-->

sosial media

Saturday, 17 October 2020

KOTBAH KONTEKSTUAL

 


I.         Pendahuluan

Masa Modern kini, banyak Pemberita Firman Tuhan berkotbah seolah-olah tidak menghadapi pendengar yang hidup dalam dunia yang penuh dalam berbagai, masalah, pergumulan, penderitaan, harapan-harapan yang suram, kekecewaan, putus asa dan lain-lain di tengah-tengah kemajuan zaman dan pluralitas Agama. Oleh karena itulah kotbah yang bagi jemaat ialah mempertimbangkan konteks kehidupan warga jemaat. Dengan demikian apa yang dikotbahkan dapat menjawab pertanyaan permasalahan yang dihadapi jemaat dan juga menyadarkan serta menginsyafkan seseorang dari perbuatannya. Suatu permasalahan yang nyata bagi kita Umat Kristiani sekarang ini umumnya gereja protestan adalah banyaknya jemaat yang “berselingkuh” (mencari kepuasan ditempat lain).

 

II.      Pembahasan

2.1.   Hakekat Kotbah[1]

Pada hakekatnya kotbah bertujuan agar para pendengarnya menjadi taat kepada Tuhan, dan mengalami keselamatan dari Allah dalam kehidupannya sehari-hari. Karena syarat dalam mencapai keselamatan itu adalah iman yang bertumbuh dalam diri setiap manusia. Dan kotbah juga memberikan seluruh gambaran dan maksud kepada jemaat (Kis. 20:27). Lewat pemberitaan injil tersebut Allah menyampaikan maksud-Nya kepada jemaat untuk menuntun mereka kepada jalan keselamatan (II Tim. 3:15). Dalam II Tim. 3:16 dikatakan bahwa, “untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran”.

Kotbah merupakan salah satu bagian dari kebaktian. Dengan demikian kotbah bukanlah suatu kesempatan untuk menyampaikan apa yang ingin pengkotbah sampaikan, melainkan menyampaikan apa yang Tuhan hendak katakan kepada Jemaat/Pendengar.

 

2.2.  Latar belakang dan Pengertian Kotbah Kontekstual

Alkitab, bukannya menggunakan kata-kata asing yang tidak dikenal, para rasul justru menggunakan kata-kata yang telah dikenal namun kemudian diberikan muatan makna yang baru. Rasul Yohanes, misalnya, menggunakan kata “logos” di dalam Yohanes 1:1 yang memiliki muatan arti teologis yang berbeda dengan ketika kata itu digunakan oleh orang-orang Yunani yang tidak mengenal Kristus. Ini menunjukkan suatu kontekstualisasi dari penggunaan kata-kata yang sudah ada kepada penggunaan kata-kata yang sama untuk menyaksikan kebenaran Allah yang kenal. Pola ini telah diteladani oleh banyak orang Kristen dari dulu sampai sekarang.[2]

Yesus pun tidak mengabaikan pola demikian. Kotbah kotbah Yesus menggunakan bahasa, pengetahuan umum dan simbol-simbol yang telah dikenal untuk menyajikan berita Injil sesuai dengan konteks zamannya. Perumpamaan-perumpamaan adalah contoh yang jelas. Paulus melakukan hal serupa. Paulus memulai kotbahnya di hadapan orang-orang di Athena di atas Areopagus dengan menggunakan ungkapan yang sudah mereka kenal: “Kepada Allah yang tidak dikenal” (Kisah Para Rasul 17:23), bukannya menggunakan istilah dan ungkapan yang asing di telinga mereka. Hanya saja Paulus memberi makna teologis berdasarkan iman Kristen terhadap ungkapan tersebut. Sedangkan, ketika ia berkhotbah di hadapan orang-orang Yahudi setelah memasuki sebuah rumah ibadat di Antiokhia di Pisidia, Paulus mengawali dengan Perjanjian Lama. Meski tidak mengutip secara langsung, ia mulai dengan meringkas catatan historis yang disaksikan oleh Perjanjian Lama (Kisah Para Rasul 13:16-20). Kontekstualiasi juga dilakukan oleh Paulus ketika ia berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi di Listra (Kisah Para Rasul 14), bahwa acuan yang dipakai dapat berbeda, namun isi pesan tetaplah Kristus dan kebenaran Firman Tuhan. Jadi kunci khotbah yang kontekstual adalah di mana khotbah itu dimulai. Alkitab sudah menentukan agendanya (karya keselamatan yang Allah kerjakan bagi orang berdosa) dan isi dari agenda itu (Yesus Kristus).[3]

 

2.3.       Tantangan Kotbah Kontekstualisasi[4]

Tantangan yang selalu harus dijawab dalam khotbah yang kontekstual ada dua. Pertama, tetap kokoh dalam kebenaran Alkitab yang selalu relevan. Jangan sampai kontekstualisasi mengorbankan kebenaran itu (universalisme). Kedua, mengkaitkan kebenaran itu pada konteks yang spesifik dengan penuh hikmat. Jangan sampai kontekstualisasi menghasilkan kebenaran yang tidak lagi murni (sinkretisme). Khotbah yang kontekstual adalah khotbah yang menjawab kedua tantangan tadi dengan sebaik-baiknya. Dengan memperhatikan dua tantangan ini sekarang waktunya untuk menyusun khotbah yang kontekstual dengan sebaik-baiknya.  

 

2.4.         Hal-hal yang perlu dalam membuat Struktur Kotbah Kontekstual

1 Korintus 14:33 dan 40 menyatakan bahwa Allah tidak menghendaki kekacauan, melainkan keteraturan. Prinsip ini juga berlaku di dalam khotbah. Jika kotbah tidak ditata dan diatur dengan baik, maka yang terjadi adalah kotbah menjadi membingungkan bagi orang-orang yang mendengar. Memang jemaat tidak harus dituntut dapat mengulang setiap pokok pikiran yang ada di dalam kotbah. Namun bagi para pengkotbah itu sendiri, mereka harus mengetahui maksud yang hendak dicapai dan cara mencapai maksud itu. Karena jika tidak, yang terjadi adalah bagaikan “orang buta yang menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang” (Matius 15:14). Seorang pengkotbah perlu menyadari terlebih dahulu maksud dari sebuah khotbah yang hendak disampaikan. Setelah maksud itu ditemukan, selanjutnya adalah mengembangkan materi yang ada demi mencapai maksud itu dengan cara yang praktis dan menarik. Kebanyakan garis besar khotbah akan terdiri dari: pendahuluan atau pengantar, satu maksud kotbah, pokok pikiran kotbah (biasanya dua atau lebih) yang mengembangkan satu maksud kotbah itu dan penutup atau kesimpulan.[5]

Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun suatu kotbah Kontekstual.

I.                   Tahap Penelitian[6]

1.      Bahan khotbah yang berasal dari dalam konteks kehidupan umat: inspirasi khotbah tidak hanya dari teks Alkitab, tetapi juga dari teks kehidupan riel umat.

2.      Teori bertumbuh secara induktif analitis: pertanyaan-pertanyaan yang diajukan lahir dari situasi konkret.

3.      Penyelaman dan keterlibatan: melalui penelitian, pengkhtobah dapat memahami situasi riel umat dan terlibat di dalamnya.

4.      Memandang dari sisi dalam: memeroleh pengertian tentang situasi konkret dari perspektif umat.

5.      Pengamatan mengacu pada penggalian sistematis: berupa wawancara terbuka sehingga dapat melengkapi hasil pengamatan.

6.      Kontekstualitasi melalui dokumentasi: dokumen-dokumen dapat mengisi latar-belakang dan memberi konteks yang lebih luas dan dalam.

7.      Metode dan metodologi terpadu: metode penelitian yang berbeda-beda dapat dipakai untuk melengkapi metode-metode di lapangan.

8.      Sistem pengolahan bertumbuh secara induktif-analitik: menentukan pengumpulan dan analisis data mulai di lapangan dan dikembangkan dalam seluruh proses penelitian lapangan.

9.      Mempertahankan situasi yanga asli: peneliti menjaga agar tidak mengganggu proses kehidupan sosial yang sedang berjalan.

10.  Pertimbangan etis: laporan penelitian disebarluaskan tanpa merugikan umat yang sedang ditelitinya.

II.                Tahap Kotbah[7]

1.      Struktur kotbah bergantung sepenuhnya dari materi yang ada dalam teks yang dikhotbahkan. Jangan mengembangkan struktur untuk kemudian dipaksakan sesuai dengan materi yang ada dalam teks (eisegesis).

2.      Struktur kotbah dikembangkan menurut maksud utama yang didapat dari teks. Pendahuluan, pokok pikiran dan kesimpulan haruslah sesuai dengannya. Jika menyimpang ke kanan, ke kiri, ke atas atau ke bawah, maka yang terjadi adalah khotbah akan kehilangan fokus.

3.      Meski teks Alkitab dapat dilihat dari berbagai perspektif, pengkhotbah harus menentukan pilihan untuk dijadikan satu maksud utama bagi khotbahnya pada waktu itu. Karena jika pengkhotbah berusaha untuk menjelaskan berbagai macam maksud, maka akan berakibat khotbah menjadi tidak menentu. Frad Craddock mengingatkan demikian, “Many texts hold a surplus of meaning...but not everything can be said at once. To aim at nothing (or at everything) is to miss everything”

4.      Struktur kotbah tidak hanya menjelaskan “what” dari teks melainkan juga “so what” bagi pembaca yang berangkat dari penjelasan teks itu. Struktur kotbah tidak saja menjelaskan satu maksud utama teks melainkan juga memanggil jemaat untuk memberikan satu respon spesifik dari maksud utama tadi. Bagaimana caranya? Tanyalah tiga pertanyaan ini terlebih dahulu: 

a. Kotbah ini ingin membuat jemaat berpikir apa? (bagaimana maksud utama kotbah menantang pikiran mereka)

b. Kotbah ini ingin membuat jemaat merasakan apa? (bagaimana maksud utama kotbah menantang emosi mereka)

c. Kotbah ini ingin membuat jemaat melakukan apa?  (bagaimana maksud utama kotbah menantang kehendak mereka)

 

 

 

 

2.5.      Pandangan Tokoh[8]

Metode David Lose dalam mempersiapkan khotbah yang kontekstual, yaitu:

1. Memahami latar belakang teks (behind the text): memahami sejarah yang menjadi latarbelakang kisah atau tuturan dalam suatu teks perikop Alkitab, sehingga kita dapat memahami alasan dan tujuan dari perikop tersebut.

2. Makna teks secara harafiah (in the text): memahami teks yang eksplisit, dan bukan yang implisit sehingga dapat menghindari pandangan yang subjektif. Teks yang harafiah tersebut dapat menjadi landasan untuk pendalaman makna.

3.Makna dalam Tahun Liturgi (around the text): menempatkan makna teks suatu perikop dalam konteks Tahun Liturgi yang berjalan sehingga umat dapat merayakan peristiwa Tahun Liturgi tersebut yang dilandasi oleh teks ayat atau perikop Alkitab.

4.Konteks riil umat (in front of the text): memahami konteks riil umat sehingga penafsiran yang telah dilakukan di bagian a-c terhubung, sehingga umat dapat mengalami peristiwa penyataan Allah dalam kehidupan mereka, sehingga mereka dapat memberi respons iman yang tepat. Karena itu para pendeta atau pengkhotbah perlu berlatih agar semakin matang untuk menginspirasi umat memberi respons atau tanggapan (response’s reader).

 

III.   Kesimpulan

1.      Pola khotbah rasul Paulus menunjukkan bahwa ia memulai dengan menggunakan sesuatu yang sudah dikenal oleh para pendengarnya. Bagi orang-orang Yahudi yang beribadah di bait Allah, sesuatu itu adalah sejarah mereka yang berakar dalam Perjanjian Lama. Bagi orang-orang Yunani, Paulus menggunakan ungkapan sehari-hari yang mereka sendiri buat. Namun satu hal yang selalu hadir dalam segala kontekstualisasi itu adalah Paulus menyaksikan Kristus di dalam semuanya.

2.        Mengingat prinsip (struktur adalah pelayan dan bukan tuan) menolong seseorang untuk tidak menjadi sombong melainkan terus belajar rendah hati dalam mempersiapkan khotbahnya. Khususnya, dalam fungsinya untuk melayani, sebuah struktur khotbah menolong seorang pengkhotbah untuk melihat maksud utama (the “what”) dari khotbah dan ajakan utama (the “so what”) dari khotbah. Struktur khotbah tertulis demikian menolong dalam pengembangan diri untuk menggunakan kosakata yang sederhana namun menantang sekaligus menarik.

3.      Pada akhirnya, khotbah yang kontekstual juga memiliki peran dan tanggungjawab untuk selalu menyesuaikan pesan yang terdapat juga dalam substansi yang ada dalam khotbah tekstual. Juga dalam perkembangan zaman dalam perspektif Indonesia, khotbah juga harus berada di luar teks dan merelevansikan dengan keadaan, peristiwa, dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kemajemukan dan pluralitas agama di Indonesia secara khusus. Maka, khotbah yang kontekstual akan sangat bermakna dalam pembentukan pemeliharaan kehidupan Kristen di dalam kemajuan dan perkembangan zaman.

 

IV.             Daftar Pustaka

Buttrick, David, Homiletic (Moves and Structures), Michigan: Baker Academic,2003

Evans, William, Cara Mempersiapkan Khotbah, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2004

Killinger, John,  Dasar-dasar Khotbah ,Jakarta BPK-Gunung Mulia,2004

Rothlisbeger, H., Homiletika dan Ilmu Berkhotbah, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005

Tambunan, Lukman, Khotbah dan Retorika, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010


[1] John Killinger, Dasar-dasar Khotbah ,(Jakarta BPK-Gunung Mulia,2004), 56.

[2] H.Rothlisbeger, Homiletika dan Ilmu Berkhotbah, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005), 32.

[3] Ibid, 34.

[4] Lukman Tambunan, Khotbah dan Retorika, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010),78

[5]William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2004), 74

[6]David Buttrick, Homiletic (Moves and Structures), (Michigan: Baker Academic,2003),85-86

[7] William Evans, Cara Mempersiapkan Khotbah,  76

[8] David Buttrick, Homiletic (Moves and Structures), ,97



Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim