GEREJA DAN ALKITAB
Seiring
dengan perkembangan zaman, maka peradaban manusia turut juga berkembang. Dengan
perkembangan zaman itu manusia banyak mengalami kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan semakin kristis terhadap segala hal. Manusia tidak pernah
merasa puas dengan apa yang dengan apa yang sudah diperolehnya dan beruasaha
berkarya sepanjang masa. Dalam keadaan demikian, manusia semakin tertantang
menyelidiki segala sesuatu dan ingin membuktikan melalui penelitian-penelitian.
Dalam keadaan seperi itu, para kaum teolog juga
turut mengembangkan teologinya dan berusaha merumuskan pemahaman-pemahamannya
dari berbagai latar belakang sudut pandang, hal ini bertujuan untuk lebih mudah
dipahami. Akan tetapi sebahagian orang beranggapan bahwa hal ini adalah
merupakan hal yang tidak penting. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya
pemahaman-pemahaman para kaum teolog dan tentang otoritas Alkitab dalam
perkembangan sejarah gereja.
Dan
dalam hal ini, kini kita akan membahas tentang bagaimana sebenarnya perjalanan
Gereja dan Alkitab dalam Sejarah Gereja, dan bagaimana otoritas Alkitab dalam
setiap fase zaman dan apakah memang Alkitab selalu mempunyai otoritas tertinggi
dalam kehidupan gereja, yang dipandang oleh para tokoh-tokoh yang membawa
perkembangan ide/ gagasan yang ada menjadi sebuah konsep pemahaman yang baik
dan benar dalam memandang Alkitab sebagai Kitab suci.
I. Pembahasan
1.1. Sekilas tentang Gereja
Kata
gereja berasal dari bahasa Portugis Igreja, sebagaimana juga kata igreja juga
dipakai dalam bahasa Spanyol (iglesia), dan Perancis (Iglise), dengan
perubahan-perubahan huruf mati, tanpa, tanpa perubahan arti kata. Dalam bahasa
Yunani keta ekklesia berasal dari kata kerja ‘kaleo’ mula-mula dipanggil keluar,
yaitu mereka (budak-budak bukan pelayan) yang oleh seorang tentara dipanggil
berhimpun untuk menghadiri rapat rakyat. Gereja dipanggil oleh Allah sendiri
(Rm. 9:24, Ef. 4:1, 2 Tim. 1:9). Istilah Ekklesia tidak sja diartikan dengan
dipanggil keluar sebagaiman Abraham
dipanggil keluar dari dunia kafir (Kej. 12:1). Demikian juga gereja dipanggil
keluar dari dunia bagsa-bangsa , “keluar dari gelap menuju kepada terang nya
yang ajaib. Sementara KBBI berpendapat bahwa istilah gereja dapat diartikan
sebagai gedung (rumah), tempat berdoa dan melakukan upacar agama (Kristen),
serta badan (organisasi) umat Kristen yang saat kepercayan, ajaran dan tata
caranya. Sebagai penyeminar saya lebih sepndapat dengan KBBI bahwa gereja
adalah merupakan tempat peribadahan dan sebagai badan organisasi keagamaan.
1.2. Apa itu Alkitab?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Alkitab diartikan sebagai kitab suci agam
Kristen yang etrdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Alkitab dalam
agama Kristen berarti sabda Allah utama yaitu sabda Allah yang menjadi manusia
(Yoh 1:1,14) yaitu Yesus Kristus. Alkitab terdiri dari 66 kitab kecil dan besar.
Ke-66 kitab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu perjanjian lama terdiri
dari 39 kitab. Bahasa aslinya adlah Ibrani,. Kitab-kitab tertua dalam kitab
perjanjian lama adalah ditulis pada zaman Musa, kira-kira 1500 tahun sebelum
Masehi. Perjanjian baru terdiri dari 27
kitab dan surat-surat. Bahasa aslinyaadlah bahasa Yunani, kitab utama disebut
Injil, memuat sejarah kehidupan Yesus,kelahiran-Nya, kematian dan
kebangkitan-Nya. Lalu menyusullah kitab yang dinamakan Kisah para rasul, yang
berisi sejarah terjadinya Kristen, kemudian menyusullah surat-surat yang
kebanyakan dari rasul-rasul yang berisi keterangan tentang Injil Yesus. Alkitab
ditutup dengan kitab Wahyu kepada Yohanes, yang berisi hal-hal yang akan
terjadi dan yang memberitakan bahwa Yesus yang telah datang itu, akan datang
kelak. Disamping itu Alkitab juga adalah terdiri dari kepelbagaian cerita,
khotbah-khotbah, surat-surat dan doa-doa, syair, nyanyian, dan berbagai
aturan-aturan.
1.3.
Alkitab ditengah-tengah Gereja
1.3.1.
Gereja
dan Alkitab pada Abad Mula-mula (Abad I-IV)
Hari
kelahiran gereja adalah hari turunnya Roh Kudus (Pentakosta). Namun tidak langsung seperti yang kita ketahui saat
ini.pada saat itu belum mempunyai sistem ajaran, organisasi, dan kitab sucinya.
Pada awalnya mereka dianggap dan menganggap diri sebagai bagian dari persekutuan
Israel-Yehuda. Kitab yang digunakan pun adalah kumpulan tulisan yang dianggap
suci oleh oranng Yahudi yang kemudian gereja diberi nama Perjanjian Lama (PL). Gereja purba yakin bahwa jika Perjanjian Lama dipahami
pada hakekatnya sebuah kitab kristen yang didalamnya Yesus Kristus disaksikan
selengkapnya. Pendiriran ini dkemukakkan oleh Yustinus Martyr.yang dalam bukunya berjudul “Dialog dengan trypho orang
Yahudi. Inilah suatu interpretasi yang juga secara berulang-ulang dipakai sebagai bukti kebenaran klaim Kristen
terhadap perjanjian lama. Dari teks-teks PL apabila PL dibaca dengan bertolak
dari titik pandang penggenapannya dalam Yesus Kristus. Bagi bapa-bapa gereja PL
dan PB merupakan satu Alkitab. Ayat-ayat dari setiap bagian Alkitab dikutip dalam
nasihat dan perdebatan; masing-masing digunakan dengan makna harafiah dan makna
alegoris.
Ketika
itu kitab suci belum utuh, kanon belum ada atau belum ditentukan artinya belum
ada dasar ukuran ditengah-tengah gereja. Yang mengakibatkan Sinkritisme dalam
abad ke-2 yang menghasilkan beberapa aliran keagamaan yang berusaha menguasai
gereja, yaitu : Gnotisisme, Montanisme dan Marcionisme.
Untuk
membendung ini semua pembentukan kanon adalah keputusan ajaran dasariah yang
pertama dari gereja. Pada
hakikatnya pilihan-pilihan yanng disepakati oleh para pemuka agama gereja purba
sehingga menghasilkan sebuah kanonisasi adalah dengan bantuan Roh Kudus. Ada
beberapa faktor atau kriteria yang penting untuk proses penyaringan, guna
menetapkan kanon, yaitu:
1.
Sifat
ilham ilahi yang hakiki dan otoriter yang dapat dikenal oleh para pemimpin
masyarakat keagamaan melalui penerangan Roh Kudus. Misalnya, penyataan langsung
dari Roh Allah dalam Musa dan Nabi dalam Bilangan 11:16-30, dan penggenapan
perktaan ilahi, seperti dalam Yeremia 28:9, 44:28
2.
Siapa
penulisnya. Hal ini sangat pening dalam menilai kitab-kitab untuk kanonitas dan
pada umumnya orang-orang yang menulis kitab-kitab yang terhimpun dalma kanon
ini menduduki jabatan kepemimpinan yang ditunjuk oleh Allah Seperti Hakim,
Nabi, Imam dan Raja.
3.
Isi
tiap-tiap kitab diteliti sehubungan dengan konsistensi internal dari
pengajarannya dan kesatuan menyeluruhdari tema dan berita dengan pengalaman
pejanjian yang tersurat dalam kitab-kitab lain yang diakui sebagai firman Tuhan.
4.
Kitab
atau tulisan itu menyjikan atau mengandung Yesus Kristus di dalamnya.
Ireneus (kira-kira 130-200) memandang kristus
sebagai penghubung antar kedua perjanjian, sehingga Perjanjian Lama sangat
bernilai untuk mengerti karya Allah dalam sejarah secara utuh, walaupun
Perjanjian Lama lebih rendah bila dilihat dalam kerangka penyataan bertahap.
Tertilianus (kira-kira 160-225) secara sitematis membuktikan kesalahan dualisme
Marcion dan menunjukkan bahwa Alkitab yang dipersingkat Marcion pun masih juga
menyajikan Kristus yang menggenapi hukum taurat dan berita kabar para nabi.
Terakhir Origenes (kira-kira 185-254), mungkin ahli Alkitab terbesar pada zaman
Kristen mula-mula, dan Clemens dari Alksandria (kira-kira 150-215) turut pula
mempertahankan Perjanjian Lama terhadap serangan Marcion.
Dan
ini dilakukan gereja supaya gereja
memiliki tolak ukur untuk menilai sagala peristiwa dan tradisi dan gereja untuk
melawan penyesat-penyesat gereja melalui doktrin-doktrin. Ireneus Kira-kira tahun 200M satu kanon
yang berisi paling sedikit 21 tulisan sudah diakui dan pada petengahan abad ke
4 kanon Perjanjian Baru yang berjumlah 27 kitab diterima secara umum di sinode
Roma 382.
Dalam peribadahan
masa gerja mula-mula lebih mirip dengan kebaktian rumah tangga. Acara
kebaktian dilukiskan sebagai berikut; “kenang-kenangan para Rasul (=kitab-kitab
injil) atau tulisan-tulisan para nabi dibacakan selama waktu tersedia. Setelsh
pembaca selesai, ketua (= uskup), dalam kotbah menyerukan kepada kami agar
meneladani hal-hal yang baik itu. Lalu kami berdoa sambil berdiri.” Jadi, ada
tiga unsur yang disebut di sini: pembacaan Alkitab, Khotbah dan Doa. Khotbah
dibawakan oleh uskup sambil duduk (sama seperti yang menjadi kebiasaan dalam
sinagoge bnd. Luk 4:20); tetapi apabila berdoa orang berdiri. Dari sumber lain
kita tahu ada pula nyanyian. Mengenai otoritas Alkitab gereja Purba
menyumbangkan dua pandangan yang salin bertentangan. Disatu pihak otoritas
kitab suci sejak Yustinus dikukuhkan oleh suatu ajaran tentang inspirasi Alkitab.
Di pihak lain otoritas itu diperlemah oleh metode penfasiran alegoris yang
dikembangkan oleh Origenes. Origenes mengenal tiga penafsiran. Dari pemahaman
diatas dapat kita lihat bahwa pada abad mula-mula gereja sudah mulai menekankan
pengejaran tentang Alkitab, dan Alkitab juga adalah merupakan sentral ibadah
dalam masa mula-mula ini dan Alkitab juga dipandang sebagai kesatuan yang
meberi keaksian tentang Kristus.
1.3.2.
Gereja
dan Alkitab pada Abad Pertengahan (Abad V-XV)
Menjelang akhir abad pertama konsep tradisi menjadi
sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran dan kewibawaan Kitab suci.
Sebagian besar teolog pada abad pertengahan ini berpendapat bahwa isi kitab
suci merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran kristen. Dengan kata lain,
bahwa segala sesuatu yang sangat penting bagi iman kristen terkandung dalam
kitab suci. Menjelang akhir abad pertengahan konsep tradisi telah menjadi
sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran kewibawaan kitab suci. Heiko
A. Oberman menunjukkan bahwa ada dua konsep tradisi yang sangat berbeda yaitu
tradisi 1 dan tradisi 2. Tradisi berarti semata-mata suatu cara tradisional
dalam menafsirkan kitab suci di dalam persekutuan iman.
Namun pada abad ke- 14 dan 15 suatu pengertian yang agak
berbeda dengan tradisi berkembang. Dinyatakan bahwa kitab suci tidak berkata
apa-apa atas sejumlah pokok masalah tetapi Allah telah menakdirkan untuk
menetapkan suatu sumber penyataan kedua untuk melengkapi kekurangan ini; suatu
aliran tradisi yang tidak tertulis, yang kembali kepada rasul-rasul itu
sendiri. Tradisi ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
didalam gereja. Ajaran konsili trento tentu saj dapat dimengerti, bahwa injil
sebagai kabar gembira yang dibawa oleh Yesus sebagian terdapat dalam Alkitab
dan sebagian dalam tradisi (teori dua sumber). Tetapi ajaran konsili ini dapat
juga dimengerti seperti dianutpoleh para teolog abad termahsyur abad
pertengahan, yaitu bahwa Alkitab termuat seluruh kebenaran ilahi pada pokoknya
yang dapat dimengerti betul-betul dalam arti sepenuhnya dalam terang tradisi
(teori dua penerusan).
Sejarah penting kedua dalam abad ini adalah Alkitab
sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa selain Ibrani, Yunani dan Latin
tepatnya pada abad ke-14. Banyak leluhur di dalam iman tidak pernah membaca
atau mendengar Alkitab dalam bahasa ibu mereka, selain dalam bahasa kedua atau
ketiga. Pada abad pertengahan ini segala kegiatan gereja pada hari Minggu
diadakan dalam bahasa latin, termasuk pembacaan kitab suci yang hanya dilakukan
oleh para Imam yang ditahbiskan dan laki-laki yang telah belajar.. Kebanyakan
dari jemaat pada masa abad ini tidak mampu memahami pembacaan Alkitab. Namun,
mereka memiliki gambaran tentang kisah-kisah Alkitab, sering kali diabadikan
pada kaca patri dan patung.
John Wyclif hanya salah satu diantara orang banyak yang
menyerang korupsi dan kesewenangan dalam gereja. Akan tetapi dia orang penting
pada waktu itu, yang menyelidiki praktek-praktek tersebut dan menyerang
doktrin-doktrin katolik pada saat itu. Wyclif memutuskan hubungan dengan
tradisi Katolik ketika ia memilih Alkitab sebagai kewibawaan terkahhir dalam
mencari penyelesaian masalah. Pada tahun 1378 ia menulis De Veritatate Sacrae Scripturae (kebenaran kitab suci), yang di
dalamnya ia menggambarkan Alkitab sebagai norma yang terakhir dan tuntas.
Alkitab memuat segala sesuatu yang perlu untuk diselamatkan, tambah
ditambah-tambah dengan tradisi-tradisi. Selain itu, semua orang kristen harus
membacanya sendiri, bukan hanya rohaniawan. Untuk itu Wyclif mendesak supaya
Alkitab diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari pada masa itu. Disamping itu,
dengan memuliakan Alkitab Wyclif juga menurunkan derajat paus. Dalam karya
tahun 1379, yang berjudul De Potentae
Papae (kekuasaan paus), ia menunjukkan bahwa kepausan adalah jabatan yang
dilembagakan oleh manusia bukan Allah.
Di antara karangan reformator gereja pada abad
pertengahan tersebut, Johanes Hus sangat tertarik pada pandangan Wyclif.
Johanes Hus juga mengajarkan bahwa Alkitab adlah satu-satunya yang memiliki
kewibawaan yang tertinggi dalam gereja dan kekristenan. Disamping itu dia juga
menolak kekuasaan paus di dalam gereja dan di dalam kekristenan. Terjemahan
Alkitab pertama kali ke bahasa Inggris dipelopori oleh John Wycliffe dan diselesaikan
oleh John Purvey pada tahun 1388. Pencetakan
alkitab dengan mesin cetak pertama kali
dilakukan oleh Johannes Gutenberg pada 15 Agustus 1456. Di dalam abad ini kita lihat bahwa mulai percampuran antara tradisi dan
Alkitab yang mengatakan bahwa tradisi dan Alkitab kedudukannya sama dalam
gereja. Yang pada akhirnya terjadi pergerakan reformasi.
1.3.3.
Gereja
dan Alkitab pada Abad Reformasi (Abad
XVI-XVIII)
Reformasi di awali 31 Oktober 1517,
ketika Marthin Luther menempelkan pamflet 95 dalil teologis (akademis) di pintu
gerbang gereja istana di Wittenberg. Tempat di mana dia berdomisili, mengajar
dan sebagai imam. Luther menyusun dalil-dalilnya dengan bertekun dalam doa,
supaya Allah sendiri mengendalikan penanya dan supaya kebijaksanaannya sendiri
berdiam diri. Luther mengatakan : “Allahlah yang telah menuntun aku terus pada
waktu itu sebagai kuda yang dipasangi katup mata”. Penyerahan diri yang
menguatkan Luther sehingga tidak gentar dan takut menghadapi kedua kuasa yang
harus dihadapinya karena kepeduliaanya terhadap gereja. Yaitu kuasa yang
mengancam dari pihak gereja dan Negara (kerajaan).
Pada masa reformasi orang dengan sadar ingin mendasarkan
pandangan pada Alkitab dengan demikian prinsip Alkitab (Sola Scriptura) menjadi
prinsip formal gereja. Mengenai Alkitab Marthin Luther mengajarkan bahwa Alkitab merupakan dasar untuk aturan
iman. Pengakuan iman dan rumusan-rumusan kepercayaan lainnya harus berada
dibawah otoritas Alkitab. Semboyan Marthin Luther untuk hal ini adalah Sola Scriptura, yang berarti: hanya
Alkitab saja. Luther menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di antara
warisa-warisan tradisi gereja lainnya. Sekalipun demikian ia tetap menghargai
tulisan-tulisan bapa-Bapa-bapa gereja seajauh itu menyampaikan dan mangajarkan
firman Allah sebagaimana tertulis dalam Alkitab.
Semua pemikiran teologis Marthin Luther meyakini otoritas
dari kitab suci. Semua teologianya tidak lebih dari usaha untuk menafsirkan
kitab suci. Dalam sebuah interogasi dengan Kardina Cajetanus di Augsburg
(1558), ketika di desak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther
dengan tegas menjawab, “saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian
Kitab suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit paus yang bermakna ganda.”
Lalu pada waktu Cajetanus mengingatkan otoritas Paus terhadap Alkitab, konsili,
dan gereja, Luther menyatakan pendiriannya dengan terus teang, “dia (Paus)
menyelewengkan kitab suci. Saya menyangkal bahwa ia mengatasi kitab suci. Dari
uraian di atas, kita dapat memperhatikan bahwa dalam tradisi Lutheran otoritas
Alkitab sebagai firman Allah benar-benar bersifat sentral. Otoritas tersebut
terutama dilihat dalam pemusatan pemberitaan Alkitab pada Kristus dan dalam
fungsi Alkitab yang menjadi pedoman umat percaya tentang keselamatan di dalam
Kristus.
Johanes Calvin mereformasi jauh sesudah Luther mendahuluinya. Ia termasuk angkatan
kedua reformasi sehingga tidak dapat dipungkiri teologinya bertolak dari
Luther. Calvin menuliskan Institutionya untuk
meberi pegangan kepada mereka yang meneliti Alkitab sebagai sumber ajaran yang
benar. Calvin menegaskan bahwa pengetahuan yang sejati mengenai Allah hanya
dapat diperoleh melalui Alkitab, sebab Alkitablah yang mengandung firman Allah.
Lebih lanjut ia mengatakan karena gereja udah dibangun atas kesaksian para Rasul
dan nabi, singkatnya Alkitab, maka mustahil gereja lebih berwibawa dari pada
Alkitab. Sambil melawan gereja Katolik Roma pada zamannya, Calvin
mempertahankan disini prinsip protestan mengenai Sola Scriptura. Alkitab menetukan ajaran gereja bukan sebaliknya. Calvin
juga mengajarkan bahwa Alkitab juga yang merupakan firman Allah adalah menunjuk
pada peran menentukan yang dimainkan oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang
meyakinkan orang-orang bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bahwa Alkitab adlah
Firman Allah, disaksikan dalam batin manusia oleh Roh Kudus sendiri. Maka dalam
penulisannya oleh para nabi dan rasul, Roh Kuduslah yang telah menggerakkannya
untuk menulis Alkitab tersebut. Tulisan itu bukan berasal dari mereka sendiri,
melainkan berasal dari Allah. Demikianlah kesaksian manusia menjadi kesaksian
Roh Kudus. Dapat dikatakan juga bahwa Alkitab menjadi alat Roh Kudus untuk
menyampaikan firman Allah, dan Roh Kudus sekaligus menggerakkan hati manusia
untuk memperoleh dari tulisan-tulisan manusiawi kebenaran illahi.
Dalam melihat hubungan antara PL dan PB, Calvin
menyatakan orang percaya membaca Alkitab untuk mencari pengetahuan tentang
Allah. Karena Allah menyatakan diri di dalam Yesus Kristus, jelas bahwa kita
harus membaca Alkitab untuk mencari Kristus, yang adalah tujuan dari utama
Hukum Taurat dan para nabi serta injil. Melalui kesaksian para rasul, Kristus
meneruskan, melalui Roh Kudus kepada gereja. Dengan untuk Calvin, seperti juga
Luther, Kristus adlah pusat Alkitab.
Maka Luther dan Calvin memandang sama hal yang mendasar
yakni bahwa Kitab suci memiliki otoritas yang tinggi sebagai penyataan Allah
kepada manusia dan dijadikan sebagai sumber ajaran bagi umat kristiani. Hanya
dalam perkembangannya mereka berbeda dalam hal penafsiran. Dimana Marthin
Luther mengarah subyektif dan Calvin mengarah objektif. Penafsiran tradisioanal
(oleh GKR) ditolak oleh Marthin Luther karena dianggap membatasi pengertian pribadi
akan kitab suci. Akhirnya Alkitab bukanlah salah satu ukuran wibawa diantara
yang lain, seperti halnya ke-Khatolikan Abad pertengahan. Alkitab satu-satunya
ukuran. Dan itu bukanlah ukuran obyektif tetapi Alkitab adalah ukuran sekaligus
obyektif dan subyektif karena di dalamnya dan melaluinya Allah sendiri
berbicara kepada hati manusia. Alkitab menjadikan dirinya sendiri berwibawa.
Ulrich Zwingli membuahkan hasil karya pertamanya Von Klarheit und Gewissheit des Wortes
Gottes (Kejelasan dan kepastian Firman Allah), yang diterbitkan tahun 1522.
Disini Zwingli mengajukan prinsip Protestan mendasarkan tentang Alkitab yang
mempunyai wewenang terakhir. Firman Allah adalah pasti. Kalau Allah berbicara,
terjadilah.
Sementara itu dalam pemahaman gereja Katholik dikenal
dengan istilah apokrifa pada umumnya kitab-kitab Apokrif/ Deutrokanonika dikaran sesudah kitab-kitab Perjanjian
Lama, dan sebahagian dikarang dalam bahasa Yunani, sehingga tidak termuat dalam
bahasa Ibrani. Sewaktu Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani
(Septuaginta), maka kitab-kitab tersebut diikutsertakan, ditambah dengan
beberapa tulisan lainnya.
Dalam pemahaman gereja Khatolik, istilah Apokrifa itu diperguakan, hal itu
menunjukkan brarti tulisan tersebut tidak diilhami dan tidak otentik, sehingga
mereka menghindari istilah tersebut. Maka gereja Khtolik menyebut Kitab-kitab
yang terdapat di dalam Alkitab bahasa Ibrani sebagai kitab-kitab
‘Protokanonik’, sedangkan kitab-kitab tambahan, serta tambahan kepada kitab protokanonik yang hanya terdapat
dalam Pejanjian Lama Yunani dsebut kitab-kitab ‘Deutroknonik’. Gereja Khatolik
Roma pada Konsili Trente (1546 M) dan konsili Vatikan (1870 M) menganggap kitab
Protokanonik dan Deutrokanonik diilhami dan berwibawa dan ditempatkan secara
layak di dalam Perjanjian Lama. Meskipun tidak di dukung Konsili gereja mana
pun, pembedaan antara Kanon I dan kanon II sesudah reformasi umumnya tetap
berlaku pada masa kini. Namun para reformator memahami bahwa mereka tidak
menerima Kitab Apokrifa dan hanya menggesernya sebagai kitab lampiran atau
dianggap hanya sebagai buku bacaan saja yang tidak sama wibawanya dengan kitab
suci.
Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa para reformator
ingin mengembalikan wibawa Alkitab kepada kedudukan yang sebenarnya. Bahwa
Alkitab merupakan sentral dari pengajaran agama kristen tidak bisa disamakan
dengan tradisi dan juga reformasi menekankan pentingnya gereja untuk
mendasarkan diri pada Alkitab (Kontra tradisi gereja).
1.3.4.
Gereja
dan Alkitab Masa Modernitas (Abad XIX-XX)
Dalam masa ini agaknya ada nampak suatu krisis di dunia
modern tentang konsep kewibawaan pada umumnya. Dalam krisis ini terlibat bukan
hanya Alkitab, tetapi juga kewibawaan gereja, kewibawaan synode-synode,
kewibawaan Sri Paus dan kewibawaan pemimpin-pemimpin gereja lain-lainnya,
kewibawaan hukum dan pemerintah. Kertas kerja yang dipersiapkan oleh Dewan
Gereja-gereja se-Dunia mencatat demikian: “agaknya krisis umum tentang
kewibawaan telah muncul pada masa kini; atau sedikit-dikitnya konsep kewibawaan
itu sudah berubah. Kewibawaan lembaga tertentu tidak lagi diakui begitu saja,
tetapi hanya apabila lembaga mau dianggap berwibawa itu sungguh-sungguh
membuktikan kewibawaannya. Maka dengan demikian makin lama makin sulitlah
mempertahankan kewibawaan Alkitab secara Axiomatis atau secara umum”.
Dalam masa ini otoritas gereja tidak lagi dianggap
mutlak. Pembuktiaan kebenaran haruslah bersifat objektif termasuk kebenaran
dari Alkitab. Untuk itu dilakukanlah penelitian-penelitian sejarah Alkitab.
Tujuannya adalah membuktikan apakah kisah-kisah Alkitab itu benar-benar
merupakan fakta sejarah.
Menurut David L. Edward, memang sejak tahun 1930 ada tiga
arus memberi harapan, yaitu arus yang bersifat Alkitabiah, arus yang berusaha
memperbaiki liturgi dan gerakan oikumenis,tetapi ketiga gerakan ini sangat
mengecewakan. “Gerakan Alkitabiah bermaksud mengajak orang-orang melepaskan
pandangan yang fundamentalis terhadap Alkitab, yaitu pandangan yang menganggap
bahwa Alkitab mengandung segala kebenaran dan oleh karenanya harus diterima
seperti apa adanya. Dunia modern sekarang ini sukar untuk menerima pandangan
yang demikian itu. Gerakan ini mengajak orang kembali pada Alkitab dalam arti
yang benar, yaitu dengan memandang Alkitab sebagai kesaksian tentang apa yang
telah dikerjakan oleh Allah di dalam sejarah untuk menyelamatkan manusia.
Alkitab bukan turun dari sorga, melainkan kitab yang ditulis oleh manusia, yang
dipengaruhi oleh zamannya.
Suatu konsep lain yang juga sering muncul dalam hubungan
dengan ide-ide Karl Barth yang menyatakan bahwa Alkab hanya merupakan Firman
Allah bilamana diterima dengan iman dan diberitakan oleh gereja. Konsep ini
menyatakan bahwa scriptura tidak merupakan firman Allah melainkan menjadi
firman Allah. Selain itu sering sekali dilihat bahwa secara dasariah,
pengertian firman Tuhan bila dikenakan pada Alkitab sebenarbya harus
dipertimbangkan bersama-sama dengan pengertian firman Tuhan yang dikenakan pada
Yesus Kristus. untuk yang terakhir ini, “f’ nya memakai huruf besar karena
keyakinan iman Kristen, hanya Yesuslah yang disebut sebagai firman Tuhan (Yoh
1:1) Dialah Sang Kalam itu. Melalui Dia Allah berkomuikasi dengan manusia.
Sementara itu Alkitab sendiri perannya adalah sejauh menyaksikan Sang Firman
saja. Jadi Alkitab tidak sama dan tidak setara dengan firman.
Pada abad ini muncul juga beberapa kelompok-kelompok yang
memberikan pandangan mereka terhadap Alkitab, yaitu:
1.
Kaum
Fundamentalis kata-kata itu berarti bahwa Allah berfirman dan firman-Nya
ditulis da dalam Alkitab,sehingga Kitab Suci itu pasti, atau dengan kata lain,
kitab suci tidak mungkin membuat kesalahan. Ini membuat firman dalam seluruh Alkitab
sebagai sabda Allah yang membimbing umat manusia.
2.
Kaum
Evangelis kata-kata itu berarti bahwa sabda Allah disampaikan secaa langsung
kepada umat manusia yang menulisnya- yang kadang-kadang kurang sempurna dengan
menggunakan kata-kata mereka sendiri. dengan demikian para pembaca dapat
melihat dengan sepintas kepribadian para penulis melalui tulisan mereka, tetapi
kewibawaan Alkitab,sabda Allah tetap tidak dapat diragukan.
3.
Kaum
liberal kata-kata itu berarti bahwa para penulis kitab dipengaruhi oleh sikap
dan pemikiran pada masa itu, dan banyak di antaranya tidak akan dapat lagi
diterima sekarang ini. alkitab berisi firman Allah tetapi bukan sabda Allah
dalam keseluruhannya.
Dari uraian di atas
dapat kita lihat pada masa ini bahwa kewibawaan Alkitab telah mulai diragukan
keadaannya, namun walaupun demikian gereja-gerja hingga saat ini masih memakai
Alkitab sebagi tolak ukur pembenaran dan sumber pengajaan di dalam gereja.
1.3.5.
Gereja
di Indonesia dan khususnya
HKI
Dalam konteks pluralitas
agama-agama di Indonesia dan dalam perspektif ekumenis gereja-gereja sedunia
perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang khas dari pandangan Lutheran tentang
Alkitab, khususnya otoritas Alkitab, harus diformulasikan kembali dalam dialog
dengan konfesi-konfesi yang ada. Tinjauan terhadap dokumen-dokumen konfesional
yang telah diketengahkan di atas menunjukkan bahwa setiap generasi harus
merumuskan kembali tantang jawabnya sesuai dengan panggilan dan tantangan
konteksnya. Keinginan untuk mempertahankan ajaran yang murni (pura doctrina)
sebagai tanda gereja yang benar, tidak perlu beralih menjadi suatu
eksklusifisme konfesional. Seperti yang dikemukakan oleh Pannenberg, umat
percaya harus melihat dengan jeli unsur-unsur mana yang masih relevan dengan
konteks tempatnya berada dan unsur-unsur mana yang sudah tidak relevan lagi.
Misalnya saja, pertikaian sengit pada masa reformasi antara pihak Lutheran dan
Gereja Katolik tidak relevan lagi menandai tantang jawab kita pada masa kini.
Namun kontribusi Lutheran yang penting dalam masalah otoritas Alkitab,
misalnya, dapat ditemukan pada pendirian Luther tentang kebebasan dalam
menafsir Alkitab yang begitu terbatas pada masa reformasi.
Di
samping itu dengan bangkitnya penelitian kritis-historis terhadap Alkitab, pada
masa kini kita tidak dapat lagi membaca Alkitab edengan cara yang sama seperti
pada masa reformasi. Konteks histories baik dari para penulis Alkitab maupun
para pembaca Alkitab masa kini membentuk horizon masing-masing yang sangat
berbeda, bukan saja dari segi waktu tetapi juga dari segi presuposisi kultural
zaman masing-masing. Meminjam istilah Gadamer, untuk mencapai "leburnya
kedua horizon" diperlukan kesadaran akan prapaham (Vorverstaendnis)
dan interaksi hermeneutis antara pembaca dan teks Alkitab. Benar, Alkitab tetap
berbicara dengan otoritas penuh sebagai firman Allah yang relevan bagi
pergumulan umat percaya pada masa kini. Namun, bagaimana firman Allah ini
menyapa manusia dalam konteksnya benar-benar menuntut suatu proses penerjemahan
(Uebertragung) yang terus-menerus kini dan di sini dengan keterbukaan
akan tuntutan Roh Allah. Jadi dalam rangka menerjemahkan firman ini sebagaimana
dinyatakan dalam Alkitab, pandangan Lutheran tentang otoritas Alkitab kiranya
memperlihatkan warnanya sendiri dalam rangka lukisan yang utuh dari seluruh
umat percaya di segala abad dan tempat.
Alkitab memuat pesan yang mesti disampaikan
kepada semua bangsa sepanjang zaman dalam berbagai kontes. Di Indonesia
terdapat banyak suku yang memakai bahsa sendiri, sehingga masalah penerjemahan
perlu diberi perhatian khusus. Terhadap usaha penerjemahan ini, ada yang
berpendirin bahwa teks harus diterjemahkan secara harafiah, bentuk bahsa sumber
tidak dapat diubah karena diangap bahsa surgawi atau bahasa Roh Kudus. Pada hal
sebenarnya bahasa yang dipakai dalam Alkitab bukanlah bahasa khusu yang
diciptkan oleh Roh Kudus, melainkan bahasa manusia biasa yang dipakai pada
zaman Alkitab ditulis. Oleh karena itu, ada yang menyatakan bahwa bahsa sumber
mestinya disesaikan dengan bahasa si penerima agar isi teks dapat menjadi
jelasbagi pembaca masa kini. Dengan demikian yang lebih diutamakan adalah makna
bukan semata-mata mempertahankan bentuk. Pandangan yang disebut terakhir
dikenal sebagai “penerjemahan dinamis”, yang lebih fungsional dan komunikatif, karena
pesan Alkitab itu diungkapkan dengan bentuk-bentuk yang lazim dalam bahasa
penerima. Ini meluruskan penyebaran yang menjangkau segenap lapisan masyarakat
dan sekaligus mempermudah pemahaman isi Alkitab, sehngga masing-masing dapat
memberikan respon terhadap firman itu. Dengan demikian bahwa melalui
penerjemahan, Allah menyapa dan berdialog dengan manusia secara aktual.
II.
Analisa Penyeminar
Alkitab dan
gereja adalah dua unsur yang tak terpisahkan dalam perjalanan Sejarah serta
perkembangan gereja dimulai dari gereja mula-mula hingga gereja modern saat
ini. Hal ini dapat kita lihat bahwa kedua unsur selalu berkaitan. Dari satu
abad kesatu abad selalu mengalami naik turunnya kewibawaan Alkitab tersebut.
Penyeminar melihat bahwa pada awalnya Alkitab hanya
sekumpulan naskah-naskah yang dipakai oleh orang-orang yang percaya pada Tuhan
Yesus sebagai sumber pengajaran bagi mereka dan sumber pengenalan akan Kristus.
Kemudian pada akhirnya hal ini bergeser menjadi sebuah kitab yang terbentuk
dari beberapa kumpulan naskah tersebut. Dalam hal ini Alkitab pun dijadikan
sebagai alat melawan ajaran-ajaran Montanisme, Marcionisme, dan Gnostisisme.
Dengan harapan dapat meredam semua kesalah pahaman tentang pengajaran Kristen.
Alkitab pun dijadikan sebagai tolak ukur atas sebuah kebenaran bagi orang-orang
Kristen. Sumber pengajaran gereja adalah Alkitab tersebut. Walaupun pada dalam
setiap abad Alkitab mengalami kewibawaannya naik turun tapi harus perlu kita
ketahui bahwa dia selalu dijadikan sebagai sentral ataupun pusat pengajaran.
Pada masa modern hingga pada saat ini kebenaran Alkitab
sudah mulai diragukan, hal ini dikarenakan semakin berkembangnya Ilmu
Pengetahuan manusia dan juga semakin canggihnya Tekhnologi yang ada. Namun
Alkitab tidak pernah berubah sebagai tolak ukur kebenaran, hanya saja, berbagai
penafsiran-penafsiran baru sering hadir sebagai hal yang mencurigai Alkitab.
Namun hal ini tidak menjadikan Alkitab tergeser dari fungsi sentral dalam kehidupan
gereja hingga saat ini.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan Alkitab adalah
merupakan sentral pengajaran yang dipakai dalam kehidupan gereja, walaupunpada
dasarnya Alkitab selalu mengalami tantangan dari dalam dirinya. Hal ini dapat
kita lihat mulai dari abad mula-mula munculnya aliran Montanisme, Marcionisme
dan Gnostisisme yang meragukan pengajaran dan alkitab agama kristen pada saat
itu, di abad pertengahan yang disejajarkannya antara otoritas tradisi dan
Alkitab itu sendiri, abad reformasi yang menyerukan bahwa hanya Alkitab dan
harus kembali ke dalam pengajaran yang dilakukan oleh Alkitab, serta abad
reformasi hingga saat ini yang mulai meragukan kebenaran Alkitab dalam
kehidupannya.
IV. Daftar Pustaka
....., Tata Gereja
Huria Kristen Indonesia, Pematangsiantar: Percetakan HKI, 2006,
Althaus, Paul, The
Theology Of Marthin Luther, Philadelphia: Fortress Press, 1979
Bainton, R., Here I
Stand: A Life of Marthin Luther, New York: Abingdon Press, 1950
Baker, David L., Mari
Mengenal Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 1994
Baker, David L., Satu
Alkitab Dua Perjanjian, Jakarta: BPK-GM, 2006
Barr, James. Alkitab
di Dunia Modern, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 36
Beceker, Theol. D., Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001
Beker, Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2009
Berkhof, H. & I.H. Enklaar, Sejarah
Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009
Birdsall,
J. N., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta:
YKBK, 1988
Grant, Robert M. & David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2000
Hadiwijono, Harun, Teologi
Reformatoris Abad ke 20, Jakarta: BPK-GM, 2004
Hill, Andrew E. & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Malang: Gandum
Mas, 2004
Jones, Tony, Allah
Menyapa Anda (Mengenal Praktik Doa Lectio Divina), Jakarta: BPK-GM, 2009
Jonge, Christian de, Apa
Itu Calvinisme?, Jakarta: BPK-GM, 2001
Keene, Michael, Kristianitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2009
Lane, Tony, Runtut
Pijar (Sejarah Pemikiran Kristiani), Jakarta: BPK-GM, 2007
Lohse, Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2004
Mardiatmaja,
Ekklesiologi Makna dan Sejarahnya, Yogyakarta:
Kanisius, 1991
McGrath, Alister E., Sejarah
Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 2006
Niftrik, G. C.
van & B. J. Boland, Dogmatika
Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 1990
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Robert, David & Robert. B. Coote, Apakah Alkitab Benar, Jakarta: BPK-GM,
1997
Sairin, Weinata, Persebaran Firman di Sepanjang Zaman, Jakarta: BPK-GM, 1994
Setiawan, H. M. Nur Kholis & Jaka Soetapa (ed), Meniti kalam Kerukunan, Jakarta: BPK-GM,
2010
SJ, Adolf Heuken, Ensiklopedia
(Jilid A-B), Jakarta: Yayasan Loka Caraka, 2004
Tjen, Anwar, “Kewibawaan
Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Lutheran,” dalam Forum Biblika, No.4,
April, 1994
Verkuyl, J., Aku
Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1995
Wellem, F. D., Kamus
Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM. 2011
Wellem, F.D., Riwayat
Hidup Singkat Tokoh, Jakarta: BPK-GM, 2003
Sumber Website
http://Filed under: Wacana_noviz@6:39 am,
Kitab Apokrif, diakses pada
tanggal 01 April 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Lutheran, diakses pada tanggal 8 April 2013
http://lutheran-hki2011.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses pada tanggal 7 Aril 2013
http://studentsinchrist.blogspot.com/2010/01/fakta-fakta-alkitab.html, diakses pada tanggal 5April 2013, pukul 16.00 wib
http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=157&Itemid=131, diakses pada tanggal 7 April 2013
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment