan
keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan pada kesaktian seseorang yang
dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata atau
kemauan rakyat semata-mata.
Persoalannya
adalah, yang duduk dalam pemerintahan seharusnya adalah orang-orang yang
pantas, yang mengusahakan kesejahteraan masyarakat, namun kenyataannya, tidak
ada pemerintahan yang baik. Pemerintah dipilih oleh manusia, dari kelompok
tertentu, dan ada rekayasa politik di dalamnya sehingga terpilihlah orang-orang
yang tidak layak yang mengusahakan kepentingan sendiri, kebutuhan
keluarga.
Ternyata ini bukan masalah zaman ini saja. Orang Roma termasuk Paulus juga mengalami pemerintahan yang tidak kalah buruknya, tapi dalam suratnya Paulus tetap menggunakan kalimat imperatif, “harus”, Seakan-akan untuk orang Kristen tidak ada pilihan. Tuhan mengijinkan berjalannya pemerintahan yang kurang baik supaya orang Kristen dapat menunjukan perannya lebih baik baik di dalam doa dan juga dalam tindakan. Kebenaran bahwa pemerintah berasal dan ditetapkan Allah tidak bisa direvisi, sehingga kita harus tetap hormat kepada mereka. Ini memang sebuah misteri Allah, di satu sisi Allah menetapkan pemerintahan dan meminta kita taat dan hormati, di sisi lain pemerintahan yang ada tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun orang Kristen harus puas dengan misteri itu, demikian dalam ajaran HKI di dalam Konfesi Augsburg 1530 tentang bagaimana sikap gereja terhadap pemerintahan. Bahwa HKI Suka Makmur benar-benar menjalankan pemahaman Konfesi Augsburg 1530, apapun yang telah dilakukan pemerintahan Aceh, HKI Suka Makmur terus menaati pemerintah dan menekankan jalan perdamaian.
IV.
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka
kita peroleh beberapa kesimpulan penting yang dapat kita pegang sebagai
kebenaran yang bersumber dari iman Kristen, antara lain:
1. Kewenangan
yang terlalu berlebihan di otonomi khusus Aceh adalah soal nota kesepakatan
antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, dimana dalam
partisipasi politik di nota kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka menunjukan bahwa kewenangan kepala pemerintahan
memiliki kewenangan yang luas dan muktlak. Kewenangan otonomi khusus yang
terlalu berlebihan, tentang kewenangan menggunakan asas Islam dan kewenangan
menjalankan syariat Islam, sistem rekrutmen khusus dengan membuka parpol lokal
serta memilih calon-calon independen untuk mengisi jabatan publik, pemberian
ruang yang besar dalam hubungan luar negeri, pengakuan dalam pemerintahan adat
dan serta kekhususan dalam pembangunan rumah ibadah. Hal inilah yang
menyebabkan kuatnya Qanun Aceh diterapkan dibandingkan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia, sehingga Gereja dan masyarakat Kristen dipaksa untuk tunduk
dan taat terhadap Qanun Aceh bukan lagi Undang-Undang Republik Indonesia.
2. Sebelum
terjadi peristiwa pembakaran HKI Suka Makmur pemberitahuan pemerintah bahwa
yang ada hanyalah pembongkaran, tetapi HKI Suka Makmur tidak dirobohkan oleh
pihak berwajib sesuai prosedur resmi, melainkan dibakar massa. “Para polisi diam saja, hari itu,
penghianatan pemerintah jelas dipertontonkan” Empat orang terluka dalam
bentrokan fisik yang menyusul kejadian itu. Satu orang lainnya meninggal, dan
sebanyak 1.900 penduduk beragama Kristen kemudian meninggalkan Singkil karena
takut. Banyak dari mereka tidak memiliki tujuan, dan berakhir menjadi pengungsi
domestik di berbagai wilayah Sumatera Utara.
3. Gereja HKI telah menyatakan dalam Sinodenya, sebagaimana
tertulis di dalam Tata Gereja HKI sebagai berikut: "HKI berpedoman kepada
Pengakuan Iman Apostolicum, Niceanum, Athanasianum, dan Konfesi Augsburg
1530" (Tata Gereja HKI tahun 2005, Pasal 6). Ini berarti, bahwa kita
sebagai Warga HKI, non Pendeta atau Pendeta telah menjadikan Konfesi Augsburg
ini sebagai Pengakuan Iman kita secara pribadi. Kita telah menerima Konfesi
Augsburg sebagai ringkasan penjelasan Firman Allah yang benar dan kita telah
mengikatkan diri kepadanya. Karena Konfesi Augsburg itu dirumuskan sesuai
dengan Firman Allah, dengan demikian kita telah mengikrarkan bahwa kita akan
membaca dan menafsirkan Alkitab sesuai dengan Konfesi Augsburg, kita akan
mengkhotbahkan, mengajarkan Konfesi Augsburg sebagai "doktrin umum
(publica doctrina)" Gereja HKI. Kita telah mengikatkan diri kepada Konfesi
Augsburg sebagai dokumen yang menyatakan kebenaran Firman Allah.
V.
Daftar
Pustaka
a. Sumber Buku
…, Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap
Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: Kontras, 2006
…, Ajaran Huria
Kristen Indonesia Selaku Huria Lutheran, P.Siantar: Huria Kristen Indonesia, 2013
…, KONFESI
AUGSBURG, Medan: CV.Tried Rogate, 1970
Brownlee
Malcolm, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis Bagi Pekerjaan
Kristen dalam Masyarakat , Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993
Gardner
E. Clinton, Biblical Faith and Social
Ethics, New York: Harper and Row
Husin
Zulkifli, Keadaan Sosial Ekonomi dan
Pengembangan Masyarakat Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala dan Jakarta
McGrath Alister
E. Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2016
Sihbudi Riza, Bara Dalam Sekam: Identifikasi akan Masalah dan Solusi Atas
KonflikKonflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, Bandung: Mizan 2001
Syamsuddin
Nazaruddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1987
Simorangkir Mangisi S.E., Ajaran Dua Kerajaan dan Relevansinya di
Indonesia, Bandung: Penerbit Satu-satu, 2011
Tappert, Theodore G., Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, peny. Mangisi S.E. Simorangkir , Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200
b. Sumber
Undang-Undang
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Bab V
c. Sumber
Wawancara
Wawancara dengan Kepala Desa Suka Makmur Bpk Salmen
Berutu pada tanggal 29 Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 12.02 – 14.29 di Rumah
Kediaman Bpk.Salmen Berutu, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Wawancara dengan Lamijar Tumangger pada tanggal 29
Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 21.40 – 22.58 di Rumah Kediaman Bpk.Lamijar
Tumangger, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Wawancara dengan Pdt. Ester Naibaho,S.Th pada tanggal
30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 – 12.16 di Rumah Dinas HKI Suka
Makmur, Singkil-Aceh.
Wawancara dengan Pdt. Ester Naibaho,S.Th pada tanggal
2 september 2020 hari Kamis, pukul 12.08 – 12.16 Via Telepon
Wawancara dengan St, Masariani Berutu pada tanggal 29
Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 20.15 – 21.20 di Rumah Kediaman St. Masariani,
Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
Wawancara dengan St Rasmen Manik pada tanggal 29 Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 18.14 – 19.07 di Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[1] Wawancara dengan Pdt. Ester
Naibaho,S.Th pada tanggal 30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 – 12.16 di
Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[2] Wawancara dengan Pdt. Ester Naibaho,S.Th
pada tanggal 30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 – 12.16 di Rumah Dinas
HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[3] Wawancara dengan Lamijar
Tumangger pada tanggal 29 Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 21.40 – 22.58 di Rumah
Kediaman Bpk.Lamijar Tumangger, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[4] Wawancara dengan St, Masariani
Berutu pada tanggal 29 Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 20.15 – 21.20 di Rumah
Kediaman St. Masariani, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[5] Wawancara dengan Kepala Desa Suka
Makmur Bpk Salmen Berutu pada tanggal 29 Agustus 2020 hari Sabtu, pukul 12.02 –
14.29 di Rumah Kediaman Bpk.Salmen Berutu, Desa Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[6] Wawancara dengan St Rasmen
Manik pada tanggal 29 Agustus 2020 hari
Sabtu, pukul 18.14 – 19.07 di Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[7] …, Ajaran Huria Kristen Indonesia Selaku Huria Lutheran, (P.Siantar: Huria Kristen Indonesia, 2013), 8
[8] …, Ajaran Huria Kristen Indonesia
Selaku Huria Lutheran, (P.Siantar: Huria
Kristen Indonesia, 2013), 9
[9] Wawancara dengan Pdt. Ester
Naibaho,S.Th pada tanggal 30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 – 12.16 di
Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[10] Riza Sihbudi, Bara Dalam Sekam:
Identifikasi akan Masalah dan Solusi Atas KonflikKonflik Lokal di Aceh, Maluku,
Papua, dan Riau, (Bandung: Mizan 2001), 31
[11] Zulkifli Husin, Keadaan Sosial Ekonomi dan Pengembangan
Masyarakat Nelayan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala dan Jakarta), 8
[12] Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), 70
[13] …, Aceh Damai
dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006),
154.
[14] …, KONFESI
AUGSBURG, (Medan: CV.Tried Rogate, 1970), 23
[15] …, KONFESI
AUGSBURG, (Medan: CV.Tried Rogate, 1970), 24
[16] Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Bab
V
[17] Malcolm Brownlee,
Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan:
Dasar Teologis Bagi Pekerjaan Kristen dalam Masyarakat , (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993), 48
[18] Wawancara dengan Pdt. Ester
Naibaho,S.Th pada tanggal 30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 – 12.16 di
Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[19] Wawancara dengan Pdt.
Ester Naibaho,S.Th pada tanggal 30 Agustus 2020 hari Minggu, pukul 10.11 –
12.16 di Rumah Dinas HKI Suka Makmur, Singkil-Aceh.
[20] E. Clinton Gardner, Biblical Faith and Social Ethics, (New
York: Harper and Row), 312.
[21] E. Clinton Gardner, Biblical Faith and Social Ethics, 313
[22] Wawancara dengan Pdt. Ester Naibaho,S.Th pada tanggal
2 september 2020 hari Kamis, pukul 12.08 – 12.16 Via Telepon
[23] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2016), 267-269.
[24] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, 269-272.
[25] Theodore G. Tappert, Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran,
peny. Mangisi S.E. Simorangkir,(Jakarta: BPK Gunung Mulia,2004), 270.
[26] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, 273.
[27] Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan dan Relevansinya di
Indonesia, 183.
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment