Sejarah Kekristenan di Jawa Timur
I.
Pendahuluan
Sejarah Gereja di Jawa barulah dimulai
pada abad ke-19. Karena sulitnya orang-orang Jawa untuk belajar tentang agama
Kristen dari orang-orang Belanda, maka beberapa orang Jawa yang gemar mencari ngelmu bekerliling ke seluruh wilayah
Jawa untuk belajar agama, baik Islam maupun Kejawen. Sebut misalnya tokoh-tokoh
seperti Kyai Sadrach, Tunggul Wulung, Abisai Ditotruno dan Paulus Tosari. Akan
tetapi perjumpaan mereka dengan beberapa orang peranakan Belanda seperti J.
Emde, L.C. Coolen, Ny. Jellesma dan beberapa lainnya telah mengubah cara
berpikir mereka tentang ngelmu. Injil bukannya memasuki dunia yang belum
dijamah sama sekali, melainkan kesaksian Kristen itu berbentrokan dengan segala
aliran rohani yang serba muskil dari agama Islam dan tradisi lama, dan dengan
segala nisbah yang sama muskilnya di dalam kehidupan masyarakat. Sejarah Gereja
mencatat bahwa eksistensi/keberadaan Kekristen/Gereja di Jawa Timur tidak
terlepas dari peran-peran penting dua tokoh berikut, yakni Conrad Laurens
Coolen dan Johanes Emde. Mereka mewakili dua metode pekabar Injil yang
bertentangan. Pola pendekatan Coolen adalah pendekatan budaya lokal, dalam hal
ini budaya Jawa, sedangkan Emde memakai pendekatan budaya Barat baik dalam usaha
menyampaikan pesan firman Tuhan maupun usaha penginjilannya.
II.
Pembahasan
2.1. Gambaran Umum Situasi
Sosial, Budaya, Agama Sebelum Kekristenan di Jawa Timur
2.1.1.
Kehidupan
Masyarakat Tradisional
1.
Letak
Geografis
Provinsi Jawa Timur
berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, Selat Bali di Timur, Samudera Hindia di
Selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di Barat. Panjang bentang Barat-Timur
sekitar 400 km. Lebar bentangan Utara-Selatan di bagian Barat sekitar 200 km,
namun di bagian Timur lebih sempit hingga 60 km. Madura adalah pulau terbesar
di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean
berada sekitar 150 km sebelah Utara Jawa. Di sebelah Timur Madura terdapat
gugusan pulau-pulau, yang paling Timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling
Utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian Selatan terdapat dua pulau kecil
yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu.[1]
2.
Mata
Pencaharian
Di Jawa Timur mata
pencaharian mereka adalah bercocok tanam padi di persawahan basah. Pengelolaan
sawah (dengan lahan-lahan beririgrasi) kerap melibatkan teknik dan sistem hukum
irigrasi yang rumit, serta karya kolektif didasarkan atas banyak konsultasi dan
solidaritas. Diperlukan pembendungan air dari sungai atau mata air untuk
mengalirkan lewat parit-parit terbuka, kerap melalui jarak yang jauh untuk
dibagikan secara merata ke sawah-sawah. Teknik seperti ini menyiratkan banyak
disiplin dan penguasaan diri, ini juga menyiratkan bentuk pemerintahan yang
teratur. Oleh karena itu seluruh masyarakat peradaban Jawa dipengaruhi oleh
teknik irigasi. Inilah salah satu faktor yang menjadikan Pulau Jawa terkemuka
diantara pulau-pulau di Indonesia lainnya, sejauh yang berkenaan dengan
perkembangan budaya dan sosial-ekonomi.[2]
3.
Sistem
Kepercayaan Tradisional
Ngelmu
dalam pemahaman Jawa Timur adalah belajar mendapatkan kawaruh yang lebih bersifat batiniah atau gaib (ilmu gaib), maka
ngelmu dalam masyarakat Jawa Timur berfungsi sebagai spiritual yang ditempuh
dalam perjuangan penegakan diri dan penyerahan seutuhnya agar dapat mencapai
kemanunggalan dengan ilahi sehingga mampu menjadi seorang Jawa yang bijaksana
dalam segala tindakan lebih berhati-hati dan tidak ceroboh.[3]
4.
Bahasa
Penduduk Pribumi
Bahasa sehari-hari
masyarakat Jawa Timur adalah bahasa Indonesia, selaku bahasa peraturan nasional
dan bahasa Jawa dengan dialek ‘Jawa Timuran’ selaku mayoritas. Bahasa Jawa
Timur yang lainnya adalah bahasa Madura, bahasa Osing, bahasa Tengger dan
lain-lain.[4]
2.2. Awal Penginjilan dan
Sambutan Penduduk Pribumi
Di Jawa Timur setelah perjanjian antara Portugis
dengan kerajaan Blambangan tahun 1528 di kota pelabuhan Panarukan yang masih
termasuk dalam kerajaan ini berdiam sejumlah orang Portugis. Penduduk kerajaan
sisa Majapahit ini umumnya masih Hindu dan tidak bersedia masuk Islam yang
tersebar dari kerajaan tetangganya (Pasuruan, Surabaya, dll.). diantara mereka
tertarik menjadi Kristen, tetapi tidak ada rohaniawan yang mengajarkan agama baru
itu kepada mereka. Baru setelah tahun 1585/85 datang sejumlah misionaris ke
Blambangan. Mereka sempat membaptis sejumlah orang, termasuk dari kalangan
keluarga raja. Tetapi sejak pertengahan 1590-an raja Blambangan semakin tidak
menyukai kehadiran Portugis dan agama Kristen, karena kedekatan para misionaris
dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi saingannya dalam menduduki tahta
kerajaan. Tidak lama kemudian pada tahun 1599, kerajaan itu diserang,
diruntuhkan, dan diislamkan oleh Adipati kerajaan Pasuruan yang sudah menganut
agama Islam. Dalam kejadian ini, umat Kristen-Portugis maupun pribumi mengalami
penderitaan besar, tempat kediaman orang Kristen di dekat Panurukan dihancurkan
dan kosong, tidak berpenghuni. Dengan demikian berakhirlah karya misi di sana.[5]
Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau
Jawa dikuasai oleh orang-orang Belanda secara langsung. Setelah VOC bubar
(1799), sampai tahun 1820-an, keadaan politis adalah tidak tetap: pemerintah
Belanda yang mengganti VOC, diusir oleh orang-orang Inggris (1811), tetapi lima
tahun kemudian orang-orang Belanda kembali lagi (1816). Penguasa-penguasa yang
silih berganti ini membawa serta cita-cita yang luhur, yang di Eropa telah
dicetuskan oleh Pencerahan. Beberapa kali terjadi reorganisasi di bidang
ekonomi (sistim perpajakan, soal tanah) dan politik. Dan Gubernur-Jenderal yang
pertama sesudah masa pemerintahan Inggris mempunyai rencana-rencana yang sangat
baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa.[6] Sejak
zaman VOC hingga sekitar tahun 1820-an, sudah ada jemaat-jemaat Kristen,
terutama di kota-kota besar (Batavia, Semarang dan Surabaya), dan anggotanya
pada umumnya masih orang Eropa, peranakan Eropa (Indo), dan perantau dari
Indonesia Timur. Keadaan yang bersifat status quo berubah sejak 1830, yaitu
ketika dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan besar setelah kekalahan
Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Tanda-tanda kegoyahan kepercayaan kepada
Islam setelah tahun 1830 itu terlihat dalam sastra Jawa abad ke-19, yang di
dalamnya terlihat kegemaran berdiskusi diantara para pendukung kepercayaan lain
dan para ulama Muslim. Perkembangan itu membuka peluang bagi pekabaran Injil,
terlebih-lebih dengan diberlakukannya sistem Tanam Paksa 1830-1870, yang
membuat banyak penduduk Jawa menjadi miskin dan sengsara, lalu membuat
kerinduan masyarakat Jawa akan kedatangan Ratu Adil dan kembalinya keadaan yang
makmur sejahtera kian mengental. Namun sampai sekitar 1850 pekabaran Injil dan perkembangan
kekristenan masih sangat terbatas, antara lain karena pembatasan bahkan
larangan oleh pemerintah kolonial H-B. Walaupun ada larangan dan pembatasan
terhadap zending, terutama sejak 1850-an mulai tampil sejumlah pribadi Kristen
asal Eropa ataupun peranakan melaksanakan tugas pekabaran Injil secara
perorangan. Dengan kata lain, di luar kerangka pekerjaan badan-badan zending,
antara lain Johannes Emde, C.L. Coolen, Ny. Philips-Stevens, Ny. Van
Oostrom-Philips, dan Mr. F.L. Anthing. Sebagai buah pekerjaan merekam banyak
orang Jawa, yang semula beragama Islam ataupun penganut kepercayaan asli,
mengenal Kristus. Beberapa di antara mereka kemudian tampil sebagai pemimpin
umat dan menjadi penginjil bagi rekan-rekan Jawa mereka dengan bahasa yang
lebih baik dan mudah dimengerti oleh mereka, misalnya Ibrahim Tunggul Wulung,
Paulus Tosari, dan Kyai Sadrach.[7]
2.3. Kekristenan di Jawa
Timur[8]
-
Emde
: Di Jawa Timur, kegiatan PI dimulai oleh seorang Jerman
yang telah merantau ke Indonesia. Bapa Emde (1774-1859) adalah seorang Pietis
dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat dengan mata kepala
sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan
musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah khatulistiwa. Ia menetap
di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai tukang arloji. Di situ ia dikunjungi
oleh Joseph Kam, ketika ia sedang dalam perjalanan ke Maluku, dan kunjungan Kam
itu membangkitkan semangat misioner pada Emde. Ia mendirikan suatu perkumpulan
PI (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Alat-alat
untuk PI diperoleh dari Bruckner. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran
dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar menterjemahkan PB kedalam bahasa
Jawa. terjemahan itu selesai dicetak tahun 1831 tapi langsung disita oleh
Pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah menerima beberapa bagian dari
terjemahan itu dalam bentuk salinan tangan, dan itu disebarkannya, bersama
dengan selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang
kebetulan lewat atau menempelkannya di tempat-tempat ramai. Mula-mula pekerjaan
Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia
sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus
meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu, di kemudian hari sikap GPI
menjadi lebih positif. Tetapi di kalangan orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde
pada mulanya tidak mendapat sambutan yang hangat.
-
Coolen
: Di Jawa Timur telah muncul pusat penyiaran agama
Kristen yang kedua. Pusat kedua ini ialah Ngoro,
dan pemimpinnya ialah Coolen (1775-1873). Coolen lahir dari keluarga Belanda,
tetapi ibunya adalah puteri bangsawan Jawa. dari ibunya itu diwarisinya tradisi
kebudayaan Jawa, sehingga ia menguasai wayang, musik dan tari-tarian Jawa.
Beberapa diantara orang-orang yang datang ke Ngoro adalah orang yang pernah
melakukan kejahatan. Coolen mengijinkan mereka menetap di Ngoro, tetapi ia
berusaha untuk menunjuk jalan kepada mereka supaya memperbaiki diri. Kepada
mereka diberitahukannya “ilmu Kristen” tentang pelepasan manusia dari dosa oleh
Juruselamat dunia. Pada hari-hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di
pendopo rumahnya sendiri: disitu ia berdoa dan membacakan suatu pasal dari
Alkitab, lalu orang mengangkat nyanyian serta doa dengan gaya tembang.
Selanjutnya, sepanjang hari Minggu, orang menghabiskan waktunya dengan bermain
gamelan, dengan wayang dan dikir, yakni mengulang-ulangi rumus-rumus Kristen
(Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara yang dipakai juga oleh santri-santri
Islam. Pada hari-hari lain, sore harinya, Coolen mengajarkan agama Kristen dan
rumusan-rumusan Kristen kepada mereka yang meminta. Dengan cara itu
terbentuklah suatu jemaat Kristen. Coolen mengangkat seorang pengantar jemaat
yang disebut Kyai penghulu, dan dua orang penatua. Sakramen baptisan dan
perjamuan pun tidak dilayankan di Ngoro.
-
Kelompok
Wiung : di desa Wiung, yang letaknya tidak jauh
dari Surabaya, ada suatu kelompok orang yang taat beragama. Mereka biasa
berkumpul dalam rumah Modin desa itu, yang bernama Pak Dasimah. Salah seorang
anggota kelompok ini membawa serta sebuah buku kecil dalam bahasa Jawa yang
diberikan kepadanya oleh seorang perempuan keturunan Eropa di Surabaya. Pak
Dasimah membukanya dan heran sekali ia melihat kata-kata yang pertama: “Inilah
permulaan Injil tentang Yesus Kristus...” (Mrk 1:1). Ia tidak begitu suka akan
isinya, tetapi karna buku itu agaknya mengandung hal-hal keagamaan yang belum
dikenalnya maka ia tidak membuangnya, membuatnya menjadi pokok pembicaraan
dalam kelompoknys. Sekitar tahun 1834, seorang anggota kelompok Wiung bertemu
dengan seorang kyai yang telah berguru pada Coolen. Kyai ini mengucapkan sebuah
rapal yang isinya Keduabelas Pasal Iman. Pengunjung dari Wiung itu teringat
akan buku yang telah dikenalnya di sana, dan ia cepat pergi membawa berita ini
kepada Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka
Pak Dasimah beserta sejumlah temannya ke sana meminta “toya wening”, air jernih
(hidup). Coolen menyambut mereka dengan ramah dan selama sepuluh hari mereka
sempat menerima pengajaran agama Kristen seperti yang diberikan di Ngoro.
2.4. Metode-Metode
Penginjilan C.L. Coolen dan J.Emde
2.4.1.
Metode
Penginjilan C.L. Coolen[9]
Pola pendekatan penginjilan yang dilakukan
oleh Conrad Laurens Coolen adalah sebagai berikut : Pertama, menjangkau daerah
pedesaan sebagai basis penginjilan. Dengan basis pedesaan, makaia berusaha
mengidentikkan dirinya seperti orang-orang Jawa pada umumnya yang hidup di
pedesaan yang agraris. Ia berusaha mentransformasikan hutan belantara menjadi
sawah yang subur dengan alat-alat tradisional. Dengan basis pedesaan, maka
dalam penginjilan ia mengidentikkan dirinya dengan pola guru ilmu, dalam
konteks dan pengertian kehidupan pedesaan Jawa.
Kedua, pendekatan kepada struktur sosial
masyarakat pedesaan Jawa yang holtikultura. Pendekatan dirinya sebagai seorang
petani, membawa dirinya lebih dekat dengan masyarakat desa yang pada umumnya
adalah petani atau buruh tani. Pendekatan ini membawa hasil yang baik bagi
Injil. Pertama, ia memperkenalkan Injil kepada keluarga istrinya, kemudian
kepada pembantu-pembantunya, pada akhirnya berdampak bagi masyarakat
sekitarnya. Dalam pendekatannya ini, Coolen memasukkan unsur kepercayaan dan
keyakinan mistik Jawa, yang mempercayai bahwa kawasan hutan yang akan dibuka
didaerah Ngoro ada pelindungnya yaitu Ki Gede (kepercayaan mistik Jawa). untuk
menyesuaikan dan mengidentifikasi dengan kepercayaan yang ada, maka dengan
penuh keyakinan ia menyatakan bahwa puteranya Damar adalah pengejawantahan dari
Ki Gede yang merupakan roh pelindung kawasan hutan di daeran Ngoro
Ketiga, pendekatan kepemimpinan yang
berbasis pedesaan dengan nilai-nilai Kristiani. Ia menerapkan pola kepemimpinan
yang berpihak kepada rakyat dan berusaha memperlakukan setiap pengikutnya
dengan adil dan bijaksana. Ia membentuuk saut komunitas yang dilatih secara
khusus dalam keterampilan pertanian, moral, disiplin hidup dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Coolen mampu membawa masyarakat Ngoro atau pengikutnya untuk
memiliki standar moral, etika kerja yang sangat baik dibandingkan dengan
masyarakat diluar komunitasnya.
Keempat, pendekatan penginjilan yang
bersifat kultural. pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh Coolen sangat
berbeda dengan kebanyakan misionaris Barat yang memberitakan Injil di Pulau
Jawa ataupun di Indonesia. Dalam pekabaran Injil ia berusaha untuk menyesuaikan
diri dengan budaya dan natur masyarakat Jawa. Pemberitaan injil yang
dilakukannya bersifat holistik, mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat
Jawa, yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi
kepercayaan Jawa, pria yang pertama mengenakan bajak atau menabur benih haruslah
seorang yang memiliki ilmu gaib tertentu. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan
masyarakat Jawa yang mempercayai adanya Dewi padi yang disebut Dewi Sri. Maka
Coolen yang dipercayakan utnuk memohon kepada Dewi Sri dengan nyanyian-nyanyian
Jawa. Coolen melakukan ritual ini, dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri
dan diakhiri dengan nama Yesus yang merupakan Dewa yang lebih besar. Dalam
usaha pemberitaan Injil yang sesuai dengan kultur budaya lokal, maka dalam
ibadah ia berkotbah memakai bahasa Jawa, lagu pujian diiringi musik Jawa;
gamelan, dan memakai bahasa Jawa. bahkan untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab
ia menggunakan sarana wayang, serta menjelaskan perbandingan antara tokoh-tokoh
Alkitab dengan tokoh pewayangan.
2.4.2.
Metode
Penginjilan Johanes Emde
2.4.2.1. Pola Pendekatan
Penginjilan Melalui Traktat
Pola pendekatan Emde ialah dengan membagi
traktat-traktat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Pdt. G.W.
Bruckner. Pembagian traktat ini merupakan salah satu metode penginjilan yang
dilakukan oleh Emde dan juga tim penginjilannya. Bentuk penginjilan melalui
traktat dilakukan melalui penyebaran traktat oleh anak-anaknya kepada
orang-orang Jawa yang bisa membaca di pasar-pasar di kota Surabaya. Salah satu
hasil dari penyebaran traktat yang membuat banyak orang Jawa menjadi Kristen
dimulai dari seorang yang bernama Kyai Midah asal Madura. Ia mendapat traktat
berupa Injil Markus terjemahan bahasa Jawa. Setelah membaca Injil Markus ini ia
sangat tertarik dan terbangun rasa ingin tahunya, oleh sebab itu ia mengajak
teman-temannya untuk membahas dan menyelidiki isi Injil ini. Salah satu
temannya yang mendiskusikan bacaan ini adalah Pak Dasimah.[10]
Oleh sebab itu ketika Kyai Midah memberikan terjemahan Injil Markus, ia dengan
teman-temannya mendiskusikan Injil ini. Hal yang sangat menarik dalam diskusi
mereka adalah yang berhubungan dengan kata Allah seolah-olah memiliki Anak.
Keingintahuan mereka mengenai hal ini, membawa mereka untuk mencari tahu dan
ingin mendalaminya. Oleh sebab itu mereka pergi mengunjungi Coolen di daerah
Ngoro yang berjarak sangat jauh dari Surabaya. Di sana mereka diajari tentang
ke-Kristenan oleh Coolen. Ketertarikan mereka akan Injil, membawa mereka kepada
Emde atas rekomendasi dari Coolen untuk memperlengkapi pengetahuan mereka
mengenai kekristenan. Di tangan Emde mereka diajarkan kekristenan lebih
mendalam mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kekristenan. Setelah mendapatkan
pengajaran agama Kristen dari Emde, Kyai Midah dan teman-temannya menerima
baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja Protestan Surabaya.[11]
2.4.2.2.
Pola
Pendekatan Budaya dan Pietisme Barat
Emde mewajibkan orang Jawa yang menjadi
Kristen untuk dibaptis dan berusaha untuk mengubah adata istiadat serta
perilaku orang Jawa dengan pola dan adat istiadat Barat. Hal ini jelas
sebagaimana dikatakan oleh Harthorn: Kelompok Emde menerapkan rangkaian titah
“Kristen” lain di atas Dasa Tirah Perjanjian Lama. Adapun daftar dasa titah
Emde sebagai berikut: (1) Kamu harus memangkas pendek rambutmu. (2) Kamu harus
melepaskan kain kepala manakala berada di gereja. (3) Jangan kamu mendengarkan
musik gamelan. (4) Janganlah kamu menghadiri pertunjukan wayang. (5) Janganlah
kamu di sunat. (6) Janganlah kamu menghadiri slametan. (7) Janganlah kamu
membaca sastra Jawa. (8) Janganlah kamu merawat makam para nenek moyangmu. (9)
Janganlah kamu menghiasi makammu dengan bunga atau pohon-pohonan. (10) Kamu
harus melarang anak-anakmu bermain permainan sia-sia. Hal ini menjadikan jemaat
Emde disebut dengan Kristen Belanda karena kehidupan, identitas diri, dan
perilaku budayanya sesuai dengan budaya dan gereja Belanda atau Barat, bahkan
mereka dipandang aneh di lingkungan mereka tinggal.[12]
Mengapa Emde memperlakukan orang Kristen
baru seperti demikian? Emde memandang perlu bahwa mereka (orang Jawa Kristen)
bersama dengan agama orang Eropa, menerima juga adat istiadat Eropa. Walaupun
demikian, Emde adalah seorang yang sangat menghormati masyarakat Jawa. ia tidak
memandang dirinya lebih tinggi derajatnya dari orang Jawa sebagaimana yang
dilakukan oleh orang Eropa pada waktu itu. Selain menjauhkan orang Kristen Jawa
dengan ke-Jawa-annya, Emde juga berusaha menjauhkan mereka dari penagruh
tradisi Muslim. Hal ini dilakukan karena mungkin ada ketakutan munculnya
sinkretisme masyarakat Jawa atau terpengaruhnya orang Jawa Kristen dengan
Islam.[13]
Sebagaimana dikatakan oleh Philip van
Akkeren: hal ini bisa dipahami, manakala kita menyadari fakta bahwa di Surabaya,
Emde tinggal satu kilometer saja jaraknya dari pusat Muslim-Jawa di mana
terletak makam Sunan Ampel, salah seorang wali dan salah seorang saleh di Jawa
Timur. Dari penjelasan Akkeren, kita dapat mengetahui apa yang menjadi penyebab
Emde begitu ketat membentengi orang Kristen Jawa. Minimal ia menginginkan agar
kekristenan tidak lagi terpengaruh dengan agama Islam dan juga tradisi-tradisi
yang memungkinkan mereka menjadi sinkretis.[14]
2.5. Pengaruh dan Karya
Zending dalam Kekristenan di Jawa Timur
Pada tahun 1851, NZG mulai memberitakan
Injil kepada orang-orang Jawa dengan mengutus misionarisnya yang pertama, yaitu
Pdt. J.L. Jellesma. Ia berkedudukan di Mojowarno. Disana sudah terdapat jemaat
yang terdiri dari orang Kristen Jawa yang diusir dari Ngoro karena mereka
menerima corak kekristenan Emde (Barat). Setelah Coolen meninggal (1873),
pengikut Coolen diasuh oleh NZG. Dengan demikian NZG membangun di atas
pekerjaan Emde dan Coolen.[15]
Pekabar Injil di Surabaya bukannya mendapat rintangan, melainkan justru menerima
bantuan dan sokongan dari pihak para pendeta da5n jemaat Gereja Protestan.
Malah “Perkumpulan Pembantu” yang berasal dari lingkungan Bapak Emde,
mengongkosi kemudian beberapa pendeta dan penginjil Jawa.[16]
Pada waktu ia mulai menetap di Mojowarno ada beberapa kejadian yang penting
sekali artinya bagi pekerjaannya. Pemerintah akhirnya mengizinkan untuk
mengedarkan beberapa Perjanjian Baru terjemahan Bruckner, yang 17 tahun lalu
telah disita. Dalam tahun yang sama terbitlah pula suatu terjemahan baru dalam
bahasa Jawa, yang diselenggarakan oleh ahli bahasa Gericke atas tugas Lembaga Alkitab Belanda. Hal-hal di atas ini
pada permulaannya sudah merupakan suatu modal kerja yang penting baginya. Hal
yang sukar baut dia ialah menemukan jalan tengah yang tepat antara
golongan-golongan yang telah menjadi Kristen dengan latar belakang rohani yang
berbeda-beda. Pada satu pihak ia berbentrokan dengan Coolen yang tidak menyukai
baptisan dan perjamuan kudus karena tidak sesuai dengan konsepnya mengenai
kekristenan Jawa.[17]
Dalam soal ini akhirnya ia menang juga. Pada tahun 1852 dan 1853 ia sudah boleh
membaptiskan di Ngoro masing-masing 180 dan 190 orang. Yang lebih sukar adalah
sikap yang harus diambil terhadap golongan Emde, yang menganggap dengan
sendirinya bahwa orang-orang Kristen Jawa menjadi “Kristen Londo”. Jellesma
sangat setuju dengan pendapat, bahwa orang Jawa yang menjadi Kristen tetap
tinggal orang Jawa. Jellesma berkeyakinan, bahwa pekerjaan Injil sedapat
mungkin berjalan terus dengan diam-diam, justru oleh sebab banyak keberatan
yang datang dari pihak pemerintah dan dari pihak orang-orang Jawa sendiri. Ia
menyadari, bahwa penginjilan itu harus dilaksanakan oleh orang-orang Jawa sendiri. Itulah sebabnya di Surabaya, sudah
sejak mulanya ia mendidik di rumahnya sendiri beberapa pemuda Jawa untuk
menjadi penginjil. Selain daripada itu, ia menyuruh 4 orang pemuda, yang sudah
berpengalaman sebagai penginjil di Sidokare, pergi ke jemaat-jemaat yang
tersebar itu. Mereka dibiayai oleh “Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil” di
Surabaya.[18]
Atas usahanya terlaksanalah di Mojowarno sebuah sekolah penginjil yang pertama
di Jawa. Mereka yang sudah memperoleh didikan ditugaskan untuk memelihara
jemaat-jemaat yang masih muda, serta mengadakan kunjungan-kunjungan sampai ke
Jawa Utara dan Jawa Tengah guna menyebarkan Injil Kristus. Ciri-ciri pekerjaan
Jellesma itu merupakan garis-garis besar bagi segala sesuatu yang dikerjakan
selanjutnya oleh para utusan NZG di Jawa Timur.[19]
Pada masa 1870-1910 berlangsung perkembangan yang berangsur-angsur telah
ditetapkan zending. (a) Zending tetap lebih banyak memperhatikan desa daripada
kota. Parra zendeling mendirikan desa-desa Kristen yang baru dengan cara
membuka tanah. Surabaya ditinggalkan Jellesma pada 1851, baru pada 1930 seorang
utusan zending kembali bekerja disitu.
Zending memilih desa di atas kota disebabkan pula oleh faktor sosial;
pada zaman itu Jawa Timur kota-kota terutama merupakan tempat pemukiman orang
Eropa dan Tionghoa, dan para zendeling tidak suka berada di tengah masyarakat
Eropa yang sikap dan kelakuannya merupakan rintangan bagi pekabar Injil. (b)
Orang Jawa tidak dapat menerima firman tok, sebab belum tau membedakan yang
baik dan yang jahat.[20]
2.6. Perkembangan Kekristenan
di Jawa Timur[21]
Orang-orang Kristen membuka tanah
Mojowarno, kemudian didaerah Malang Selatan, sampai ke Lumajang dan Jember,
malahan sampai le Ujung Jawa Timur. Jalan yang dirintis oleh para pembuka tanah
dan para pendiri desa itu menjadi jalan bagi Pekabaran Injil pula. Barulah
dihari kemudian terkumpul jemaat-jemaat Kristen di kota-kota Jawa Timur. Hal
ini disebabkan karena anak-anak desa Kristen mengalir ke kota-kota. Adapun
Mojowarno merupakan ibu-jemaat bagi pelbagai jemaat disekitarnya yang terbentuk
sesudah sesuatu tanah dibuka. Tahun 1864 telah didirikan 9 jemaat dengan 1100
anggota. Jemaat itu mwnjadi batu loncatan bagi Pekabaran Injil untuk menuju ke
Lamongan, bahkan mereka dapat mengadakan hubungan dengan Rembang, Pati dan
Kajuapu, tempat-tempat mana telah ada orang-orang Kristen sejak tahun 1853,
yang mendapat pelayanan dari Semarang. Kira-kira tahun 1870 berdirilah desa
Swaru, selanjutnya desa Peniwen, Sitiarjo, dan beberapa desa lainnya lagi.
Setelah itu berdirilah pula desa Tunjungrejo pada kira-kira tahun 1900 beserta
desa-desa yang lain disekitar Jember.
Akhirnya didaerah Kediri Selatan muncullah
beberapa jemaat sejak tahun 1910, misalnya Tulungagung, Sumberagung, dan
lain-lain. Baru sesudah perluasan kekristenan didesa-desa terwujudlah juga
jemaat di kota-kota. Sebenarnya pekerjaan Pekabaran Injil dikota-kota dimulai
pada tahun 1920 dengan menempatkan seorang Pekabar Injil di Malang kemudian
tahun 1930 ditempatkan seorang lagi di Surabaya. Dikota itu terjadilah jemaat
yang paling besar serta paling penting bagi Gereja Kristen Jawa Timur. Melihat
perkembangan Gereja Kristen Jawa Timur itu dapatlah kita meringkaskan
garis-garis besarnya sebagai berikut:
1. Sekitar
1840-1848 adalah tahun permulaan Gereja itu sebelum masuknya usaha Pekabaran
Injil;
2. 1849-1931
perkembangan Gereja itu dengan bimbingan Pekabaran Injil;
3. Mulai
tahun 1931 Gereja Kristen Jawa Timur berdiri sendiri.
Jemaat-jemaat
NZG di Jawa Timur didewasakan pada 11 Desember 1931 dengan nama Gereja Kristen
Jawi Wetan (GKJW), dengan sistem pemerintahan gerejawi presbiterial-sinodal.
GKJW berjasa bagi pekabaran Injil di Bali. GKJW memberitakan Injil ke Bali pada
tahun 1933 sehingga memberi sumbangan bagi lahirnya Gereja Kristen Protestan di
Bali. Pada tahun 1947, GKJW ikut mendirikan Dewan Permusyawaratan Gereja-Gereja
dan menjadi anggota PGI pada tahun 1950. Kantor pusatnya berada di Malang, Jawa
Timur. Gereja ini mendirikan sekolah teologinya sendiri pada tahun 1920 di
Kediri. Pada tahun 1925 sekolah ini dipindahkan ke Malang dan diberi nama
Sekolah Tinggi Teologi Bale Wiyoto, yang artinya balai murid. Pada tahun 1962
sekolah ini ditutup karena GKJW bersama-sama dengan gereja lainnya mendirikan
sekolah teologi bersama, yaitu Sekolah Tinggi Teologi Duta Wacana. Kini sekolah
teologi ini menjadi pusat pembinaan anggota jemaat.[22]
III.
Kesimpulan
Kekristenan
di Jawa Timur sebenarnya sudah ada sejak dibawa masuk oleh bangsa Portugis,
namun karena mengalami berbagai hambatan dan penderitaan maka kekristenan tidak
berkembang dan terhenti. Hadirnya Coolen dan Emde dapat dikatakan sebagai akar
berdiri dan berkembangnya Gereja (Kekristenan) di Jawa Timur. Coolen dan Emde
memiliki kelebihan dan juga kekurangan dalam pendekatan penginjilan. Coolen
sangat menekankan budaya Jawa sehingga Injil begitu mudah diterima oleh orang
Jawa. berbeda dengan Emde, yang sangat menekankan budaya Barat dengan
pietismenya. Juga kedatangan seorang utusan badan zendeling NZG, yaitu Jellesma
telah meletakkan dasar yang baik bagi Gereja Kristen serta Gereja Jawa yang sejati.
Sebenarnya Gereja di Jawa Timur ini bukannya merupakan Gereja yang telah
dihimpunkan oleh para pekabar Injil, melainkan para pekabar Injil ini hanya
mengikuti saja jejak-jejak Injil yang sudah terbentang di Jawa Timur. Mereka
bukannya merupakan pusat, yang disekitarnya terhimpun jemaat-jemaat. Tetapi
mereka tampil ke depan di mana muncul jemaat yang baru, supaya mereka dapat
memberikan pertolongan kepada kekristenan Jawa bagi perkembangannya dan
penyadarannya sebagai umat Kristen.
IV.
Daftar
Pustaka
Akkeren, Philip. van , Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: Gunung
Mulia, 1994
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2006
Guillot, Claude, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di jawa
(terj.), Jakarta: Gunung Mulia, 1985
Kartodirjo, Sartono,
dkk., Beberapa Segi Etika dan Etiket
Jawa, Yogyakarta: Departemen Ditjen Kebudayaan, 1987
Komandoko, Gamal, Ensiklopedia Pelajar dan Umum,Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2010
Kruger, Th. Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta:
Gunung Mulia, 1966
Van den End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: Gunung
Mulia, 2011
Van den End, Th., Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1, Jakarta: Gunung Mulia, 1985
Van den End, Th., Ragi Carita 2, Jakarta: Gunung Mulia,
2012
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung
Mulia, 2011
Sumber lain :
http://www.Jatimprov.go.id,
diakses pada 13 Maret 2019
[1] http://www.Jatimprov.go.id,
diakses pada 13 Maret 2019
[2] Philip. Van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta: Gunung
Mulia, 1994), 4-5
[3] Sartono Kartodirjo, dkk., Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, (Yogyakarta:
Departemen Ditjen Kebudayaan, 1987), 111
[4] Gamal Komandoko, Ensiklopedia Pelajar dan Umum (Yogyakarta:
Pustaka Widyatama, 2010), 155
[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 44-45
[6] Th. Van den End, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1, (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), 197
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, 82-86
[8] Th. Van den End, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1,
199-201
[9] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta: Gunung
Mulia, 1994), 73-92. Lihat juga Th. Van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 276-277. Th.
Muller Kruger, Sejarah Gereja di
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1966), 162-165. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, 87-90. Dilengkapi oleh Claude Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di jawa (terj.), (Jakarta:
Gunung Mulia, 1985), 33-34.
[10] Pak Dasimah adalah seorang
terpelajar dan merupakan pejabat mesjid yang sangat tertarik dengan hal-hal
yang berkaitan dengan agama.
[11] Philip Van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 92-103
[12] Ibid, 106-110
[13] Th. Van den End, Ragi Carita 1, 199-202
[14] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 92-93
[15] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung
Mulia, 2011), 126
[16] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta:
Gunung Mulia, 1966), 167
[17] Ibid, 169
[18] Ibid, 170
[19] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 170-171
[20] Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: Gunung Mulia,
2012), 250
[21] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 172-173
[22] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 127
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
thank
ReplyDelete