-->

sosial media

Friday, 16 October 2020

Sejarah Kekristenan di Jawa Timur

 


I.                   Pendahuluan

        Sejarah Gereja di Jawa barulah dimulai pada abad ke-19. Karena sulitnya orang-orang Jawa untuk belajar tentang agama Kristen dari orang-orang Belanda, maka beberapa orang Jawa yang gemar mencari ngelmu bekerliling ke seluruh wilayah Jawa untuk belajar agama, baik Islam maupun Kejawen. Sebut misalnya tokoh-tokoh seperti Kyai Sadrach, Tunggul Wulung, Abisai Ditotruno dan Paulus Tosari. Akan tetapi perjumpaan mereka dengan beberapa orang peranakan Belanda seperti J. Emde, L.C. Coolen, Ny. Jellesma dan beberapa lainnya telah mengubah cara berpikir mereka tentang ngelmu. Injil bukannya memasuki dunia yang belum dijamah sama sekali, melainkan kesaksian Kristen itu berbentrokan dengan segala aliran rohani yang serba muskil dari agama Islam dan tradisi lama, dan dengan segala nisbah yang sama muskilnya di dalam kehidupan masyarakat. Sejarah Gereja mencatat bahwa eksistensi/keberadaan Kekristen/Gereja di Jawa Timur tidak terlepas dari peran-peran penting dua tokoh berikut, yakni Conrad Laurens Coolen dan Johanes Emde. Mereka mewakili dua metode pekabar Injil yang bertentangan. Pola pendekatan Coolen adalah pendekatan budaya lokal, dalam hal ini budaya Jawa, sedangkan Emde memakai pendekatan budaya Barat baik dalam usaha menyampaikan pesan firman Tuhan maupun usaha penginjilannya.

II.                Pembahasan

2.1. Gambaran Umum Situasi Sosial, Budaya, Agama Sebelum Kekristenan di Jawa Timur

2.1.1.      Kehidupan Masyarakat Tradisional

1.    Letak Geografis

Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, Selat Bali di Timur, Samudera Hindia di Selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di Barat. Panjang bentang Barat-Timur sekitar 400 km. Lebar bentangan Utara-Selatan di bagian Barat sekitar 200 km, namun di bagian Timur lebih sempit hingga 60 km. Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 km sebelah Utara Jawa. Di sebelah Timur Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang paling Timur adalah Kepulauan Kangean dan yang paling Utara adalah Kepulauan Masalembu. Di bagian Selatan terdapat dua pulau kecil yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu.[1]

2.      Mata Pencaharian

Di Jawa Timur mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam padi di persawahan basah. Pengelolaan sawah (dengan lahan-lahan beririgrasi) kerap melibatkan teknik dan sistem hukum irigrasi yang rumit, serta karya kolektif didasarkan atas banyak konsultasi dan solidaritas. Diperlukan pembendungan air dari sungai atau mata air untuk mengalirkan lewat parit-parit terbuka, kerap melalui jarak yang jauh untuk dibagikan secara merata ke sawah-sawah. Teknik seperti ini menyiratkan banyak disiplin dan penguasaan diri, ini juga menyiratkan bentuk pemerintahan yang teratur. Oleh karena itu seluruh masyarakat peradaban Jawa dipengaruhi oleh teknik irigasi. Inilah salah satu faktor yang menjadikan Pulau Jawa terkemuka diantara pulau-pulau di Indonesia lainnya, sejauh yang berkenaan dengan perkembangan budaya dan sosial-ekonomi.[2]

3.      Sistem Kepercayaan Tradisional

Ngelmu dalam pemahaman Jawa Timur adalah belajar mendapatkan kawaruh yang lebih bersifat batiniah atau gaib (ilmu gaib), maka ngelmu dalam masyarakat Jawa Timur berfungsi sebagai spiritual yang ditempuh dalam perjuangan penegakan diri dan penyerahan seutuhnya agar dapat mencapai kemanunggalan dengan ilahi sehingga mampu menjadi seorang Jawa yang bijaksana dalam segala tindakan lebih berhati-hati dan tidak ceroboh.[3]

4.      Bahasa Penduduk Pribumi

Bahasa sehari-hari masyarakat Jawa Timur adalah bahasa Indonesia, selaku bahasa peraturan nasional dan bahasa Jawa dengan dialek ‘Jawa Timuran’ selaku mayoritas. Bahasa Jawa Timur yang lainnya adalah bahasa Madura, bahasa Osing, bahasa Tengger dan lain-lain.[4]

2.2. Awal Penginjilan dan Sambutan Penduduk Pribumi

Di Jawa Timur setelah perjanjian antara Portugis dengan kerajaan Blambangan tahun 1528 di kota pelabuhan Panarukan yang masih termasuk dalam kerajaan ini berdiam sejumlah orang Portugis. Penduduk kerajaan sisa Majapahit ini umumnya masih Hindu dan tidak bersedia masuk Islam yang tersebar dari kerajaan tetangganya (Pasuruan, Surabaya, dll.). diantara mereka tertarik menjadi Kristen, tetapi tidak ada rohaniawan yang mengajarkan agama baru itu kepada mereka. Baru setelah tahun 1585/85 datang sejumlah misionaris ke Blambangan. Mereka sempat membaptis sejumlah orang, termasuk dari kalangan keluarga raja. Tetapi sejak pertengahan 1590-an raja Blambangan semakin tidak menyukai kehadiran Portugis dan agama Kristen, karena kedekatan para misionaris dengan ibunda raja yang sekaligus menjadi saingannya dalam menduduki tahta kerajaan. Tidak lama kemudian pada tahun 1599, kerajaan itu diserang, diruntuhkan, dan diislamkan oleh Adipati kerajaan Pasuruan yang sudah menganut agama Islam. Dalam kejadian ini, umat Kristen-Portugis maupun pribumi mengalami penderitaan besar, tempat kediaman orang Kristen di dekat Panurukan dihancurkan dan kosong, tidak berpenghuni. Dengan demikian berakhirlah karya misi di sana.[5]

Sejak abad ke-18, sebagian besar pulau Jawa dikuasai oleh orang-orang Belanda secara langsung. Setelah VOC bubar (1799), sampai tahun 1820-an, keadaan politis adalah tidak tetap: pemerintah Belanda yang mengganti VOC, diusir oleh orang-orang Inggris (1811), tetapi lima tahun kemudian orang-orang Belanda kembali lagi (1816). Penguasa-penguasa yang silih berganti ini membawa serta cita-cita yang luhur, yang di Eropa telah dicetuskan oleh Pencerahan. Beberapa kali terjadi reorganisasi di bidang ekonomi (sistim perpajakan, soal tanah) dan politik. Dan Gubernur-Jenderal yang pertama sesudah masa pemerintahan Inggris mempunyai rencana-rencana yang sangat baik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Jawa.[6] Sejak zaman VOC hingga sekitar tahun 1820-an, sudah ada jemaat-jemaat Kristen, terutama di kota-kota besar (Batavia, Semarang dan Surabaya), dan anggotanya pada umumnya masih orang Eropa, peranakan Eropa (Indo), dan perantau dari Indonesia Timur. Keadaan yang bersifat status quo berubah sejak 1830, yaitu ketika dunia rohani orang Jawa mengalami pergolakan besar setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Tanda-tanda kegoyahan kepercayaan kepada Islam setelah tahun 1830 itu terlihat dalam sastra Jawa abad ke-19, yang di dalamnya terlihat kegemaran berdiskusi diantara para pendukung kepercayaan lain dan para ulama Muslim. Perkembangan itu membuka peluang bagi pekabaran Injil, terlebih-lebih dengan diberlakukannya sistem Tanam Paksa 1830-1870, yang membuat banyak penduduk Jawa menjadi miskin dan sengsara, lalu membuat kerinduan masyarakat Jawa akan kedatangan Ratu Adil dan kembalinya keadaan yang makmur sejahtera kian mengental. Namun sampai sekitar 1850 pekabaran Injil dan perkembangan kekristenan masih sangat terbatas, antara lain karena pembatasan bahkan larangan oleh pemerintah kolonial H-B. Walaupun ada larangan dan pembatasan terhadap zending, terutama sejak 1850-an mulai tampil sejumlah pribadi Kristen asal Eropa ataupun peranakan melaksanakan tugas pekabaran Injil secara perorangan. Dengan kata lain, di luar kerangka pekerjaan badan-badan zending, antara lain Johannes Emde, C.L. Coolen, Ny. Philips-Stevens, Ny. Van Oostrom-Philips, dan Mr. F.L. Anthing. Sebagai buah pekerjaan merekam banyak orang Jawa, yang semula beragama Islam ataupun penganut kepercayaan asli, mengenal Kristus. Beberapa di antara mereka kemudian tampil sebagai pemimpin umat dan menjadi penginjil bagi rekan-rekan Jawa mereka dengan bahasa yang lebih baik dan mudah dimengerti oleh mereka, misalnya Ibrahim Tunggul Wulung, Paulus Tosari, dan Kyai Sadrach.[7]

2.3. Kekristenan di Jawa Timur[8]

-          Emde : Di Jawa Timur, kegiatan PI dimulai oleh seorang Jerman yang telah merantau ke Indonesia. Bapa Emde (1774-1859) adalah seorang Pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia untuk melihat dengan mata kepala sendiri, apakah benar bahwa perkataan dalam Kej. 8:22 tentang musim dingin dan musim panas tidaklah sesuai dengan keadaan di daerah khatulistiwa. Ia menetap di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai tukang arloji. Di situ ia dikunjungi oleh Joseph Kam, ketika ia sedang dalam perjalanan ke Maluku, dan kunjungan Kam itu membangkitkan semangat misioner pada Emde. Ia mendirikan suatu perkumpulan PI (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Alat-alat untuk PI diperoleh dari Bruckner. Bruckner telah mengarang selebaran-selebaran dalam bahasa Jawa, dan Emde mendesak dia agar menterjemahkan PB kedalam bahasa Jawa. terjemahan itu selesai dicetak tahun 1831 tapi langsung disita oleh Pemerintah. Namun Emde sebelumnya sudah menerima beberapa bagian dari terjemahan itu dalam bentuk salinan tangan, dan itu disebarkannya, bersama dengan selebaran-selebaran, dengan menyodorkannya kepada orang-orang yang kebetulan lewat atau menempelkannya di tempat-tempat ramai. Mula-mula pekerjaan Emde itu tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya memandang dia sebagai saingan dan mengadukannya kepada pemerintah. Akibatnya, Emde harus meringkuk dalam penjara selama beberapa minggu, di kemudian hari sikap GPI menjadi lebih positif. Tetapi di kalangan orang-orang Jawa juga pekerjaan Emde pada mulanya tidak mendapat sambutan yang hangat.

-          Coolen : Di Jawa Timur telah muncul pusat penyiaran agama Kristen yang kedua. Pusat kedua ini ialah Ngoro, dan pemimpinnya ialah Coolen (1775-1873). Coolen lahir dari keluarga Belanda, tetapi ibunya adalah puteri bangsawan Jawa. dari ibunya itu diwarisinya tradisi kebudayaan Jawa, sehingga ia menguasai wayang, musik dan tari-tarian Jawa. Beberapa diantara orang-orang yang datang ke Ngoro adalah orang yang pernah melakukan kejahatan. Coolen mengijinkan mereka menetap di Ngoro, tetapi ia berusaha untuk menunjuk jalan kepada mereka supaya memperbaiki diri. Kepada mereka diberitahukannya “ilmu Kristen” tentang pelepasan manusia dari dosa oleh Juruselamat dunia. Pada hari-hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya sendiri: disitu ia berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab, lalu orang mengangkat nyanyian serta doa dengan gaya tembang. Selanjutnya, sepanjang hari Minggu, orang menghabiskan waktunya dengan bermain gamelan, dengan wayang dan dikir, yakni mengulang-ulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara yang dipakai juga oleh santri-santri Islam. Pada hari-hari lain, sore harinya, Coolen mengajarkan agama Kristen dan rumusan-rumusan Kristen kepada mereka yang meminta. Dengan cara itu terbentuklah suatu jemaat Kristen. Coolen mengangkat seorang pengantar jemaat yang disebut Kyai penghulu, dan dua orang penatua. Sakramen baptisan dan perjamuan pun tidak dilayankan di Ngoro.

-          Kelompok Wiung : di desa Wiung, yang letaknya tidak jauh dari Surabaya, ada suatu kelompok orang yang taat beragama. Mereka biasa berkumpul dalam rumah Modin desa itu, yang bernama Pak Dasimah. Salah seorang anggota kelompok ini membawa serta sebuah buku kecil dalam bahasa Jawa yang diberikan kepadanya oleh seorang perempuan keturunan Eropa di Surabaya. Pak Dasimah membukanya dan heran sekali ia melihat kata-kata yang pertama: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus...” (Mrk 1:1). Ia tidak begitu suka akan isinya, tetapi karna buku itu agaknya mengandung hal-hal keagamaan yang belum dikenalnya maka ia tidak membuangnya, membuatnya menjadi pokok pembicaraan dalam kelompoknys. Sekitar tahun 1834, seorang anggota kelompok Wiung bertemu dengan seorang kyai yang telah berguru pada Coolen. Kyai ini mengucapkan sebuah rapal yang isinya Keduabelas Pasal Iman. Pengunjung dari Wiung itu teringat akan buku yang telah dikenalnya di sana, dan ia cepat pergi membawa berita ini kepada Pak Dasimah. Setelah mengetahui bahwa rapal itu asalnya dari Ngoro maka Pak Dasimah beserta sejumlah temannya ke sana meminta “toya wening”, air jernih (hidup). Coolen menyambut mereka dengan ramah dan selama sepuluh hari mereka sempat menerima pengajaran agama Kristen seperti yang diberikan di Ngoro.

2.4. Metode-Metode Penginjilan C.L. Coolen dan J.Emde

2.4.1.  Metode Penginjilan C.L. Coolen[9]

Pola pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh Conrad Laurens Coolen adalah sebagai berikut : Pertama, menjangkau daerah pedesaan sebagai basis penginjilan. Dengan basis pedesaan, makaia berusaha mengidentikkan dirinya seperti orang-orang Jawa pada umumnya yang hidup di pedesaan yang agraris. Ia berusaha mentransformasikan hutan belantara menjadi sawah yang subur dengan alat-alat tradisional. Dengan basis pedesaan, maka dalam penginjilan ia mengidentikkan dirinya dengan pola guru ilmu, dalam konteks dan pengertian kehidupan pedesaan Jawa.

Kedua, pendekatan kepada struktur sosial masyarakat pedesaan Jawa yang holtikultura. Pendekatan dirinya sebagai seorang petani, membawa dirinya lebih dekat dengan masyarakat desa yang pada umumnya adalah petani atau buruh tani. Pendekatan ini membawa hasil yang baik bagi Injil. Pertama, ia memperkenalkan Injil kepada keluarga istrinya, kemudian kepada pembantu-pembantunya, pada akhirnya berdampak bagi masyarakat sekitarnya. Dalam pendekatannya ini, Coolen memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa, yang mempercayai bahwa kawasan hutan yang akan dibuka didaerah Ngoro ada pelindungnya yaitu Ki Gede (kepercayaan mistik Jawa). untuk menyesuaikan dan mengidentifikasi dengan kepercayaan yang ada, maka dengan penuh keyakinan ia menyatakan bahwa puteranya Damar adalah pengejawantahan dari Ki Gede yang merupakan roh pelindung kawasan hutan di daeran Ngoro

Ketiga, pendekatan kepemimpinan yang berbasis pedesaan dengan nilai-nilai Kristiani. Ia menerapkan pola kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat dan berusaha memperlakukan setiap pengikutnya dengan adil dan bijaksana. Ia membentuuk saut komunitas yang dilatih secara khusus dalam keterampilan pertanian, moral, disiplin hidup dan lain sebagainya. Dengan demikian, Coolen mampu membawa masyarakat Ngoro atau pengikutnya untuk memiliki standar moral, etika kerja yang sangat baik dibandingkan dengan masyarakat diluar komunitasnya.

Keempat, pendekatan penginjilan yang bersifat kultural. pendekatan penginjilan yang dilakukan oleh Coolen sangat berbeda dengan kebanyakan misionaris Barat yang memberitakan Injil di Pulau Jawa ataupun di Indonesia. Dalam pekabaran Injil ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan natur masyarakat Jawa. Pemberitaan injil yang dilakukannya bersifat holistik, mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa, yang meliputi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi kepercayaan Jawa, pria yang pertama mengenakan bajak atau menabur benih haruslah seorang yang memiliki ilmu gaib tertentu. Hal ini disebabkan adanya kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai adanya Dewi padi yang disebut Dewi Sri. Maka Coolen yang dipercayakan utnuk memohon kepada Dewi Sri dengan nyanyian-nyanyian Jawa. Coolen melakukan ritual ini, dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri dan diakhiri dengan nama Yesus yang merupakan Dewa yang lebih besar. Dalam usaha pemberitaan Injil yang sesuai dengan kultur budaya lokal, maka dalam ibadah ia berkotbah memakai bahasa Jawa, lagu pujian diiringi musik Jawa; gamelan, dan memakai bahasa Jawa. bahkan untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab ia menggunakan sarana wayang, serta menjelaskan perbandingan antara tokoh-tokoh Alkitab dengan tokoh pewayangan.

2.4.2.   Metode Penginjilan Johanes Emde

2.4.2.1. Pola Pendekatan Penginjilan Melalui Traktat

Pola pendekatan Emde ialah dengan membagi traktat-traktat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Pdt. G.W. Bruckner. Pembagian traktat ini merupakan salah satu metode penginjilan yang dilakukan oleh Emde dan juga tim penginjilannya. Bentuk penginjilan melalui traktat dilakukan melalui penyebaran traktat oleh anak-anaknya kepada orang-orang Jawa yang bisa membaca di pasar-pasar di kota Surabaya. Salah satu hasil dari penyebaran traktat yang membuat banyak orang Jawa menjadi Kristen dimulai dari seorang yang bernama Kyai Midah asal Madura. Ia mendapat traktat berupa Injil Markus terjemahan bahasa Jawa. Setelah membaca Injil Markus ini ia sangat tertarik dan terbangun rasa ingin tahunya, oleh sebab itu ia mengajak teman-temannya untuk membahas dan menyelidiki isi Injil ini. Salah satu temannya yang mendiskusikan bacaan ini adalah Pak Dasimah.[10] Oleh sebab itu ketika Kyai Midah memberikan terjemahan Injil Markus, ia dengan teman-temannya mendiskusikan Injil ini. Hal yang sangat menarik dalam diskusi mereka adalah yang berhubungan dengan kata Allah seolah-olah memiliki Anak. Keingintahuan mereka mengenai hal ini, membawa mereka untuk mencari tahu dan ingin mendalaminya. Oleh sebab itu mereka pergi mengunjungi Coolen di daerah Ngoro yang berjarak sangat jauh dari Surabaya. Di sana mereka diajari tentang ke-Kristenan oleh Coolen. Ketertarikan mereka akan Injil, membawa mereka kepada Emde atas rekomendasi dari Coolen untuk memperlengkapi pengetahuan mereka mengenai kekristenan. Di tangan Emde mereka diajarkan kekristenan lebih mendalam mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kekristenan. Setelah mendapatkan pengajaran agama Kristen dari Emde, Kyai Midah dan teman-temannya menerima baptisan dari Pdt. A.W. Meijer di Gereja Protestan Surabaya.[11]

 

2.4.2.2.           Pola Pendekatan Budaya dan Pietisme Barat

Emde mewajibkan orang Jawa yang menjadi Kristen untuk dibaptis dan berusaha untuk mengubah adata istiadat serta perilaku orang Jawa dengan pola dan adat istiadat Barat. Hal ini jelas sebagaimana dikatakan oleh Harthorn: Kelompok Emde menerapkan rangkaian titah “Kristen” lain di atas Dasa Tirah Perjanjian Lama. Adapun daftar dasa titah Emde sebagai berikut: (1) Kamu harus memangkas pendek rambutmu. (2) Kamu harus melepaskan kain kepala manakala berada di gereja. (3) Jangan kamu mendengarkan musik gamelan. (4) Janganlah kamu menghadiri pertunjukan wayang. (5) Janganlah kamu di sunat. (6) Janganlah kamu menghadiri slametan. (7) Janganlah kamu membaca sastra Jawa. (8) Janganlah kamu merawat makam para nenek moyangmu. (9) Janganlah kamu menghiasi makammu dengan bunga atau pohon-pohonan. (10) Kamu harus melarang anak-anakmu bermain permainan sia-sia. Hal ini menjadikan jemaat Emde disebut dengan Kristen Belanda karena kehidupan, identitas diri, dan perilaku budayanya sesuai dengan budaya dan gereja Belanda atau Barat, bahkan mereka dipandang aneh di lingkungan mereka tinggal.[12]

Mengapa Emde memperlakukan orang Kristen baru seperti demikian? Emde memandang perlu bahwa mereka (orang Jawa Kristen) bersama dengan agama orang Eropa, menerima juga adat istiadat Eropa. Walaupun demikian, Emde adalah seorang yang sangat menghormati masyarakat Jawa. ia tidak memandang dirinya lebih tinggi derajatnya dari orang Jawa sebagaimana yang dilakukan oleh orang Eropa pada waktu itu. Selain menjauhkan orang Kristen Jawa dengan ke-Jawa-annya, Emde juga berusaha menjauhkan mereka dari penagruh tradisi Muslim. Hal ini dilakukan karena mungkin ada ketakutan munculnya sinkretisme masyarakat Jawa atau terpengaruhnya orang Jawa Kristen dengan Islam.[13]

Sebagaimana dikatakan oleh Philip van Akkeren: hal ini bisa dipahami, manakala kita menyadari fakta bahwa di Surabaya, Emde tinggal satu kilometer saja jaraknya dari pusat Muslim-Jawa di mana terletak makam Sunan Ampel, salah seorang wali dan salah seorang saleh di Jawa Timur. Dari penjelasan Akkeren, kita dapat mengetahui apa yang menjadi penyebab Emde begitu ketat membentengi orang Kristen Jawa. Minimal ia menginginkan agar kekristenan tidak lagi terpengaruh dengan agama Islam dan juga tradisi-tradisi yang memungkinkan mereka menjadi sinkretis.[14]

2.5. Pengaruh dan Karya Zending dalam Kekristenan di Jawa Timur

Pada tahun 1851, NZG mulai memberitakan Injil kepada orang-orang Jawa dengan mengutus misionarisnya yang pertama, yaitu Pdt. J.L. Jellesma. Ia berkedudukan di Mojowarno. Disana sudah terdapat jemaat yang terdiri dari orang Kristen Jawa yang diusir dari Ngoro karena mereka menerima corak kekristenan Emde (Barat). Setelah Coolen meninggal (1873), pengikut Coolen diasuh oleh NZG. Dengan demikian NZG membangun di atas pekerjaan Emde dan Coolen.[15] Pekabar Injil di Surabaya bukannya mendapat rintangan, melainkan justru menerima bantuan dan sokongan dari pihak para pendeta da5n jemaat Gereja Protestan. Malah “Perkumpulan Pembantu” yang berasal dari lingkungan Bapak Emde, mengongkosi kemudian beberapa pendeta dan penginjil Jawa.[16] Pada waktu ia mulai menetap di Mojowarno ada beberapa kejadian yang penting sekali artinya bagi pekerjaannya. Pemerintah akhirnya mengizinkan untuk mengedarkan beberapa Perjanjian Baru terjemahan Bruckner, yang 17 tahun lalu telah disita. Dalam tahun yang sama terbitlah pula suatu terjemahan baru dalam bahasa Jawa, yang diselenggarakan oleh ahli bahasa Gericke atas tugas Lembaga Alkitab Belanda. Hal-hal di atas ini pada permulaannya sudah merupakan suatu modal kerja yang penting baginya. Hal yang sukar baut dia ialah menemukan jalan tengah yang tepat antara golongan-golongan yang telah menjadi Kristen dengan latar belakang rohani yang berbeda-beda. Pada satu pihak ia berbentrokan dengan Coolen yang tidak menyukai baptisan dan perjamuan kudus karena tidak sesuai dengan konsepnya mengenai kekristenan Jawa.[17] Dalam soal ini akhirnya ia menang juga. Pada tahun 1852 dan 1853 ia sudah boleh membaptiskan di Ngoro masing-masing 180 dan 190 orang. Yang lebih sukar adalah sikap yang harus diambil terhadap golongan Emde, yang menganggap dengan sendirinya bahwa orang-orang Kristen Jawa menjadi “Kristen Londo”. Jellesma sangat setuju dengan pendapat, bahwa orang Jawa yang menjadi Kristen tetap tinggal orang Jawa. Jellesma berkeyakinan, bahwa pekerjaan Injil sedapat mungkin berjalan terus dengan diam-diam, justru oleh sebab banyak keberatan yang datang dari pihak pemerintah dan dari pihak orang-orang Jawa sendiri. Ia menyadari, bahwa penginjilan itu harus dilaksanakan oleh orang-orang Jawa  sendiri. Itulah sebabnya di Surabaya, sudah sejak mulanya ia mendidik di rumahnya sendiri beberapa pemuda Jawa untuk menjadi penginjil. Selain daripada itu, ia menyuruh 4 orang pemuda, yang sudah berpengalaman sebagai penginjil di Sidokare, pergi ke jemaat-jemaat yang tersebar itu. Mereka dibiayai oleh “Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil” di Surabaya.[18] Atas usahanya terlaksanalah di Mojowarno sebuah sekolah penginjil yang pertama di Jawa. Mereka yang sudah memperoleh didikan ditugaskan untuk memelihara jemaat-jemaat yang masih muda, serta mengadakan kunjungan-kunjungan sampai ke Jawa Utara dan Jawa Tengah guna menyebarkan Injil Kristus. Ciri-ciri pekerjaan Jellesma itu merupakan garis-garis besar bagi segala sesuatu yang dikerjakan selanjutnya oleh para utusan NZG di Jawa Timur.[19] Pada masa 1870-1910 berlangsung perkembangan yang berangsur-angsur telah ditetapkan zending. (a) Zending tetap lebih banyak memperhatikan desa daripada kota. Parra zendeling mendirikan desa-desa Kristen yang baru dengan cara membuka tanah. Surabaya ditinggalkan Jellesma pada 1851, baru pada 1930 seorang utusan zending kembali bekerja disitu.  Zending memilih desa di atas kota disebabkan pula oleh faktor sosial; pada zaman itu Jawa Timur kota-kota terutama merupakan tempat pemukiman orang Eropa dan Tionghoa, dan para zendeling tidak suka berada di tengah masyarakat Eropa yang sikap dan kelakuannya merupakan rintangan bagi pekabar Injil. (b) Orang Jawa tidak dapat menerima firman tok, sebab belum tau membedakan yang baik dan yang jahat.[20]

2.6. Perkembangan Kekristenan di Jawa Timur[21]

Orang-orang Kristen membuka tanah Mojowarno, kemudian didaerah Malang Selatan, sampai ke Lumajang dan Jember, malahan sampai le Ujung Jawa Timur. Jalan yang dirintis oleh para pembuka tanah dan para pendiri desa itu menjadi jalan bagi Pekabaran Injil pula. Barulah dihari kemudian terkumpul jemaat-jemaat Kristen di kota-kota Jawa Timur. Hal ini disebabkan karena anak-anak desa Kristen mengalir ke kota-kota. Adapun Mojowarno merupakan ibu-jemaat bagi pelbagai jemaat disekitarnya yang terbentuk sesudah sesuatu tanah dibuka. Tahun 1864 telah didirikan 9 jemaat dengan 1100 anggota. Jemaat itu mwnjadi batu loncatan bagi Pekabaran Injil untuk menuju ke Lamongan, bahkan mereka dapat mengadakan hubungan dengan Rembang, Pati dan Kajuapu, tempat-tempat mana telah ada orang-orang Kristen sejak tahun 1853, yang mendapat pelayanan dari Semarang. Kira-kira tahun 1870 berdirilah desa Swaru, selanjutnya desa Peniwen, Sitiarjo, dan beberapa desa lainnya lagi. Setelah itu berdirilah pula desa Tunjungrejo pada kira-kira tahun 1900 beserta desa-desa yang lain disekitar Jember.

Akhirnya didaerah Kediri Selatan muncullah beberapa jemaat sejak tahun 1910, misalnya Tulungagung, Sumberagung, dan lain-lain. Baru sesudah perluasan kekristenan didesa-desa terwujudlah juga jemaat di kota-kota. Sebenarnya pekerjaan Pekabaran Injil dikota-kota dimulai pada tahun 1920 dengan menempatkan seorang Pekabar Injil di Malang kemudian tahun 1930 ditempatkan seorang lagi di Surabaya. Dikota itu terjadilah jemaat yang paling besar serta paling penting bagi Gereja Kristen Jawa Timur. Melihat perkembangan Gereja Kristen Jawa Timur itu dapatlah kita meringkaskan garis-garis besarnya sebagai berikut:

1.      Sekitar 1840-1848 adalah tahun permulaan Gereja itu sebelum masuknya usaha Pekabaran Injil;

2.      1849-1931 perkembangan Gereja itu dengan bimbingan Pekabaran Injil;

3.      Mulai tahun 1931 Gereja Kristen Jawa Timur berdiri sendiri.

Jemaat-jemaat NZG di Jawa Timur didewasakan pada 11 Desember 1931 dengan nama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), dengan sistem pemerintahan gerejawi presbiterial-sinodal. GKJW berjasa bagi pekabaran Injil di Bali. GKJW memberitakan Injil ke Bali pada tahun 1933 sehingga memberi sumbangan bagi lahirnya Gereja Kristen Protestan di Bali. Pada tahun 1947, GKJW ikut mendirikan Dewan Permusyawaratan Gereja-Gereja dan menjadi anggota PGI pada tahun 1950. Kantor pusatnya berada di Malang, Jawa Timur. Gereja ini mendirikan sekolah teologinya sendiri pada tahun 1920 di Kediri. Pada tahun 1925 sekolah ini dipindahkan ke Malang dan diberi nama Sekolah Tinggi Teologi Bale Wiyoto, yang artinya balai murid. Pada tahun 1962 sekolah ini ditutup karena GKJW bersama-sama dengan gereja lainnya mendirikan sekolah teologi bersama, yaitu Sekolah Tinggi Teologi Duta Wacana. Kini sekolah teologi ini menjadi pusat pembinaan anggota jemaat.[22]

III.             Kesimpulan

Kekristenan di Jawa Timur sebenarnya sudah ada sejak dibawa masuk oleh bangsa Portugis, namun karena mengalami berbagai hambatan dan penderitaan maka kekristenan tidak berkembang dan terhenti. Hadirnya Coolen dan Emde dapat dikatakan sebagai akar berdiri dan berkembangnya Gereja (Kekristenan) di Jawa Timur. Coolen dan Emde memiliki kelebihan dan juga kekurangan dalam pendekatan penginjilan. Coolen sangat menekankan budaya Jawa sehingga Injil begitu mudah diterima oleh orang Jawa. berbeda dengan Emde, yang sangat menekankan budaya Barat dengan pietismenya. Juga kedatangan seorang utusan badan zendeling NZG, yaitu Jellesma telah meletakkan dasar yang baik bagi Gereja Kristen serta Gereja Jawa yang sejati. Sebenarnya Gereja di Jawa Timur ini bukannya merupakan Gereja yang telah dihimpunkan oleh para pekabar Injil, melainkan para pekabar Injil ini hanya mengikuti saja jejak-jejak Injil yang sudah terbentang di Jawa Timur. Mereka bukannya merupakan pusat, yang disekitarnya terhimpun jemaat-jemaat. Tetapi mereka tampil ke depan di mana muncul jemaat yang baru, supaya mereka dapat memberikan pertolongan kepada kekristenan Jawa bagi perkembangannya dan penyadarannya sebagai umat Kristen.

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

IV.             Daftar Pustaka

Akkeren, Philip. van , Dewi Sri dan Kristus, Jakarta: Gunung Mulia, 1994

Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 2006

Guillot, Claude, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di jawa (terj.), Jakarta: Gunung Mulia, 1985

Kartodirjo, Sartono, dkk., Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, Yogyakarta: Departemen Ditjen Kebudayaan, 1987

Komandoko, Gamal, Ensiklopedia Pelajar dan Umum,Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2010

Kruger, Th. Muller, Sejarah Gereja di Indonesia, Jakarta: Gunung Mulia, 1966

Van den End, Th., Harta dalam Bejana, Jakarta: Gunung Mulia, 2011

Van den End, Th., Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1, Jakarta: Gunung Mulia, 1985

Van den End, Th., Ragi Carita 2, Jakarta: Gunung Mulia, 2012

Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia, 2011

Sumber lain :

http://www.Jatimprov.go.id, diakses pada 13 Maret 2019



[1] http://www.Jatimprov.go.id, diakses pada 13 Maret 2019

[2] Philip. Van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 4-5

[3] Sartono Kartodirjo, dkk., Beberapa Segi Etika dan Etiket Jawa, (Yogyakarta: Departemen Ditjen Kebudayaan, 1987), 111 

[4] Gamal Komandoko, Ensiklopedia Pelajar dan Umum (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2010), 155

[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 44-45

[6] Th. Van den End, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1, (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), 197

[7] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 82-86

[8] Th. Van den End, Ragi Carita 1 Sejarah Gereja di Indonesia 1, 199-201

[9] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), 73-92. Lihat juga Th. Van den End, Harta dalam Bejana, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 276-277. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1966), 162-165. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 87-90. Dilengkapi oleh Claude Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di jawa (terj.), (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), 33-34.

[10] Pak Dasimah adalah seorang terpelajar dan merupakan pejabat mesjid yang sangat tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama.

[11] Philip Van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 92-103

[12] Ibid, 106-110

[13] Th. Van den End, Ragi Carita 1, 199-202

[14] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 92-93

[15] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 126

[16] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1966), 167

[17] Ibid, 169

[18] Ibid, 170

[19] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 170-171

[20] Th. Van den End, Ragi Carita 2, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 250

[21] Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 172-173

[22] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, 127

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

1 Reviews:

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim