Metode Mutualitas: Jembatan Profetis
Metode Mutualitas:
Jembatan Profetis
II. Pembahasan
2.1.
Pengertian Motode Mutualitas
Mutualitas berasal dari kata mutual.
Kata mutual merupakan kata sifat yang berarti saling atau bersama. Jadi
mutualitas dapat diartikan sebagai hubungan dua arah (dialog) yang akan
memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan bersama,
terbuka untuk belajar dan perubahan. Model mutualitas lebih berpihak pada
rahmat dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama lain dari pada
kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus.Dalam model mutualitas yang
dipentingkan adalah mutualisme, relasi yang saling berkontribusi untuk
kehidupan, bukan menyerang atau menyalahkan. Bagi model ini, dialog dengan
agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan wujud
dari mengasihi sesama.Prinsip model ini adalah bahwa agama-agama yang ada
berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang
mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual.Hubungan atau relasi
(mitra dialog) yang mutual menjadi fokus utama.[1]Artinya
tidak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu hal yang sama di antara agama-agama
yang memungkinkan terciptanya dialog (mutualisme). Model ini tetap
mempertahankan perbedaan dan keanekaragaman di antara agama-agama (bukan
berarti semua hal harus sama dan menjadi sama).
Model ini tidak mulai dari keunggulan dan kemutlakan agama sendiri,
tetapi menghargai pluralitas dengan lebih positif. Model ini disebut juga
“pluralisme kesamaan” yang fokus pada unsur-unsur yang sama (mutual) dari agama dan tradisi yang
berbeda. Di sini validitas pengalaman religius tidak dapat terbatas pada satu
agama saja. Sebaliknya, masing-masing tradisi agama dapat berkontribusi untuk
mengekspresikan kebenaran yang hakiki. Untuk menghubungkan seluruh
perbedaan-perbedaan yang ada, yang nampaknya tak terdamaikan, tradisi-tradisi
keagamaan harus menemukan unsur-unsur di mana mereka dapat berbagai/bersama (mutual).[2]
Model mutualitas juga dapat
dikatakan sebagai pluralisme agama, sehingga tiap agama dituntut bukan saja
mengakui keberadaan dan hal agama lain tetapi berusaha terlibat dalam
tercapainya suatu kerukunan hidup (kehidupan) dan kebinekaan.Model mutualitas
merupakan sebagai pendukung antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.[3]
Knitter mengusulkan ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling
mengisi, yang merupakan panggilan bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model
mutualistis[4],
yaitu: (1) Jembatan Filosofis-Historis; (2) Jembatan Religius-Mistik; dan (3)
Jembatan Etis-Praktis.
2.2.
Pengertian Jembatan Profetis (Etis-Praktis)
Jika dilihat keadaan dunia yang penuh
kepedihan dan krisis, agama-agama memiliki tanggung jawab bersama untuk
menanggulanginya. Bertindak bersama-sama memampukan mereka untuk saling
mengenal lebih baik. Karena pada jembatan ini, masalah etis dan tanggung jawab
etis merupakan pilar yang akan menunjang kerja sama antar agama yang baru. Oleh
karena itu, kata kunci dari pendekatan pluralisme dan dialog ini adalah
tanggung jawab global: bertanggung jawab terhadap dunia dan penghuninya yang
berada di ambang kepunahan ini[5].
2.3. Dasar Pemahaman Jembatan
Profetis
Seperti jembatan-jembatan lain yang sudah dibicarakan,
jembatan etis –praktis ini erusaha mencari kesamaan semua agama di dunia ini.
Namun, daripada mencari di dalam atau di bawah berbagai agama ini untuk
menemukan pengalaman bersama atau satu sumber yang menopang semuanya, para
teolog praksis ini mencari di sekeliling agama-agama untuk menemukan masalah
yang dihadapi mereka bersama. Para penganut jembatan ini berkeyakinan bahwa ada
sesuatu yang dihadapi bersama. Para penganut jembatan ini berkeyakinan bahwa
ada sesuatu yang lebih bisa dikenai dan sangat mendesak daripada yang dikatakan
Hick sebagai “benar-benar Nyata “ atau yang dikatakan Pannikar “ satu kenyataan
religius” (tanpa menyangkal yang dapat dinyatakan dalam satu kata: penderitaan.
Ada begitu banyak penderitaan di dunia kita sekarang ini.
Seandainya tidak ada lebih banyak penderitaan daripada yang oernah ada, kita
akan lebih menyadarinya. Juga, penderitaan sekarang ini lebih mengancam atau
menganggu ketenangan daripada sebelumnya. Pertama-tama kita berbicara tentang
penderitaan manusia. Kesakitan yang menggerogoti jutaan orang sekarang ini
muncul dalam berbagai macam bentuk berbeda, namun semuanya saling berhubungan.
a. Kemiskinan (poverty). Kita membaca statistic tahunan yang ada
dalam Laporan Pembangunan perserikatan Bangsa-bangsa, ada fluktuasi tetapi
terus menunjuk kepada sebagaian besar umat manusia- seperempat atau seperlima-
yang tidak memperoleh kecukupan untuk makanan, rumah, dan obat-obatan bagi
anak-anak sehingga bisa hidup secara manusiawi. Kemiskinan memang tidak
manusawi , dan sebagaian besar umat manusia diperlukan secara tidak manusiawi.
b. Kezaliman(vletimization).
Ini kesakitan yang bukan semata-mata karena miskin, tetapi dibuat tetap miskin
oleh orang lain. Menjadi korban kezaliman
orang lain, disingkirkan orang lain, digagahi orang lain- semua ini
menyakitkan, mungkin lebih ngeri daripada kelaparan. Menurut para ahli,
sesungguhnya tidak harus ada begitu banyak kemiskinan. Dari kekayaan alam
sebenarnya bisa”cukup kalau dibagi merata”. Tetapi pembagiannya tidak merata
karena pilihan dan kebijakan dibuat oleh mereka yang memiliki kekuasaan
ekonomi, politik, dan militer.
c. Kekererasan(violence).
Kemiskinan sendiri sudah merupakan kekerasan, seperti halnya kelaziman. Oleh
karena itu, dapat dimengerti kalau semuanya ini menjadi sebab atau konteks dari
kekerasan fisik antara suami-istri, kelas-kelas sosial, kelompok-kelompok
etnis. Terlepas dari “ orde baru” setelah runtuhnya Komunisme, terlepas dari
perkembangan ekonomi dari pasar global, kekerasan fisik dan militer terus
menghantui planet kita. Produksi dan pemasaran senjata secara internasional
terus berkemabang sehingga terjadi pemusuhan besar-besaran terhadap manusia dan
kekayaan bertambah bagi sebagaian kecil manusia. Walaupun kini senjata nuklir
berkurang dalam angka, namun dayanya untuk memusnahkan bumi tetap tinggi dan
keterediaannya di sebagian kecil Negara –negara “nakal” terus bertambah.
d. Patriarki. Kalau dilihat dari
statistic tentang feminism kemiskinan, tentang kekerasan dalam keluarga,
tentang perdangangan seks, tentang pemerkosaan sebagai senjata perang,
kelihatannya perempuan memikul beban lebih berat dalam penderitaan manusia.
Kenyataan dari patriarkat- dominasi
laki-laki atas perempuan- walaupun kini semakin lebih jelas dan mendapat
kritikan di mana-mana, tetap saja terjadi. Di seluruh dunia, di beberapa Negara
dan budaya lebih menonjol daripada yang lainnya, perempuan dianggap- kalau
tidak ditetapkan- lebih rneah biasanya digunakan dan disalahgunakan daripada
dihormati dan ditinggikan.
Di
samping penderitaan umat manusia, ada juga penderitaan bumi dan makhluk
lainnya. Cara manusia, yang terus bertambah banyak, menggunakan bumi ini
khususnya melalui pembangunan dan konsumsi yang telah menjadi kebutuhan untuk
menunjang kehidupan dan apa yang disebut Dunia Pertama, spesies manusia sedang
merusak kemampuan memberi hidup (life-going)
dan melestarikan hidup (life-sustaining)
dari planet yang menjadi rumah semua spesies. Ini merupakan suatu bentuk
penderitaan yang mengancam tiap orang. Sementara kemiskinan dapat terjadi jauh
di seberang kita atau dunia, penipisan lapisan ozon atau efek rumah kaca
menjadi ancaman bagi penduduk Beverly Hills sama seperti bagi mereka di berbagai
ghetto di Chicago. Ancaman ini bukan
hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi yang akan datang diharapkan mampu
membangun kehidupan di dunia ini.
2.3.2. Yesus. Sang Penebus
Pilar penyangga yang paling genting dan sulit dibangun untuk
semua jembatan yang menuju ke Model Mutualitas adalah yang berhubungan dengan
Yesus; Bagaimana mempertahankan agar keyakinan tradisional Kristiani tentang
pentingnya Yesus secara universal tidak sampai mengurangi pentingnya tradisi
agama-agama lain dan para pemimpinnya yang juga penting secara universal? Kita
sudah melihat bagaimana mereka yang memilih paham jembatan filosofis menekankan
hakikat simbolis dalam membicarakan Yesus, dengan penekanan khusus atas
simbolisme Yesus sebagai kepenuhan Roh, sedangkan mereka yang memilih jembatan
mistik memahami Yesus partikular sebagai hanya satu ekspresi- walau- pun
penting - dari Kristus yang universal yang tersedia bagi semua agama. Bagi
mereka yang berjalan di atas jembatan etis-praktis, pendekatan terhadap Yesus
uda dapat dikatakan lebih praktis, membumi, dan mudah dipahami. Mungkin lebih
dari berbagai versi Model Mutualitas, jembatan etis-praktis ini mendasari
pandangannya tentang Yesus atas apa yang ilmu tentang Perjanjian Baru katakan
tentang Yesus sejarah.
Untuk mengimbangi
gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus, para penganut teologi agama-agama
berdasar-etika menambahkan frasa adjektiva pada citra sentral Yesus sebagai
nabi: Ia merupakan nabi "yang dipenuhi Roh" Sebagai nabi, Yesus
adalah pembebas- bisa dikatakan sebagai seorang aktivis sosial. Komit-
mennya terhadap pembebasan dan tindakan nyata didorong oleh pengalaman religiusnya yang dalam dengan
Roh, yang meyakinkannya bahwa Allah adalah miliknya dan milik semua orang. Abba
atau Bapa/Ayah. Inilah sumber daya yang mendorong harapan dan keteguhan
hatinya. Inilah juga yang menjadi sumber kedamaian pribadinya sehingga ia bisa
retret di malam hari saat dia merasa lelah mdan pengharapannya diuji. Kalau
rohnya terus bergema bersama Roh Ilahi, maka ia pun terus menjangkau yang
miskin dan yang menderita dan sebaliknya.
Jadi, inilah Yesus yang. menurut pendekatan ctis-praktis
terhadap agama-agama lain, harus diperkenalkan oleh umat Kristiani di dalam dialog-Yesus,
pembebas yang profetis, Memang, gelar tradisional Yesus lainnya tidak dapat
disangkal atau disingkirkan-Yesus, Anak Allah, Mesias, Firman Allah, Juru Selamat. Namun, kalau citra dan
implikasi dari Yesus Pembebas yang dipenuhi Roh tidak memberi terang dan
inspirasi kepada citra lainnya ini, maka ada sesuatu hal penting yang hilang
tentang Yesus. Kalau keilahian Yesus tidak dipahami dan disaksikan kepada umat
beragama lain dalam hubungan dengan peranannya sebagai nabi sosial, maka
gainbaran tentang Yesus bukan hanya tidak sempurna tetapi juga bisa berbahaya.
Ada bahaya bahwa ia hanya menjadi seorang dewa yang disembah dan dipuja di atas
segala dewa lainnya daripada menjadi contoli untuk diikuti dan disaksikan oleh
yang lainnya. Sesungguhnya, pemahaman Yesus secara etis-profetis akan
memampukan umat Kristiani untuk melihat agama-agama lain dengan lebih jelas dan
lebih mudah untuk berhubungan dengan mereka. Pemahaman semacam ini juga akan
melengkapi umat Kristiani dengan prioritas yang sama dengan yang menuntun
Yesus.
Jadi, para
penganut pendekatan etis-praktis terhadap agama-agama lain sampai pada
konklusi: kalau Yesus berpusat-pada-Kerajaan, begitu pula teologi agama-agama
Kristiani harus berpusat-pada-Kerajaan. Fokus semacam ini akan
menentukan prioritas dan menyediakan energi bagi seorang Kristiani untuk
bertemu dengan umat beragama lain. Butir pertama dalam agenda pertemuan umat
Kristiani dengan umat beragama lain bukanlah untuk mencari kata yang halus agar
mereka bisa dibawa ke dalam komunitas Kristiani (seperti dalam Model Peng-
gantian); perhatian utama mereka juga bukan untuk mencari dalam ajaran dan
perbuatan mereka Kristus "yang tersembunyi" atau "tanpa
nama" yang membutuh- kan penyempurnaan di dalam gereja (seperti di dalam
Model Pemenuhan); perhatian mereka bukan juga untuk menemukan yang
"Nyata" atau "sumber mistik" yang mengalir dalam semua
agama (seperti di jembatan mistik dan filosofis untuk Model Mutualitas).
Tetapi, bagi umat Kristiani yang mengikuti Yesus Sang Pembebas, yang paling utama
dalam satu teologi dan dialog agama-agama adalah menanyakan di mana dan
bagaimana berbagai komunitas religius lain itu mencoba mewujudkan apa yang umat
Kristiani sebut dengan Kerajaan Allah di mana sebenamya mereka mencoba untuk
menggantikan dunia penderitaan dan ketidak- adilan manusia dengan dunia yang
penuh kasih dan kesetaraan.
2.3.3. Pemahaman Yesus Secara Etis-Profetis[7]
a. Seperti
yang telah didengar, bagi Yesus yang adalah nabi yang dipenuhi Roh, fokus
kehidupan dan berbagai hubungannya (dengan segala sesuatu) adalah Kerajaan
Allah. Ini berarti bahwa ia bukanlah seperti yang terjadi dengan para
pengikutnya berpusat pada Gereja. Kepedulian utamanya bukanlah menambah anggota
ke dalam gerakan atau komunitas. Sebaliknya, kepeduliannya adalah
mentransformasikan hati manusia sehingga transformasi masyarakat dapat terjadi.
b. Yesus
bukanlah egosentris atau berpusat pada diri sendiri. Tujuan utama pengajarannya
bukanlah membawa manusia mengakui otoritasnya dan otoritas siapapun,tetapi
untuk mengikutinya dalam usahanya membaharui cara hidup dengan sesamanya.
c. Pada
akhirnya, gambaran terbaik dari Yesus dan prioritasnya adalah ia berpusat pada
kerajaan. Semuanya berorientasi kedalam pengertian tertentu, bersubordinasi ke
terciptanya masyarakat baru, tatanan dunia baru. Pernyataan bahwa Allah adalah
memang Abba bagi kita semua, semuanya adalah unsur-unsur dari kabar baik
(gereja,Kristus, Allah) yang digunakan untuk perwujudan dan perluasan Kerajaan
Allah.
2.4. Tokoh-Tokoh
2.4.1.
Aloysius Pieris
Pieris
menambahkan bahwa komitmen yang di pakai untuk bersaksi bahwa Yesus itu
unik karena ia satu-satunya Juru Selamat dan Anak Allah, bagi umat beragama
lain kedengarannya sangat sombong dan terkesan imperialisme. Namun, kalau
mengkhususkan keunikan Yesus dalam panggilannya untuk berbagi kasih dan
keterlibatan Allah yang khusus terhadap para korban, hal ini telah diterima
oleh teman-teman pieris yang beragama buddha dan Hindu sebagai “kabar baik”.[8]
2.4.2.
Edward Schillebeeckx
Menggambarkan Kerajaan Allah adalah kehadiran penyelamatan
Allah, aktif dan mendorong, seperti yang diyakini dan diterima di antara
manusia Ia merupakan kehadiran yang menyelamatkan. Di mana keadilan dan
hubungan damai di antara manusia dan bangsa-bangsa, pemberantasan penyakit,
ketidakadilan, dan penindasan, restorasi kehidupan yang sudah punah atau sedang
mengalami kepunahan, merupakan wujudnya di atas segala-galanya.[9]
[1]Paul
F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129-130.
[2]Handi
Hadiwitanto & Carl Sterkens, Sikap
terhadap Pluralitas Agama: Studi Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan
Kristen di Indonesia, dalam Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober
2012, hal. 202-203.
[3]
Imam Subhkan, Hiruk Pikuk Wacana
Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 29
[4]Paul
F. Knitter, Op.Cit., 133
[5]
Paul F. Knitter, Op.Cit., 160
[6]
Paul.F.Knitter, Op.Cit,162-164
[7] Paul
F. Knitter, Op.Cit., 172
[8] Paul
F. Knitter, Op.Cit., 175
[9] Paul
F. Knitter, Op.Cit., 170
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment