ADAT DAN INJIL
I. Pendahuluan
Injil diberitakan
ditengah-tengah dunia yang penuh dengan adat kebudayaan serta berhadapan dengan
adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam pertemuan injil dan adat
tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur adat kebudayaan, terdiri dari:
Sistem relegius dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi masyarakat, sistem
bahasa, sistem kesenian, dsb. Adat merupakan hal yang sangat penting dalam
suatu masyarakat, apalagi di dalam masyarakat Batak. Sebelum kekristenan
memasuki tanah Batak, adatlah yang menjadi hukum sekaligus aturan paling tinggi
diakui. Tetapi setelah kekristenan memasuki tanah Batak, pandangan tehadap
makna "adat" mengalami pergeseran. Bahkan ada yang beranggapan bahwa
adat tidak perlu lagi dipelihara, sebab dianggap budaya kafir atau
hasipelebeguon. Dengan demikian, berangkat dari pemaparan di atas penulis ingin
memaparkan mengenai sikap kekristenan terhadap adat kebudayaan Batak dari
perspektif dogmatis.
II. Pembahasan
2.1. Definisi
Adat dan Kekristenan
Adat adalah kata Arab,
yang juga diambil-alih oleh bangsa-bangsa yang bukan Islam di Asia Tenggara
sebagai pinjaman, sebagai juga dengan sedikit perubahan. Asal katanya ialah
kata kerja ada, berbalik-kembali, datang-kembali, artinya: yang lazim, dengan
demikian: kebiasaan. Sinonim yang lebih tua dalam sejarah Indonesia ialah biasa
yang berasal dari bahasa Sanskerta abhaysa.[1]
Definisi Adat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan dengan suatu sistem. Aturan
(perbuatan) itu lazim dituruti dan dilakukan sejak dahulu kala di suatu daerah
tertentu.[2]Menurut
pendapat Verkuyl, sebagaimana dikutip oleh Mangapul Sagala bahwa kata
"adat" berasal dari bahasa Arab "ada" yang berarti cara
yang telah lazim atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat.[3]
Sedangkan, definisi Kristen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah
nama agama yang disampaikan oleh Kristus (Nabi Isa). Mengkristenkan berarti
menjadikan penganut (pemeluk) agama Kristen; menjadikan Kristen. Kekristenan
adalah keadaan atau sifat yang menyangkut agama Kristen.[4]Seorang Kristen biasanya digambarkan sebagai "seorang
yang percaya kepada Yesus Kristus" atau sebagai "seorang pengikut
Yesus Kristus." mungkin lebih tepat ia digambarkan sebagai seorang yang
menganggap dirinya adalah milik persekutuan dari orang-orang untuk siapa Yesus
Kristus - hidup-Nya, perkataan-Nya, perbuatan-Nya, dan tujuan-Nya - adalah yang
paling penting sebagai kunci untuk memahami diri mereka sendiri dan dunia
mereka, sumber utama pengetahuan akan Allah dan manusia, yang baik dan yang
jahat, sahabat tetap hati nurani, dan pembebas dari kejahatan yang dinantikan.[5]
2.2 Sejarah Singkat Masuknya Kekristenan
Ke Tanah Batak
Sampai tahun ± 1800 M
penduduk Tanah Batak di pedalaman Sumatera Utara di daerah-daerah Toba,
Angkola, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo masih animis. Walaupun daerah
pesisir dikuasai oleh sultan-sultan yang bukan orang Batak, tetapi daerah
pedalaman yang merupakan dataran tinggi dengan banyak jurangnya tidak diganggu,
dibiarkan saja dalam "splendid isolation". Barulah pada permulaan
abad 19 M penduduk daerah Mandailing, yang berbatasab letaknya dengan daerah
Minangkabau, didatangi oleh tentara Padri. Penduduk daerah Mandailing, begitu
pula penduduk daerah Angkola di sebelah utara Mandailing, beralih menjadi
pemeluk agama Islam. Usaha tentara Padri itu juga meng-Islamkan daerah Toba
(Tapanuli Utara), yang terletak di sebelah utara Angkola, tidak berhasil. Hal
itu disebabkan serbuan ini, yang hendak menerobos ke pantai Danau Toba, dapat
dihancurkan oleh tentara Batak, yang terdiri dari para sukarelawan, di suatu
tempat yang terjal dengan jurangnya yang amat dalam bernama Tanggabatu (di
anatara kota Balige dan kota Siborong-borong). Di daerah-daerah yang telalui
oleh tentara Padri tersebut, yaitu di Silindung dan di Humbang Timur, banyak
rumah adat habis terbakar. Perang itu berakhir tahun ± 1830 M. Pada tahun 1861
datang zending Kristen dari Jerman Barat ke Sipirok, sebuah kota kecil di
daerah Angkola dekat perbatasan dengan daerah Toba. Hanya sebagian di antara
penduduk di sana bersedia memeluk agama Kristen. Tiga tahun kemudian, yakni
pada tahun 1864 Zending tersebut memindahkan pusat kegiatannya ke Tarutung di
daerah Tapanuli Utara. Pada masa itu belum ada suasana pertempuran, karena
perang yang akan dipimpin oleh Sisingamangaraja melawan serbuan Belanda barulah
meletus pada tahun 1877. Sikap seorang pendeta Jerman Dr. I. L. Nommensen
(lahir tanggal 6 Februari 1834), yang pandai berbahasa Batak, sangat merakyat
dalam pergaulannya dengan penduduk sehingga ia diberi gelar Ompu, artinya
"kakek". Agama Kristen cepat tersebar di kalangan penduduk Tapanuli
Utara, misalnya pada tahun 1881 penduduk di Balige, letaknya di tepi Danau
Toba, mulai memeluk agama Kristen. Pendeta Nommensen wafat pada tahun 1918 dan
untuk memenuhi pesannya sewaktu masih hidup dimakamkan dekat sebuah gereja di
Sigumpar, tempat ia mengabdi pada akhir hidupnya, kira-kira 60 km di sebelah utara
Tarutung. Penggantinya sebagai pemimpin Zending itu ialah Dr. Warneck. Selain
seorang pendeta, beliau ini seorang penullis kamus Batak-Jerman serta buku-buku
ilmiah lainnya. Dari daerah Toba tersebut Zending Jerman tersebut meluaskan
kegiatannya ke daerah Simalungun dan Dairi dengan hasil baik juga. Zending
Belanda berusaha pada tahun 1904 menyebarkan agama Kristen ke daerah Karo, akan
tetapi hasilnua tidak segemilang yang dicapai oleh Zending Jerman daerah Toba,
Simalungun dan Dairi. Selain membawa agama Kristen, Zending giat memperkenalkan
pengobatan modern serta pendidikan sekolah dalam pengabdiannya kepada penduduk.
Pendidikan sekolah sudah lebih dulu tertanam oleh penjajah di Sumatera Barat
dan membuahkan hasil di sana, lalu di daerah itu secara berangsur-angsur
tersebar semakin ke utara di Sumatera Utara. Adat Batak juga berkembang terus
sesudah mengalami integrasi dengan agama yang baru dianut oleh penduduk di
Sumatera Utara, yaitu Kristen dan Islam.[6] Adat Batak adalah aturan-aturan tentang beberapa segi
kehidupan masyarakat Batak yang tumbuh dari usaha orang di dalam masyarakat
tersebut, sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku
anggota masyarakatnya.[7]
Jadi, di dalamnya termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan
mengatur hidup bersama dari pada masyarakat Batak.[8]
Pada dasarnya, memang kegiatan masyarakat di dalam tatanan adat dan budayanya
adalah benar-benar bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Kegiatan keseharian
dilakukan dengan tetap memikirkan dan berlandaskan kelayakan dalam kewajaran
yang berpedoman pada adat dan kebiasaan masyarakatnya yang dilakukan sejak
kehamilan seorang Ibu hingga pada saat warga adat itu meninggal dunia.[9] Makna Adat bagi Orang Batak Kehidupan masyarakat Batak
dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat,[10]
mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit,
malapetaka, kematian dan lain-lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran
hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages
atau life cycle rites. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan
pelaksanaan suatu upacara adat khusus.Upacara ini didasarkan pada pemikiran
bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung bahaya gaib. Upacara adat
dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau
celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan
keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik
pelaksanaan setiap upacara adat itu. Beberapa life cycle rites yang dijumpai
pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje (kehamilan), mangharoan
(kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian nama),
marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi
(menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang
belulang), dsb. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing,
Angkola, dan Pakpak Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang
berbeda.[11]
2.3. Susunan
Kekeluargaan Adat Batak
Susunan kekeluargaan atau
kekerabatan masyarakat Batak didasarkan atas sistem kekerabatan Dalihan Na
Tolu. Arti Dalihan Na Tolu secara harafiah adalah "tungku nan tiga."[12] Satu cara yang dapat membantu kelancaran masak memasak
tersebut adalah dengan membentuk tiga penyangga, bisa terdiri dari batu dan
besi. Dengan tuga penyangga tersebut nyala api akan terjamin lebih bermanfaat,
panasnya merata dan berdaya guna serta aman.[13] Kemudian hal itu diberikan dalam suatu lambang yang
memeliharakan tatanan terbaik bagi masyarakat Batak dalam konsep kekerabatan
yang ditata dalam bentuk dalam Dalihan Na Tolu, yang merupakan lambang jika
diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga tiang
penopang, yaitu Dongan Tubu, boru, dan hula-hula: Kelompok Dongan Tubu (Dongan
Sahuta) adalah yang satu marga dengan kita, atau pernah satu kelompok marga
dengan marga kita. Kelompok Hula-hula adalah marga dari isteri kita dan marga
orang tua isteri anak lelaki kita dan bisa juga marga isteri dari dongan tubu
kita. Artinya marga hula-hula adalah marga darimana saja kita dan kelompok
marga mengambil isteri. Kelompok Boru adalah marga yang mengambil isteri dari
marga kita, atau marga suami dari anak perempuan kita, marga yang mengambil
perempuan yang berasal dari kelompok marga kita sebagai isterinya.[14]
2.4. Perjumpaan Adat Batak dan Kekristenan
2.4.1. Perjumpaan Adat Batak
pada Awal Masuknya
Kekristenan di Tanah Batak Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi
oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus
adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat Batak yang berasal
dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan
penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil
Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak,
dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan,
baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para
Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang
Batak sendiri. Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori,
yaitu:
1. Adat yang netral
2. Adat yang bertentangan dengan Injil
3. Adat yang sesuai
dengan Injil
Sebelum masalah itu
tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya
upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan
tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada
masa itu banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa
menampung mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena
menghadiri sebuah upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang
memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan
gereja. Dia termasuk seorang raja Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus
di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam
penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut.
Salah satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan
dengan Injil dan upacara adat mana yang netral. Pada masa-masa akhir pelayanan
para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat Kristen Batak muncul
suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti
kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil
dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942). Tekanan
supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari
strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat
Batak. Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang
memimpin di wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya
segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di wilayah itu, yang
umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para
Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.
Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang
tidak didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa
melakukannya mengingat cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang
digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap
mereka yang telah dikristenkan dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian
hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri
dan karena sudah mengerti ajaran Injil. Dalam kenyataannya, pembaptisan massal
kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena
solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan
Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan
Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh
kuasa Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus. Pembaptisan massal
tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris dalam
melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak
anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati
pemuridan Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam
pemikiran dan cara hidup mereka masih sebagai orang Batak Haholomon (kegelapan)
yang terikat dengan cara pikir dan cara hidup hasipelebeguon. Persoalan ini
juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari
pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat
memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat
Batak merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang
belum pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis
upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada prinsipnya, mereka
sangat menekankan bahwa segala bentuk hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena
bertentangan dengan Firman Tuhan. Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya
berada di Silindung memiliki sikap yang tegas melarang keberadaan berbagai
unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang. Tetapi Gustav
Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan
gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon
harus dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari,
peralatannya milik orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum
percaya kepada Tuhan Yesus. Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak
orang Batak sebagai lampu hijau bagi penerimaan adat Batak di dalam
kekristenan.[15]
2.4.2. Sikap Kekristenan Terhadap
Kebudayaan
Richard
Niebuhr[16]
dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap
kekristenan terhadap kebudayaan dalam bukunya "Christ and Culture"
atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap kekristenan
terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam lima sikap, yaitu: A. Paralel
Kebudayaan/adat bisa diterima oleh kekristenan. Menerima unsur-unsur
kebudayaan/adat yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
B. Kontradiksi
Kekristenan menolak kebudayaan/adat. Kekristenan menentang kebudayaan/adat
khususnya terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan dengan
kekristenan, umpamanya terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupan yang
tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.
C. Akomodatif Kebudayaan/adat
turut mendukung di dalam kekristenan.
terutama dalam menyebarkan Injil atau ajaran kekristenan. Misalnya, menyanyikan
lagu rohani dengan diiringi uning-uningan (alat musik tradisional Batak).
D. Transformatif
Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan
Injil. Misalnya, tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat
menjadi sarana Injil untuk membangun iman dan kehidupan.
E. Asimilatif
Kekristenan dan kebudayaan saling berbaur atau bercampur. Kelompok yang
menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara kekristenan dan
kebudayaan/adat. Mereka berusaha menyesuaikan kekristenan dan kebudayaan/adat.
Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan analisa
bagian-bagian kebudayaan/adat yang tidak sesuai dengan kekristenan. Dengan
demikian ada perdamaian kekristenan dengan kebudayaan/adat.
III. Kesimpulan
Di dalam pemberitaan Injil dan penyebaran agama Kristen,
sudah pasti akan berhadapan dengan adat setempat. Demikian juga dengan
pemberitaan Injil ke tanah Batak, tentunya berhadapan dengan adat batak. Adat
batak dulunya mengandung hasipelebeguon. Oleh karena itu, Injil harus dapat
menerangi adat kebudayaan di daerah tempat pemberitaannya. Apabila adat Batak
di dalam pelaksanaannya mengandung hasipelebeguon atau pemujaan-pemujaan kepada
roh nenek, maka sudah selayaknya masyarakat Batak yang Kristen harus menolak
dan menentangnya dengan tegas. Tidak semua adat Batak tersebut mengandung nilai
negatif, karena ada juga nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya,
misalnya: laki-laki tidak diperbolehkan menceraikan isterinya dan tidak boleh
berzinah. Mereka sudah mengenal hal tersebut, sebelum datangnya ajaran
kekristenan ke tanah Batak.
IV. Daftar Pustaka
Chreiner Lothar, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman
Kristen di Tanah Batak, BPK-GM: Jakarta, 2003
_______, Kamus Besar Bahasa Indonesia(Edisi
ketiga), (Balai Pustaka: Jakarta, 2005
Mangapul Sagala, Injil dan Adat Batak, Yayasan Bina Dunia: Jakarta, 2008
_______, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Edisi ketiga)
Niebuhr Richard, Kristus
dan Kebudayaan, Petra Jaya: Jakarta 1995
Nalom Siahaan, Adat
Dalihan Na Tolu,
Jakarta, 1982
_______, Ensiklopedi
Umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1973
Van Dijk. R., Pengantar Hukum Adat Indonesia, Vorkink - Van Hoeve: Bandung
Pasaribu John B., Adat
Batak, Saluran Kasih Sesama Umat Manusia, Yayasan Borbor, Jakarta 2003
Simanjuntak I., "Pesta
Adat Di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama Kristen", Pemikiran tentang Batak, Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986
[1] Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman
Kristen di Tanah Batak, (BPK-GM: Jakarta, 2003) 18.
[2] _______, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), (Balai Pustaka: Jakarta, 2005) 6.
[3] Mangapul Sagala, Injil
dan Adat Batak, (Yayasan Bina Dunia: Jakarta, 2008) 20
[4] _______, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), Op.
Cit., 465.
[5] Richard Niebuhr, Kristus
dan Kebudayaan, (Petra Jaya: Jakarta 1995) 14.
[6] Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu, (Jakarta, 1982) 7-8.
[7] _______, Ensiklopedi Umum, (Yayasan
Kanisius: Yogyakarta, 1973) 14.
[8] R. Van Dijk, Pengantar
Hukum Adat Indonesia, (Vorkink - Van
Hoeve: Bandung) 6.
[9] John B. Pasaribu, Adat Batak, Saluran
Kasih Sesama Umat Manusia,
(Yayasan Borbor, Jakarta 2003) 42.
[10] Adat atau pun hukum adat, walaupun tidak tertulis sudah merupakan peraturan-peraturan
yang mengatur cara hidup manusia dan takluk kepada adat, ataupun hukum adat
tersebut. Lih. I. Simanjuntak, "Pesta Adat Di Kalangan Suku Batak Toba
yang Beragama Kristen", dalam: Pemikiran tentang Batak (Editor: B.A.
Simanjuntak), Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986: hlm. 115.
[11] Ibid
[12] Nalom Siahaan, Op. Cit., 18.
[13] John B. Pasaribu, Op.
Cit., 50.
[14] Ibid., 53-54.
[15] Ibid
[16] Bnd. Richard Niebuhr, Op. Cit., 53-258.
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment