-->

sosial media

Friday, 16 October 2020

Teologi Agama Agama - Model Mutualitas Jembatan Mistik

 


I.                   Pendahuluan

Model yang dimaksudkan di sini adalah cara pandang atau paradigma, di mana paradigma itu sudah ada dan hidup di dalam agama Kristen atau gereja-gereja Kristen. Paradigma yang sudah ada dan hidup itu tidak hanya tunggal saja, sehingga melalui riset yang dilakukan oleh Paul F. Knitter, ia mencoba memodelkan kembali paradigma-paradigma yang sudah ada dan hidup itu.[1] Pemodelan yang diusahakan olehnya menghasilkan 4 model “dengan label baru”, yaitu model penggantian (yang sebelumnya ia sebut dengan: ekskusifisme), model pemenuhan (sebelumnya: inklusifisme), model mutualitas (sebelumnya: pluralisme) dan model penerimaan. Di dalam paper ini, akan dibicarakan model yang ketiga yaitu model mutualitas dengan jembatan mistik untuk dapat menyeberang ke model mutualistis itu.

 

II.                Pembahasan

2.1. Model Mutualitas (“Banyak Agama Terpanggil Untuk Berdialog”)

Mutualitas berasal dari kata mutual. Kata mutual merupakan kata sifat yang berarti saling atau bersama. Jadi mutualitas dapat diartikan sebagai hubungan dua arah (dialog) yang akan memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan bersama, terbuka untuk belajar dan perubahan. Model mutualitas lebih berpihak pada rahmat dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus. Dalam model mutualitas yang dipentingkan adalah mutualisme, relasi yang saling berkontribusi untuk kehidupan, bukan menyerang atau menyalahkan. Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu kewajiban etis, sebab dialog merupakan wujud dari mengasihi sesama. Prinsip model ini adalah bahwa agama-agama yang ada berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual. Hubungan atau relasi (mitra dialog) yang mutual menjadi fokus utama.[2] Artinya tidak dapat dipungkiri bahwa ada sesuatu hal yang sama di antara agama-agama yang memungkinkan terciptanya dialog (mutualisme). Model ini tetap mempertahankan perbedaan dan keanekaragaman di antara agama-agama (bukan berarti semua hal harus sama dan menjadi sama).

Model ini tidak mulai dari keunggulan dan kemutlakan agama sendiri, tetapi menghargai pluralitas dengan lebih positif. Model ini disebut juga “pluralisme kesamaan” yang fokus pada unsur-unsur yang sama (mutual) dari agama dan tradisi yang berbeda. Di sini validitas pengalaman religius tidak dapat terbatas pada satu agama saja. Sebaliknya, masing-masing tradisi agama dapat berkontribusi untuk mengekspresikan kebenaran yang hakiki. Untuk menghubungkan seluruh perbedaan-perbedaan yang ada, yang nampaknya tak terdamaikan, tradisi-tradisi keagamaan harus menemukan unsur-unsur di mana mereka dapat berbagai/bersama (mutual).[3]

Model mutualitas juga dapat dikatakan sebagai pluralisme agama, sehingga tiap agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hal agama lain tetapi berusaha terlibat dalam tercapainya suatu kerukunan hidup (kehidupan) dan kebinekaan. Model mutualitas merupakan sebagai pendukung antara agama yang satu dengan agama yang lainnya.[4]

Knitter mengusulkan ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang merupakan panggilan bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model mutualistis[5], yaitu: (1) Jembatan Filosofis-Historis; (2) Jembatan Religius-Mistik; dan (3) Jembatan Etis-Praktis.

 

2.2. Pengertian Mistik

Mistik juga merupakan suatu kepercayaan bahwa di dalam kehidupan ini, manusia dapat mengalami dan merasa bersatunya emosional dengan Tuhan atau kekuatan yang transenden dan juga aspek dari penghayatan seseorang atau satu organisasi yang disebabkan oleh ketaatan spiritual.[6] Dalam pengertian lain mistik merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi semua hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan.[7]

 

2.3. Jenis-jenis Pengalaman Mistik[8]

Dari pengalaman mistik yang berbeda-beda, yang harus lebih dahulu diselidiki adalah bahwa mistisme bukanlah sebuah gejala aib dan paranormal, seperti kemampuan membaca pikiran, telepati ataupun pengangkatan ke tarif yang lebih tinggi. Untuk merangkum semua jenis mistisme maka perlu dikatakan bahwa pengalaman mistik merupakan pengamatan langsung atau sesuatu yang kekal baik bersifat pribadi atau hanya sekedar keadaan dari kesadaran. Ada tiga bagian pengalaman mistik yaitu:

1.      Pengalaman Ekstasis

Pada pengalaman ini, jiwa merasakan dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu yang tak terjamah oleh maut. Inti pengalaman ini bahwa individualitas sendiri tampaknya larut dan mengabur serta membawa kegembiraan dan kedamaian. Pengalaman ini bisa dimiliki oleh orang-orang dari semua agama dan bahkan mereka yang tak memiliki agama sama sekali. Oleh karena itu, sering pula disebut mistisisme alam sebagai ungkapan religius.

2.      Pengalaman Entasis

Pengalaman ini mengatakan terserapnya jiwa dalam kedalaman hakekatnya sendiri, dari mana semua yang fenomenal, bersifat sementara, yang terkondisikan melenyap, dan jiwa itu melihat dirinya sebagai sesuatu yang utuh serta mengatasi segala dualitas kehidupan duniawi. Inilah pengalaman mengenai kesatuan mutlak atau hakekat rohani yang paling mendasar dalam lubuk keberadaannya.

3.      Pengalaman Teistis.

Pengalaman ini merupakan pengalaman cinta akan Tuhan. Dalam hal mistisme cinta akan Tuhan lewat cinta yang intensif akan Tuhan. Para mistikus mengalami persekutuan mistik dengan-Nya. Di sini tampaklah bahwa rahmat adikodrati dari Tuhan berkarya karena jenis pengalaman ini tidak bisa diusahakan oleh kekuatan manusia itu sendiri.

 

2.4. Jembatan Mistik-Religius

Perbedaan utama dari jembatan mistik-religius dengan jembatan historis-filosofis adalah sesuatu yang berhubungan dengan titik pijak kedua jembatan tersebut. Para penganut jembatan historis-filosofis mulai dengan manusia, dan mengatakan bahwa tidak ada satu agama pun yang bisa menganggap kebenaran penuh, final, dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena pengetahuan (rumusan-rumusan) manusia secara historis terkondisi atau secara sosial terbentuk dan karena itu terbatas. Dan secara filosofis manusia dan Yang Ilahi memiliki jarak yang sangat jauh, di luar kemampuan manusia (transendensi).

Mereka yang menganut jembatan mistik- religius memulai dengan Yang Ilahi. Jembatan ini ditopang oleh anggapan yang disetujui oleh kebanyakan umat beragama: bahwa Yang Ilahi itu lebih daripada apa yang diketahui agama namun yang justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia perorangan/individu atau suatu komunitas. Artinya ada kesadaran bahwa pengalaman religius dalam satu tradisi itu terbatas. Bahwa Realitas Ilahi (Yang Ilahi) lebih besar dari apapun yang dapat dialami dalam satu tradisi agama tertentu saja. Oleh karena itu, Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia biarkanlah Yang Ilahi beragam seperti halnya agama.[9]

Bagi umat Kristiani yang berjalan di atas jembatan mistik-religius, apa yang penting bukanlah bahwa Yang Ilahi itu tidak terbatas, tetapi bahwa Misteri Ilahi atau Realitas yang sama itu dirasakan di dalam agama-agama lain. Ada sesuatu pengalaman mistik inti yang berdenyut di antara agama-agama lain yang telah berlangsung sepanjang masa.  Bagi mereka yang menganut jalan mistik, untuk memahami pluralisme agama, perbedaan-perbedaan yang ada tidak sampai mengeringkan arus ilahi yang dalam yang memberi air kepada semua sumur religius. Tingkat mistik itu sangat dalam. Penganut jembatan mistik merasa bahwa lebih dalam seseorang masuk ke dalam pengalaman religius yang dimungkinkan melalui agamanya sendiri, maka lebih sadar pula ia bahwa apa yang dialaminya tidak bisa dibatasi oleh agamanya itu sendiri, dan ia lebih terbuka dan peka untuk mengakui Misteri yang sama dalam agama-agama lain. Jembatan mistik ini banyak dianut oleh teolog-teolog Asia atau teolog yang sudah dipengaruhi oleh budaya religius Asia.[10]

Knitter melihat Panikkar (1993) sebagai salah satu teolog Asia yang menganut pendekatan jembatan ini. Menurut Panikkar, pengalaman mistis didasarkan pada keterkaitan yang diperlukan antara tiga komponen: ilahi, manusia dan dunia material. Yang Ilahi selalu berada bersama dengan manusia dan materi, dan karena itu Yang Ilahi itu beragam seperti agama-agama. Tetapi di balik keberagaman agama ini ada fakta-fakta religius yang bisa didapatkan. Karena itu perbedaan antar agma adalah peluang untuk bertumbuh dan menghasilkan hal-hal yang baik bersama (mutual).[11]

 

2.5. Beberapa Tokoh Penganut Jembatan Mistik

2.5.1.      Raimundo Pannikar[12]

Pannikar lahir dari seorang ibu keturunan Spanyol yang beragama Katolik dan ayah dari India yang beragama Hindu menghabiskan sebagian besar kehidupan akademis profesionalnya melaju antara Universitas di Amerika dan di India. Yang menjadi dasar utama studi teksnya dan perbandingan berbagai doktrin dalam pengalaman pribadi mistik yang ditekuninya dalam pengalaman pribadinya dan yang telah diamati dan dipelajarinya dalam berbagai tradisi agama. Apa yang dilihatnya dari sudut pandang mistik adalah suatu yang bermanfaat bagi keanekaragaman yang banyak dan kesatuan mendalam dari semua agama. Ia menyebutnya “fakta agama yang fundamental”. Fakta ini tidak dapat di dalam doktrin tetapi terdapat di mana-mana dan di dalam setiap agama. Fakta ini juga bisa diketahui hanya melalui pengalaman, namun sekali dialami akan ditemukan sesuatu yang sangat nyata tentang dunia dan kita sendiri. Jadi ada tiga komponen dalam pengalaman mistik dan apa yang terungkap dalam pengalaman itu yang Ilahi, manusia dan dunia. Ketiganya saling berhubungan sehingga mereka ada dalam satu sama lain, mereka tidak bisa ada tanpa saling terhubung. Pannikar memperluas bahasa dan apa yang dibicarakannya tentang pengalaman mistik sebagai suatu “pengalaman kosmoteandrik” dan semua yang berada sebagai suatu “realitas kosmoteandrik”. Jadi, pengalaman kosmoteandrik dan realitas ini adalah yang berdiam di dalam dan tersedia melalui berbagai macam aliran agama di dunia. Keduanya merupakan pengalaman mistik yang dengannya manusia dapat merasakan persekutuannya dengan yang ilahi dan dengan sesama ciptaan, manusia dan sebaliknya suatu pengalaman yang memungkinkan seseorang hidup di dalam hubungan jalan kehidupan yang mendalam. Menurut Pannikar yang “misteri” di dalam agama-agama merupakan realitas yang tidak berada dalam dirinya sendiri.

Pengalaman umat Kristiani tentang Allah atau agama melalui Kristus tidak sama dengan pengalaman Vishnuita (Hindu) melalui Krishna. Bagi Pannikar berbicara tentang Allah atau agama, Roh yang bebas dan tidak terduga itu akan selalu berada selangkah mendahului pikiran atau logos. Inilah mengapa bagi Pannikar keberagaman agama lebih penting daripada persekutuannya. Pannikar melihat agama dunia ini adalah sebuah pluralitas yang luar biasa (pluralitas berarti kebanyakan yang tersebar dan tidak terhubungkan). Tapi karena ia yakin ada roh yang menggerakkan dan hidup antara kebanyakan itu, ia juga yakin bahwa ada kemungkinan dan kebutuhan untuk menghubungkan atau membangun relasi di antara mereka yang banyak dan bervariasi itu. Menurut Pannikar pendekatan ini menghimbau umat Kristiani untuk meninjau ulang pemahaman untuk mengatasi kristologi suku dengan satu kristofani yang memampukan umat Kristiani memahami pekerjaan Kristus di mana-mana tanpa menyangka bahwa mereka memiliki pemahaman yang baik atau memonopoli misteri yang telah dinyatakan kepada mereka melalui cara yang unik. Kristus melambangkan hubungan dinamis, arus yang mempersatukan yang mengikat yang ilahi dengan yang manusiawi dan yang kosmos. Pannikar menegaskan pengakuan terhadap Yesus. Mengenai hal ini, Pannikar mengatakan bahwa Yang Ilahi juga terwujud dalam berbagai partikular. Seperti citra puncak gunung; berbagai jalan bukan hanya menuju ke gunung tetapi juga menggambarkan apa gunung itu sebenarnya. Kalau kehilangan satu jalan, berarti kehilangan sebagian gunung itu.  Pannikar dengan jelas mengatakan bahwa nama “Kristus” bisa saja dikenal dengan nama-nama lain dalam sejarah, misalnya “Rama, Krishna, Isvara, Purusha”. Kalau menolak atau mengurangi salah satu dari mereka, maka akan kehilangan sebagian keunikan dari Yang Ilahi. Pannikar mampu menunjukkan keunikan Yesus: “Yesus…merupakan salah satu nama dari prinsip kosmoteandrik.


 

2.5.2.      Stanley J. Samarthzs

Stanley J. Samarthzs memiliki pemahaman bahwa dalam kehidupan keagamaan misteri dan makna saling berkaitan. Menurutnya, dalam bergerak meninggalkan ekslusivisme dan inklusivisme, orang Kristen harus tiba pada pemahaman lebih jelas mengenai keunikan Yesus tersebut. Ciri khas Yesus Kristus tidak terletak dalam klaim bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Mengangkat Yesus dalam status Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus dari Nazaret adalah pencobaan-pencobaan yang harus dihindari. Hal ini bertujuan untuk menolong dalam membangun hubungan-hubungan baru dengan sesama kita yang beriman lain. Pernyataan bahwa Allah adalah pencipta seluruh kehidupan dan seluruh umat manusia meletakkan orang Kristen dan sesama umat beriman lain bersama-sama menuju pada sumber kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, Kristosentrisme tanpa Teosentrisme membawa kita pada penyembahan berhala. Kristologi ini memungkinkan komitmen kepada Allah di dalam Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama kita yang beriman lain, dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang lebih menyeluruh untuk mengadakan dialog dengan umat beragama lain.[13]

 

 

 

 

 

 


 

III.             Kesimpulan

Model mutualitas ini mengundang umat beragama, khususnya Kristen agar sadar akan pentingnya menyikapi agama-agama lain secara serius; lebih memahami mereka, berdialog dengan mereka, dan bekerja sama dengan mereka, yang membuat hidup ini lebih bermanfaat dan iman makin diperkuat karena berkomunikasi dengan dan belajar dari sesama yang beragama lain. Untuk menapaki jalan imannya sendiri, seseorang perlu berjalan bersama umat beragama lain. Yang Ilahi itu lebih daripada apa yang diketahui agama namun yang justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia perorangan/individu atau suatu komunitas. Artinya ada kesadaran bahwa pengalaman religius dalam satu tradisi itu terbatas. Bahwa Realitas Ilahi (Yang Ilahi) lebih besar dari apapun yang dapat dialami dalam satu tradisi agama tertentu saja. Oleh karena itu, Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia biarkanlah Yang Ilahi beragam seperti halnya agama.

 

IV.             Daftar Pustaka

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Effendy, Mochtar, Ensiklopedia Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001

Hadiwitanto, Handi & Carl Sterkens, Sikap terhadap Pluralitas Agama: Studi Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan Kristen di Indonesia, dalam Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober 2012, hal. 202-203.

Knitter, Paul F., Pengantar Teologi Agama-agama, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Koentjaningrat, Mistik Dewasastra, Jakarta: Gunung Mulia, 2005

Samarthzs, Stanley J., Salib dan Pelangi Kristus dan Budaya Multi Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 1996.

Saragih, Jon Renis, Rekaman akademis a.n. David P. Lumbantoruan, IIIA-Teologi STT-Abdi Sabda: Medan, 31 Januari 2019.

Subhkan, Imam, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Yogyakarta: Kanisius, 2008.



[1] Jon Renis Saragih, Rekaman akademis a.n. David P. Lumbantoruan, IIIA-Teologi (STT-Abdi Sabda: Medan), 31 Januari 2019.

[2] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129-130.

[3] Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens, Sikap terhadap Pluralitas Agama: Studi Perbandingan-Empiris Mahasiswa Muslim dan Kristen di Indonesia, dalam Majalah GEMA TEOLOGI Vol. 36, No. 2, Oktober 2012, hal. 202-203.

[4] Imam Subhkan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 29

[5] Paul F. Knitter, Op.Cit., 133

[6] Mochtar Effendy, Ensiklopedia Agama dan Filsafat (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), 456.

[7] Koentjaningrat, Mistik Dewasastra (Jakarta: Gunung Mulia, 2005), 163.

[8]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 287.

[9] Paul F. Knitter, Op.Cit., 149-150

[10] Paul F. Knitter, Op.Cit., 149-150

[11] Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens, Op.Cit., 203-204.

[12] Paul F. Knitter, Op.Cit., 151-158.

[13] Stanley J. Samarthzs, Salib dan Pelangi Kristus dan Budaya Multi Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 167.

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim