-->

sosial media

Sunday, 27 June 2021

Liturgi Kontekstual




       I.           Pendahuluan

Pengertian liturgi sering dimengerti sebatas tata cara ibadah. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, etimologi dan definisi liturgi yang sudah kita pelajari sebelumnya menunjukkan adanya dasar-dasar penting pada soal sejarah, tradisi, budaya maupun adat-istiadat, dan penyesuaian terkait iman di dalam kemunculan serta perkembangan kekristenan. Tata peribadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi makna atas peristiwa atau pengalaman nyata, dan perwujudannya dilakukan penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada kehidupan bersama suatu masyarakat. Liturgi yang kontekstual adalah liturgi yang diharapkan oleh setiap pemimpin keagamaan.

 

    II.            Pembahasan

Di kalangan Katolik dan Anglikan (dengan menggunakan istilah liturgical  inculturation)[1]pembaruan liturgi telah digalakkan sejak lama.[2] Katolik yang menonjolkan usaha inkulturasinya melalui liturgi sejak Konsili Vatikan II, misalnya, melakukannya berdasarkan penetapan Sacrosanctum Concilium (Konsili Suci) pasal 37-40. Alasannya ialah guna mengembalikan liturgi kepada sifat-sifat khas Romawinya, yakni sederhana dalam susunan dan jelas dalam ungkapan-ungkapannya. Tujuan lain adalah karena konsili ingin memberikan pola universal yang sama kepada liturgi Romawi.Bagi mereka, inkulturasi harus mencakup liturgi, karena liturgi merupakan sumber dan juga puncak dari misi gereja. Dalam konteks Indonesia, usaha penggalian kekayaan tradisi dan kebudayaan daerah lokal dalam kerangka inkulturasi liturgi sebenarnya bahkan sudah dimulai sebelum Konsili Vatikan II. Jika Rachman melihat kontekstualisasi sebagai suatu pembaruan liturgi, maka Anscar J. Chupungco melihat kontekstualisasi liturgi sebagai:It is a process whereby pertinent elements of a local culture are integrated into the texts, rites, symbols, and institutions employed by a local church for its worship. Integration means that the cultural influence the liturgical patterns of composing formularies, proclaiming them, performing ritual actions, and symbolizing the liturgical message in art forms. Yang artinya : Ini adalah proses di mana elemen-elemen terkait dari budaya lokal diintegrasikan ke dalam teks, ritus, simbol, dan institusi yang digunakan oleh gereja lokal untuk penyembahannya. Integrasi berarti bahwa budaya mempengaruhi pola liturgi penyusunan formularium, memproklamirkannya, melakukan tindakan ritual, dan melambangkan pesan liturgi dalam bentuk seni.

Sedangkan di kalangan Anglikan, dalam International Anglican Liturgical Consultations oleh The York Consultation pada tahun 1989, ada pernyataan: Inkulturasi sejati menyiratkan kesediaan dalam ibadah untuk mendengarkan budaya, untuk memasukkan apa yang baik dan untuk menantang apa yang asing bagi kebenaran Allah. Itu harus melakukan kontak dengan perasaan mendalam orang. Itu hanya dapat dicapai melalui keterbukaan terhadap inovasi dan eksperimen, dorongan kreativitas lokal, dan kesiapan untuk merefleksikan secara kritis pada setiap tahap proses - suatu proses yang pada prinsipnya tidak pernah berakhir.Dalam konsultasi tersebut disepakati bahwa budaya adalah konteks di mana seseorang mendapat identitasnya, mengingatkan bahwa Injil “mengadili” setiap budaya dan menantang gereja untuk mengekspresikan Injil Kristus yang tidak berubah itu dalam perkataan, perbuatan, nama-nama, budaya-budaya serta liturgi yang relevan dalam setiap komunitas. Inti komitmen yang diambil bersama dalam konsultasi itu ialah: "Liturgi untuk melayani gereja kontemporer harus benar-benar diinkulturasikan."[3]

 

2.1.  Pengertian Kontekstual

Kontekstualisasi dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi Injil sesungguhnya di dalam kerangka situasi seseorang. Kontekstualisasi[4] mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah pempribumian. Istilah pempribumian cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional, sedangkan istilah kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi.[5] Dalam buku Dr. Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan terungkap sebuah pengertian tentang kontekstualisasi. Menurutnya ketika kita mendengar Injil Yesus Kristus dan berusaha memahami dan menghayati sesuai dengan adat istiadat dan kebudayaan kita, kemudian hasil penghayatan itu dituangkan lagi dalam bentuk-bentuk yang kita pahami dan hayati, saat itu kita telah terlibat dalam usaha kontekstualisasi.[6] Kontekstualisasi selalu bersifat dinamis bukan statis, terbuka secara terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan hingga membuka jalan bagi masa depan. Kontekstualisasi pada umumnya dipahami sebagai upaya dan proses menyalurkan, mengomunikasikan dan membawa berita Injil ke dalam konteks tertentu atau konteks yang baru.[7]

 

2.2.  Kontekstualisasi Liturgi

Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian. Oleh karena kontekstualisasi yang diberlakukan terhadap liturgi ini, maka liturgi tidak pernah seragam sejak zaman Gereja mula-mula, selalu berubah-ubah. Keberbagaian liturgi tersebut menyangkut hal-hal kebiasaan, bahasa, tata liturgi, dan sebagainya. Dengan kata lain, kontekstualisasi liturgi adalah upaya gereja baik dilakukan secara alamiah maupun disengaja untuk membuat penyesuaian liturgi bagi konteksnya.[8]Kontekstualisasi di samping berkaitan dengan upaya mengomunikasikan Injil dalam konteks tertentu, juga berkaitan dengan ibadah, musik dan nyanyian Gerejawi atau menyangkut unsur-unsur tata cara ibadah. Kontekstualisasi liturgi dipahami sebagai proses menyesuaikan (menerjemahkan, menyalurkan, mengomunikasikan, mewujudkan, menghayati) unsur-unsur dan aspek-aspek liturgi di dalam konteks tertentu. Unsur-unsur liturgi yang mengalami kontekstualisasi (penyesuaian dengan konteks tertentu) tetap setia pada berita Injil. Melalui unsur-unsur liturgi tersebut berita tentang karya pengampunan dan penebusan Allah di dalam Yesus Kristus sebagaimana tercatat dalam Alkitab, diungkapkan, diberitakan, dihayati, dikenang dan dirayakan. Dengan demikian kontekstualisasi liturgi memungkinkan liturgi dilakoni, diwujudkan, dihayati dalam konteks yang kongkrit.[9]

 

2.3.  Unsur-unsur Penting Kontekstualisasi

Ada unsur-unsur penting terkait dengan penafsiran dan pemaknaan di dalam kontekstualisasi. Unsur pertama, kontekstualisasi adalah bukan sekedar masalah praktis, melainkan praksis sebagai masalah utama, yaitu bagaimana orang Kristen memahami dirinya di dalam suasana keberadaan yang nyata dan berwujud. Unsur kedua, kontekstualisasi bukan sekedar pergantian wujud luar kebudayaan, tetapi isinya sehingga kemasannya mesti terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai dengan wujud yang ada di dalam kebudayaannya itu. Unsur ketiga, kontekstualisasi terkait dengan persoalan apakah iman dapat dihayati melalui dan di dalam budaya umat itu sendiri. Akhirnya, unsur yang keempat, kontekstualisasi juga meliputi kategori-kategori teologis etis yang bukan sekedar cara penerapan suatu nilai ataupun pola ke dalam suasana keberadaan setempat, melainkan apakah nilai ataupun pola tersebut memiliki titik pertemuan dengan pandangan hidup atau pandangan dunia setempat, sehingga dalam menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak mengabaikan tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan perasaan inferior terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.[10]

 

2.4.  Aspek-aspek Liturgi Kontekstual

G. Riemer menjelaskan dengan menyebut dua sumber yaitu Alkitab dan kultur. Alkitab dilahirkan dalam konteks (situasi Israel dan Yunani) tertentu, beritanya (Injilnya) dibawa ke dalam situasi yang lain, ke dalam konteks yang lain: budaya lain, struktur sosial ekonomi lain, politik lain, agama yang lain, jiwa bangsa dan cara pikir yang lain.[11]

 

2.4.1. Dasar Biblis/Alkitab

1. Peristiwa Inkarnasi Yesus Kristus

Kontekstualisasi bertitik tolak dari peristiwa Inkarnasi (penjelmaan) Yesus Kristus sendiri. Kristus yang menjelma menjadi manusia menyesuaikan diri dengan manusia demi keselamatan manusia itu sendiri (bnd. Flp. 2:6-8), Ia adalah Firman Allah (bnd. Yoh 1:1, 14) menjadi seorang manusia Yahudi yang mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi dan agama bangsa Yahudi. Sebagaimana Kristus telah menjelma menjadi seorang manusia Yahudi demikian pula Gereja harus menjelmakan diri di dalam suku bangsa di mana ia berada.[12] Peristiwa inkarnasi Kristus inilah yang mendasari setiap upaya kontekstualisasi liturgi. Namun harus disadari bahwa kontekstualisasi bukan perpanjangan dari Inkarnasi Kristus. Roh Kuduslah yang berperan dan menjadi dasar upaya kontekstualisasi liturgi. Melalui Roh kudus, Yesus Kristus hadir di dalam konteks masa kini sebagaimana Ia hadir pada situasi kehidupan abad pertama. Lutheran World Federation (LWF) dalam pernyataan Nairobi Januari 1996 (Nairobi Statement) tentang ibadah sebagai kontekstual, menyatakan: “ Yesus yang disembah lahir ke dalam budaya tertentu atau dunia. Dalam misteri inkarnasinya adalah model dan mandat untuk kontekstualisasi ibadat Kristen. Tuhan dapat dan ditemui dalam budaya lokal dunia kita. Kontekstualisasi adalah tugas yang diperlukan untuk misi gereja di dunia, sehingga Injil dapat semakin mengakar dalam budaya lokal yang beragam”.[13]

 

2. Peristiwa Paskah

Pada peristiwa inkarnasi Kristus yang turun menjumpai manusia, menjelma menjadi manusia, menyesuaikan diri dengan manusia untuk menyelamatkannya, maka pada peristiwa Paskah, Kristus yang bangkit dan dimuliakan itu memberi kesempatan kepada manusia untuk bangkit dan dimuliakan bersama Dia. Manusia dengan segala aspek kemanusiaannya, konteks kehidupannya termasuk kebudayaannya mendapat kemungkinan untuk menyesuaikan diri dengan kemuliaan Allah. Makna dan hakikat Paskah inilah yang secara Alkitabiah mendorong sekaligus melandasi upaya kontekstualisasi liturgi.[14]

 

3. Karya Allah

Pada prinsipnya Allah sendiri yang lebih dahulu berinisiatif mengkontekstualisasikan diriNya dalam kaitan dengan peristiwa Inkarnasi. Allah yang pertama bertindak menyesuaikan diri dengan manusia, menjelmakan diri dan mengambil rupa manusia. Itu berarti upaya kontekstualisasi liturgi secara umum dan kontekstualisasi liturgi secara khusus merupakan karya Allah dan bukan semata-mata karya manusia. Kontekstualisasi liturgi pertama-tama adalah karya Allah.[15]

 

2.4.2. Dasar Kultural

Di Indonesia sebagaimana dikemukakan Abineno, bentuk-bentuk ibadah (liturgi) yang dipakai oleh Gereja-gereja dalam beribadah, diambil alih dengan atau tanpa perubahan dari Gereja-gereja di Barat. Pengambilalihan itu telah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lamanya terjadi. Bentuk-bentuk yang diambil alih itu dianggap begitu biasa sehingga hampir-hampir tidak dirasakan lagi sebagai bentuk-bentuk asing.[16] Juga toga atau gaun hitam yang dipakai oleh para Pendeta sama sekali tidak membangkitkan perasaan heran atau pergumulan. Bentuk-bentuk yang sangat banyak bercorak Barat itu dirasakan sebagai bentuk-bentuk sendiri. Kontekstualisasi liturgi pertama-tama dimaksudkan untuk menjadikan liturgi dapat dipergunakan dan relevan bagi setiap kebudayaan. Inilah yang disebutkan dengan memenuhi tuntutan kultural, sebagaimana dikemukakan Chupungco: Penyesuaian bukanlah terutama demi kepentingan misioner, tetapi merupakan tuntutan kultural. Tujuan penyesuaian bukan semata-mata untuk memberi kemudahan bagi karya Gereja di tanah-tanah misi, tetapi untuk membuat liturgi siap dipakai dan relevan untuk setiap kebudayaan.[17]

Konsili Vatikan II juga menegaskan tentang tuntutan kultural ini dengan mengatakan: Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; dengan menampungnya, Gereja juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnya; segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang, atau dalam upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan tidak hilang melainkan dinasehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah. Maka liturgi Gereja hendaknya tidak asing bagi bangsa, negara dan perseorangan, namun sekaligus juga harus mengatasi batas-batas atau kekhususan suku dan bangsa. Liturgi harus dapat mengungkapkan dirinya dalam setiap kebudayaan manusia, sekaligus harus mempertahankan jati dirinya melalui kesetiaan kepada tradisi yang datang dari Tuhan.[18]

            2.4.3. Tema-Tema Teologis Liturgi Kontekstual[19]

            Tema teologis utama bagi kontekstualisasi liturgi adalah penyataan diri Allah dalam penciptaan (Kej. 1; Kel. 20:1; Yes. 45:3-6)62 dan inkarnasi Kristus dalam konteks budaya Yahudi sebagai puncak perwujudan kontekstualisasi  Allah ke dalam budaya manusia sehingga dalam inkarnasi-Nya manusia dapat melihat Allah (Yoh. 1:14, 18). Selain itu, tema teologis bagi kontekstualisasi lain, seperti yang dikemukakan oleh Jonathan Tan Yun-ka, adalah harmoni liturgi yang berorientasi pada konsep Trinitas. Ketika kita mengakui bahwa gereja yang adalah persekutuan (koinonia) yang berakar dalam Trinitas, bahwa perjamuan kudus adalah lambang persekutuan kita dengan Trinitas, dan bahwa liturgi sebagai ungkapan ibadah kita kepada Trinitas, maka kontekstualisasi  liturgi adalah juga berorientasi pada Trinitas.Tema teologis lain adalah bahwa dasar pneumatologis dari inkulturasi liturgi teologis Asia terinspirasi dari peristiwa Pentakosta. Peristiwa ini menginspirasi pembentukan liturgi inkulturatif yang mampu menyatukan komunitas etnis, bahasa, dan budaya yang beragam di kalangan gereja-gereja lokal di Asia.Tema teologis yang terakhir adalah penyataan diri Allah melalui berbagai peristiwa, ide-ide baru dan hal-hal lain dalam sejarah umat manusia. Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab menyerupai Kristus (imago Dei) dengan menggunakan berbagai cara untuk memahami dan menginterpretasi kehendak Allah serta merespons dan memproklamasikan Injil dengan bahasa, seni, dan ritual dengan emosi dan tindakan manusia. Agar iman Kristen bisa dipahami oleh banyak orang maka musik pun harus dikontekstualisasikan sehingga mampu mengekpresikan iman Kristen secara kreatif dan tepat.

 

2.5. Liturgi dan Budaya

Agus Gunawan Satyaputra dengan kritis berkomentar tentang pengaruh budaya Barat dalam pelayanan misi kepada komunitas di Indonesia: “Misi kepada orang Indonesia dahulu terlalu dipengaruhi oleh pendekatan teologis Barat yang sering kali tidak cocok dengan budaya Indonesia.” Sayangnya, hal ini belum disadari dengan benar oleh para praktisi misi di kalangan pribumi di Indonesia. Kalaupun kesadaran itu ada, kenyamanan mengenakan “jubah Barat” telah menyenangkan, sehingga yang timbul ialah ketidakpedulian akan isu tersebut. Bahkan, di tengah hangatnya diskusi serta usaha gencar kalangan Katolik dan ekumenikal dalam kontekstualisasi, gereja-gereja di Indonesia kini seakan tetap merasa nyaman tersedot “pusat gravitasi kekristenan” (yakni dunia Barat) dan enggan memperhatikan konteks. Menurut Fandy Handoko Tanujaya,sikap kaum injili Indonesia yang tetap senang berorientasi pada budaya Barat ini disebabkan karena penekanan yang berlebih kepada prinsip “peziarah” (pilgrim principle), yang sayangnya juga tidak diterapkan secara seimbang, serta mengabaikan prinsip “pempribumian” (indigenizing principle)[20].

 

 III.            Kesimpulan

Liturgi selalu merupakan tindakan Kristus dan sekaligus tindakan Gereja.  Karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus senantiasa dikenang dan dihadirkan Gereja dalam liturgi. Perlu dimengerti bahwa kontekstualisasi liturgi itu sesungguhnya bukan sikap anti Barat, anti asing, atau anti pada hal-hal yang berasal dari luar, tetapi mau menyoroti kekhasan budaya setempat yang dapat untuk disumbangkan dalam penghayatan liturgi. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang dipahami sebagai kemampuan untuk menanggapi Injil di dalam kerangka situasi seseorang. Di dalamnya, kebenaran Tuhan selalu membuka diri untuk di re-interpretasi kepada keadaan baru, kepada konteks yang baru tanpa mengingkari kebenaran dari firman itu sendiri. Kontekstualisasi liturgi adalah upaya Gereja baik dilakukan secara alamiah maupun yang disengaja untuk membuat penyesuaian liturgi bagi konteksnya. Dalam proses penyesuaian tersebut, muncullah pembaruan liturgi.

 IV.            Daftar Pustaka

Abineno, J.L. Ch,. Gereja dan Ibadah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986

Chupungco, Anscar J,. Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 1987Prier, Karl-Edmund, Perjalanan Liturgi Gereja Tahun 1957-2007, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2008

Hessekgrave, David J,. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004

Kobong, Th,. Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997

Komisi Liturgi KWI, Liturgi Romawi dan Inkulturasi, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004

Riemer, G,. Cermin Injil, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1995), 188.

Singgih, Emanuel Gerrit, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012

Tennent ,Timothy C,. Theology in the Context of World Christianity: How the Global Church Is Influencing the Way We Think about and Discuss Theology,Grand Rapids: Zondervan, 2007

Ujan, Bernardus Boli, Liturgi Autentik dan Relevan, Ledalero: Maumere, 2006

Wellem, F.D,. Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997

 



[1] Menurut Anscar J. Chupungco, seorang pengamat liturgi Katolik, pemakaian istilah  “inkulturasi” dalam bidang liturgi mulai dipakai oleh C. Valenziano, seorang Katolik, ketika  ia menulis satu artikel pada tahun 1979 untuk menguraikan hubungan antara liturgi dan religiositas populer. Ia mengatakan bahwa inkulturasi merupakan satu cara yang dapat memungkinkan interaksi timbal balik antara liturgi dan pelbagai bentuk religiositas populer

[2] Sejak tahun 1970-an, sebagai hasil Konsili Vatikan II, Gereja Roma Katolik telah merevisi liturginya setidaknya 3 kali. Hal itu menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan bersifat instan melainkan membutuhkan suatu proses terus-menerus. Kontekstualisasi liturgi perlu sungguh-sungguh diupayakan dan terus dikoreksi.

[3] Karl-Edmund Prier, Perjalanan Liturgi Gereja Tahun 1957-2007, (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2008) 7-9.

[4] Kontekstualisasi (kata serapan dari kata Inggris contextualization) diartikan sebagai hal membiarkan penafsiran Injil berkembang dengan mempertimbangkan situasi manusia secara menyeluruh.

[5] David J. Hessekgrave, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 51.

[6] Th. Kobong, Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 24.

[7] G. Riemer, Cermin Injil, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 1995), 188.

[8]F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 150.

[9]Bernardus Boli Ujan, Liturgi Autentik dan Relevan, (Ledalero: Maumere, 2006), 35.

[10] Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 8-28, 118-119.

[11] G. Riemer, Cermin Injil,188.

[12] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 76.

[13] “Nairobi Statement on Worship and Culture: Contemporary Challenges and Opportunities”, dalam S. Anita Sauffer (ed.), Christian Worship: Unity in Cultural Diversity, (Geneva: Department for Theology and Studies The Lutheran World Federation, 1996), 25.

[14] Bernardus, Op.cit., 38.

[15]J.L. Ch. Abineno, Gereja dan Ibadah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 27.

[16]Ibid, 27.

[17]Anscar J. Chupungco, Op.cit., 1.

[18]Komisi Liturgi KWI, Liturgi Romawi dan Inkulturasi, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), 22.

[19]Timothy C. Tennent ,Theology in the Context of World Christianity: How the Global Church Is Influencing the Way We Think about and Discuss Theology,(Grand Rapids: Zondervan, 2007) 12-13.

[20] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 95

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim