-->

sosial media

Saturday, 26 October 2019

Metode Mutualitas: Jembatan Profetis




Metode Mutualitas:
Jembatan Profetis


  II. Pembahasan
       2.1. Pengertian Motode Mutualitas
Mutualitas berasal dari kata mutual. Kata mutual merupakan kata sifat yang berarti saling atau bersama. Jadi mutualitas dapat diartikan sebagai hubungan dua arah (dialog) yang akan memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan bersama, terbuka untuk belajar dan perubahan. Model mutualitas lebih berpihak pada rahmat dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus.Dalam model mutualitas yang dipentingkan adalah mutualisme, relasi yang saling berkontribusi untuk kehidupan, bukan menyerang atau menyalahkan. Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan wujud dari mengasihi sesama.Prinsip model ini adalah bahwa agama-agama yang ada berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual.Hubungan atau relasi (mitra dialog) yang mutual menjadi fokus utama.[1]Artinya tidak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu hal yang sama di antara agama-agama yang memungkinkan terciptanya dialog (mutualisme). Model ini tetap mempertahankan perbedaan dan keanekaragaman di antara agama-agama (bukan berarti semua hal harus sama dan menjadi sama).
Model ini tidak mulai dari keunggulan dan kemutlakan agama sendiri, tetapi menghargai pluralitas dengan lebih positif. Model ini disebut juga “pluralisme kesamaan” yang fokus pada unsur-unsur yang sama (mutual) dari agama dan tradisi yang berbeda. Di sini validitas pengalaman religius tidak dapat terbatas pada satu agama saja. Sebaliknya, masing-masing tradisi agama dapat berkontribusi untuk mengekspresikan kebenaran yang hakiki. Untuk menghubungkan seluruh perbedaan-perbedaan yang ada, yang nampaknya tak terdamaikan, tradisi-tradisi keagamaan harus menemukan unsur-unsur di mana mereka dapat berbagai/bersama (mutual).[2]
Model mutualitas juga dapat dikatakan sebagai pluralisme agama, sehingga tiap agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hal agama lain tetapi berusaha terlibat dalam tercapainya suatu kerukunan hidup (kehidupan) dan kebinekaan.Model mutualitas merupakan sebagai pendukung antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.[3]
Knitter mengusulkan ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan panggilan bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model mutualistis[4], yaitu: (1) Jembatan Filosofis-Historis; (2) Jembatan Religius-Mistik; dan (3) Jembatan Etis-Praktis.

            2.2. Pengertian Jembatan Profetis (Etis-Praktis)
                                    Jika dilihat keadaan dunia yang penuh kepedihan dan krisis, agama-agama memiliki tanggung jawab bersama untuk menanggulanginya. Bertindak bersama-sama memampukan mereka untuk saling mengenal lebih baik. Karena pada jembatan ini, masalah etis dan tanggung jawab etis merupakan pilar yang akan menunjang kerja sama antar agama yang baru. Oleh karena itu, kata kunci dari pendekatan pluralisme dan dialog ini adalah tanggung jawab global: bertanggung jawab terhadap dunia dan penghuninya yang berada di ambang kepunahan ini[5].
            2.3. Dasar Pemahaman Jembatan Profetis
2.3.1.Masalah bersama Sama Dengan Asas Bersama[6]
Seperti jembatan-jembatan lain yang sudah dibicarakan, jembatan etis –praktis ini erusaha mencari kesamaan semua agama di dunia ini. Namun, daripada mencari di dalam atau di bawah berbagai agama ini untuk menemukan pengalaman bersama atau satu sumber yang menopang semuanya, para teolog praksis ini mencari di sekeliling agama-agama untuk menemukan masalah yang dihadapi mereka bersama. Para penganut jembatan ini berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang dihadapi bersama. Para penganut jembatan ini berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih bisa dikenai dan sangat mendesak daripada yang dikatakan Hick sebagai “benar-benar Nyata “ atau yang dikatakan Pannikar “ satu kenyataan religius” (tanpa menyangkal yang dapat dinyatakan dalam satu kata: penderitaan.
Ada begitu banyak penderitaan di dunia kita sekarang ini. Seandainya tidak ada lebih banyak penderitaan daripada yang oernah ada, kita akan lebih menyadarinya. Juga, penderitaan sekarang ini lebih mengancam atau menganggu ketenangan daripada sebelumnya. Pertama-tama kita berbicara tentang penderitaan manusia. Kesakitan yang menggerogoti jutaan orang sekarang ini muncul dalam berbagai macam bentuk berbeda, namun semuanya saling berhubungan.
a. Kemiskinan (poverty). Kita membaca statistic tahunan yang ada dalam Laporan Pembangunan perserikatan Bangsa-bangsa, ada fluktuasi tetapi terus menunjuk kepada sebagaian besar umat manusia- seperempat atau seperlima- yang tidak memperoleh kecukupan untuk makanan, rumah, dan obat-obatan bagi anak-anak sehingga bisa hidup secara manusiawi. Kemiskinan memang tidak manusawi , dan sebagaian besar umat manusia diperlukan secara tidak manusiawi.
b. Kezaliman(vletimization). Ini kesakitan yang bukan semata-mata karena miskin, tetapi dibuat tetap miskin oleh orang lain. Menjadi korban kezaliman orang lain, disingkirkan orang lain, digagahi orang lain- semua ini menyakitkan, mungkin lebih ngeri daripada kelaparan. Menurut para ahli, sesungguhnya tidak harus ada begitu banyak kemiskinan. Dari kekayaan alam sebenarnya bisa”cukup kalau dibagi merata”. Tetapi pembagiannya tidak merata karena pilihan dan kebijakan dibuat oleh mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi, politik, dan  militer.
c. Kekererasan(violence). Kemiskinan sendiri sudah merupakan kekerasan, seperti halnya kelaziman. Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau semuanya ini menjadi sebab atau konteks dari kekerasan fisik antara suami-istri, kelas-kelas sosial, kelompok-kelompok etnis. Terlepas dari “ orde baru” setelah runtuhnya Komunisme, terlepas dari perkembangan ekonomi dari pasar global, kekerasan fisik dan militer terus menghantui planet kita. Produksi dan pemasaran senjata secara internasional terus berkemabang sehingga terjadi pemusuhan besar-besaran terhadap manusia dan kekayaan bertambah bagi sebagaian kecil manusia. Walaupun kini senjata nuklir berkurang dalam angka, namun dayanya untuk memusnahkan bumi tetap tinggi dan keterediaannya di sebagian kecil Negara –negara “nakal” terus bertambah.
d. Patriarki. Kalau dilihat dari statistic tentang feminism kemiskinan, tentang kekerasan dalam keluarga, tentang perdangangan seks, tentang pemerkosaan sebagai senjata perang, kelihatannya perempuan memikul beban lebih berat dalam penderitaan manusia. Kenyataan dari patriarkat- dominasi  laki-laki atas perempuan- walaupun kini semakin lebih jelas dan mendapat kritikan di mana-mana, tetap saja terjadi. Di seluruh dunia, di beberapa Negara dan budaya lebih menonjol daripada yang lainnya, perempuan dianggap- kalau tidak ditetapkan- lebih rneah biasanya digunakan dan disalahgunakan daripada dihormati dan ditinggikan.
Di samping penderitaan umat manusia, ada juga penderitaan bumi dan makhluk lainnya. Cara manusia, yang terus bertambah banyak, menggunakan bumi ini khususnya melalui pembangunan dan konsumsi yang telah menjadi kebutuhan untuk menunjang kehidupan dan apa yang disebut Dunia Pertama, spesies manusia sedang merusak kemampuan memberi hidup (life-going) dan melestarikan hidup (life-sustaining) dari planet yang menjadi rumah semua spesies. Ini merupakan suatu bentuk penderitaan yang mengancam tiap orang. Sementara kemiskinan dapat terjadi jauh di seberang kita atau dunia, penipisan lapisan ozon atau efek rumah kaca menjadi ancaman bagi penduduk Beverly Hills sama seperti bagi mereka di berbagai ghetto di Chicago. Ancaman ini bukan hanya bagi kita, tetapi juga bagi generasi yang akan datang diharapkan mampu membangun kehidupan di dunia ini.
2.3.2. Yesus. Sang Penebus
Pilar penyangga yang paling genting dan sulit dibangun untuk semua jembatan yang menuju ke Model Mutualitas adalah yang berhubungan dengan Yesus; Bagaimana mempertahankan agar keyakinan tradisional Kristiani tentang pentingnya Yesus secara universal tidak sampai mengurangi pentingnya tradisi agama-agama lain dan para pemimpinnya yang juga penting secara universal? Kita sudah melihat bagaimana mereka yang memilih paham jembatan filosofis menekankan hakikat simbolis dalam membicarakan Yesus, dengan penekanan khusus atas simbolisme Yesus sebagai kepenuhan Roh, sedangkan mereka yang memilih jembatan mistik memahami Yesus partikular sebagai hanya satu ekspresi- walau- pun penting - dari Kristus yang universal yang tersedia bagi semua agama. Bagi mereka yang berjalan di atas jembatan etis-praktis, pendekatan terhadap Yesus uda dapat dikatakan lebih praktis, membumi, dan mudah dipahami. Mungkin lebih dari berbagai versi Model Mutualitas, jembatan etis-praktis ini mendasari pandangannya tentang Yesus atas apa yang ilmu tentang Perjanjian Baru katakan tentang Yesus sejarah.
Untuk mengimbangi gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus, para penganut teologi agama-agama berdasar-etika menambahkan frasa adjektiva pada citra sentral Yesus sebagai nabi: Ia merupakan nabi "yang dipenuhi Roh" Sebagai nabi, Yesus adalah pembebas- bisa dikatakan sebagai seorang aktivis sosial. Komit- mennya terhadap pembebasan dan tindakan nyata didorong oleh pengalaman religiusnya yang dalam dengan Roh, yang meyakinkannya bahwa Allah adalah miliknya dan milik semua orang. Abba atau Bapa/Ayah. Inilah sumber daya yang mendorong harapan dan keteguhan hatinya. Inilah juga yang menjadi sumber kedamaian pribadinya sehingga ia bisa retret di malam hari saat dia merasa lelah mdan pengharapannya diuji. Kalau rohnya terus bergema bersama Roh Ilahi, maka ia pun terus menjangkau yang miskin dan yang menderita dan sebaliknya.
 Jadi, inilah Yesus yang. menurut pendekatan ctis-praktis terhadap agama-agama lain, harus diperkenalkan oleh umat Kristiani di dalam dialog-Yesus, pembebas yang profetis, Memang, gelar tradisional Yesus lainnya tidak dapat disangkal atau disingkirkan-Yesus, Anak Allah, Mesias, Firman Allah, Juru Selamat. Namun, kalau citra dan implikasi dari Yesus Pembebas yang dipenuhi Roh tidak memberi terang dan inspirasi kepada citra lainnya ini, maka ada sesuatu hal penting yang hilang tentang Yesus. Kalau keilahian Yesus tidak dipahami dan disaksikan kepada umat beragama lain dalam hubungan dengan peranannya sebagai nabi sosial, maka gainbaran tentang Yesus bukan hanya tidak sempurna tetapi juga bisa berbahaya. Ada bahaya bahwa ia hanya menjadi seorang dewa yang disembah dan dipuja di atas segala dewa lainnya daripada menjadi contoli untuk diikuti dan disaksikan oleh yang lainnya. Sesungguhnya, pemahaman Yesus secara etis-profetis akan memampukan umat Kristiani untuk melihat agama-agama lain dengan lebih jelas dan lebih mudah untuk berhubungan dengan mereka. Pemahaman semacam ini juga akan melengkapi umat Kristiani dengan prioritas yang sama dengan yang menuntun Yesus.
Jadi, para penganut pendekatan etis-praktis terhadap agama-agama lain sampai pada konklusi: kalau Yesus berpusat-pada-Kerajaan, begitu pula teologi agama-agama Kristiani harus berpusat-pada-Kerajaan. Fokus semacam ini akan menentukan prioritas dan menyediakan energi bagi seorang Kristiani untuk bertemu dengan umat beragama lain. Butir pertama dalam agenda pertemuan umat Kristiani dengan umat beragama lain bukanlah untuk mencari kata yang halus agar mereka bisa dibawa ke dalam komunitas Kristiani (seperti dalam Model Peng- gantian); perhatian utama mereka juga bukan untuk mencari dalam ajaran dan perbuatan mereka Kristus "yang tersembunyi" atau "tanpa nama" yang membutuh- kan penyempurnaan di dalam gereja (seperti di dalam Model Pemenuhan); perhatian mereka bukan juga untuk menemukan yang "Nyata" atau "sumber mistik" yang mengalir dalam semua agama (seperti di jembatan mistik dan filosofis untuk Model Mutualitas). Tetapi, bagi umat Kristiani yang mengikuti Yesus Sang Pembebas, yang paling utama dalam satu teologi dan dialog agama-agama adalah menanyakan di mana dan bagaimana berbagai komunitas religius lain itu mencoba mewujudkan apa yang umat Kristiani sebut dengan Kerajaan Allah di mana sebenamya mereka mencoba untuk menggantikan dunia penderitaan dan ketidak- adilan manusia dengan dunia yang penuh kasih dan kesetaraan.
2.3.3. Pemahaman Yesus Secara Etis-Profetis[7]
a. Seperti yang telah didengar, bagi Yesus yang adalah nabi yang dipenuhi Roh, fokus kehidupan dan berbagai hubungannya (dengan segala sesuatu) adalah Kerajaan Allah. Ini berarti bahwa ia bukanlah seperti yang terjadi dengan para pengikutnya berpusat pada Gereja. Kepedulian utamanya bukanlah menambah anggota ke dalam gerakan atau komunitas. Sebaliknya, kepeduliannya adalah mentransformasikan hati manusia sehingga transformasi masyarakat dapat terjadi.
b. Yesus bukanlah egosentris atau berpusat pada diri sendiri. Tujuan utama pengajarannya bukanlah membawa manusia mengakui otoritasnya dan otoritas siapapun,tetapi untuk mengikutinya dalam usahanya membaharui cara hidup dengan sesamanya.
c. Pada akhirnya, gambaran terbaik dari Yesus dan prioritasnya adalah ia berpusat pada kerajaan. Semuanya berorientasi kedalam pengertian tertentu, bersubordinasi ke terciptanya masyarakat baru, tatanan dunia baru. Pernyataan bahwa Allah adalah memang Abba bagi kita semua, semuanya adalah unsur-unsur dari kabar baik (gereja,Kristus, Allah) yang digunakan untuk perwujudan dan perluasan Kerajaan Allah.

            2.4.  Tokoh-Tokoh
                        2.4.1. Aloysius Pieris
            Pieris  menambahkan bahwa komitmen yang di pakai untuk bersaksi bahwa Yesus itu unik karena ia satu-satunya Juru Selamat dan Anak Allah, bagi umat beragama lain kedengarannya sangat sombong dan terkesan imperialisme. Namun, kalau mengkhususkan keunikan Yesus dalam panggilannya untuk berbagi kasih dan keterlibatan Allah yang khusus terhadap para korban, hal ini telah diterima oleh teman-teman pieris yang beragama buddha dan Hindu sebagai “kabar baik”.[8]
                        2.4.2. Edward Schillebeeckx
            Menggambarkan Kerajaan Allah adalah kehadiran penyelamatan Allah, aktif dan mendorong, seperti yang diyakini dan diterima di antara manusia Ia merupakan kehadiran yang menyelamatkan. Di mana keadilan dan hubungan damai di antara manusia dan bangsa-bangsa, pemberantasan penyakit, ketidakadilan, dan penindasan, restorasi kehidupan yang sudah punah atau sedang mengalami kepunahan, merupakan wujudnya di atas segala-galanya.[9]


[1]Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129-130.
[2]Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens, Sikap terhadap Pluralitas Agama: Studi Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan Kristen di Indonesia, dalam Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober 2012, hal. 202-203.
[3] Imam Subhkan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 29
[4]Paul F. Knitter, Op.Cit., 133
[5] Paul F. Knitter, Op.Cit., 160
[6] Paul.F.Knitter, Op.Cit,162-164
[7] Paul F. Knitter, Op.Cit., 172
[8] Paul F. Knitter, Op.Cit., 175
[9] Paul F. Knitter, Op.Cit., 170

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim