-->

sosial media

Friday, 26 September 2025

ARTIKEL MKI : DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

  © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN : DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

 Ditulis Oleh : Pdt Hendra C Manullang, S.Th

Nomor : eAMK260925004

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Narasi air bah (Kejadian 6–9) merupakan salah satu kisah paling monumental dalam Perjanjian Lama. Peristiwa ini menggambarkan penghukuman Allah terhadap dunia yang dipenuhi kekerasan dan dosa, namun sekaligus membuka jalan bagi karya pemulihan melalui perjanjian dengan Nuh. Perjanjian ini menandai pergeseran fundamental dari murka menuju kasih karunia, dari penghukuman menuju pemulihan.

Kejadian 9 khususnya memuat janji Allah untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah, serta memperkenalkan simbol pelangi sebagai tanda perjanjian kosmik. Perikop ini memiliki nilai teologis yang mendalam, bukan hanya dalam konteks historis, tetapi juga dalam pemahaman soteriologi Kristen.

Tulisan ini hendak menelaah Kejadian 9 dalam perspektif soteriologi, dengan menekankan bahwa karya keselamatan Allah tidak pernah berhenti pada penghukuman, melainkan berujung pada pemulihan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konteks penghukuman dalam narasi air bah?

Bagaimana pemulihan dipahami dalam perjanjian Allah dengan Nuh?

Apa dimensi soteriologis yang terkandung dalam Kejadian 9?

Bagaimana relevansi teologisnya bagi umat Kristen masa kini?

1.3 Tujuan Penelitian

Tulisan ini bertujuan untuk:

Menganalisis konteks penghukuman dalam Kejadian 6–9.

Mengkaji perjanjian Allah dengan Nuh sebagai inisiatif pemulihan.

Menarik implikasi soteriologis dari Kejadian 9.

Merelevansikan pesan teologisnya dengan kehidupan iman Kristen masa kini.

1.4 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian teologis-biblis dengan metode:

Analisis historis-kritis terhadap konteks Kejadian 9.

Kajian literatur terhadap tafsiran teolog dan komentator Alkitab.

Sintesis teologis dalam perspektif soteriologi.

Refleksi kontekstual bagi kehidupan iman masa kini.

II. KAJIAN LITERATUR

2.1 Tafsiran Tradisional

Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen awal, Kejadian 9 dipahami sebagai bukti kesetiaan Allah untuk menjaga ciptaan. Rabi-rabi Yahudi menekankan dimensi etis dari perjanjian ini, seperti larangan menumpahkan darah (Kej. 9:6).

2.2 Tafsiran Reformatoris

Martin Luther melihat pelangi sebagai tanda nyata kasih karunia Allah yang menahan murka-Nya terhadap dunia[1]. John Calvin menekankan universalitas perjanjian ini, yang berlaku bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi Israel[2].

2.3 Tafsiran Teologi Modern

Gerhard von Rad menyebut perjanjian Nuh sebagai “perjanjian kosmik yang bersifat unilateral” di mana Allah sendiri yang mengikat janji tanpa syarat manusia[3]. Karl Barth melihatnya sebagai fondasi awal seluruh sejarah keselamatan, yang mencapai puncaknya dalam Kristus[4].

2.4 Kajian Kontemporer

Christopher Wright menggarisbawahi dimensi misiologis dan ekologis Kejadian 9: bahwa Allah peduli bukan hanya pada manusia, melainkan pada seluruh ciptaan5[5].

III. KONTEN NARASI KEJADIAN 9

3.1 Struktur Narasi

Kejadian 9 dapat dibagi menjadi tiga bagian utama:

Pemberian mandat kepada Nuh (ayat 1–7).

Perjanjian Allah dengan Nuh (ayat 8–17).

Kisah Nuh dan anak-anaknya (ayat 18–29).

Bagian yang menjadi fokus soteriologis adalah perjanjian Allah (ayat 8–17).

3.2 Dimensi Etis: Mandat Hidup

Allah memerintahkan Nuh untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” (ay. 1). Hal ini menunjukkan kesinambungan ciptaan dan pengulangan mandat budaya Kejadian 1:28.

3.3 Dimensi Kosmik: Perjanjian dan Pelangi

Pelangi (Ibrani: qeshet) adalah simbol perang yang dibalikkan. Dalam arti simbolis, Allah “menggantung busurnya di awan” sebagai tanda Ia menahan murka-Nya[6].

IV. DARI PENGHUKUMAN MENUJU PEMULIHAN

4.1 Realitas Penghukuman

Air bah membuktikan keadilan Allah terhadap dosa. Penghukuman bukan sekadar tindakan destruktif, melainkan cara Allah menegakkan kekudusan-Nya.

4.2 Pemulihan sebagai Inisiatif Allah

Pemulihan tidak lahir dari usaha manusia. Nuh diselamatkan karena kasih karunia Allah (Kej. 6:8). Perjanjian pasca-air bah menegaskan inisiatif ilahi yang unilateral.

4.3 Soteriologi dalam Perspektif Perjanjian

Soteriologi Perjanjian Lama memandang keselamatan sebagai shalom—pemulihan relasi dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Perjanjian Nuh adalah bentuk awal dari soteriologi ini.

V. DIMENSI SOTERIOLOGIS KEJADIAN 9

5.1 Keselamatan Preventif

Janji Allah untuk tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah (ay. 11) menunjukkan karya penyelamatan yang bersifat preventif. Allah menahan murka demi keberlangsungan hidup manusia[7].

5.2 Keselamatan Kosmik

Perjanjian meliputi manusia, hewan, dan seluruh ciptaan (ay. 10). Hal ini menegaskan bahwa keselamatan dalam Alkitab bersifat kosmik, bukan sekadar individual[8].

5.3 Keselamatan Eskatologis

Pelangi menunjuk pada pengharapan eskatologis. Dalam Perjanjian Baru, Rasul Petrus menafsirkan air bah sebagai tipe baptisan yang membawa pemulihan dalam Kristus (1Ptr. 3:20–21)[9].

VI. RELEVANSI BAGI TEOLOGI MASA KINI

6.1 Kesadaran akan Dosa dan Murka Allah

Manusia modern cenderung mengabaikan realitas dosa. Kejadian 9 mengingatkan bahwa dosa memiliki konsekuensi serius di hadapan Allah.

6.2 Hidup dalam Kasih Karunia

Keselamatan adalah anugerah Allah. Respons manusia seharusnya berupa syukur dan ketaatan.

6.3 Dimensi Ekoteologi

Karena perjanjian Allah mencakup seluruh ciptaan, umat Kristen dipanggil untuk merawat bumi. Soteriologi Kristen harus mencakup dimensi ekologis.

VII. PANDANGAN PENULIS

Sebagai penulis, saya melihat bahwa Kejadian 9 merupakan salah satu teks kunci dalam membangun pemahaman teologi keselamatan yang utuh. Narasi pasca-air bah bukan hanya kisah historis yang bersifat etiologis, melainkan juga memiliki bobot teologis yang terus berbicara melintasi zaman.

Pertama, saya memandang bahwa teks ini menegaskan keseimbangan antara keadilan dan kasih Allah. Air bah menyingkapkan keadilan Allah dalam menghadapi dosa, namun perjanjian dengan Nuh menyingkapkan kasih-Nya yang tidak pernah membiarkan manusia binasa seluruhnya. Keseimbangan ini penting, karena pemahaman soteriologi Kristen yang sehat harus mengakui realitas dosa dan murka Allah, sekaligus mengakui anugerah-Nya yang memulihkan.

Kedua, saya meyakini bahwa dimensi kosmik dari perjanjian Nuh memberi warna baru dalam pemahaman keselamatan. Keselamatan tidak boleh direduksi hanya pada aspek personal-eskatalogis (pengampunan dosa individu dan hidup kekal), tetapi juga harus dipahami dalam kerangka pemulihan ciptaan. Hal ini semakin relevan dalam konteks krisis ekologis global saat ini, di mana teologi keselamatan mesti juga berbicara tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi.

Ketiga, dalam perspektif iman Kristen, saya melihat bahwa janji dalam Kejadian 9 menemukan penggenapan akhirnya dalam Yesus Kristus. Pelangi yang menjadi tanda perjanjian hanyalah bayangan dari karya salib yang menjadi tanda pemulihan sejati. Dengan demikian, Kejadian 9 bukan sekadar kisah lampau, melainkan bagian integral dari narasi besar keselamatan Allah yang berpuncak dalam Injil.

Dengan refleksi ini, saya berkesimpulan bahwa Kejadian 9 menghadirkan sebuah pesan teologis yang holistik: Allah menghukum dosa, tetapi kasih karunia-Nya lebih besar daripada penghukuman. Pemulihan yang Allah berikan melampaui manusia, mencakup seluruh ciptaan, dan pada akhirnya terarah kepada Kristus.


[1] Martin Luther, Lectures on Genesis, vol. 2 (St. Louis: Concordia, 1958), 121

[2] John Calvin, Commentaries on the First Book of Moses Called Genesis (Grand Rapids: Baker, 1996), 284.

[3] Gerhard von Rad, Genesis: A Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1961), 127.

[4] Karl Barth, Church Dogmatics III/1 (Edinburgh: T&T Clark, 1958), 94.

[5] Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 329.

[6] Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Waco: Word Biblical Commentary, 1987), 195.

[7] Walton, Genesis: The NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 325.

[8] Wright, The Mission of God, 332.

[9] F. F. Bruce, The Epistles of Peter (Grand Rapids: Eerdmans, 1968), 102.

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim