ARTIKEL MKI : DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9
© [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.
Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.
Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9
Nomor : eAMK260925004
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Narasi air bah (Kejadian 6–9) merupakan
salah satu kisah paling monumental dalam Perjanjian Lama. Peristiwa ini
menggambarkan penghukuman Allah terhadap dunia yang dipenuhi kekerasan dan
dosa, namun sekaligus membuka jalan bagi karya pemulihan melalui perjanjian
dengan Nuh. Perjanjian ini menandai pergeseran fundamental dari murka menuju
kasih karunia, dari penghukuman menuju pemulihan.
Kejadian 9 khususnya memuat janji Allah
untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah, serta memperkenalkan simbol
pelangi sebagai tanda perjanjian kosmik. Perikop ini memiliki nilai teologis
yang mendalam, bukan hanya dalam konteks historis, tetapi juga dalam pemahaman
soteriologi Kristen.
Tulisan ini hendak menelaah Kejadian 9 dalam perspektif soteriologi, dengan menekankan bahwa karya keselamatan Allah tidak pernah berhenti pada penghukuman, melainkan berujung pada pemulihan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana konteks penghukuman dalam
narasi air bah?
Bagaimana pemulihan dipahami dalam
perjanjian Allah dengan Nuh?
Apa dimensi soteriologis yang terkandung
dalam Kejadian 9?
Bagaimana relevansi teologisnya bagi umat Kristen masa kini?
1.3 Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk:
Menganalisis konteks penghukuman dalam
Kejadian 6–9.
Mengkaji perjanjian Allah dengan Nuh
sebagai inisiatif pemulihan.
Menarik implikasi soteriologis dari
Kejadian 9.
Merelevansikan pesan teologisnya dengan kehidupan iman Kristen masa kini.
1.4 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian
teologis-biblis dengan metode:
Analisis
historis-kritis
terhadap konteks Kejadian 9.
Kajian
literatur terhadap
tafsiran teolog dan komentator Alkitab.
Sintesis
teologis dalam
perspektif soteriologi.
Refleksi kontekstual bagi kehidupan iman masa kini.
II. KAJIAN LITERATUR
2.1 Tafsiran Tradisional
Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen
awal, Kejadian 9 dipahami sebagai bukti kesetiaan Allah untuk menjaga ciptaan.
Rabi-rabi Yahudi menekankan dimensi etis dari perjanjian ini, seperti larangan
menumpahkan darah (Kej. 9:6).
2.2 Tafsiran Reformatoris
Martin Luther melihat pelangi sebagai
tanda nyata kasih karunia Allah yang menahan murka-Nya terhadap dunia[1]. John Calvin menekankan
universalitas perjanjian ini, yang berlaku bagi seluruh umat manusia, bukan
hanya bagi Israel[2].
2.3 Tafsiran Teologi Modern
Gerhard von Rad menyebut perjanjian Nuh
sebagai “perjanjian kosmik yang bersifat unilateral” di mana Allah sendiri yang
mengikat janji tanpa syarat manusia[3]. Karl Barth melihatnya
sebagai fondasi awal seluruh sejarah keselamatan, yang mencapai puncaknya dalam
Kristus[4].
2.4 Kajian Kontemporer
Christopher Wright menggarisbawahi dimensi misiologis dan ekologis Kejadian 9: bahwa Allah peduli bukan hanya pada manusia, melainkan pada seluruh ciptaan5[5].
III. KONTEN NARASI KEJADIAN 9
3.1 Struktur Narasi
Kejadian 9 dapat dibagi menjadi tiga
bagian utama:
Pemberian
mandat kepada Nuh
(ayat 1–7).
Perjanjian
Allah dengan Nuh
(ayat 8–17).
Kisah
Nuh dan anak-anaknya
(ayat 18–29).
Bagian yang menjadi fokus soteriologis adalah perjanjian Allah (ayat 8–17).
3.2 Dimensi Etis: Mandat Hidup
Allah memerintahkan Nuh untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” (ay. 1). Hal ini menunjukkan kesinambungan ciptaan dan pengulangan mandat budaya Kejadian 1:28.
3.3 Dimensi Kosmik: Perjanjian dan Pelangi
Pelangi (Ibrani: qeshet) adalah simbol perang yang dibalikkan. Dalam arti simbolis, Allah “menggantung busurnya di awan” sebagai tanda Ia menahan murka-Nya[6].
IV. DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN
4.1 Realitas Penghukuman
Air bah membuktikan keadilan Allah terhadap dosa. Penghukuman bukan sekadar tindakan destruktif, melainkan cara Allah menegakkan kekudusan-Nya.
4.2 Pemulihan sebagai Inisiatif Allah
Pemulihan tidak lahir dari usaha manusia. Nuh diselamatkan karena kasih karunia Allah (Kej. 6:8). Perjanjian pasca-air bah menegaskan inisiatif ilahi yang unilateral.
4.3 Soteriologi dalam Perspektif Perjanjian
Soteriologi Perjanjian Lama memandang keselamatan sebagai shalom—pemulihan relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Perjanjian Nuh adalah bentuk awal dari soteriologi ini.
V. DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9
5.1 Keselamatan Preventif
Janji Allah untuk tidak lagi memusnahkan
bumi dengan air bah (ay. 11) menunjukkan karya penyelamatan yang bersifat
preventif. Allah menahan murka demi keberlangsungan hidup manusia[7].
5.2 Keselamatan Kosmik
Perjanjian meliputi manusia, hewan, dan
seluruh ciptaan (ay. 10). Hal ini menegaskan bahwa keselamatan dalam Alkitab
bersifat kosmik, bukan sekadar individual[8].
5.3 Keselamatan Eskatologis
Pelangi menunjuk pada pengharapan eskatologis. Dalam Perjanjian Baru, Rasul Petrus menafsirkan air bah sebagai tipe baptisan yang membawa pemulihan dalam Kristus (1Ptr. 3:20–21)[9].
VI. RELEVANSI BAGI TEOLOGI MASA KINI
6.1 Kesadaran akan Dosa dan Murka Allah
Manusia modern cenderung mengabaikan realitas dosa. Kejadian 9 mengingatkan bahwa dosa memiliki konsekuensi serius di hadapan Allah.
6.2 Hidup dalam Kasih Karunia
Keselamatan adalah anugerah Allah. Respons manusia seharusnya berupa syukur dan ketaatan.
6.3 Dimensi Ekoteologi
Karena perjanjian Allah mencakup seluruh ciptaan, umat Kristen dipanggil untuk merawat bumi. Soteriologi Kristen harus mencakup dimensi ekologis.
VII. PANDANGAN PENULIS
Sebagai penulis, saya melihat bahwa Kejadian 9
merupakan salah satu teks kunci dalam membangun pemahaman teologi keselamatan
yang utuh. Narasi pasca-air bah bukan hanya kisah historis yang bersifat
etiologis, melainkan juga memiliki bobot teologis yang terus berbicara
melintasi zaman.
Pertama,
saya memandang bahwa teks ini menegaskan keseimbangan antara keadilan dan kasih
Allah. Air bah menyingkapkan keadilan Allah dalam menghadapi dosa, namun
perjanjian dengan Nuh menyingkapkan kasih-Nya yang tidak pernah membiarkan
manusia binasa seluruhnya. Keseimbangan ini penting, karena pemahaman
soteriologi Kristen yang sehat harus mengakui realitas dosa dan murka Allah,
sekaligus mengakui anugerah-Nya yang memulihkan.
Kedua,
saya meyakini bahwa dimensi kosmik dari perjanjian Nuh memberi warna baru dalam
pemahaman keselamatan. Keselamatan tidak boleh direduksi hanya pada aspek
personal-eskatalogis (pengampunan dosa individu dan hidup kekal), tetapi juga
harus dipahami dalam kerangka pemulihan ciptaan. Hal ini semakin relevan dalam
konteks krisis ekologis global saat ini, di mana teologi keselamatan mesti juga
berbicara tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi.
Ketiga,
dalam perspektif iman Kristen, saya melihat bahwa janji dalam Kejadian 9
menemukan penggenapan akhirnya dalam Yesus Kristus. Pelangi yang menjadi tanda
perjanjian hanyalah bayangan dari karya salib yang menjadi tanda pemulihan
sejati. Dengan demikian, Kejadian 9 bukan sekadar kisah lampau, melainkan
bagian integral dari narasi besar keselamatan Allah yang berpuncak dalam Injil.
Dengan refleksi ini, saya berkesimpulan bahwa Kejadian 9 menghadirkan sebuah pesan teologis yang holistik: Allah menghukum dosa, tetapi kasih karunia-Nya lebih besar daripada penghukuman. Pemulihan yang Allah berikan melampaui manusia, mencakup seluruh ciptaan, dan pada akhirnya terarah kepada Kristus.
[1] Martin
Luther, Lectures on Genesis,
vol. 2 (St. Louis: Concordia, 1958), 121
[2] John
Calvin, Commentaries on the First
Book of Moses Called Genesis (Grand Rapids: Baker, 1996), 284.
[3] Gerhard
von Rad, Genesis: A Commentary
(Philadelphia: Westminster Press, 1961), 127.
[4] Karl
Barth, Church Dogmatics III/1
(Edinburgh: T&T Clark, 1958), 94.
[5] Christopher
J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking
the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006),
329.
[6] Gordon
J. Wenham, Genesis 1–15
(Waco: Word Biblical Commentary, 1987), 195.
[7] Walton,
Genesis: The NIV Application
Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 325.
[8] Wright,
The Mission of God,
332.
[9] F.
F. Bruce, The Epistles of Peter
(Grand Rapids: Eerdmans, 1968), 102.
Tags : ARTIKEL MKI
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment