Teologi Agama Agama - Model Mutualitas Jembatan Mistik
I.
Pendahuluan
Model yang dimaksudkan di sini adalah cara
pandang atau paradigma, di mana paradigma itu sudah ada dan hidup di dalam
agama Kristen atau gereja-gereja Kristen. Paradigma yang sudah ada dan hidup
itu tidak hanya tunggal saja, sehingga melalui riset yang dilakukan oleh Paul
F. Knitter, ia mencoba memodelkan kembali paradigma-paradigma yang sudah ada
dan hidup itu.[1]
Pemodelan yang diusahakan olehnya menghasilkan 4 model “dengan label baru”,
yaitu model penggantian (yang sebelumnya ia sebut dengan: ekskusifisme), model pemenuhan
(sebelumnya: inklusifisme), model mutualitas (sebelumnya: pluralisme) dan model
penerimaan. Di dalam paper ini, akan dibicarakan model yang ketiga yaitu model
mutualitas dengan jembatan mistik untuk dapat menyeberang ke model mutualistis
itu.
II.
Pembahasan
2.1. Model Mutualitas (“Banyak
Agama Terpanggil Untuk Berdialog”)
Mutualitas berasal dari kata mutual. Kata mutual merupakan kata sifat
yang berarti saling atau bersama. Jadi mutualitas dapat diartikan sebagai
hubungan dua arah (dialog) yang akan memungkinkan kedua belah pihak saling
berbicara dan mendengarkan bersama, terbuka untuk belajar dan perubahan. Model
mutualitas lebih berpihak pada rahmat dan kehadiran Allah yang universal di
dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus. Dalam
model mutualitas yang dipentingkan adalah mutualisme, relasi yang saling
berkontribusi untuk kehidupan, bukan menyerang atau menyalahkan. Bagi model
ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog
merupakan wujud dari mengasihi sesama. Prinsip model ini adalah bahwa
agama-agama yang ada berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam
beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual. Hubungan
atau relasi (mitra dialog) yang mutual menjadi fokus utama.[2]
Artinya tidak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu hal yang sama di antara
agama-agama yang memungkinkan terciptanya dialog (mutualisme). Model ini tetap
mempertahankan perbedaan dan keanekaragaman di antara agama-agama (bukan
berarti semua hal harus sama dan menjadi sama).
Model ini tidak mulai dari keunggulan dan
kemutlakan agama sendiri, tetapi menghargai pluralitas dengan lebih positif.
Model ini disebut juga “pluralisme kesamaan” yang fokus pada unsur-unsur yang
sama (mutual) dari agama dan tradisi
yang berbeda. Di sini validitas pengalaman religius tidak dapat terbatas pada
satu agama saja. Sebaliknya, masing-masing tradisi agama dapat berkontribusi
untuk mengekspresikan kebenaran yang hakiki. Untuk menghubungkan seluruh
perbedaan-perbedaan yang ada, yang nampaknya tak terdamaikan, tradisi-tradisi
keagamaan harus menemukan unsur-unsur di mana mereka dapat berbagai/bersama (mutual).[3]
Model mutualitas juga dapat dikatakan sebagai
pluralisme agama, sehingga tiap agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan
dan hal agama lain tetapi berusaha terlibat dalam tercapainya suatu kerukunan
hidup (kehidupan) dan kebinekaan. Model mutualitas merupakan sebagai pendukung
antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.[4]
Knitter mengusulkan ada tiga jembatan yang
berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan panggilan bagi umat Kristen
untuk menyeberang ke model mutualistis[5],
yaitu: (1) Jembatan Filosofis-Historis; (2) Jembatan Religius-Mistik; dan (3)
Jembatan Etis-Praktis.
2.2. Pengertian Mistik
Mistik
juga merupakan suatu kepercayaan bahwa di dalam kehidupan ini, manusia dapat
mengalami dan merasa bersatunya emosional dengan Tuhan atau kekuatan yang transenden
dan juga aspek dari penghayatan seseorang atau satu organisasi yang disebabkan
oleh ketaatan spiritual.[6]
Dalam pengertian lain mistik merupakan bentuk religi yang berdasarkan
kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi semua hal dalam alam dan
sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai
kesatuan dengan Tuhan.[7]
2.3. Jenis-jenis Pengalaman Mistik[8]
Dari
pengalaman mistik yang berbeda-beda, yang harus lebih dahulu diselidiki adalah
bahwa mistisme bukanlah sebuah gejala aib dan paranormal, seperti kemampuan
membaca pikiran, telepati ataupun pengangkatan ke tarif yang lebih tinggi.
Untuk merangkum semua jenis mistisme maka perlu dikatakan bahwa pengalaman
mistik merupakan pengamatan langsung atau sesuatu yang kekal baik bersifat
pribadi atau hanya sekedar keadaan dari kesadaran. Ada tiga bagian pengalaman
mistik yaitu:
1. Pengalaman
Ekstasis
Pada
pengalaman ini, jiwa merasakan dirinya disatukan dengan kehidupan segala
sesuatu yang tak terjamah oleh maut. Inti pengalaman ini bahwa individualitas
sendiri tampaknya larut dan mengabur serta membawa kegembiraan dan kedamaian.
Pengalaman ini bisa dimiliki oleh orang-orang dari semua agama dan bahkan
mereka yang tak memiliki agama sama sekali. Oleh karena itu, sering pula
disebut mistisisme alam sebagai ungkapan religius.
2.
Pengalaman Entasis
Pengalaman
ini mengatakan terserapnya jiwa dalam kedalaman hakekatnya sendiri, dari mana
semua yang fenomenal, bersifat sementara, yang terkondisikan melenyap, dan jiwa
itu melihat dirinya sebagai sesuatu yang utuh serta mengatasi segala dualitas
kehidupan duniawi. Inilah pengalaman mengenai kesatuan mutlak atau hakekat
rohani yang paling mendasar dalam lubuk keberadaannya.
3. Pengalaman
Teistis.
Pengalaman
ini merupakan pengalaman cinta akan Tuhan. Dalam hal mistisme cinta akan Tuhan
lewat cinta yang intensif akan Tuhan. Para mistikus mengalami persekutuan
mistik dengan-Nya. Di sini tampaklah bahwa rahmat adikodrati dari Tuhan
berkarya karena jenis pengalaman ini tidak bisa diusahakan oleh kekuatan
manusia itu sendiri.
2.4. Jembatan Mistik-Religius
Perbedaan utama dari jembatan mistik-religius
dengan jembatan historis-filosofis adalah sesuatu yang berhubungan dengan titik
pijak kedua jembatan tersebut. Para penganut jembatan historis-filosofis mulai
dengan manusia, dan mengatakan bahwa tidak ada satu agama pun yang bisa
menganggap kebenaran penuh, final, dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena
pengetahuan (rumusan-rumusan) manusia secara historis terkondisi atau secara
sosial terbentuk dan karena itu terbatas. Dan secara filosofis manusia dan Yang
Ilahi memiliki jarak yang sangat jauh, di luar kemampuan manusia
(transendensi).
Mereka yang menganut jembatan mistik- religius memulai
dengan Yang Ilahi. Jembatan ini ditopang oleh anggapan yang disetujui oleh
kebanyakan umat beragama: bahwa Yang Ilahi itu lebih daripada apa yang
diketahui agama namun yang justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Bahwa
apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh
melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia perorangan/individu atau
suatu komunitas. Artinya ada kesadaran bahwa pengalaman religius dalam satu
tradisi itu terbatas. Bahwa Realitas Ilahi (Yang Ilahi) lebih besar dari apapun
yang dapat dialami dalam satu tradisi agama tertentu saja. Oleh karena itu,
Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia biarkanlah Yang Ilahi
beragam seperti halnya agama.[9]
Bagi umat Kristiani yang berjalan di atas
jembatan mistik-religius, apa yang penting bukanlah bahwa Yang Ilahi itu tidak
terbatas, tetapi bahwa Misteri Ilahi atau Realitas yang sama itu dirasakan di dalam
agama-agama lain. Ada sesuatu pengalaman mistik inti yang berdenyut di antara
agama-agama lain yang telah berlangsung sepanjang masa. Bagi mereka yang menganut jalan mistik, untuk
memahami pluralisme agama, perbedaan-perbedaan yang ada tidak sampai
mengeringkan arus ilahi yang dalam yang memberi air kepada semua sumur
religius. Tingkat mistik itu sangat dalam. Penganut jembatan mistik merasa
bahwa lebih dalam seseorang masuk ke dalam pengalaman religius yang
dimungkinkan melalui agamanya sendiri, maka lebih sadar pula ia bahwa apa yang
dialaminya tidak bisa dibatasi oleh agamanya itu sendiri, dan ia lebih terbuka
dan peka untuk mengakui Misteri yang sama dalam agama-agama lain. Jembatan
mistik ini banyak dianut oleh teolog-teolog Asia atau teolog yang sudah
dipengaruhi oleh budaya religius Asia.[10]
Knitter melihat Panikkar (1993) sebagai salah
satu teolog Asia yang menganut pendekatan jembatan ini. Menurut Panikkar,
pengalaman mistis didasarkan pada keterkaitan yang diperlukan antara tiga
komponen: ilahi, manusia dan dunia material. Yang Ilahi selalu berada bersama
dengan manusia dan materi, dan karena itu Yang Ilahi itu beragam seperti agama-agama.
Tetapi di balik keberagaman agama ini ada fakta-fakta religius yang bisa
didapatkan. Karena itu perbedaan antar agma adalah peluang untuk bertumbuh dan
menghasilkan hal-hal yang baik bersama (mutual).[11]
2.5. Beberapa Tokoh Penganut
Jembatan Mistik
2.5.1.
Raimundo
Pannikar[12]
Pannikar
lahir dari seorang ibu keturunan Spanyol yang beragama Katolik dan ayah dari
India yang beragama Hindu menghabiskan sebagian besar kehidupan akademis
profesionalnya melaju antara Universitas di Amerika dan di India. Yang menjadi
dasar utama studi teksnya dan perbandingan berbagai doktrin dalam pengalaman
pribadi mistik yang ditekuninya dalam pengalaman pribadinya dan yang telah
diamati dan dipelajarinya dalam berbagai tradisi agama. Apa yang dilihatnya
dari sudut pandang mistik adalah suatu yang bermanfaat bagi keanekaragaman yang
banyak dan kesatuan mendalam dari semua agama. Ia menyebutnya “fakta agama yang
fundamental”. Fakta ini tidak dapat di dalam doktrin tetapi terdapat di
mana-mana dan di dalam setiap agama. Fakta ini juga bisa diketahui hanya
melalui pengalaman, namun sekali dialami akan ditemukan sesuatu yang sangat
nyata tentang dunia dan kita sendiri. Jadi ada tiga komponen dalam pengalaman
mistik dan apa yang terungkap dalam pengalaman itu yang Ilahi, manusia dan dunia.
Ketiganya saling berhubungan sehingga mereka ada dalam satu sama lain, mereka
tidak bisa ada tanpa saling terhubung. Pannikar memperluas bahasa dan apa yang
dibicarakannya tentang pengalaman mistik sebagai suatu “pengalaman
kosmoteandrik” dan semua yang berada sebagai suatu “realitas kosmoteandrik”.
Jadi, pengalaman kosmoteandrik dan realitas ini adalah yang berdiam di dalam
dan tersedia melalui berbagai macam aliran agama di dunia. Keduanya merupakan
pengalaman mistik yang dengannya manusia dapat merasakan persekutuannya dengan
yang ilahi dan dengan sesama ciptaan, manusia dan sebaliknya suatu pengalaman
yang memungkinkan seseorang hidup di dalam hubungan jalan kehidupan yang
mendalam. Menurut Pannikar yang “misteri” di dalam agama-agama merupakan
realitas yang tidak berada dalam dirinya sendiri.
Pengalaman
umat Kristiani tentang Allah atau agama melalui Kristus tidak sama dengan
pengalaman Vishnuita (Hindu) melalui Krishna. Bagi Pannikar berbicara tentang
Allah atau agama, Roh yang bebas dan tidak terduga itu akan selalu berada
selangkah mendahului pikiran atau logos. Inilah mengapa bagi Pannikar
keberagaman agama lebih penting daripada persekutuannya. Pannikar melihat agama
dunia ini adalah sebuah pluralitas yang luar biasa (pluralitas berarti
kebanyakan yang tersebar dan tidak terhubungkan). Tapi karena ia yakin ada roh
yang menggerakkan dan hidup antara kebanyakan itu, ia juga yakin bahwa ada
kemungkinan dan kebutuhan untuk menghubungkan atau membangun relasi di antara
mereka yang banyak dan bervariasi itu. Menurut Pannikar pendekatan ini
menghimbau umat Kristiani untuk meninjau ulang pemahaman untuk mengatasi
kristologi suku dengan satu kristofani yang memampukan umat Kristiani memahami
pekerjaan Kristus di mana-mana tanpa menyangka bahwa mereka memiliki pemahaman
yang baik atau memonopoli misteri yang telah dinyatakan kepada mereka melalui
cara yang unik. Kristus melambangkan hubungan dinamis, arus yang mempersatukan
yang mengikat yang ilahi dengan yang manusiawi dan yang kosmos. Pannikar
menegaskan pengakuan terhadap Yesus. Mengenai hal ini, Pannikar mengatakan
bahwa Yang Ilahi juga terwujud dalam berbagai partikular. Seperti citra puncak
gunung; berbagai jalan bukan hanya menuju ke gunung tetapi juga menggambarkan
apa gunung itu sebenarnya. Kalau kehilangan satu jalan, berarti kehilangan
sebagian gunung itu. Pannikar dengan
jelas mengatakan bahwa nama “Kristus” bisa saja dikenal dengan nama-nama lain
dalam sejarah, misalnya “Rama, Krishna, Isvara, Purusha”. Kalau menolak atau
mengurangi salah satu dari mereka, maka akan kehilangan sebagian keunikan dari
Yang Ilahi. Pannikar mampu menunjukkan keunikan Yesus: “Yesus…merupakan salah
satu nama dari prinsip kosmoteandrik.
2.5.2.
Stanley
J. Samarthzs
Stanley
J. Samarthzs memiliki pemahaman bahwa dalam kehidupan keagamaan misteri dan
makna saling berkaitan. Menurutnya, dalam bergerak meninggalkan ekslusivisme
dan inklusivisme, orang Kristen harus tiba pada pemahaman lebih jelas mengenai
keunikan Yesus tersebut. Ciri khas Yesus Kristus tidak terletak dalam klaim bahwa
Yesus Kristus adalah Allah. Mengangkat Yesus dalam status Allah atau membatasi
Kristus kepada Yesus dari Nazaret adalah pencobaan-pencobaan yang harus
dihindari. Hal ini bertujuan untuk menolong dalam membangun hubungan-hubungan
baru dengan sesama kita yang beriman lain. Pernyataan bahwa Allah adalah
pencipta seluruh kehidupan dan seluruh umat manusia meletakkan orang Kristen
dan sesama umat beriman lain bersama-sama menuju pada sumber kehidupan itu
sendiri. Oleh karena itu, Kristosentrisme tanpa Teosentrisme membawa kita pada
penyembahan berhala. Kristologi ini memungkinkan komitmen kepada Allah di dalam
Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama kita yang beriman
lain, dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang lebih menyeluruh
untuk mengadakan dialog dengan umat beragama lain.[13]
III.
Kesimpulan
Model mutualitas ini mengundang umat beragama,
khususnya Kristen agar sadar akan pentingnya menyikapi agama-agama lain secara
serius; lebih memahami mereka, berdialog dengan mereka, dan bekerja sama dengan
mereka, yang membuat hidup ini lebih bermanfaat dan iman makin diperkuat karena
berkomunikasi dengan dan belajar dari sesama yang beragama lain. Untuk menapaki
jalan imannya sendiri, seseorang perlu berjalan bersama umat beragama lain. Yang
Ilahi itu lebih daripada apa yang diketahui agama namun yang justru hadir dalam
pengalaman mistik semua agama. Bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama
(Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau
dinyatakan manusia perorangan/individu atau suatu komunitas. Artinya ada
kesadaran bahwa pengalaman religius dalam satu tradisi itu terbatas. Bahwa
Realitas Ilahi (Yang Ilahi) lebih besar dari apapun yang dapat dialami dalam
satu tradisi agama tertentu saja. Oleh karena itu, Yang Ilahi tidak boleh
dibatasi oleh perspektif manusia biarkanlah Yang Ilahi beragam seperti halnya
agama.
IV.
Daftar Pustaka
Dhavamony,
Mariasusai, Fenomenologi Agama,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Effendy, Mochtar, Ensiklopedia
Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001
Hadiwitanto,
Handi & Carl Sterkens, Sikap terhadap
Pluralitas Agama: Studi Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan Kristen di
Indonesia, dalam Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober 2012, hal.
202-203.
Knitter,
Paul F., Pengantar Teologi Agama-agama, Yogyakarta:
Kanisius, 2008
Koentjaningrat,
Mistik Dewasastra, Jakarta: Gunung
Mulia, 2005
Samarthzs,
Stanley J., Salib dan Pelangi Kristus dan
Budaya Multi Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 1996.
Saragih,
Jon Renis, Rekaman akademis a.n. David P.
Lumbantoruan, IIIA-Teologi STT-Abdi Sabda: Medan, 31 Januari 2019.
Subhkan,
Imam, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di
Yogya, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
[1] Jon Renis Saragih, Rekaman akademis a.n. David P. Lumbantoruan, IIIA-Teologi (STT-Abdi
Sabda: Medan), 31 Januari 2019.
[2] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008),
129-130.
[3] Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens, Sikap terhadap Pluralitas Agama: Studi
Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan Kristen di Indonesia, dalam
Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober 2012, hal. 202-203.
[4] Imam Subhkan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius,
2008), 29
[5] Paul F. Knitter, Op.Cit., 133
[6] Mochtar Effendy, Ensiklopedia Agama dan Filsafat (Palembang: Universitas Sriwijaya,
2001), 456.
[7] Koentjaningrat, Mistik Dewasastra (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 163.
[8] Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 287.
[9] Paul F. Knitter, Op.Cit., 149-150
[10] Paul F. Knitter, Op.Cit., 149-150
[11] Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens, Op.Cit., 203-204.
[12] Paul F. Knitter, Op.Cit., 151-158.
[13] Stanley J. Samarthzs, Salib dan Pelangi Kristus dan Budaya Multi Agama (Jakarta: Gunung
Mulia, 1996), 167.
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment