-->

sosial media

Saturday, 26 October 2019

Gereja dan Jabatan Gerejawi





       I.            Latar Belakang Masalah
Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang telah dipanggil Allah dari kegelapan menuju terangNya yang ajaib untuk dijadikan milikNya. Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan Juruslamat dunia dan manusia. Di dalam Gereja juga terdapat hukum yang berlaku bagi anggota jemaatnya. Karena Gereja juga merupakan suatu badan yang mempunyai sifat sendiri, yang tak dapat disamakan dengan perkumpulan, yayasan hukum atau yang serupa dengan itu.
       Gereja sebagai tubuh dan Kristus adalah sang kepala dari tubuh tersebut (gereja). Tubuh memiliki organ dan memiliki fungsi masing-masing, jika organ menjalankan fungsinya dengan baik maka terjadi keharmonisan dalam tubuh gereja. Dalam gereja ada pelayan-pelayan dan jabatan untuk melayani di gereja. Mereka memiliki fungsi dan jabatan yang ia emban dalam tugas pelayanan. Namun hal yang sering terjadi adalah pelayan dalam gereja sering kurang memahami tugas dan fungsinya sehingga sering menimbulkan disharmonisasi. Dimana para pelayan terkadang kurang memahami tugas dan fungsinya dalam gereja.
Bahkan dewasa ini di dalam gereja sering terjadi penyalahgunaan Jabatan gerejawi, fungsi dan peranan jabatan gerejawi sudah mengalami pergeseran. Jabatan itu dipandang sebagai sebuah kedudukan/pekerjaan yang mengangkat drajat hidupnya di tengah-tengah jemaat. Sehingga orang-orang sekarang ini berlomba-lomba untuk menduduki jabatan gerejawi tersebut. Panggilan jabatan gerejawi sudah keliru dan tidak sesuai lagi dengan penekanan Alkitab sebagai sumber pijakan jabatan gerejawi. Faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya pemahaman para pelayan dalam fungsinya dalam jabatan yang ia emban. Dampak dari hal tersebut yang membuat fungsi pelayan dalam gereja tersebut tidak jelas. Hal itu tidak terlepas dari sejarah gereja Kristen yang menjadi mapan setelah dijadikan gereja negara/ gereja khatolik pada abad empat masehi. Sebab pada masa-masa setelahnya para imam/ uskup dipilih secara politis, bukan didasarkan dari karunia-karunia lagi, dan uskup mempunyai posisi yang sangat strategis bahkan sempat berkuasa melebihi raja pada waktu itu. Dan hal inilah yang mau kita lihat pada seminar kali ini. Bagaimana jabatan gerejawi itu muncul dan perkembangannya dari abad ke abad.
    II.            Pembahasan
2.1. Pengertian Gereja dan Jabatan Gerejawi
2.1.1.      Pengertian Gereja
Kata gereja berasal dari bahasa Portugis “Igreja” yang artinya milik Tuhan, maksudnya orang-orang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan gereja adalah persekutuan orang-orang beriman.[1] Kata lain untuk gereja dalam bahasa Yunani “Ekklesia”, kumpulan orang-orang yang dipanggil-Nya keluar untuk berkumpul menjadi satu dalam persekutuan untuk memberitakan karya Allah yang luar biasa.[2] Maka gereja adalah persekutuan orang yang dipanggil menuju terang Kristus dan diutus kedunia memberitakan kabar baik, sehingga lahirlah gereja Kristen.[3]
Menurut Alkitab, dalam PL “Qahal Yahweh” merupakan kata gereja, “umat Allah yang dipanggil Allah” (Yes. 41:9).[4] Awal gereja, karena roh Kudus diatas murid-murid-Nya melalui karya Allah yang kembali mengumpulkan umat-Nya dalam Yesus (Mat. 11:28-29; Mrk. 1:14-20). Dalam PB kata gereja ada dua: Ekklesia tempat bagi masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara demokratis (Kis. 19:39).[5] Dan Sinagoge (sun dan ago: “datang dan berkumpul bersama”), ini menunjuk kepada tempat, gedung pertemuan ibadah orang Yahudi (Kis. 13:43; Why 2:9).[6]
Hakikat gereja sebagai Tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya (Ef. 1:22; Kol. 1:28) merupakan gambaran sebahagian kecil dalam Alkitab dan di dalamnya tidak ada persaingan namun di dalam satu tubuh, saling berkaitan, harmonis dan saling melengkapi agar dapat berfungsi dengan baik. Tubuh Kristus melukiskan gereja adalah Uma Allah (familia dei), keberadaannya sebgai kepala mengartikan gereja hidup dari, melalui dan bagi Dia. Hubungan kepala dan tubuh berarti keutuhan organisme yang hidup, berkembang maksimal,[7] serta bertujuan untuk dan demi memberlakukan kehendak Kerajaan Allah di dunia.[8]

2.1.2.      Pengertian Jabatan gerejawi
Jabatan berasal dari kata jabat, yang dapat diartikan sebagai pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi.[9] Menurut Lumbantobing, jabatan adalah suatu pekerjaan, tugas, dinas atau segala sesuatu yang berkuasa dengan pangkat.[10] Mokijat menyatakan bahwa jabatan atau position adalah tugas-tugas yang dilakukan seseorang tnapa menunjuk apakah pekerjaan itu berbeda dengan pekerjaan orang lain.[11] Dalam bahasa Inggris, kata jabatan diterjemahkan dengan kata office, function, profession. Yang diterjemahkan dengan sekelompok tugas-tugas dan tanggung jawab yang diserahkan kepada satu orang.[12]
Di dalam Perjajian Lama dan Perjanjian Baru, kata jabatan dikurang dikenal secara luas, akan tetapi ada istilah-istilah yang lain yang mengacu kearah jabatan. Kata pertama dalam Perjanjian Lama yang mengistilahkan jabatan adalah “pekha” yang artinya penguasa atau seatu daerah dibawah raja. Umpamanya bupati-bupati Kasdim dan Persia (Yeh. 23:6) yakni orang Persia yang daerahnya meliputi Palestina, Venesia dalam Mesir. Kemudian ada kata “akhasdarpenim” yang artinya pelindung negara diterjemahkan sebagai wakil raja atau wakil pemerintah (Ez. 8:36; Ester 3:12). Di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk jabatan adalah “hegoumai” diturunkan dari kata kerja yang berarti memimpin, dipakai untuk penguasa untuk arti umum (Mrk. 13:4; 1 Pet. 2:14) dan secara khusus untuk wali Roma di Yudea. Dan secara teknis ialah procurator (wali penguasa Roma). Lalu ada kata startegoi yang  berasal dari bentuk maskulin strategos yang artinya ‘hakim kepala; pejabat sipil tertinggi di Filipi.[13]Maka dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jabatan adalah suatu tugas dan tanggungjawab baik dalam pemerintah (organisasi negara) maupun tugas dalam gereja.
Jabatan Gerejawi adalah posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja yang digunakan untuk membangun gereja.[14] Dari pemahaman ini jelas terlihat bahwa Jabatan Gerejawi itu pertama sekali harus dimaknakan sebagai sebuah panggilan spiritual, karena ia tidak berangkat dari pemahaman tugas organisasional gerejawi semata, tetapi bermula dari panggilan Allah Tritunggal, melalui gereja (Efesus 4:11-16).

2.2. Gereja dan Jabatan Gerejawi Dari Abad ke Abad
2.2.1.      Pada Abad Mula-mula (I-IV)
Tumbuhnya gereja pada tingkat mula-mula dapat kita baca dalam buku kisah rasul-rasul yaitu sejarah gereja yang pertama. Beberapa nama jabatan, yang kemudian kita jumpai berulang-ulang telah ada dalam kisah rasul-rasul. Pertama-tama perkataan rasul-rasul. Seluruh kitab itu berisi tentang rasul-rasul, perbuatan-perbuatan rasul, lebih tepat ditepat disebutkan perbuatan Tuhan Yesus yang ditinggikan itu dengan perantara rasul-rasul-Nya. Pekerjaan itu dilakukan oleh pelayanan manusia, terutama oleh rasul-rasul. Disamping itu kita menemukan istilah lain dalam kisah rasul-rasul yaitu presbiter, penatua. Mereka itu disamakan dengan gembala (Kis. 20:28). [15]
Paulus secara jelas mengatakan adanya jabatan-jabatan dalam gereja yang bertujuan untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan Tuhan. Jabatan-jabatan tersebut adalah (1) rasul, (2) nabi, (3) penginjil, (4) gembala dan (5) guru. Ketiga jabatan yang pertama ini digolongkan oleh Calvin sebagai jabatan yang extraordinary (luar biasa) karena ketiga jabatan inilah yang mengokohkan berdirinya gereja di tengah-tengah dunia dan menuliskan wahyu khusus Allah kepada manusia. Dua jabatan yang pertama tidak lagi dilanjutkan karena jabatan tersebut hanya ada pada masa-masa tertentu saja. Hanya ada 3 jabatan yang masih berlaku sampai sekarang, yakni penginjil, gembala dan guru.
Penginjil adalah jabatan yang lebih rendah dari pada rasul dan nabi tetapi jabatan yang paling tinggi dalam jabatan tetap. Bahkan penginjil adalah jabatan gereja yang turut bersama-sama dengan rasul dan nabi mengokohkan gereja mula-mula. Jabatan ini memang tidak terlalu populer dalam gereja sekarang bahkan cenderung dianggap sebagai junior. Namun bagi Paulus adalah jabatan yang paling tinggi lebih dari gembala dan guru.
Jabatan selanjutnya adalah gembala dan guru yang sangat kuat hubungannya dengan gereja. Tanpa 2 jabatan ini gereja tidak mungkin berjalan. Kedua jabatan ini ada di dalam gereja, perbedaannya adalah guru (pengajar) tidak turut dalam menjalankan disiplin gereja dan sakramen ataupun memberikan peringatan kepada jemaat. Guru hanya bertanggung jawab dalam penafsiran yang alkitabiah dan menjaga doktrin yang murni di antara orang-orang percaya.[16]
Jabatan-jabatan gereja ini bukanlah ketetapan manusia tetapi ditetapkan oleh Allah sendiri. Alkitab menggunakan jabatan “bishop”, “penatua,” “gembala/ pendeta,” dan “pelayan/ minister,” secara interchangeable (saling bergantian). Bagi pelayan Firman biasanya digunakan istilah bishop. Pada waktu Paulus meminta Titus untuk menetapkan penatua-penatua di setiap kota ada pernyataan “sebab sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat (bishop) harus tidak bercacat (Titus 1:7, 1 Tim 3:1). Di tempat lain Paulus memberi salam kepada sejumlah bishop dalam satu gereja (Fil 1:1). Dalam Kisah Para Rasul disebutkan adanya sidang penatua Efesus (Kis. 20:17) yang ia sebut sebagai bishop (penilik/ overseer)(Kis.20:28).
Jadi Alkitab sendiri menyatakan bahwa pelayan firman dibatasi hanya kepada jabatan tertentu saja yakni para bishop. Dalam surat kepada jemaat di Efesus Paulus tidak menyebutkan lagi ada jabatan yang menerima tugas pelayanan firman.
Dan yang terpenting ialah dalam diri Paulus ada kesetiaan pada Injil, dan bukan demi yang lain. Jemaat-jemaat ada demi injil dan bukan demi yang lain.[17]
Pada abad-abad pertama gereja mengalami perluasan yang besar dan mulai tersebut di seluruh kekaisaran Romawi bahkan sampai diluar batas-batas kekaisaran itu. Dengan demikian kesatuan gereja semakin kurang nampak. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut dalam perkembangannya gereja pada abad-abad pertama membuat institusionalisasi ataupun pelembagaan dalam tubuh gereja. Dalam tata gereja yang sekitar tahun 100 mulai diterima dimana-mana, setiap jemaat dipimpin oleh satu uskup saja, yang dipilih dari dan disertai oleh majelis, para prebyteros, yang dibantu oleh para diakonos. Sekaligus peranan uskup ditonjolkan, sampai uskup dianggap lebih tinggi dari presbyteros, dan keduanya lebih tinggi dari diakonos. Demikianlah jabatan-jabatan mulai merupakan hierarki, susunan pangkat dari atas ke bawah.[18]
Ø  Ambrosius (340-397) ialah seorang bangsawan Romawi. Ia rela meninggalkan pangkat wali negeri di kota Milano dan memilih untuk menjadi seorang Uskup. Ia merupakan seorang uskup yang sungguh-sungguh menjadi pemimpin dan gembala bagi jemaat-jemaatnya.[19]
Ø  Augustinus (354-430) merupakan seorang bapa Gereja yang pengaruhnya terdapat disegenap sejarah gereja sampai kini. Ia sangat melawan cita-cita dan tindakan-tindakan dari sekta. Menurutnya Gereja hanya dapat menggenapi panggilannya terhadap seluruh dunia, jikalau ia mencari orang yang sesat dan lemah, supaya mereka sekalian boleh mendengar pekabarannya dan bertobat.[20]

Kesimpulan: Keistimewaan jabatan-jabatan tersebut adalah bahwa dengan bermacam-macam cara Kristus diwakilinya wujud jabatan ialah pelayanan. Jabatan itu adalah untuk jemaat, bukan sebaliknya jemaat itu ada untuk jabatan. Tidak ada suatu jabatan pun yang berdiri atas kehendaknya sendiri, hanyalah supaya jemaat dapat mendengarkan dan menaati firman Yesus Kristus. Jabatan itu selamanya bergerak dari dalam Kristus menjumpai jemaat.

2.2.2.      Pada Abad Pertengahan (V-XV)
 Pada abad pertengahan (590-1500) gereja dipahami sebagai suatu lembaga semakin diperkokoh.[21] Maksudnya ialah bahwa gereja yang merupakan persekutuan semua orang percaya tidak mendapat penekanan, sebab semua perhatian teologis diberikan kepada segi institusional. Gereja dipandang sebagai lembaga di mana para pejabat atau kaum klerus membagikan keselamatan kepada kaum awam, bahkan kata gereja hampir sinonim dengan hierarki, korps pejabat-pejabat gerejawi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gereja, yaitu kaum klerus, menentukan apa yang harus dipercaya dan apa yang harus dibuat untuk menerima keselamatan. Lalu sehubungan dengan pemahaman tentang gereja tersebut, maka apa yang yang terjadi di dalam tubuh gereja itu sendiri? Sehubungan dengan pemahaman tentang gereja tersebut di atas, maka yang terjadi dalam tubuh gereja ialah adanya pemahaman bahwa Uskup Roma atau Paus mempunyai kedudukan khusus di tengah-tengah semua Uskup Gereja Katolik yang di dalam dirinya melambangkan keesaan gereja. Sehingga pada abad pertengahan Paus menjadi pemimpin Gereja Katolik di Eropa Barat. Menurut Chr. De Jonge dan Aritonang, bahwa nama Paus (bahasa Latin Papa, bahasa Inggris Pope) berasal dari bahasa Yunani yaitu Papas, yang berarti bapak.[22]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa gelar ini diberikan di Timur kepada uskup-uskup, kepala-kepala biara dan juga kepada imam-imam biasa. Di Barat papa menjadi gelar untuk uskup-uskup, sejak ± 450 hanya Uskup Roma, sehingga Uskup inilah sekarang disebut Paus. Untuk mengerti mengapa kepausan, yaitu keuskupan Roma dapat menjadi pusat Gereja Barat, perlu diketahui bahwa uskup ini dianggap pengganti Rasul Petrus, yang ditunjuki oleh Kristus sebagai yang pertama di antara para Rasul (Matius 16:18-19; Yohanes 21:15-17).
Dan salah seorang Bapak Gereja yang mendukung kedudukan Paus ini ialah Augustinus.[23] Di mana ia mendukung para Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan simbol yang selalu kelihatan dari kesatuan tubuh Kristus dan para pemimpin yang ditunjuk-Nya.
Dan untuk mendukung kedudukan tertinggi  kepausan, maka Augustinus mengumpulkan rekan sezamannya, yakni Hieronymus, Ambrosius, dan Optatus untuk melakukan penafsiran pada teks-teks Injil khususnya pada Injil Matius 16:18. Selain daripada itu, ada beberapa alasan  mengapa pilihan untuk peranan ini harus ada pada Uskup Roma, yaitu:[24]
1.    Ada tradisi yang menghubungkan Roma dengan Rasul Petrus  dan peranannya dalam memulai berdirinya gereja, yaitu pasal-pasal awal kitab Kisah Para Rasul yang memperlihatkan Petrus sebagai seorang pemimpin yang hanya dapat ditandingi Paulus.
2.     Roma adalah ibu kota kekaisaran yang hampir sepanjang masa pembentukan gerakan Kristen, sehingga kota Roma diberikan peranan istimewa.
3.     Sejumlah uskup Roma, yaitu dari Clemens I sampai dengan Leo I (440-461) memperoleh penghargaan dari semua gereja lain karena mereka sering memberikan pandangan yang berbobot dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan teologis.
Dan sehubungan dengan pengukuhan kekuasaan Paus tersebut. Maka para Paus, mulai dari Damascus (366-384) sampai dengan Leo Agung, seratus tahun kemudian, telah merumuskan dasar teologis untuk mendukung tuntutan mereka atas pimpinan gereja.[25] Hasil dari perumusan teologi  itu maka muncullah perbedaan wewenang antara uskup-uskup dengan Paus. Di mana uskup hanya berkuasa di wilayah keuskupan mereka masing-masing. Sementara Paus berkuasa di seluruh Gereja dan mempunyai Plenitudo Potestatis (kuasa yang penuh) serta magisterium (wewenang untuk mengajar atau menentukan ajaran. Dalam perkembangan selanjutnya pada waktu sekitar abad ke-7 sampai dengan abad ke-11, sejumlah Paus mengklaim bahwa kekuasaan mereka lebih tinggi dari kekuasaan kaisar atau raja-raja mana pun di dunia ini. Mereka membandingkan diri dengan matahari, sedangkan raja-raja dibandingkan dengan bulan yang mendapat cahayanya dari pantulan cahaya matahari.
Selanjutnya disusunlah hierarki jabatan di dalam tubuh gereja; Paus merupakan pejabat tertinggi, lalu di bawahnya menyusul serangkaian jabatan imam (klerus; kleros), yaitu jabatan yang diperoleh melalui tahbisan (sakramen pentahbisan imam). Dan berdasarkan dengan itu mereka diperkenankan memberitakan firman dan melayankan sakramen. Sementara itu umat gereja pada umumnya disebut kaum awam (laikos); mereka ini tidak berhak membaca (apalagi memberitakan) firman dan melayankan sakramen dan berkewajiban melakukan sebanyak mungkin amal bakti; termasuk (bahkan terutama) memberi derma ataupun menyerahkan harta benda mereka sebanyak-banyaknya kepada gereja.[26]

Kesimpulan: Gereja dipandang sebagai sebuah lembaga dan terjadi hierarki jabatan di dalam tubuh gereja, dimana Paus memiliki kedudukan yang tertinggi. Dan bahkan Paus mengklaim bahwa kekuasaan mereka lebih tinggi dari kekuasaan kaisar atau raja-raja mana pun di dunia ini.

2.2.3.      Pada Abad Reformasi Hingga Pencerahan (XVI-XVIII)
“Reformasi” adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dalam kekristenan barat yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17. Sebenarnya, reformasi merupakan gerakan yang hendak mengembalikan kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah. Reformasi meletus di abad ke-16 dan letusannya terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Pertama-tama terjadi di Jerman dengan Martin Luther sebagai pelopornya. Setelah itu Zwingli memimpin reformasi di Swiss, kemudian Johanes Calvin yang mempelopori reformasi di Perancis, serta di Jenewa dan Swiss. Selain itu, reformasi juga terjadi di tempat lain seperti di Inggris . Gerakan ini boleh dikatakan dimulai oleh munculnya golongan Lollard, Waldens, dan Hussit pada masa sebelum abad ke-16. Pada awal abad ke-16 tampak jelas bahwa gereja di Eropa Barat berada dalam keadaan yang sangat memerlukan pembaharuan secara menyeluruh. Darah kehidupan gereja telah berhenti mengalir melalui pembuluh-pembuluhnya. Tata gereja yang resmi benar-benar membutuhkan pembongkaran yang menyeluruh. Birokrasi gereja menjadi tidak efisien dan penuh korupsi. Moral para rohaniwan sering tampak lemah dan menjadi sumber skandal bagi jemaat. Sedangkan jabatan gereja yang tinggi di peroleh melalui cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Umumnya jabatan itu diperoleh dengan dasar hubungan keluarga, status politik, atau status keuangan, bukannya atas kualitas kerohanian mereka. Bagi banyak orang, jeritan pembaharuan itu merupakan permohonan untuk melakukan reformasi gereja dalam bidang administratif, moral dan hukum. Penyalahgunaan dan imoralitas harus disingkirkan, Paus harus mengurangi perhatiannya terhadap masalah-masalah duniawi, administrasi gereja disederhanakan dan dibersihkan dari korupsi.
Pada tahun 1520 dalam tulisan karangan Luther yang memuat serangkaian pandangan yang berjudul kepada para pemimpin gereja mengenai perbaikan masyarakat Kristen. Yang kemudian pandangan ini dikenal sebagai  semboyan imamat orang percaya. Kemudian pemahaman Luther ini ditunjukkan kepada para pemimpin dan untuk menentang serta mengubah pemahaman yang diberlakukan dalam GKR pada waktu itu. Bedasarkan penelitia Alkitab , Luther melihat secara hakiki bahwa tidak ada pemisahan antara jabatan-jabatan gerejawi khususnya dalan kitab Ibrani dan 1 Petrus. Menurut Luther bahwa jabatan Imam di dalam Perjanjian Lama telah disempurnakan dan digenapi, sekaligus diakhiri oleh Tuhan Yesus Kristus yaitu Imam Besar Agung. Dengan kematian dan kebangkitan Kristus maka manusia tidak lagi membutuhkan manusia lain untuk berperan sebagai Imam yang merupakan perantaraan mereka dengan Tuhan dalam memanjatkan doa permohonan, doa pengakuan dosa maupun mempersembahkan korban. Tetapi Yesus Kristus telah menjadi Imam sekaligus korban yang paling sempurna sekali untuk selama-lamanya.  Berdasarkan Imamat dan pengorbanan Kristus maka semua orang yang percaya adalah Imam.[27] Inilah yang disebut “imamat am” semua orang percaya itu. Sehingga Imam bukan lagi jabatan khusus untuk orang-orang tertentu melainkan fungsi pelayanan meneladani Yesus Kristus, sang agung itu. Pada hakikatnya pembagian tugas dan jabatan serta pembedaan bidang pelayanan semua itu adalah sederajat. Di antara para pejabat dan warga gerejapun tidak ada perbedaan derajat tetapi yang ada hanyalah pengkhususan fungsi pelayanan.[28] Oleh Karena itu, ketika Luther berbicara tentang jabatan maka dikaitkan pada pusat atau inti amanat Alkitab dan kepada hakekat gereja sebagai persekutuan orang-orang beriman yang telah diselamatkan Kristus dan yang hidup di sekitar firman dan sakramen. Sebab setiap jabatan telah ditetapkan oleh Allah sebagai pelaksana fungsi pelayanan firman dan sakramen.
Berdasarkan Pemahaman GKR bahwa yang menamakan para Paus, Uskup, Imam, biarawan dan biarawati adalah golongan rohaniwan sedangkan para pangeran, tukang, dan petani adalah golongan duniawi. Di sini Nampak bahwa adanya pembedaan atau pemisahan antara kaum awam dengan Paus, Imam dan  biarawan. Namun Luther  mengatakan bahwa pemisahan ini merupakan suatu akal yang direka-reka oleh orang-orang lihai saja. Karena yang sebenarnya semua orang Kristen tanpa kecuali benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniwan dan tidak ada perbedaan dalam hal kedudukan Kristen. Semuanya itu bersifat rohani kedudukannya dan semuanya sungguh-sungguh Imam. Sebab semua mempunyai kesibukan tangan dan pekerjaan  bahwa semua orang dapat dipilih untuk bertindak sebagai Imam dan Uskup.[29] Dan disebabkan karena semua orang Kristen berstatus rohaniwan dan mempunyai status yang sama. Martabat dan status dalam gereja tidak ada perbedaan tetapi hanya fungsi saja yang beda. Dan itupun kalau mereka gagal dalam fungsi itu, maka orang lain bisa menggantikan mereka. Sebab hanya lewat baptisan, injil iman orang menjadi rohaniwan dan diciptakan sebagai bangsa Kristen. Jadi ini merupakan suatu kenyataan bahwa baptisan menguduskan kita semua.
Tuntutan-tuntutan Paus yang mengatakan bahwa Pauslah yang menjadi jabatan yang tertinggi dan yang boleh menafsirkan Alkitab. Maka Luther mengatakan bahwa seorang yang telah dibaptiskan telah memiliki jabatan Imamat am orang percaya yaitu sebagai raja dan Imam. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara Paus, uskup, Imam dan biarawan dengan raja-raja bangsawan, tukang serta dengan petani.[30] Kemudian sesuai dengan ajaran Luther bahwa firman dan sakramen adalah pusat kehidupan atau umat Kristiani, maka Luther mengatakan bahwa jabatan tertinggi bukanlah yang terpenting dan yang memerluka tahbisan khusus adalah jabatan pemberitaan firman dan pelayanan sakramen adalah pendeta atau pastor dipandangnya sama dengan jabatan uskup dalam GKR. Pendeta dalam setiap ibadah memberitakan pengampunan dosa itu bukan karena mereka mempunyai kekuatan rohani yang khusus, melaikan karena Allah mengamanatkan hal itu melalui mereka.[31] Bagi Luther jabatan-jabatan gereja itu tidak boleh bertentangan dengan inti amanat Alkitab atau Injil yaitu bahwa setiap jabatan ditetapkan sebagai fungsi pelayan di tengah-tengah umat yang telah ditebus oleh Kristus.
Ulrich Zwingli juga mengadakan reformasi gereja pada tahun 1523 dengan dukungan dari dewan kota. Pembaruan yang dilakukan Zwingli lebih radikal bila dibandingkan dengan pembaharuan Luther. Pembaruan di Zurich menyebabkan kota tersebut menjadi anti Paus, anti monastik dan anti hierarki. Ajaran Zwingli segera menyebar di kota-kota lainnya seperti Swiss dan Jerman Selatan.
Calvin mendasarkan imamat semua orang percaya di atas imamat Kristus. Pertama, Calvin mentayakan bahwa Kristus itu sendiri benar-benar satu-satunya imam.[32] Imamat universal berasal dari jabatan Kristus; imamat itu dikomunikasikan ke orang-orang percaya melalui persatuan-persatuan mereka dengan Kristus dalam iman dan partisipasi mereka dalam karya keselamatan Kristus. Calvin beranggapan bahwa oleh anugerahlah orang-orang Kristen berbagi dalam imamat Kristus. Kristus adalah satu-satunya imam, tetapi di dalam Dia kita dapat berbicara tentang “imam-imam”, yang mengkonstitusikan gereja. Jadi, gereja itu mempunyai suatu imamat korporasi dengan berpartisipasi melalui diakonia dalam pelayanan imamat Kristus. Calvin juga mengemukakan ajaran imamat universal ketika ia menekankan panggilan orang-orang Kristen. Ia secara khusus menegaskan bahwa adalah tugas setiap orang untuk melayani Allah dengan sepenuh hati dan melakukan pekerjaanya di bidang yang Allah telah menempatkannya. Dengan demikian, bagi Calvin, semua orang percaya adalah imam-imam dalam panggilan mereka sehari-hari karena panggilan mereka datang dari Allah.
Semua orang percaya berada dalam pelayanan Allah dalam pekerjaan aktual yang mereka lakukan dan dalam panggilan yang  didalamnya mereka menemukan diri sendiri. Walaupun tugas mereka berbeda-beda sesauai dengan panggilan mereka, semua orang percaya, ataupun rohaniawan, mempunyai hak untuk pergi kepada Allah secara langsung dengan pengakuan dosa yang mencari pengampunan, dengan ketidaktahuan yang mencari pencerahan, dan dengan kelemahan yang mencari kekuatan untuk kehidupan yang kudus sehari-hari. Calvin membedakan antara imamat am dan keteraturan dalam pelayanan. Calvin memandang bahwa status pelayan yang ditahbis sebagai suatu wakil perwakilan Allah.[33] Ia berkata: diantara manusia-manusia itu, Ia mengambil beberapa untuk melayani sebagai utusan-utusan-Nya di dalam dunia (bnd. 2 Kor. 5:20) untuk menjadi penafisr-penafsir atas kehendak-Nya yang rahasia dan, secara singkat, untuk mewakili pribadi-Nya. Menurutnya jabatan pelayanan itu berfungsi untuk melambangkan kehadiran Kristus.[34] Calvin juga menekankan makna sangat penting dari jabatan kepelayanan yang didirikan dengan suatu panggilan legal, dan keniscayaan bahwa di dalam gereja “semua perkara harus dikerjakan dengan patut dan sesuai dengan aturan” (I Kor. 14:40). Calvin mencoba menghubungkan pengemban jabatan dan anggota biasa adalah keteguhan bahwa jabatan kepelayanan dalam gereja itu berdasarkan atas ajaran utama tentang keimaman semua orang percaya, sehingga pelayan-pelayan yang ditahbis dan anggota biasa mempunyai kedudukan yang sama. Ini berarti bahwa yang membedakan antara awam dengan pelayan yang ditahbis adalah dalam hal fungsi dan bukan status kedudukan.[35] Pelaksanaan yang tegas, disiplin, bersamaan dengan kewenangan yang tinggi dari pelayan yang ditahbis, secara konsekuen cenderung menghasilkan suasana ketundukan kaum awam. Pemberdayaan anggota-anggota dikaburkan oleh kegiatan-kegiatan para pengemban jabatan. Dengan kata lain, keimaman semua orang percaya memang ditegaskan dalam prinsip, tetapi hal itu tidak di implementasikan dalam praktek pengajaran gereja. Calvin tetap kokoh dalam keyakinan, bahwa gereja berfungsi utamanya melalui pelayan yang ditahbis.[36]

Kesimpulan: Para tokoh reformasi menentang pemahaman GKR mengenai jabatan gerewi, dimana GKR menganggap gereja itu sebagai sebuah lembaga dan Paus memiliki kedudukan yang tertinggi. Mereka juga menentang adanya hirarki jabatan dalam gereja. Reformasi ini merupakan gerakan yang hendak mengembalikan kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah.

2.2.4.      Pada Abad XIX-XX
Revolusi Prancis (1789-1815) di Prancis menjatuhkan pemerintahan tradisional di bawah pimpinan raja dan kaum bangsawan, yang didukung oleh pimpinan gereja. Revolusi ini menimbulkan reaksi yang disebut restorasi yang berarti usaha untuk memulihkan kembali keadaan politik dan sosial sebelum revolusi Prancis dan bercorak sangat konservatif. Restorasi ini juga mempengaruhi gereja-gereja, terutama gereja Katolik Roma. Puncak perkembangan ini adalah konsili vatikan I (1869-1870). Konsili ini memutuskan bahwa Paus tidak dapat keliru kalau ia sebagai kepala Gereja dan secara resmi diungkapkan bahwa kekuasaan Paus tidak tergantung pada persetujuan gereja, tetapi hanya dari jabatan Paus sendiri.[37]
Pada abad ke XIX John Nelson Derby, seorang pejabat gereja Anglikan di Inggris dalam renunganya tiba kepada pendapat, bahwa Gereja yang diorganisisir dengan tatagereja-tatagerejanya, dengan konfesi-konfesinya, dengan formulir-formulir dan jabatan-jabatannya, merupakan suatu halangan bagi hidup bersama dari semua orang Kristen. Karena itu ia menentang segala sesuatu yang ada hubungannya dengan organisasi Gereja. Pengikut-pengikutnya ini menyebut diri mereka “saudara-saudara”. Ganti dalam ibadah-ibadah mereka datang berkumpul dalam “rapat-rapat” atau “sidang-sidang”. Dan itulah juga nama persekutuan mereka.[38] Walaupun demikian, pada abad XIX ini juga muncul lagi jabatan diakones dalam bentuk yang baru. Perhimpunan diakones protestan pertama kali dibentuk oleh T. Fliedner di Kaiserswerth, Jerman, pada tahun 1836 dan perhimpunan ini cepat tersebar, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Dalam gereja Methodis dan juga di beberapa gereja di Sumatra Utara.[39] Pada awal abad ke 20 banyak gereja di Asia, meskipun bersistem Presbiterial namun masih dipimpin oleh Pendeta, yaitu missionaris asing, sebab banyak penatua biasa masih buta huruf. Pada prinsipnya, baik jabatan penatua pengatur maupun penatua pengajar adalah sepanjang hidup.[40]

Kesimpulan: Pada abad ini berbagai macam pemahaman mengenai jabatan gerejawi, dimana akibat revolusi prancis menimbulkan sebuah reaksi yang disebut restorasi. Dimana melalui konsili vatikan I memutuskan bahwa Paus tidak dapat keliru kalau ia sebagai kepala gereja. Bahkan pada masa ini juga ada yang menentang segala sesuatu yang ada hubungannya dengan organisasi Gereja. Namun pada masa ini juga jabatan diaken muncul dalam bentuk yang baru.

2.3. Gereja dan Jabatan Gerejawi (Konteks Khusus)
2.3.1.      Gereja dan Jabatan Gerejawi di GKPS
Setelah kedatangan I. L. Nommensen ke tanah Batak Kekristenan mulai berkembang dengan baik.[41] Dalam menjalankan tugasnya ia mencari orang yang dapat membantunya dalam hal bahasa, aturan dan hukum adat istiadat dan soal-soal kebiasaan di tempat itu. Semua tenaga yang dapat diaktifkan diikutsertakannya dalam pekerjaan jemaat dan orang-orang yang paling terpercaya di antara mereka diteguhkan menjadi penatua (1865). Para penatua ini berkewajiban untuk mengamati, agar cara kehidupan para anggota senantiasa sesuai dengan peraturan baru itu.[42] Tidak hanya jabatan Penatua yang ia buat tetapi ada juga jabatan penginjil yang bertugas untuk memberitakan Injil dalam kebaktian. Ia juga meminta kepada deputat di Barmen, Jerman agar mengangkat orang pribumi yang berbakat untuk menjadi kateket. Dalam kerangka itu, perkembangan jemaat-jemaat yang begitu pesat dalam tahun-tahun selanjutnya telah membuat tugas yang harus dilakukan missionaris terlalu luas dan tidak dapat dilaksanakan sendiri lagi. Oleh sebab itu sudah harus dipikirkan untuk mengerahkan tenaga-tenaga ”pembantu” yang ditahbiskan yang dapat melaksanakan tugas-tugas kependetaan di jemaat.[43]
Gereja Kristen Protestan Simalungun (disingkat GKPS) adalah sebuah Gereja Kristen dari daerah Simalungun yang dirintis oleh zendelling (pengabar Injil) dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG), sebuah badan pengabaran Injil dari Jerman sebagai bagian dari upayanya menyebarkan Injil bagi Suku Simalungun. Semenjak tahun 1900-an RMG mendirikan gereja-gereja di Simalungun sebagai bagian dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan menggunakan bahasa Toba sebagai bahasa pengantar. Kesadaran diri di kalangan suku Simalungun untuk meningkatkan usaha pengabaran Injil mempercepat laju penyebaran Injil di suku Simalungun terutama setelah digunakannya bahasa Simalungun sebagai pengantar. Kemandirian ini berlanjut sampai jemaat HKBP di Simalungun memandirikan dirinya menjadi satu distrik hingga akhirnya mandiri total menjadi GKPS dan memberikan pelayanan bagi lingkungan sekitarnya di berbagai bidang (bukan hanya pelayanan agama).
Sistem pemerintahan gerejawinya adalah Synodal.[44] Dalam Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga GKPS dijelaskan bahwa jabatan gereja dalam GKPS meliputi: pendeta, penginjil, sintua dan syamas. Mereka memiliki tugas antara lain:[45]
1.    Memberitakan Firman Allah dan mengabarkan Injil
2.    Menggembalakan jemaat sesuai dengan teladan Yesus Kristus
3.    Melayani jemaat, baik dalam, kebaktian-kebaktian/ upacara-upacara yang diatur dalam liturgi maupun dalam hidup kerohanian anggota jemaat sehari-hari
4.    Melaksanakan pelayanan dan perbuatan kasih sesuai dengan teladan Yesus Kristus
5.    Membina anggota-anggota GKPS menjadi jemaat yang bertanggung jawab
6.    Membina kemandirian dalam bidang keuangan serta mengurus dan memlihara harta kekayaan GKPS
7.    Berperan aktif dalam kegiatan oikumenis
Kesimpulan: jabatan gerejawi dalam GKPS tidak terlepas dari pengaruh gereja Batak yaitu HKBP yang merupakan gereja pertama di daerah batak.

2.4. Analisa Seminarist
Pada dasarnya, dalam I Petrus 2:9 disebutkan bahwa semua orang percaya adalah imamat atau semua orang percaya adalah umat Allah dan mempunyai tugas untuk melayani Allah atau memberitakan Firman. Maksud dari nats ini adalah bahwa semua orang percaya adalah imam-imam bagi Allah (Bnd. Why. 1:6). Namun karunia roh dibutuhkan secara khusus bagi orang-orang yang mendapat pelayanan khusus sebagai pemimpin. Artinya dibutuhkan panggilan dan kuasa dalam jabatan dalam tugas pelayanan yang ia emban. Perjanjian Lama juga mengutamakan pelayanan oleh imam-imam (Kej.14:18; Kel. 28:1-2), nabi-nabi (Ul. 18:15-16), tua-tua (Kel. 3:16; Ul. 19:2). Kemudian dalam Perjanjian Baru Yesus juga melakukan pemilihan atas 12 murid-Nya, dan dalam tulisan-tulisan dalam PB juga menyaksikan mengenai pemilihan penatua atau uskup dan diaken (Kis. 14:23; I Tim. 3:1-3; Tit. 1:5).
Namun jabatan dalam tugas pelayanan ini bukan berarti adanya tingkat kehidupan dalam orang Kristen antara orang awam dan kaum pelayan. Namun perbedaan antara kaum awam dan pelayan adalah pada dasarnya hanya bersifat fungsional.[46]
Gereja yang adalah tubuh Kristus memiliki anggota-anggota yang banyak dan segala anggota itu sekalipun banyak, merupakan satu tubuh. Karena satu tubuh tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota ( I Kor. 12:12-14), tetapi walaupun tubuh punya banyak anggota tetapi tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak adalah satu di dalam Kristus, tetapi masing-masing anggota yang seorang terhadap yang lain (Roma 12:4-5). Paulus juga menekankan bahwa karunia yang diberikan adalah untuk kepentingan bersama dan untuk pembangunan Tubuh Kristus (bnd. I Kor. 12:7 ; 14).[47] Paulus begitu menekankan karunia-karunia roh yang diberikan kepada orang-orang dan Allah sendiri yang memberikan karunia itu (Ef. 4:11-12). Karunia yang dimaksudkan Paulus dapat kita hubungkan dengan pelayan khusus yang dipanggil Allah. Allah sendiri memanggil dan mengaruniakan karunia Roh kepada orang-orang tertentu dengan maksud dan tujuan Allah sendiri.
Dari uraian di atas telah dijelaskan bagaimana pandangan Luther tentang tata gereja dan jabatan yang tidak terlepas daripada pandangan Gereja Katolik Roma pada saat itu. Di mana Luther dalam tata gereja kurang memberikan perhatiannya sedangkan untuk jabatan Luther menentang ajaran GKR yang telah merumuskan hierarki jabatan dalam gereja. Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan sekarang ialah apakah pandangan Luther ini masih bisa diterapkan di dalam kehidupan gereja, secara khusus bagi gereja-gereja yang ada di Indonesia pada saat ini dan lebih khusus lagi bagi gereja yang ada di Simalungun? Menurut penulis hal ini masih bisa diterapkan bahwa setiap orang adalah imam maksudnya ialah Imam bukan bukan dalam arti sebagai jabatan yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu melainkan fungsi pelayanan meneladani Yesus Kristus, sang agung itu. Yesus Kristus telah menjadi Imam Besar Agung sekaligus korban yang paling sempurna, sekali untuk selamanya. Kemudian berdasarkan imamat dan pengorbanan Kristus inilah, semua orang yang percaya menjadi imam, sehingga disebut imamat am orang percaya. Implikasi konsep imamat am orang percaya tersebut adalah konsep baru mengenai jabatan gerejawi, di mana imam bukan lagi jabatan khusus bagi orang-orang tertentu melainkan fungsi pelayanan. Tentu diperlukan ada pembagian tugas dan jabatan, serta pembedaan bidang pelayanan, namun pada hakikatnya semua orang sederajat; antara pejabat gereja dengan warga gereja tidak ada perbedaan derajat melainkan perbedaan fungsi pelayanan.


[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, hlm.165
[2] Billi Graham, Damai dengan Allah, Jakarta: YKBK/ OMF, 1998, hlm. 233
[3] Th. Van den End, Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm.1
[4] Louis Berkhof, Systematic Theology, Michigan: William B. Eermands Publishing Company Grand Rapids, 1998, hlm. 55
[5] David Van Purnama, Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, Malang: Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1992, hlm. 52
[6] Th. Van den End, Op. Cit., hlm. 219
[7] Th. J. Nanulaitta, “Tubuh Kristus”, Mardinson Simanjorang, Jon Renis Saragih (ed.), Iman dan Paradoks, Jakarta: Mulia Sari, 2002, hlm. 6
[8] Jan. H. Rapar, Melangkah dalam Pengharapan, Jakarta: Pelaksana Harian Majelis Sinode AM GPI, hlm 219
[9] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 342
[10] J. L. Ch. Abineno, Sekitar Teologi Praktika, Jakarta: BPK-GM, 1961, hlm. 77
[11] Mokijat, Analisa Jabatan, Bandung: Alumni ITB Bandung, 1974, hlm. 27
[12] Edwin B. Flippo, Principle of Personal Management, New York: Mogram Hill Book Company, 1961, p.16
[13] J. Buchsel, στρατεια, ,dalam TDNT Vil. Iv. G. Knitter (ed), Grand Rapids Michigan: Eermands Publishing Company, 1964, p. 421
[14]  Lazarus H. Purwanto, Dalam Makalah Bina Penatua GKI Klasis Jakarta Selatan, Maret 2010.
[15] M. H. Bolkestien, Azas-Azas Hukum Gereja, Jakarta: Saksama, 1966, hlm. 31
[16] Ibid, hlm. 32-35
[17] David L. Bartlett, Pelayanan Dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 34
[18] Jonge Chr. De dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?,Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 8-9
[19]  H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 61
[20] Ibid., hlm. 61-66
[21] Jonge Chr. De dan Jan S. Aritonang, Op. Cit., hlm. 23
[22] Ibid, hlm. 24
[23] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM; 2006, hlm. 432
[24] Ibid, hlm. 433
[25] Chr. de Jonge dan Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 25
[26] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 46-47
[27] Jan Sihar Aritonang, Garis-Garis Besar Sejarah Refomasi, Jakarta: Jurnal Info Media, 2007, hlm. 160
[28] Ibid, hlm. 47
[29] Th. Van de End, Harta dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm.172
[30] F. D. Wellem, Tokoh-Tokoh dalam Gereja., hlm.172
[31] Jan Sihar Aritonang, Op. Cit., Jakarta: Jurnal Info Media, 2007, hlm.107
[32] Calvin berkata: Jabatan-jabatan adalah milik Kristus sendiri karena persembahan korban kematian-Nya Ia menghapuskan segala kesalahan-kesalahan kita sendiri dan melunaskan dosa-dosa kita. Oleh karena itu hanya Kristus imam besar kita  ke Allah. Hanya Kristus akses kita kepada Allah. Sebagai Imam besar kita yang telah menguduskan kita dan telah membasuh dosa-dosa kita dan mendapatkan bagi kita anugerah itu yang dari padanya kenajisan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan merintangi kita. Jadi kita melihat bahwa kita harus mulai dari keatian Kristus supaya kemujaraban dan keselamatan dari imamat-Nya dapat menjangkau kita.(Lih. Andar Ismail, Pendeta dan Awam,Jakarta:BPK-GM, 200, hlm.11)
[33] Ibid, hlm.12-13
[34] Ibid, hlm. 17
[35] Ibid, hlm.19
[36] Ibid,  hlm. 21
[37] Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 83
[38] J. L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 22
[39] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 74
[40] Andar Ismail, Selamat Bergereja, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 28
[41] Ferry H. A. Lembong, Materi Pokok Sejarah Gereja Umum Modul 1-6, Jakarta: Direktor Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan DEPAG, 1992, hlm. 285
[42] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 114-115
[43] Ibid.,hlm. 143
[44] F. D. Wellem, Op. Cit, hlm. 131-132
[45] ....., Tata Gereja dan Pearturan Rumah Tangga GKPS, Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 1999, hlm. 12-29
[46] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta;BPK-GM,2009, hlm.311
[47] Benyamin, A. Abednego, Jabatan Gereja dan Kharisma, Jakarta:BPK-GM, 1984, hlm. 72-73

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

2 Reviews:

  1. Sangat bagus tulisannya dan bermanfaat. Ijin share ya.

    ReplyDelete

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim