Liturgi Kontekstual
I. Pendahuluan
Pengertian liturgi sering dimengerti
sebatas tata cara ibadah. Baik secara langsung ataupun tidak langsung,
etimologi dan definisi liturgi yang sudah kita pelajari sebelumnya menunjukkan
adanya dasar-dasar penting pada soal sejarah, tradisi, budaya maupun adat-istiadat,
dan penyesuaian terkait iman di dalam kemunculan serta perkembangan
kekristenan. Tata peribadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi
makna atas peristiwa atau pengalaman nyata, dan perwujudannya dilakukan
penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada
kehidupan bersama suatu masyarakat. Liturgi yang kontekstual adalah liturgi
yang diharapkan oleh setiap pemimpin keagamaan.
II.
Pembahasan
Di kalangan
Katolik dan Anglikan (dengan menggunakan istilah liturgical inculturation)[1]pembaruan
liturgi telah digalakkan sejak lama.[2]
Katolik yang menonjolkan usaha inkulturasinya melalui liturgi sejak Konsili
Vatikan II, misalnya, melakukannya berdasarkan penetapan Sacrosanctum Concilium
(Konsili Suci) pasal 37-40. Alasannya ialah guna mengembalikan liturgi kepada
sifat-sifat khas Romawinya, yakni sederhana dalam susunan dan jelas dalam
ungkapan-ungkapannya. Tujuan lain adalah karena konsili ingin memberikan pola
universal yang sama kepada liturgi Romawi.Bagi mereka, inkulturasi harus
mencakup liturgi, karena liturgi merupakan sumber dan juga puncak dari misi
gereja. Dalam konteks Indonesia, usaha penggalian kekayaan tradisi dan
kebudayaan daerah lokal dalam kerangka inkulturasi liturgi sebenarnya bahkan
sudah dimulai sebelum Konsili Vatikan II. Jika Rachman melihat kontekstualisasi
sebagai suatu pembaruan liturgi, maka Anscar J. Chupungco melihat
kontekstualisasi liturgi sebagai:It is a
process whereby pertinent elements of a local culture are integrated into the
texts, rites, symbols, and institutions employed by a local church for its worship.
Integration means that the cultural influence the liturgical patterns of
composing formularies, proclaiming them, performing ritual actions, and
symbolizing the liturgical message in art forms. Yang artinya :
Ini adalah proses di mana
elemen-elemen terkait dari budaya lokal diintegrasikan ke dalam teks, ritus,
simbol, dan institusi yang digunakan oleh gereja lokal untuk penyembahannya.
Integrasi berarti bahwa budaya mempengaruhi pola liturgi penyusunan
formularium, memproklamirkannya, melakukan tindakan ritual, dan melambangkan
pesan liturgi dalam bentuk seni.
Sedangkan di
kalangan Anglikan, dalam International Anglican Liturgical Consultations oleh
The York Consultation pada tahun 1989, ada pernyataan: Inkulturasi sejati
menyiratkan kesediaan dalam ibadah untuk mendengarkan budaya, untuk memasukkan
apa yang baik dan untuk menantang apa yang asing bagi kebenaran Allah. Itu
harus melakukan kontak dengan perasaan mendalam orang. Itu hanya dapat dicapai
melalui keterbukaan terhadap inovasi dan eksperimen, dorongan kreativitas
lokal, dan kesiapan untuk merefleksikan secara kritis pada setiap tahap proses
- suatu proses yang pada prinsipnya tidak pernah berakhir.Dalam konsultasi
tersebut disepakati bahwa budaya adalah konteks di mana seseorang mendapat identitasnya,
mengingatkan bahwa Injil “mengadili” setiap budaya dan menantang gereja untuk
mengekspresikan Injil Kristus yang tidak berubah itu dalam perkataan,
perbuatan, nama-nama, budaya-budaya serta liturgi yang relevan dalam setiap
komunitas. Inti komitmen yang diambil bersama dalam konsultasi itu ialah:
"Liturgi untuk melayani gereja kontemporer harus benar-benar
diinkulturasikan."[3]
2.1.
Pengertian
Kontekstual
Kontekstualisasi
dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi Injil sesungguhnya di dalam
kerangka situasi seseorang. Kontekstualisasi[4]
mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah pempribumian. Istilah
pempribumian cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam
suatu budaya tradisional, sedangkan istilah kontekstualisasi dengan tidak
mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi,
teknologi.[5]
Dalam buku Dr. Th. Kobong, Iman dan
Kebudayaan terungkap sebuah pengertian tentang kontekstualisasi. Menurutnya
ketika kita mendengar Injil Yesus Kristus dan berusaha memahami dan menghayati
sesuai dengan adat istiadat dan kebudayaan kita, kemudian hasil penghayatan itu
dituangkan lagi dalam bentuk-bentuk yang kita pahami dan hayati, saat itu kita
telah terlibat dalam usaha kontekstualisasi.[6]
Kontekstualisasi selalu bersifat dinamis bukan statis, terbuka secara
terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan
terjadinya perubahan hingga membuka jalan bagi masa depan. Kontekstualisasi
pada umumnya dipahami sebagai upaya dan proses menyalurkan, mengomunikasikan
dan membawa berita Injil ke dalam konteks tertentu atau konteks yang baru.[7]
2.2.
Kontekstualisasi
Liturgi
Kontekstualisasi
liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah baik
secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian. Oleh karena
kontekstualisasi yang diberlakukan terhadap liturgi ini, maka liturgi tidak
pernah seragam sejak zaman Gereja mula-mula, selalu berubah-ubah. Keberbagaian
liturgi tersebut menyangkut hal-hal kebiasaan, bahasa, tata liturgi, dan
sebagainya. Dengan kata lain, kontekstualisasi liturgi adalah upaya gereja baik
dilakukan secara alamiah maupun disengaja untuk membuat penyesuaian liturgi
bagi konteksnya.[8]Kontekstualisasi
di samping berkaitan dengan upaya mengomunikasikan Injil dalam konteks
tertentu, juga berkaitan dengan ibadah, musik dan nyanyian Gerejawi atau
menyangkut unsur-unsur tata cara ibadah. Kontekstualisasi liturgi dipahami
sebagai proses menyesuaikan (menerjemahkan, menyalurkan, mengomunikasikan,
mewujudkan, menghayati) unsur-unsur dan aspek-aspek liturgi di dalam konteks
tertentu. Unsur-unsur liturgi yang mengalami kontekstualisasi (penyesuaian
dengan konteks tertentu) tetap setia pada berita Injil. Melalui unsur-unsur
liturgi tersebut berita tentang karya pengampunan dan penebusan Allah di dalam
Yesus Kristus sebagaimana tercatat dalam Alkitab, diungkapkan, diberitakan,
dihayati, dikenang dan dirayakan. Dengan demikian kontekstualisasi liturgi memungkinkan
liturgi dilakoni, diwujudkan, dihayati dalam konteks yang kongkrit.[9]
2.3.
Unsur-unsur
Penting Kontekstualisasi
Ada
unsur-unsur penting terkait dengan penafsiran dan pemaknaan di dalam
kontekstualisasi. Unsur pertama, kontekstualisasi adalah bukan sekedar masalah
praktis, melainkan praksis sebagai masalah utama, yaitu bagaimana orang Kristen
memahami dirinya di dalam suasana keberadaan yang nyata dan berwujud. Unsur
kedua, kontekstualisasi bukan sekedar pergantian wujud luar kebudayaan, tetapi
isinya sehingga kemasannya mesti terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai
dengan wujud yang ada di dalam kebudayaannya itu. Unsur ketiga,
kontekstualisasi terkait dengan persoalan apakah iman dapat dihayati melalui
dan di dalam budaya umat itu sendiri. Akhirnya, unsur yang keempat,
kontekstualisasi juga meliputi kategori-kategori teologis etis yang bukan
sekedar cara penerapan suatu nilai ataupun pola ke dalam suasana keberadaan
setempat, melainkan apakah nilai ataupun pola tersebut memiliki titik pertemuan
dengan pandangan hidup atau pandangan dunia setempat, sehingga dalam menyusun
teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak mengabaikan
tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan perasaan inferior
terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.[10]
2.4.
Aspek-aspek
Liturgi Kontekstual
G.
Riemer menjelaskan dengan menyebut dua sumber yaitu Alkitab dan kultur. Alkitab
dilahirkan dalam konteks (situasi Israel dan Yunani) tertentu, beritanya
(Injilnya) dibawa ke dalam situasi yang lain, ke dalam konteks yang lain:
budaya lain, struktur sosial ekonomi lain, politik lain, agama yang lain, jiwa
bangsa dan cara pikir yang lain.[11]
2.4.1. Dasar
Biblis/Alkitab
1.
Peristiwa Inkarnasi Yesus Kristus
Kontekstualisasi
bertitik tolak dari peristiwa Inkarnasi (penjelmaan) Yesus Kristus sendiri.
Kristus yang menjelma menjadi manusia menyesuaikan diri dengan manusia demi
keselamatan manusia itu sendiri (bnd. Flp. 2:6-8), Ia adalah Firman Allah (bnd.
Yoh 1:1, 14) menjadi seorang manusia Yahudi yang mengikat diri dengan sejarah,
kebudayaan, tradisi dan agama bangsa Yahudi. Sebagaimana Kristus telah menjelma
menjadi seorang manusia Yahudi demikian pula Gereja harus menjelmakan diri di
dalam suku bangsa di mana ia berada.[12]
Peristiwa inkarnasi Kristus inilah yang mendasari setiap upaya kontekstualisasi
liturgi. Namun harus disadari bahwa kontekstualisasi bukan perpanjangan dari
Inkarnasi Kristus. Roh Kuduslah yang berperan dan menjadi dasar upaya
kontekstualisasi liturgi. Melalui Roh kudus, Yesus Kristus hadir di dalam
konteks masa kini sebagaimana Ia hadir pada situasi kehidupan abad pertama. Lutheran
World Federation (LWF) dalam pernyataan Nairobi Januari 1996 (Nairobi Statement) tentang ibadah
sebagai kontekstual, menyatakan: “ Yesus yang disembah lahir ke dalam budaya
tertentu atau dunia. Dalam misteri inkarnasinya adalah model dan mandat untuk
kontekstualisasi ibadat Kristen. Tuhan dapat dan ditemui dalam budaya lokal
dunia kita. Kontekstualisasi adalah tugas yang diperlukan untuk misi gereja di
dunia, sehingga Injil dapat semakin mengakar dalam budaya lokal yang beragam”.[13]
2.
Peristiwa Paskah
Pada
peristiwa inkarnasi Kristus yang turun menjumpai manusia, menjelma menjadi
manusia, menyesuaikan diri dengan manusia untuk menyelamatkannya, maka pada peristiwa
Paskah, Kristus yang bangkit dan dimuliakan itu memberi kesempatan kepada
manusia untuk bangkit dan dimuliakan bersama Dia. Manusia dengan segala aspek
kemanusiaannya, konteks kehidupannya termasuk kebudayaannya mendapat
kemungkinan untuk menyesuaikan diri dengan kemuliaan Allah. Makna dan hakikat
Paskah inilah yang secara Alkitabiah mendorong sekaligus melandasi upaya
kontekstualisasi liturgi.[14]
3.
Karya Allah
Pada
prinsipnya Allah sendiri yang lebih dahulu berinisiatif mengkontekstualisasikan
diriNya dalam kaitan dengan peristiwa Inkarnasi. Allah yang pertama bertindak
menyesuaikan diri dengan manusia, menjelmakan diri dan mengambil rupa manusia.
Itu berarti upaya kontekstualisasi liturgi secara umum dan kontekstualisasi
liturgi secara khusus merupakan karya Allah dan bukan semata-mata karya
manusia. Kontekstualisasi liturgi pertama-tama adalah karya Allah.[15]
2.4.2. Dasar Kultural
Di Indonesia sebagaimana dikemukakan
Abineno, bentuk-bentuk ibadah (liturgi) yang dipakai oleh Gereja-gereja dalam beribadah,
diambil alih dengan atau tanpa perubahan dari Gereja-gereja di Barat.
Pengambilalihan itu telah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lamanya
terjadi. Bentuk-bentuk yang diambil alih itu dianggap begitu biasa sehingga
hampir-hampir tidak dirasakan lagi sebagai bentuk-bentuk asing.[16]
Juga toga atau gaun hitam yang dipakai oleh para Pendeta sama sekali tidak
membangkitkan perasaan heran atau pergumulan. Bentuk-bentuk yang sangat banyak
bercorak Barat itu dirasakan sebagai bentuk-bentuk sendiri. Kontekstualisasi
liturgi pertama-tama dimaksudkan untuk menjadikan liturgi dapat dipergunakan
dan relevan bagi setiap kebudayaan. Inilah yang disebutkan dengan memenuhi
tuntutan kultural, sebagaimana dikemukakan Chupungco: Penyesuaian bukanlah
terutama demi kepentingan misioner, tetapi merupakan tuntutan kultural. Tujuan
penyesuaian bukan semata-mata untuk memberi kemudahan bagi karya Gereja di
tanah-tanah misi, tetapi untuk membuat liturgi siap dipakai dan relevan untuk
setiap kebudayaan.[17]
Konsili Vatikan II juga menegaskan tentang
tuntutan kultural ini dengan mengatakan: Gereja memajukan dan menampung segala
kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; dengan
menampungnya, Gereja juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya; segala
kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam
upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan tidak hilang
melainkan dinasehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah. Maka
liturgi Gereja hendaknya tidak asing bagi bangsa, negara dan perseorangan,
namun sekaligus juga harus mengatasi batas-batas atau kekhususan suku dan
bangsa. Liturgi harus dapat mengungkapkan dirinya dalam setiap kebudayaan
manusia, sekaligus harus mempertahankan jati dirinya melalui kesetiaan kepada
tradisi yang datang dari Tuhan.[18]
2.4.3. Tema-Tema Teologis Liturgi
Kontekstual[19]
Tema teologis utama bagi kontekstualisasi liturgi
adalah penyataan diri Allah dalam penciptaan (Kej. 1; Kel. 20:1; Yes. 45:3-6)62
dan inkarnasi Kristus dalam konteks budaya Yahudi sebagai puncak perwujudan
kontekstualisasi Allah ke dalam budaya
manusia sehingga dalam inkarnasi-Nya manusia dapat melihat Allah (Yoh. 1:14,
18). Selain itu, tema teologis bagi kontekstualisasi lain, seperti yang
dikemukakan oleh Jonathan Tan Yun-ka, adalah harmoni liturgi yang berorientasi
pada konsep Trinitas. Ketika kita mengakui bahwa gereja yang adalah persekutuan
(koinonia) yang berakar dalam Trinitas, bahwa perjamuan kudus adalah lambang
persekutuan kita dengan Trinitas, dan bahwa liturgi sebagai ungkapan ibadah
kita kepada Trinitas, maka kontekstualisasi
liturgi adalah juga berorientasi pada Trinitas.Tema teologis lain adalah
bahwa dasar pneumatologis dari inkulturasi liturgi teologis Asia terinspirasi
dari peristiwa Pentakosta. Peristiwa ini menginspirasi pembentukan liturgi
inkulturatif yang mampu menyatukan komunitas etnis, bahasa, dan budaya yang
beragam di kalangan gereja-gereja lokal di Asia.Tema teologis yang terakhir
adalah penyataan diri Allah melalui berbagai peristiwa, ide-ide baru dan
hal-hal lain dalam sejarah umat manusia. Oleh karena itu, manusia bertanggung
jawab menyerupai Kristus (imago Dei) dengan menggunakan berbagai cara untuk
memahami dan menginterpretasi kehendak Allah serta merespons dan
memproklamasikan Injil dengan bahasa, seni, dan ritual dengan emosi dan
tindakan manusia. Agar iman Kristen bisa dipahami oleh banyak orang maka musik
pun harus dikontekstualisasikan sehingga mampu mengekpresikan iman Kristen
secara kreatif dan tepat.
2.5.
Liturgi dan Budaya
Agus Gunawan
Satyaputra dengan kritis berkomentar tentang pengaruh budaya Barat dalam
pelayanan misi kepada komunitas di Indonesia: “Misi kepada orang Indonesia
dahulu terlalu dipengaruhi oleh pendekatan teologis Barat yang sering kali
tidak cocok dengan budaya Indonesia.” Sayangnya, hal ini belum disadari dengan
benar oleh para praktisi misi di kalangan pribumi di Indonesia. Kalaupun
kesadaran itu ada, kenyamanan mengenakan “jubah Barat” telah menyenangkan,
sehingga yang timbul ialah ketidakpedulian akan isu tersebut. Bahkan, di tengah
hangatnya diskusi serta usaha gencar kalangan Katolik dan ekumenikal dalam
kontekstualisasi, gereja-gereja di Indonesia kini seakan tetap merasa nyaman
tersedot “pusat gravitasi kekristenan” (yakni dunia Barat) dan enggan
memperhatikan konteks. Menurut Fandy Handoko Tanujaya,sikap kaum injili
Indonesia yang tetap senang berorientasi pada budaya Barat ini disebabkan
karena penekanan yang berlebih kepada prinsip “peziarah” (pilgrim principle),
yang sayangnya juga tidak diterapkan secara seimbang, serta mengabaikan prinsip
“pempribumian” (indigenizing principle)[20].
III.
Kesimpulan
Liturgi selalu merupakan tindakan Kristus dan sekaligus tindakan Gereja. Karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus senantiasa dikenang dan dihadirkan Gereja dalam liturgi. Perlu dimengerti bahwa kontekstualisasi liturgi itu sesungguhnya bukan sikap anti Barat, anti asing, atau anti pada hal-hal yang berasal dari luar, tetapi mau menyoroti kekhasan budaya setempat yang dapat untuk disumbangkan dalam penghayatan liturgi. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi Injil di dalam kerangka situasi seseorang. Di dalamnya, kebenaran Tuhan selalu membuka diri untuk di re-interpretasi kepada keadaan baru, kepada konteks yang baru tanpa mengingkari kebenaran dari firman itu sendiri. Kontekstualisasi liturgi adalah upaya Gereja baik dilakukan secara alamiah maupun yang disengaja untuk membuat penyesuaian liturgi bagi konteksnya. Dalam proses penyesuaian tersebut, muncullah pembaruan liturgi.
IV.
Daftar
Pustaka
Abineno, J.L. Ch,.
Gereja dan Ibadah Gereja, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1986
Chupungco, Anscar J,. Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 1987Prier, Karl-Edmund, Perjalanan Liturgi Gereja Tahun 1957-2007, Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi, 2008
Hessekgrave, David J,.
Kontekstualisasi: Makna, Metode dan
Model, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Kobong, Th,. Iman
dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997
Komisi Liturgi KWI, Liturgi Romawi dan Inkulturasi, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2004
Riemer, G,. Cermin
Injil, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1995), 188.
Singgih, Emanuel Gerrit, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi
dengan Interpretasi Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012
Tennent ,Timothy C,. Theology in the Context of World
Christianity: How the Global Church Is Influencing the Way We Think about and
Discuss Theology,Grand Rapids: Zondervan, 2007
Ujan, Bernardus Boli, Liturgi Autentik dan Relevan, Ledalero:
Maumere, 2006
Wellem,
F.D,. Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997
[1] Menurut Anscar J. Chupungco, seorang pengamat liturgi
Katolik, pemakaian istilah “inkulturasi”
dalam bidang liturgi mulai dipakai oleh C. Valenziano, seorang Katolik,
ketika ia menulis satu artikel pada
tahun 1979 untuk menguraikan hubungan antara liturgi dan religiositas populer.
Ia mengatakan bahwa inkulturasi merupakan satu cara yang dapat memungkinkan
interaksi timbal balik antara liturgi dan pelbagai bentuk religiositas populer
[2] Sejak tahun 1970-an, sebagai hasil Konsili Vatikan II,
Gereja Roma Katolik telah merevisi liturginya setidaknya 3 kali. Hal itu
menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan bersifat instan melainkan membutuhkan
suatu proses terus-menerus. Kontekstualisasi liturgi perlu sungguh-sungguh
diupayakan dan terus dikoreksi.
[3] Karl-Edmund
Prier, Perjalanan Liturgi Gereja Tahun 1957-2007, (Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi, 2008) 7-9.
[4] Kontekstualisasi (kata
serapan dari kata Inggris contextualization)
diartikan sebagai hal membiarkan penafsiran
Injil berkembang dengan mempertimbangkan situasi manusia secara menyeluruh.
[5] David J. Hessekgrave, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), 51.
[6] Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), 24.
[7] G. Riemer, Cermin Injil, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1995), 188.
[8]F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), 150.
[9]Bernardus Boli Ujan, Liturgi Autentik dan Relevan, (Ledalero:
Maumere, 2006), 35.
[10] Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara
Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012), 8-28, 118-119.
[11] G. Riemer, Cermin Injil,188.
[12] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), 76.
[13] “Nairobi Statement on
Worship and Culture: Contemporary Challenges and Opportunities”, dalam S. Anita
Sauffer (ed.), Christian Worship: Unity
in Cultural Diversity, (Geneva: Department for Theology and Studies The
Lutheran World Federation, 1996), 25.
[14] Bernardus, Op.cit., 38.
[15]J.L. Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah Gereja, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1986), 27.
[16]Ibid, 27.
[17]Anscar J. Chupungco, Op.cit., 1.
[18]Komisi Liturgi KWI, Liturgi Romawi dan Inkulturasi,
(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), 22.
[19]Timothy C. Tennent ,Theology in the Context of World Christianity: How the Global Church Is
Influencing the Way We Think about and Discuss Theology,(Grand Rapids:
Zondervan, 2007) 12-13.
[20] Anscar
J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya,
95
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment