ERAUNATEOLOGI MKI : PENGARUH EKONOMI GLOBAL DALAM GEREJA
© [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.
Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.
Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

PENGARUH EKONOMI GLOBAL DALAM GEREJA
I.
Pendahuluan
Ekonomi global dewasa
ini telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk tatanan sosial, budaya, dan
politik dunia. Globalisasi ekonomi ditandai oleh perdagangan bebas, aliran
modal lintas negara, perkembangan teknologi finansial, dan dominasi kapitalisme
sebagai sistem utama. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kehidupan
sekuler, melainkan juga merambah wilayah keagamaan, termasuk Gereja.
Sebagai lembaga yang memiliki misi spiritual sekaligus sosial, Gereja berhadapan dengan tantangan besar: bagaimana tetap setia pada Injil Kristus di tengah arus globalisasi ekonomi yang sering kali bercorak materialistik dan utilitarian.
II. Gereja
dalam Konteks Ekonomi Global
1. Ketergantungan Finansial dan Manajemen Gereja
Pelayanan Gereja
membutuhkan dana—baik untuk pembangunan sarana ibadah, karya sosial, maupun
misi internasional. Globalisasi memberi akses terhadap sumber dana
internasional, seperti hibah lembaga asing atau jaringan misi global. Namun,
ketergantungan pada mekanisme ekonomi kapitalistik dapat mengaburkan prinsip
iman, di mana pelayanan dapat berubah menjadi sekadar proyek yang diukur dengan
keuntungan finansial[1].
Prinsip Alkitab
menegaskan bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10).
Oleh karena itu, Gereja ditantang untuk mengelola keuangan secara transparan
dan etis, bukan tunduk pada logika pasar.
2. Kesenjangan Sosial dan Panggilan Profetis Gereja
Globalisasi ekonomi
sering memperlebar jurang kaya-miskin. Data menunjukkan bahwa sebagian kecil
populasi dunia menguasai sebagian besar kekayaan global[2].
Dalam situasi ini, Gereja dipanggil menjalankan fungsi profetisnya: menegur
sistem yang tidak adil, serta berpihak pada kaum tertindas.
Yesus sendiri dalam pelayanan-Nya menegaskan, “Roh Tuhan ada pada-Ku... Ia telah mengutus Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin” (Lukas 4:18). Gereja, sebagai tubuh Kristus, harus meneladani panggilan ini dalam konteks ekonomi global.
3. Komersialisasi Agama
Fenomena
globalisasi juga menyebabkan agama menjadi bagian dari industri budaya dan
pasar. Produk rohani seperti musik, buku, dan pariwisata religius menjadi
komoditas bernilai tinggi[3].
Di satu sisi, hal ini memberi ruang kreatif bagi penyebaran Injil; di sisi
lain, terdapat bahaya “pengkomersialan iman” di mana nilai spiritual direduksi
menjadi sekadar barang dagangan.
Yesus sendiri
pernah mengkritik keras praktik jual-beli di Bait Allah dengan berkata: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu
menjadikannya sarang penyamun” (Matius 21:13). Hal ini mengingatkan Gereja
untuk tetap menjaga kesakralan pelayanan dari logika pasar.
4. Digitalisasi Ekonomi dan Gereja
Perkembangan
ekonomi digital membuka peluang besar bagi Gereja, seperti penggalangan dana
daring (online giving), ibadah virtual, dan literasi keuangan jemaat[4].
Namun, digitalisasi juga menghadirkan tantangan berupa berkurangnya keintiman
persekutuan, serta potensi manipulasi ekonomi melalui platform digital.
Gereja harus bijak
menggunakan teknologi sebagai sarana misi, bukan sebagai tujuan. Prinsip Paulus
dalam Roma 12:2 relevan: “Janganlah kamu
menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”
II.
Peranan Gereja
dalam Menghadapi Ekonomi Global
1.
Peranan Profetis
– Gereja dipanggil menjadi suara kenabian yang menegur ketidakadilan, melawan
sistem ekonomi yang eksploitatif, dan menegakkan etika publik.
2.
Peranan Pastoral
– Gereja mendampingi jemaat yang terdampak krisis ekonomi global: pengangguran,
PHK, inflasi, dan kemiskinan.
3.
Peranan Edukatif
– Gereja mengajarkan jemaat tentang pengelolaan keuangan yang sehat, prinsip
memberi, dan bahaya mentalitas konsumerisme. “Harta yang cepat diperoleh akan
berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya” (Amsal
13:11).
4.
Peranan Diakonal
(Pelayanan Sosial) – Gereja hadir melalui karya sosial-ekonomi:
bantuan pangan, koperasi jemaat, dukungan UMKM, serta pendampingan bagi
kelompok yang termarginalkan (Matius 25:40).
5.
Peranan Ekumenis
dan Global – Gereja membangun solidaritas lintas negara dalam
menghadapi krisis global, termasuk melalui advokasi, bantuan kemanusiaan, dan
kerja sama internasional.
IV.
Penelitian &
Survei: Kemunduran Keuangan Gereja
Beberapa survei
global menunjukkan bahwa sebagian gereja mengalami kemunduran finansial akibat
tekanan ekonomi:
a. Inflasi menurunkan daya beli umat dan
mengurangi kemampuan memberi secara riil[5].
b. Perubahan pola donasi pasca-pandemi
membuat banyak jemaat mengalihkan bantuan ke lembaga sosial atau komunitas lain[6].
c. Ketidakpastian ekonomi makro mendorong
jemaat menahan donasi[7].
d. Sekularisasi dan penurunan kehadiran jemaat
memperburuk situasi, seperti yang dialami Church of Scotland yang harus menutup
banyak gedung karena krisis finansial[8].
V.
Tabel Ringkasan
Survei & Penelitian
|
Sumber / Tahun |
Temuan Kunci |
Implikasi bagi
Gereja |
|
Giving to
Religion Report – Lake Institute (2023) |
Pemberian untuk agama
naik secara nominal, tetapi setelah disesuaikan inflasi nilainya menurun. |
Gereja harus memperhitungkan
inflasi dalam anggaran dan mendidik jemaat agar memberi secara konsisten
meskipun daya beli menurun. |
|
State of Church
Giving Report (2022) |
Banyak gereja
melaporkan penurunan pemberian akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi;
meskipun ada juga yang tetap stabil. |
Perlu strategi
diversifikasi sumber dana, perencanaan berbasis skenario, dan transparansi
pengelolaan keuangan. |
|
MinistryWatch – Evangelical Giving Trends Post-Pandemic
(2023) |
Beberapa gereja
evangelikal masih belum pulih ke level pra-pandemi; penurunan terus terjadi
pada segmen donor tertentu. |
Gereja perlu memperkuat
hubungan dengan jemaat, membangun sistem donasi digital, dan mengembangkan
program pemberdayaan jemaat. |
|
The Times
– “Church of Scotland Faces Financial Crisis” (2023) |
Church of Scotland
menghadapi krisis keuangan serius hingga harus menutup banyak paroki dan
menjual properti. |
Gereja perlu
memperhatikan tren demografis dan sekularisasi; penting untuk menyesuaikan
model pelayanan dengan konteks sosial-ekonomi lokal. |
VI.
Kesimpulan
Ekonomi global
membawa dampak signifikan bagi Gereja, baik dalam bentuk peluang maupun
ancaman. Banyak gereja mengalami kemunduran keuangan akibat inflasi, krisis
global, dan perubahan pola pemberian jemaat. Namun, hal ini juga membuka
peluang bagi Gereja untuk lebih kreatif dan setia dalam melaksanakan misinya.
Dengan
mengembangkan peranan profetis, pastoral, edukatif, diakonal, dan ekumenis,
serta memperhatikan hasil penelitian mengenai tren keuangan gereja, Gereja
dapat menjadi agen transformasi yang menghadirkan keadilan, damai sejahtera,
dan kasih Allah di tengah dunia yang dikuasai oleh logika ekonomi global.
VII. DAFTAR
PUSTAKA
Max L. Stackhouse, Globalization and Grace (New York:
Continuum, 2007), hlm. 45–46
Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press,
2014), hlm.
257–259
Vincent J. Miller, Consuming Religion: Christian Faith and Practice
in a Consumer Culture (New
York: Continuum,
2004), hlm. 25–27
Heidi A. Campbell, Digital Religion: Understanding Religious
Practice in Digital Media (New York:
Routledge, 2013),
hlm. 98–100
Lake Institute on Faith &
Giving, Giving to Religion Report
(Indianapolis: Indiana University Lilly
Family School of
Philanthropy, 2023), hlm. 12–13
State of Church Giving Report (Champaign, IL: Empty Tomb, Inc., 2022),
hlm. 34–36
MinistryWatch, Evangelical Giving Trends Post-Pandemic (MinistryWatch
Research Report, 2023),
hlm. 7–9.
The Times,
“Church of Scotland Faces Financial Crisis and Parish Closures” (London: News
UK, 2023),
hlm. 4–5
[1] Max L. Stackhouse,
Globalization and Grace (New York:
Continuum, 2007), hlm. 45–46
[2] Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), hlm. 257–259
[3] Vincent J. Miller,
Consuming Religion: Christian Faith and
Practice in a Consumer Culture (New York: Continuum, 2004), hlm. 25–27
[4] Heidi A. Campbell,
Digital Religion: Understanding Religious
Practice in Digital Media (New York: Routledge, 2013), hlm. 98–100
[5] Lake Institute on
Faith & Giving, Giving to Religion Report
(Indianapolis: Indiana University Lilly Family School of Philanthropy, 2023),
hlm. 12–13
[6] State of
Church Giving Report (Champaign, IL: Empty Tomb, Inc., 2022), hlm. 34–36
[7] MinistryWatch, Evangelical Giving Trends Post-Pandemic
(MinistryWatch Research Report, 2023), hlm. 7–9.
[8] The Times,
“Church of Scotland Faces Financial Crisis and Parish Closures” (London: News
UK, 2023), hlm. 4–5
Tags : ERAUNATEOLOGI
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment