KHOTBAH; HABAKUK 1 : 12 - 17 (TUHAN ALLAH MAHA KUDUS DAN MAHA TAHU)
Tuhan Allah Maha Kudus dan Maha Tahu (Analisis Teologis Habakuk 1:12–17)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Kitab Habakuk
merupakan salah satu kitab nabi kecil yang unik, sebab tidak hanya berisi
nubuat Allah kepada umat-Nya, tetapi juga percakapan dan pergumulan seorang
nabi dengan Allah. Habakuk hidup dalam masa transisi yang sulit, di mana Yehuda
berada di bawah ancaman bangsa-bangsa besar seperti Asyur dan Babel. Nabi ini
melihat kejahatan merajalela di dalam bangsanya sendiri, dan pada saat yang
sama Allah menyatakan bahwa bangsa Babel—yang bahkan lebih fasik—akan dipakai
sebagai alat penghukuman. Hal inilah yang memunculkan pergumulan iman:
bagaimana mungkin Allah yang kudus dan mahatahu membiarkan bangsa yang jahat
menghancurkan umat-Nya?
Habakuk 1:12–17 adalah bagian penting dari pergumulan ini. Nabi mengakui kekudusan Allah dan kemahatahuan-Nya, namun juga berani mempertanyakan cara kerja Allah. Pertanyaan Habakuk ini bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan ekspresi iman yang jujur dan mendalam. Oleh karena itu, bagian ini kaya makna teologis yang relevan untuk kehidupan umat percaya masa kini.
1.2 Pandangan Para
Tokoh
Para penafsir
Alkitab memberikan beragam pandangan mengenai Habakuk 1:12–17.
John Calvin menegaskan bahwa Habakuk mengajarkan iman yang berani berdialog dengan Allah. Menurut Calvin, keberanian Habakuk menyuarakan kebingungan justru menegaskan kedalaman relasinya dengan Allah, sebab ia tidak mencari jawaban di luar Allah, tetapi kepada Allah sendiri.
Matthew Henry menafsirkan bagian ini sebagai doa penuh iman. Habakuk mengakui kekudusan Allah terlebih dahulu sebelum melayangkan keluhannya. Ini memberi teladan bahwa doa harus dimulai dari pengakuan iman.
Walter Eichrodt melihat teks ini sebagai pergumulan antara kekudusan Allah dan realitas sejarah. Menurutnya, Habakuk mengajarkan bahwa iman tidak menutup mata terhadap kenyataan, tetapi menempatkan kenyataan dalam terang sifat Allah.
C. F. Keil dan F. Delitzsch menekankan dimensi profetisnya: Allah memang mengizinkan Babel, tetapi pada akhirnya Babel pun akan dihakimi. Dengan demikian, teks ini tidak hanya mengandung keluhan, tetapi juga pengharapan eskatologis.
1.3 Bukti Sejarah
Konteks sejarah
Habakuk berkaitan erat dengan kebangkitan Kekaisaran Babel (Neo-Babilonia) pada
abad ke-7 SM. Setelah jatuhnya Asyur pada 612 SM, Babel menjadi kekuatan
dominan di Timur Dekat. Catatan arkeologi seperti Kronik Babilonia (Babylonian
Chronicle) menunjukkan bagaimana Nebukadnezar II melakukan penaklukan demi
penaklukan, termasuk Yehuda pada 597 SM.
Bukti sejarah menunjukkan kebengisan Babel, seperti praktik deportasi massal (lih. 2 Raj. 24–25), yang sejalan dengan gambaran Habakuk 1:15–17 tentang menjaring bangsa-bangsa seperti ikan. Dengan demikian, keluhan Habakuk bukanlah imajinasi, tetapi didasarkan pada realitas sejarah yang benar-benar menimpa bangsanya.
1.4 Kajian Bahasa
Asli
Analisis istilah
kunci dalam teks Ibrani menolong kita memahami nuansa teologisnya:
Ayat 12 – miqqedem
YHWH ’ĕlōhāy qĕdōshî
miqqedem =
sejak purba kala, menunjuk kekekalan Allah.
qĕdōshî = “Yang Mahakudusku” (bentuk possessif), menekankan relasi perjanjian.
Ayat 13 – ṭĕhôr
‘ênayim mērā’ôt rā‘
ṭĕhôr = murni, suci, tanpa noda.
rā‘ = jahat, kerusakan moral dan sosial.
→ Allah tidak berkenan pada kejahatan, meski mengetahui seluruhnya.
Ayat 14 – ‘āśîtā
’ādām kĕdagê hayyām
kĕdagê = “seperti ikan” → metafora kerentanan manusia tanpa pemimpin sejati.
Ayat 15 – ḥakkô
… ḥērĕmô
ḥakkô = kail; ḥērĕm = jala.
→ Gambar kemenangan Babel: menjerat bangsa dengan berbagai cara.
Ayat 16 – yizbaḥ
lāḥĕrmô
“ia mempersembahkan korban kepada jalanya” → ironis: senjata menjadi berhala.
Ayat 17 – hălā‘
‘al-kēn yārîq ḥērĕmô
yārîq =
“mengosongkan berulang-ulang” → Babel tidak pernah puas menjarah.
Kajian bahasa ini menunjukkan bahwa doa Habakuk sarat metafora yang menggugah, sekaligus teologi yang dalam: Allah tetap kudus dan mahatahu meski dunia tampak dikuasai bangsa jahat.
1.5 Makna Teologis
per Ayat & Kajian Penulis
Ayat 12 →
Allah kekal dan kudus, namun relasional (“Allahku”). Habakuk percaya Allah
berdaulat, meski cara-Nya misterius.
Ayat 13 →
Allah tidak kompromi dengan dosa, tetapi bisa memakai bangsa berdosa untuk
menggenapi rencana-Nya.
Ayat 14 → Umat
tampak rapuh seperti ikan tanpa gembala, gambaran kerentanan umat manusia tanpa
pimpinan Allah.
Ayat 15 →
Babel dipotret sebagai penangkap ikan yang sombong, simbol penindasan
imperialis.
Ayat 16 →
Kesombongan Babel mencapai puncaknya dengan menyembah alat kekuatannya. Ini adalah
penyembahan berhala politik.
Ayat 17 → Habakuk mempertanyakan: sampai kapan Allah membiarkan? Pergumulan iman tidak meniadakan iman, tetapi justru menguatkan hubungan dengan Allah.
II. KAJIAN BIBLIKAL
2.1 Struktur
Literer Habakuk 1:12–17
Perikop ini dapat dipetakan dalam struktur doa keluhan (lament) khas Perjanjian Lama. Unsurnya meliputi:
- Pengakuan iman
kepada Allah (ay. 12)
Habakuk menyebut
Allah sebagai kekal (miqqedem), kudus (qĕdōshî), dan sumber
kehidupan (“Kami tidak akan mati”).
Fungsi: dasar keyakinan sebelum mengajukan protes.
- Masalah teologis (ay. 13)
Pertanyaan: bagaimana mungkin Allah yang kudus membiarkan bangsa yang jahat menghukum yang lebih benar?
- Gambaran
penderitaan umat (ay. 14–15)
Yehuda digambarkan
seperti ikan yang tak berdaya.
Babel digambarkan sebagai penangkap ikan yang rakus dan sombong.
- Kritik terhadap
musuh (ay. 16)
Babel menyembah jalanya sendiri, yakni kekuatannya, simbol penyembahan berhala militeristik.
- Pertanyaan penutup
(ay. 17)
Nada interogatif:
“Sampai kapan?”
Berfungsi sebagai
penutup yang terbuka, menunggu jawaban Allah pada pasal berikutnya.
Struktur ini menunjukkan dinamika doa yang dimulai dengan iman, berlanjut pada keluhan, lalu diakhiri dengan pengharapan akan jawaban Allah.
2.2 Analisis Bentuk
Sastra (Genre)
Habakuk 1:12–17
termasuk dalam genre doa keluhan (lament prayer), mirip dengan Mazmur
keluhan (mis. Mzm. 13, 22, 73). Ciri-cirinya:
-Dimulai dengan
pengakuan iman.
-Berisi keluhan
atau protes teologis.
-Menggunakan
metafora puitis (ikan, jala, kurban).
-Berakhir dengan pertanyaan terbuka.
Namun berbeda dengan Mazmur, doa ini ada dalam bentuk dialog profetis: Habakuk berbicara langsung dengan Allah, bukan sekadar doa pribadi. Hal ini menjadikan kitab Habakuk unik, karena nabi diizinkan memperdebatkan jalan Allah.
2.3 Konteks Kanonik
dalam Kitab Habakuk
Habakuk 1:12–17 adalah bagian dari siklus tanya-jawab antara nabi dan Allah:
1. Pertanyaan I
(1:2–4) → Mengapa kejahatan di Yehuda dibiarkan?
Jawaban Allah (1:5–11) → Allah akan memakai Babel sebagai alat penghukuman.
2. Pertanyaan II
(1:12–17) → Mengapa bangsa yang lebih jahat dipakai untuk menghukum yang
lebih benar?
Jawaban Allah (2:1–20) → Babel pun akan dihakimi, dan “orang benar akan hidup oleh iman” (2:4).
Dengan demikian, 1:12–17 adalah pusat pergumulan iman Habakuk yang menyiapkan jalan bagi pewahyuan kunci pada 2:4, ayat yang kemudian menjadi landasan teologi Paulus dan Reformasi.
2.4 Perbandingan
dengan Teks Lain
Mazmur 73: Pemazmur juga bergumul mengapa orang fasik hidup makmur, sementara orang benar menderita. Akhirnya pemazmur menemukan jawabannya di hadirat Allah.
Yeremia 12:1–4: Nabi Yeremia juga memprotes Allah karena orang jahat tampak berhasil. Ayub: Seperti Habakuk, Ayub mempertanyakan keadilan Allah, namun tetap berpegang kepada-Nya.
Roma 1:17 & Ibrani 10:38 : Paulus dan penulis Ibrani mengutip Habakuk 2:4 untuk menegaskan prinsip hidup oleh iman. Walaupun 1:12–17 tidak dikutip langsung, pergumulan Habakuk menjadi konteks penting lahirnya ayat tersebut.
2.5 Simpulan Kajian
Biblika
Habakuk 1:12–17 adalah keluhan profetis yang menampilkan pergumulan iman antara pengakuan teologis (Allah kudus dan mahatahu) dan realitas sejarah (Babel menindas Yehuda). Teks ini menunjukkan bahwa Alkitab tidak menyajikan iman yang buta, melainkan iman yang kritis, jujur, dan berani bergulat dengan Allah. Perikop ini juga membuka jalan bagi jawaban Allah di pasal 2, yaitu hidup oleh iman di tengah misteri rencana-Nya.
III. ANALISIS
TEOLOGIS
3.1 Allah Maha
Kudus
Dimensi Ontologis –
Kekudusan Allah berarti ke-“lain”-an-Nya. Ia berbeda dari ciptaan (Yes. 6:3).
Dimensi Etis –
Kekudusan Allah adalah standar moral. Allah tidak dapat berkompromi dengan
kejahatan (Hab. 1:13).
Dimensi Relasional – Habakuk menyebut Allah sebagai “Yang Mahakudusku” (qĕdōshî), menandakan relasi perjanjian yang akrab.
3.2 Allah Maha Tahu
Pengetahuan
Universal – Allah mengetahui segala sesuatu, termasuk
isi hati manusia (Maz. 139; Ibr. 4:13).
Pengetahuan Sejarah –
Allah mengetahui jalannya sejarah sejak awal hingga akhir (Yes. 46:10).
Dalam PB – Yesus Kristus mengetahui hati manusia (Yoh. 2:24–25), menegaskan kemahatahuan Allah yang berinkarnasi.
3.3 Dialektika
Kekudusan dan Kemahatahuan
Kekudusan Allah menolak dosa, sementara kemahatahuan Allah membuat-Nya mampu memakai bahkan bangsa berdosa sebagai alat penghakiman. Habakuk menghadapi misteri ini dengan iman.
3.4 Sintesis PL dan
PB
PL: Allah kudus
(Im. 19:2), Allah tahu segala sesuatu (Maz. 139).
PB: Allah kudus
dalam Kristus (1 Ptr. 1:15–16), Allah mahatahu dalam Yesus (Ibr. 4:13).
Integrasi: Dalam
Kristus, kekudusan dan kemahatahuan Allah bertemu. Ia kudus tanpa dosa, tetapi
juga mengenal isi hati manusia.
3.5 Dimensi
Dogmatis dan Etis
Dogmatis:
Kekudusan Allah → dasar pengudusan umat. Kemahatahuan Allah → dasar
providensia.
Etis: Umat dipanggil hidup kudus (Rm. 12:1) dan percaya penuh pada pemeliharaan Allah, meskipun realitas dunia tampak kacau.
3.6 Relevansi Masa
Kini
Habakuk relevan
dengan zaman modern:
1.
Kekudusan Allah menantang dunia yang
kompromistis terhadap dosa, seperti korupsi, ketidakadilan, dan hedonisme.
2.
Kemahatahuan Allah meneguhkan iman di tengah
globalisasi, krisis lingkungan, pandemi, maupun konflik politik.
3. Penyembahan berhala modern (Hab. 1:16) tampak dalam ketergantungan manusia pada teknologi, ekonomi, dan kekuasaan. Habakuk mengingatkan bahwa hanya Allah yang layak disembah.
IV. IMPLIKASI BAGI
IMAN ORANG PERCAYA
1.
Keberanian dalam doa – Orang percaya boleh
jujur kepada Allah, seperti Habakuk.
2.
Penghiburan dalam penderitaan – Allah
mengetahui dan mengendalikan sejarah.
3.
Panggilan hidup kudus – Kekudusan Allah
menuntut umat untuk tidak berkompromi dengan dosa.
4. Iman di tengah misteri – Meski tidak mengerti cara kerja Allah, iman tetap bersandar pada sifat-Nya yang kudus dan mahatahu.
V. KAJIAN PENULIS
(PESAN KHOTBAH)
Saudara-saudara
yang terkasih, pernahkah kita bertanya kepada Tuhan: “Mengapa Engkau
membiarkan ini terjadi?”
Habakuk pun bertanya. Ia melihat
Yehuda menderita, lalu Allah justru mengatakan bahwa bangsa yang lebih jahat,
yaitu Babel, akan dipakai menghukum mereka. Hati Habakuk berteriak: “Ya
Tuhan, Engkau Mahakudus, Engkau Mahatahu… tetapi mengapa seperti ini jalan-Mu?”
Pertanyaan itu bukan sekadar keraguan, tetapi doa iman. Habakuk mengajarkan kepada kita bahwa orang benar boleh datang dengan jujur di hadapan Allah.
1. Allah Kita adalah
Allah yang Kudus (ay. 12–13)
Habakuk memulai
doanya dengan pengakuan iman: “Ya TUHAN, Allahku Yang Mahakudus…”
Kekudusan Allah berarti:
Allah berbeda
dengan dunia yang cemar,
Allah membenci
dosa,
Allah menjadi tolok
ukur moral yang sejati.
Ketika kita melihat kejahatan merajalela, mari kita percaya: Allah tetap kudus. Ia tidak pernah kompromi dengan dosa.
2. Allah Kita
adalah Allah yang Mahatahu (ay. 12–13)
Habakuk berkata:
“Ya TUHAN, Engkau tidak akan mati.” Itu artinya Allah bukan hanya kekal, tetapi
juga mengetahui seluruh jalannya sejarah. Ia tahu awal dan akhir, bahkan apa
yang tersembunyi dalam hati manusia.
Mungkin kita sering merasa hidup kita kacau, doa belum dijawab, kejahatan seolah menang. Tetapi ingat: Allah tahu semua. Tidak ada air mata yang tersembunyi di hadapan-Nya (Mzm. 56:9).
3. Realitas Pahit
dalam Hidup (ay. 14–17)
Habakuk melihat
Yehuda seperti ikan yang tak berdaya. Babel seperti nelayan rakus yang
menjaring mereka, bahkan mempersembahkan kurban kepada jalanya.
Bukankah itu juga dunia kita hari
ini?
Banyak orang
menyembah “jala modern” mereka: uang, teknologi, kekuasaan.
Banyak orang merasa
kuat karena senjata, jabatan, atau kekayaan.
Namun firman Tuhan mengingatkan: semua itu hanyalah berhala. Mereka akan binasa, tetapi Allah kekal selamanya.
4. Panggilan untuk
Hidup oleh Iman
Habakuk menutup
doanya dengan pertanyaan: “Sampai kapan, ya Tuhan?”
Tuhan menjawab di pasal
berikutnya: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Hab. 2:4).
Inilah kuncinya:
kita tidak selalu mendapat jawaban yang kita inginkan, tetapi kita dipanggil
untuk tetap hidup oleh iman.
-Iman pada Allah
yang kudus → membuat kita serius melawan
dosa.
-Iman pada Allah
yang mahatahu → membuat kita tetap tenang meski dunia kacau.
Saudara-saudara,
Habakuk mengajarkan doa yang jujur, iman yang berani, dan pengharapan yang
teguh.
Ketika kita tidak
mengerti jalan Tuhan, jangan berhenti berdoa.
Ketika kita bingung dengan
rencana-Nya, jangan berpaling kepada dunia.
Mari kita tetap berseru kepada
Allah yang kudus dan mahatahu, sebab hanya kepada-Nya ada penghiburan dan
keselamatan.
Amin.
Tags : BAHAN KHOTBAH
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment