KOTBAH KONTEKSTUAL
I.
Pendahuluan
Masa
Modern kini, banyak Pemberita Firman Tuhan berkotbah seolah-olah tidak
menghadapi pendengar yang hidup dalam dunia yang penuh dalam berbagai, masalah,
pergumulan, penderitaan, harapan-harapan yang suram, kekecewaan, putus asa dan
lain-lain di tengah-tengah kemajuan zaman dan pluralitas Agama. Oleh karena
itulah kotbah yang bagi jemaat ialah mempertimbangkan konteks kehidupan warga
jemaat. Dengan demikian apa yang dikotbahkan dapat menjawab pertanyaan
permasalahan yang dihadapi jemaat dan juga menyadarkan serta menginsyafkan
seseorang dari perbuatannya. Suatu permasalahan yang nyata bagi kita Umat
Kristiani sekarang ini umumnya gereja protestan adalah banyaknya jemaat
yang “berselingkuh” (mencari kepuasan ditempat lain).
II.
Pembahasan
2.1. Hakekat Kotbah[1]
Pada hakekatnya kotbah bertujuan agar para
pendengarnya menjadi taat kepada Tuhan, dan mengalami keselamatan dari Allah
dalam kehidupannya sehari-hari. Karena syarat dalam mencapai keselamatan itu
adalah iman yang bertumbuh dalam diri setiap manusia. Dan kotbah juga
memberikan seluruh gambaran dan maksud kepada jemaat (Kis. 20:27). Lewat
pemberitaan injil tersebut Allah menyampaikan maksud-Nya kepada jemaat untuk
menuntun mereka kepada jalan keselamatan (II Tim. 3:15). Dalam II Tim. 3:16
dikatakan bahwa, “untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
mendidik orang dalam kebenaran”.
Kotbah merupakan salah satu bagian dari
kebaktian. Dengan demikian kotbah bukanlah suatu kesempatan untuk menyampaikan
apa yang ingin pengkotbah sampaikan, melainkan menyampaikan apa yang Tuhan
hendak katakan kepada Jemaat/Pendengar.
2.2. Latar
belakang dan Pengertian Kotbah Kontekstual
Alkitab,
bukannya menggunakan kata-kata asing yang tidak dikenal, para rasul justru
menggunakan kata-kata yang telah dikenal namun kemudian diberikan muatan makna
yang baru. Rasul Yohanes, misalnya, menggunakan kata “logos” di dalam Yohanes
1:1 yang memiliki muatan arti teologis yang berbeda dengan ketika kata itu
digunakan oleh orang-orang Yunani yang tidak mengenal Kristus. Ini menunjukkan
suatu kontekstualisasi dari penggunaan kata-kata yang sudah ada kepada
penggunaan kata-kata yang sama untuk menyaksikan kebenaran Allah yang kenal.
Pola ini telah diteladani oleh banyak orang Kristen dari dulu sampai sekarang.[2]
Yesus
pun tidak mengabaikan pola demikian. Kotbah kotbah Yesus menggunakan bahasa,
pengetahuan umum dan simbol-simbol yang telah dikenal untuk menyajikan berita
Injil sesuai dengan konteks zamannya. Perumpamaan-perumpamaan adalah contoh
yang jelas. Paulus melakukan hal serupa. Paulus memulai kotbahnya di hadapan
orang-orang di Athena di atas Areopagus dengan menggunakan ungkapan yang sudah
mereka kenal: “Kepada Allah yang tidak dikenal” (Kisah Para Rasul 17:23),
bukannya menggunakan istilah dan ungkapan yang asing di telinga mereka. Hanya
saja Paulus memberi makna teologis berdasarkan iman Kristen terhadap ungkapan
tersebut. Sedangkan, ketika ia berkhotbah di hadapan orang-orang Yahudi setelah
memasuki sebuah rumah ibadat di Antiokhia di Pisidia, Paulus mengawali dengan
Perjanjian Lama. Meski tidak mengutip secara langsung, ia mulai dengan
meringkas catatan historis yang disaksikan oleh Perjanjian Lama (Kisah Para
Rasul 13:16-20). Kontekstualiasi juga dilakukan oleh Paulus ketika ia
berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi di Listra
(Kisah Para Rasul 14), bahwa acuan yang dipakai dapat berbeda, namun isi pesan
tetaplah Kristus dan kebenaran Firman Tuhan. Jadi kunci khotbah yang kontekstual
adalah di mana khotbah itu dimulai. Alkitab sudah menentukan agendanya (karya
keselamatan yang Allah kerjakan bagi orang berdosa) dan isi dari agenda itu
(Yesus Kristus).[3]
2.3.
Tantangan Kotbah Kontekstualisasi[4]
Tantangan
yang selalu harus dijawab dalam khotbah yang kontekstual ada dua. Pertama,
tetap kokoh dalam kebenaran Alkitab yang selalu relevan. Jangan sampai
kontekstualisasi mengorbankan kebenaran itu (universalisme). Kedua, mengkaitkan
kebenaran itu pada konteks yang spesifik dengan penuh hikmat. Jangan sampai
kontekstualisasi menghasilkan kebenaran yang tidak lagi murni (sinkretisme).
Khotbah yang kontekstual adalah khotbah yang menjawab kedua tantangan tadi
dengan sebaik-baiknya. Dengan memperhatikan dua tantangan ini sekarang waktunya
untuk menyusun khotbah yang kontekstual dengan sebaik-baiknya.
2.4.
Hal-hal yang perlu dalam membuat Struktur
Kotbah Kontekstual
1
Korintus 14:33 dan 40 menyatakan bahwa Allah tidak menghendaki kekacauan,
melainkan keteraturan. Prinsip ini juga berlaku di dalam khotbah. Jika kotbah
tidak ditata dan diatur dengan baik, maka yang terjadi adalah kotbah menjadi
membingungkan bagi orang-orang yang mendengar. Memang jemaat tidak harus
dituntut dapat mengulang setiap pokok pikiran yang ada di dalam kotbah. Namun
bagi para pengkotbah itu sendiri, mereka harus mengetahui maksud yang hendak
dicapai dan cara mencapai maksud itu. Karena jika tidak, yang terjadi adalah
bagaikan “orang buta yang menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam
lobang” (Matius 15:14). Seorang pengkotbah perlu menyadari terlebih dahulu
maksud dari sebuah khotbah yang hendak disampaikan. Setelah maksud itu
ditemukan, selanjutnya adalah mengembangkan materi yang ada demi mencapai
maksud itu dengan cara yang praktis dan menarik. Kebanyakan garis besar khotbah
akan terdiri dari: pendahuluan atau pengantar, satu maksud kotbah, pokok
pikiran kotbah (biasanya dua atau lebih) yang mengembangkan satu maksud kotbah
itu dan penutup atau kesimpulan.[5]
Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menyusun suatu kotbah Kontekstual.
I.
Tahap Penelitian[6]
1.
Bahan khotbah yang berasal dari dalam konteks
kehidupan umat: inspirasi khotbah tidak hanya dari teks Alkitab, tetapi juga
dari teks kehidupan riel umat.
2.
Teori bertumbuh secara induktif analitis:
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lahir dari situasi konkret.
3.
Penyelaman dan keterlibatan: melalui
penelitian, pengkhtobah dapat memahami situasi riel umat dan terlibat di
dalamnya.
4.
Memandang dari sisi dalam: memeroleh
pengertian tentang situasi konkret dari perspektif umat.
5.
Pengamatan mengacu pada penggalian
sistematis: berupa wawancara terbuka sehingga dapat melengkapi hasil
pengamatan.
6.
Kontekstualitasi melalui dokumentasi:
dokumen-dokumen dapat mengisi latar-belakang dan memberi konteks yang lebih luas
dan dalam.
7.
Metode dan metodologi terpadu: metode
penelitian yang berbeda-beda dapat dipakai untuk melengkapi metode-metode di
lapangan.
8.
Sistem pengolahan bertumbuh secara
induktif-analitik: menentukan pengumpulan dan analisis data mulai di lapangan
dan dikembangkan dalam seluruh proses penelitian lapangan.
9.
Mempertahankan situasi yanga asli: peneliti
menjaga agar tidak mengganggu proses kehidupan sosial yang sedang berjalan.
10. Pertimbangan
etis: laporan penelitian disebarluaskan tanpa merugikan umat yang sedang
ditelitinya.
II.
Tahap Kotbah[7]
1.
Struktur
kotbah bergantung sepenuhnya dari materi yang ada dalam teks yang dikhotbahkan.
Jangan mengembangkan struktur untuk kemudian dipaksakan sesuai dengan materi
yang ada dalam teks (eisegesis).
2.
Struktur
kotbah dikembangkan menurut maksud utama yang didapat dari teks. Pendahuluan,
pokok pikiran dan kesimpulan haruslah sesuai dengannya. Jika menyimpang ke
kanan, ke kiri, ke atas atau ke bawah, maka yang terjadi adalah khotbah akan
kehilangan fokus.
3.
Meski
teks Alkitab dapat dilihat dari berbagai perspektif, pengkhotbah harus
menentukan pilihan untuk dijadikan satu maksud utama bagi khotbahnya pada waktu
itu. Karena jika pengkhotbah berusaha untuk menjelaskan berbagai macam maksud,
maka akan berakibat khotbah menjadi tidak menentu. Frad Craddock mengingatkan
demikian, “Many texts hold a surplus of meaning...but not everything can be
said at once. To aim at nothing (or at everything) is to miss everything”
4.
Struktur
kotbah tidak hanya menjelaskan “what” dari teks melainkan juga “so what” bagi
pembaca yang berangkat dari penjelasan teks itu. Struktur kotbah tidak saja
menjelaskan satu maksud utama teks melainkan juga memanggil jemaat untuk
memberikan satu respon spesifik dari maksud utama tadi. Bagaimana caranya?
Tanyalah tiga pertanyaan ini terlebih dahulu:
a. Kotbah ini ingin membuat jemaat berpikir apa? (bagaimana maksud utama
kotbah menantang pikiran mereka)
b. Kotbah ini ingin membuat jemaat merasakan apa? (bagaimana maksud
utama kotbah menantang emosi mereka)
c. Kotbah ini ingin membuat jemaat melakukan apa? (bagaimana maksud utama kotbah menantang
kehendak mereka)
2.5. Pandangan Tokoh[8]
Metode
David Lose dalam mempersiapkan khotbah yang kontekstual, yaitu:
1. Memahami latar belakang teks (behind the text): memahami sejarah yang menjadi
latarbelakang kisah atau tuturan dalam suatu teks perikop Alkitab, sehingga
kita dapat memahami alasan dan tujuan dari perikop tersebut.
2. Makna teks secara
harafiah (in the text): memahami teks yang eksplisit, dan bukan
yang implisit sehingga dapat menghindari pandangan yang subjektif. Teks yang
harafiah tersebut dapat menjadi landasan untuk pendalaman makna.
3.Makna dalam Tahun Liturgi
(around the text): menempatkan makna teks suatu perikop
dalam konteks Tahun Liturgi yang berjalan sehingga umat dapat merayakan
peristiwa Tahun Liturgi tersebut yang dilandasi oleh teks ayat atau perikop
Alkitab.
4.Konteks riil umat (in front of the text):
memahami konteks riil umat sehingga penafsiran yang telah dilakukan di bagian
a-c terhubung, sehingga umat dapat mengalami peristiwa penyataan Allah dalam
kehidupan mereka, sehingga mereka dapat memberi respons iman yang tepat. Karena
itu para pendeta atau pengkhotbah perlu berlatih agar semakin matang untuk
menginspirasi umat memberi respons atau tanggapan (response’s reader).
III.
Kesimpulan
1. Pola khotbah rasul Paulus menunjukkan bahwa
ia memulai dengan menggunakan sesuatu yang sudah dikenal oleh para
pendengarnya. Bagi orang-orang Yahudi yang beribadah di bait Allah, sesuatu itu
adalah sejarah mereka yang berakar dalam Perjanjian Lama. Bagi orang-orang
Yunani, Paulus menggunakan ungkapan sehari-hari yang mereka sendiri buat. Namun
satu hal yang selalu hadir dalam segala kontekstualisasi itu adalah Paulus menyaksikan
Kristus di dalam semuanya.
2. Mengingat prinsip (struktur adalah pelayan dan bukan tuan) menolong
seseorang untuk tidak menjadi sombong melainkan terus belajar rendah hati dalam
mempersiapkan khotbahnya. Khususnya, dalam fungsinya untuk melayani, sebuah
struktur khotbah menolong seorang pengkhotbah untuk melihat maksud utama (the
“what”) dari khotbah dan ajakan utama (the “so what”) dari khotbah. Struktur
khotbah tertulis demikian menolong dalam pengembangan diri untuk menggunakan
kosakata yang sederhana namun menantang sekaligus menarik.
3. Pada
akhirnya, khotbah yang kontekstual juga memiliki peran dan tanggungjawab untuk
selalu menyesuaikan pesan yang terdapat juga dalam substansi yang ada dalam
khotbah tekstual. Juga dalam perkembangan zaman dalam perspektif Indonesia,
khotbah juga harus berada di luar teks dan merelevansikan dengan keadaan,
peristiwa, dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kemajemukan dan
pluralitas agama di Indonesia secara khusus. Maka, khotbah yang kontekstual
akan sangat bermakna dalam pembentukan pemeliharaan kehidupan Kristen di dalam
kemajuan dan perkembangan zaman.
IV.
Daftar Pustaka
Buttrick, David, Homiletic (Moves and Structures), Michigan:
Baker Academic,2003
Evans, William, Cara Mempersiapkan Khotbah, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2004
Killinger, John, Dasar-dasar
Khotbah ,Jakarta BPK-Gunung Mulia,2004
Rothlisbeger, H., Homiletika dan Ilmu Berkhotbah,
Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005
[1] John Killinger, Dasar-dasar Khotbah ,(Jakarta BPK-Gunung Mulia,2004), 56.
[2] H.Rothlisbeger, Homiletika dan Ilmu Berkhotbah,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005), 32.
[3] Ibid, 34.
[4] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010),78
[5]William Evans, Cara
Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2004), 74
[6]David Buttrick, Homiletic
(Moves and Structures), (Michigan: Baker Academic,2003),85-86
[7]
William Evans, Cara Mempersiapkan
Khotbah, 76
[8] David Buttrick, Homiletic
(Moves and Structures), ,97
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment