-->

sosial media

Friday, 16 October 2020

GEREJA DAN ALKITAB

 


Seiring dengan perkembangan zaman, maka peradaban manusia turut juga berkembang. Dengan perkembangan zaman itu manusia banyak mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan semakin kristis terhadap segala hal. Manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dengan apa yang sudah diperolehnya dan beruasaha berkarya sepanjang masa. Dalam keadaan demikian, manusia semakin tertantang menyelidiki segala sesuatu dan ingin membuktikan melalui penelitian-penelitian.

Dalam  keadaan seperi itu, para kaum teolog juga turut mengembangkan teologinya dan berusaha merumuskan pemahaman-pemahamannya dari berbagai latar belakang sudut pandang, hal ini bertujuan untuk lebih mudah dipahami. Akan tetapi sebahagian orang beranggapan bahwa hal ini adalah merupakan hal yang tidak penting. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya pemahaman-pemahaman para kaum teolog dan tentang otoritas Alkitab dalam perkembangan sejarah gereja.  

Dan dalam hal ini, kini kita akan membahas tentang bagaimana sebenarnya perjalanan Gereja dan Alkitab dalam Sejarah Gereja, dan bagaimana otoritas Alkitab dalam setiap fase zaman dan apakah memang Alkitab selalu mempunyai otoritas tertinggi dalam kehidupan gereja, yang dipandang oleh para tokoh-tokoh yang membawa perkembangan ide/ gagasan yang ada menjadi sebuah konsep pemahaman yang baik dan benar dalam memandang Alkitab sebagai Kitab suci.

 

I.       Pembahasan

1.1. Sekilas tentang Gereja

Kata gereja berasal dari bahasa Portugis Igreja, sebagaimana juga kata igreja juga dipakai dalam bahasa Spanyol (iglesia), dan Perancis (Iglise), dengan perubahan-perubahan huruf mati, tanpa, tanpa perubahan arti kata. Dalam bahasa Yunani keta ekklesia berasal dari kata kerja ‘kaleo’ mula-mula dipanggil keluar, yaitu mereka (budak-budak bukan pelayan) yang oleh seorang tentara dipanggil berhimpun untuk menghadiri rapat rakyat. Gereja dipanggil oleh Allah sendiri (Rm. 9:24, Ef. 4:1, 2 Tim. 1:9). Istilah Ekklesia tidak sja diartikan dengan dipanggil  keluar sebagaiman Abraham dipanggil keluar dari dunia kafir (Kej. 12:1). Demikian juga gereja dipanggil keluar dari dunia bagsa-bangsa , “keluar dari gelap menuju kepada terang nya yang ajaib. Sementara KBBI berpendapat bahwa istilah gereja dapat diartikan sebagai gedung (rumah), tempat berdoa dan melakukan upacar agama (Kristen), serta badan (organisasi) umat Kristen yang saat kepercayan, ajaran dan tata caranya. Sebagai penyeminar saya lebih sepndapat dengan KBBI bahwa gereja adalah merupakan tempat peribadahan dan sebagai badan organisasi keagamaan.

 

1.2. Apa itu Alkitab?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Alkitab diartikan sebagai kitab suci agam Kristen yang etrdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Alkitab dalam agama Kristen berarti sabda Allah utama yaitu sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14) yaitu Yesus Kristus. Alkitab terdiri dari 66 kitab kecil dan besar. Ke-66 kitab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu perjanjian lama terdiri dari 39 kitab. Bahasa aslinya adlah Ibrani,. Kitab-kitab tertua dalam kitab perjanjian lama adalah ditulis pada zaman Musa, kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi.  Perjanjian baru terdiri dari 27 kitab dan surat-surat. Bahasa aslinyaadlah bahasa Yunani, kitab utama disebut Injil, memuat sejarah kehidupan Yesus,kelahiran-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya. Lalu menyusullah kitab yang dinamakan Kisah para rasul, yang berisi sejarah terjadinya Kristen, kemudian menyusullah surat-surat yang kebanyakan dari rasul-rasul yang berisi keterangan tentang Injil Yesus. Alkitab ditutup dengan kitab Wahyu kepada Yohanes, yang berisi hal-hal yang akan terjadi dan yang memberitakan bahwa Yesus yang telah datang itu, akan datang kelak. Disamping itu Alkitab juga adalah terdiri dari kepelbagaian cerita, khotbah-khotbah, surat-surat dan doa-doa, syair, nyanyian, dan berbagai aturan-aturan.

 

1.3. Alkitab ditengah-tengah Gereja

1.3.1.      Gereja dan Alkitab pada Abad Mula-mula (Abad I-IV)

Hari kelahiran gereja adalah hari turunnya Roh Kudus (Pentakosta). Namun  tidak langsung seperti yang kita ketahui saat ini.pada saat itu belum mempunyai sistem ajaran, organisasi, dan kitab sucinya. Pada awalnya mereka dianggap dan menganggap diri sebagai bagian dari persekutuan Israel-Yehuda. Kitab yang digunakan pun adalah kumpulan tulisan yang dianggap suci oleh oranng Yahudi yang kemudian gereja diberi nama Perjanjian Lama (PL). Gereja purba yakin bahwa jika Perjanjian Lama dipahami pada hakekatnya sebuah kitab kristen yang didalamnya Yesus Kristus disaksikan selengkapnya. Pendiriran ini dkemukakkan oleh Yustinus Martyr.yang dalam bukunya berjudul “Dialog dengan trypho orang Yahudi. Inilah suatu interpretasi yang juga secara berulang-ulang  dipakai sebagai bukti kebenaran klaim Kristen terhadap perjanjian lama. Dari teks-teks PL apabila PL dibaca dengan bertolak dari titik pandang penggenapannya dalam Yesus Kristus. Bagi bapa-bapa gereja PL dan PB merupakan satu Alkitab. Ayat-ayat dari setiap bagian Alkitab dikutip dalam nasihat dan perdebatan; masing-masing digunakan dengan makna harafiah dan makna alegoris.

Ketika itu kitab suci belum utuh, kanon belum ada atau belum ditentukan artinya belum ada dasar ukuran ditengah-tengah gereja. Yang mengakibatkan Sinkritisme dalam abad ke-2 yang menghasilkan beberapa aliran keagamaan yang berusaha menguasai gereja, yaitu : Gnotisisme, Montanisme dan Marcionisme.

Untuk membendung ini semua pembentukan kanon adalah keputusan ajaran dasariah yang pertama dari gereja. Pada hakikatnya pilihan-pilihan yanng disepakati oleh para pemuka agama gereja purba sehingga menghasilkan sebuah kanonisasi adalah dengan bantuan Roh Kudus. Ada beberapa faktor atau kriteria yang penting untuk proses penyaringan, guna menetapkan kanon, yaitu:

1.      Sifat ilham ilahi yang hakiki dan otoriter yang dapat dikenal oleh para pemimpin masyarakat keagamaan melalui penerangan Roh Kudus. Misalnya, penyataan langsung dari Roh Allah dalam Musa dan Nabi dalam Bilangan 11:16-30, dan penggenapan perktaan ilahi, seperti dalam Yeremia 28:9, 44:28

2.      Siapa penulisnya. Hal ini sangat pening dalam menilai kitab-kitab untuk kanonitas dan pada umumnya orang-orang yang menulis kitab-kitab yang terhimpun dalma kanon ini menduduki jabatan kepemimpinan yang ditunjuk oleh Allah Seperti Hakim, Nabi, Imam dan Raja.

3.      Isi tiap-tiap kitab diteliti sehubungan dengan konsistensi internal dari pengajarannya dan kesatuan menyeluruhdari tema dan berita dengan pengalaman pejanjian yang tersurat dalam kitab-kitab lain yang diakui sebagai firman Tuhan.

4.      Kitab atau tulisan itu menyjikan atau mengandung Yesus Kristus di dalamnya.

  Ireneus (kira-kira 130-200) memandang kristus sebagai penghubung antar kedua perjanjian, sehingga Perjanjian Lama sangat bernilai untuk mengerti karya Allah dalam sejarah secara utuh, walaupun Perjanjian Lama lebih rendah bila dilihat dalam kerangka penyataan bertahap. Tertilianus (kira-kira 160-225) secara sitematis membuktikan kesalahan dualisme Marcion dan menunjukkan bahwa Alkitab yang dipersingkat Marcion pun masih juga menyajikan Kristus yang menggenapi hukum taurat dan berita kabar para nabi. Terakhir Origenes (kira-kira 185-254), mungkin ahli Alkitab terbesar pada zaman Kristen mula-mula, dan Clemens dari Alksandria (kira-kira 150-215) turut pula mempertahankan Perjanjian Lama terhadap serangan Marcion.

Dan  ini dilakukan gereja supaya gereja memiliki tolak ukur untuk menilai sagala peristiwa dan tradisi dan gereja untuk melawan penyesat-penyesat gereja melalui doktrin-doktrin. Ireneus Kira-kira tahun 200M satu kanon yang berisi paling sedikit 21 tulisan sudah diakui dan pada petengahan abad ke 4 kanon Perjanjian Baru yang berjumlah 27 kitab diterima secara umum di sinode Roma 382.

Dalam peribadahan  masa gerja mula-mula lebih mirip dengan kebaktian rumah tangga. Acara kebaktian dilukiskan sebagai berikut; “kenang-kenangan para Rasul (=kitab-kitab injil) atau tulisan-tulisan para nabi dibacakan selama waktu tersedia. Setelsh pembaca selesai, ketua (= uskup), dalam kotbah menyerukan kepada kami agar meneladani hal-hal yang baik itu. Lalu kami berdoa sambil berdiri.” Jadi, ada tiga unsur yang disebut di sini: pembacaan Alkitab, Khotbah dan Doa. Khotbah dibawakan oleh uskup sambil duduk (sama seperti yang menjadi kebiasaan dalam sinagoge bnd. Luk 4:20); tetapi apabila berdoa orang berdiri. Dari sumber lain kita tahu ada pula nyanyian. Mengenai otoritas Alkitab gereja Purba menyumbangkan dua pandangan yang salin bertentangan. Disatu pihak otoritas kitab suci sejak Yustinus dikukuhkan oleh suatu ajaran tentang inspirasi Alkitab. Di pihak lain otoritas itu diperlemah oleh metode penfasiran alegoris yang dikembangkan oleh Origenes. Origenes mengenal tiga penafsiran. Dari pemahaman diatas dapat kita lihat bahwa pada abad mula-mula gereja sudah mulai menekankan pengejaran tentang Alkitab, dan Alkitab juga adalah merupakan sentral ibadah dalam masa mula-mula ini dan Alkitab juga dipandang sebagai kesatuan yang meberi keaksian tentang Kristus.

 

1.3.2.      Gereja dan Alkitab pada Abad Pertengahan (Abad V-XV)

Menjelang akhir abad pertama konsep tradisi menjadi sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran dan kewibawaan Kitab suci. Sebagian besar teolog pada abad pertengahan ini berpendapat bahwa isi kitab suci merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran kristen. Dengan kata lain, bahwa segala sesuatu yang sangat penting bagi iman kristen terkandung dalam kitab suci. Menjelang akhir abad pertengahan konsep tradisi telah menjadi sangat penting dalam hubungannya dengan penafsiran kewibawaan kitab suci. Heiko A. Oberman menunjukkan bahwa ada dua konsep tradisi yang sangat berbeda yaitu tradisi 1 dan tradisi 2. Tradisi berarti semata-mata suatu cara tradisional dalam menafsirkan kitab suci di dalam persekutuan iman.

Namun pada abad ke- 14 dan 15 suatu pengertian yang agak berbeda dengan tradisi berkembang. Dinyatakan bahwa kitab suci tidak berkata apa-apa atas sejumlah pokok masalah tetapi Allah telah menakdirkan untuk menetapkan suatu sumber penyataan kedua untuk melengkapi kekurangan ini; suatu aliran tradisi yang tidak tertulis, yang kembali kepada rasul-rasul itu sendiri. Tradisi ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya didalam gereja. Ajaran konsili trento tentu saj dapat dimengerti, bahwa injil sebagai kabar gembira yang dibawa oleh Yesus sebagian terdapat dalam Alkitab dan sebagian dalam tradisi (teori dua sumber). Tetapi ajaran konsili ini dapat juga dimengerti seperti dianutpoleh para teolog abad termahsyur abad pertengahan, yaitu bahwa Alkitab termuat seluruh kebenaran ilahi pada pokoknya yang dapat dimengerti betul-betul dalam arti sepenuhnya dalam terang tradisi (teori dua penerusan).

Sejarah penting kedua dalam abad ini adalah Alkitab sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa selain Ibrani, Yunani dan Latin tepatnya pada abad ke-14. Banyak leluhur di dalam iman tidak pernah membaca atau mendengar Alkitab dalam bahasa ibu mereka, selain dalam bahasa kedua atau ketiga. Pada abad pertengahan ini segala kegiatan gereja pada hari Minggu diadakan dalam bahasa latin, termasuk pembacaan kitab suci yang hanya dilakukan oleh para Imam yang ditahbiskan dan laki-laki yang telah belajar.. Kebanyakan dari jemaat pada masa abad ini tidak mampu memahami pembacaan Alkitab. Namun, mereka memiliki gambaran tentang kisah-kisah Alkitab, sering kali diabadikan pada kaca patri dan patung.

John Wyclif hanya salah satu diantara orang banyak yang menyerang korupsi dan kesewenangan dalam gereja. Akan tetapi dia orang penting pada waktu itu, yang menyelidiki praktek-praktek tersebut dan menyerang doktrin-doktrin katolik pada saat itu. Wyclif memutuskan hubungan dengan tradisi Katolik ketika ia memilih Alkitab sebagai kewibawaan terkahhir dalam mencari penyelesaian masalah. Pada tahun 1378 ia menulis De Veritatate Sacrae Scripturae (kebenaran kitab suci), yang di dalamnya ia menggambarkan Alkitab sebagai norma yang terakhir dan tuntas. Alkitab memuat segala sesuatu yang perlu untuk diselamatkan, tambah ditambah-tambah dengan tradisi-tradisi. Selain itu, semua orang kristen harus membacanya sendiri, bukan hanya rohaniawan. Untuk itu Wyclif mendesak supaya Alkitab diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari pada masa itu. Disamping itu, dengan memuliakan Alkitab Wyclif juga menurunkan derajat paus. Dalam karya tahun 1379, yang berjudul De Potentae Papae (kekuasaan paus), ia menunjukkan bahwa kepausan adalah jabatan yang dilembagakan oleh manusia bukan Allah.

Di antara karangan reformator gereja pada abad pertengahan tersebut, Johanes Hus sangat tertarik pada pandangan Wyclif. Johanes Hus juga mengajarkan bahwa Alkitab adlah satu-satunya yang memiliki kewibawaan yang tertinggi dalam gereja dan kekristenan. Disamping itu dia juga menolak kekuasaan paus di dalam gereja dan di dalam kekristenan. Terjemahan Alkitab pertama kali ke bahasa Inggris dipelopori oleh John Wycliffe dan diselesaikan oleh John Purvey pada tahun 1388. Pencetakan alkitab dengan mesin cetak pertama kali dilakukan oleh Johannes Gutenberg pada 15 Agustus 1456. Di dalam abad ini kita lihat bahwa mulai percampuran antara tradisi dan Alkitab yang mengatakan bahwa tradisi dan Alkitab kedudukannya sama dalam gereja. Yang pada akhirnya terjadi pergerakan reformasi.

 

1.3.3.      Gereja dan Alkitab pada Abad Reformasi  (Abad XVI-XVIII)

Reformasi di awali 31 Oktober 1517, ketika Marthin Luther menempelkan pamflet 95 dalil teologis (akademis) di pintu gerbang gereja istana di Wittenberg. Tempat di mana dia berdomisili, mengajar dan sebagai imam. Luther menyusun dalil-dalilnya dengan bertekun dalam doa, supaya Allah sendiri mengendalikan penanya dan supaya kebijaksanaannya sendiri berdiam diri. Luther mengatakan : “Allahlah yang telah menuntun aku terus pada waktu itu sebagai kuda yang dipasangi katup mata”. Penyerahan diri yang menguatkan Luther sehingga tidak gentar dan takut menghadapi kedua kuasa yang harus dihadapinya karena kepeduliaanya terhadap gereja. Yaitu kuasa yang mengancam dari pihak gereja dan Negara (kerajaan).

Pada masa reformasi orang dengan sadar ingin mendasarkan pandangan pada Alkitab dengan demikian prinsip Alkitab (Sola Scriptura) menjadi prinsip formal gereja. Mengenai Alkitab Marthin Luther mengajarkan bahwa Alkitab merupakan dasar untuk aturan iman. Pengakuan iman dan rumusan-rumusan kepercayaan lainnya harus berada dibawah otoritas Alkitab. Semboyan Marthin Luther untuk hal ini adalah Sola Scriptura, yang berarti: hanya Alkitab saja. Luther menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi di antara warisa-warisan tradisi gereja lainnya. Sekalipun demikian ia tetap menghargai tulisan-tulisan bapa-Bapa-bapa gereja seajauh itu menyampaikan dan mangajarkan firman Allah sebagaimana tertulis dalam Alkitab.

Semua pemikiran teologis Marthin Luther meyakini otoritas dari kitab suci. Semua teologianya tidak lebih dari usaha untuk menafsirkan kitab suci. Dalam sebuah interogasi dengan Kardina Cajetanus di Augsburg (1558), ketika di desak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther dengan tegas menjawab, “saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian Kitab suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit paus yang bermakna ganda.” Lalu pada waktu Cajetanus mengingatkan otoritas Paus terhadap Alkitab, konsili, dan gereja, Luther menyatakan pendiriannya dengan terus teang, “dia (Paus) menyelewengkan kitab suci. Saya menyangkal bahwa ia mengatasi kitab suci. Dari uraian di atas, kita dapat memperhatikan bahwa dalam tradisi Lutheran otoritas Alkitab sebagai firman Allah benar-benar bersifat sentral. Otoritas tersebut terutama dilihat dalam pemusatan pemberitaan Alkitab pada Kristus dan dalam fungsi Alkitab yang menjadi pedoman umat percaya tentang keselamatan di dalam Kristus. 

Johanes Calvin mereformasi jauh sesudah  Luther mendahuluinya. Ia termasuk angkatan kedua reformasi sehingga tidak dapat dipungkiri teologinya bertolak dari Luther. Calvin menuliskan Institutionya untuk meberi pegangan kepada mereka yang meneliti Alkitab sebagai sumber ajaran yang benar. Calvin menegaskan bahwa pengetahuan yang sejati mengenai Allah hanya dapat diperoleh melalui Alkitab, sebab Alkitablah yang mengandung firman Allah. Lebih lanjut ia mengatakan karena gereja udah dibangun atas kesaksian para Rasul dan nabi, singkatnya Alkitab, maka mustahil gereja lebih berwibawa dari pada Alkitab. Sambil melawan gereja Katolik Roma pada zamannya, Calvin mempertahankan disini prinsip protestan mengenai Sola Scriptura. Alkitab menetukan ajaran gereja bukan sebaliknya. Calvin juga mengajarkan bahwa Alkitab juga yang merupakan firman Allah adalah menunjuk pada peran menentukan yang dimainkan oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang meyakinkan orang-orang bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bahwa Alkitab adlah Firman Allah, disaksikan dalam batin manusia oleh Roh Kudus sendiri. Maka dalam penulisannya oleh para nabi dan rasul, Roh Kuduslah yang telah menggerakkannya untuk menulis Alkitab tersebut. Tulisan itu bukan berasal dari mereka sendiri, melainkan berasal dari Allah. Demikianlah kesaksian manusia menjadi kesaksian Roh Kudus. Dapat dikatakan juga bahwa Alkitab menjadi alat Roh Kudus untuk menyampaikan firman Allah, dan Roh Kudus sekaligus menggerakkan hati manusia untuk memperoleh dari tulisan-tulisan manusiawi kebenaran illahi.

Dalam melihat hubungan antara PL dan PB, Calvin menyatakan orang percaya membaca Alkitab untuk mencari pengetahuan tentang Allah. Karena Allah menyatakan diri di dalam Yesus Kristus, jelas bahwa kita harus membaca Alkitab untuk mencari Kristus, yang adalah tujuan dari utama Hukum Taurat dan para nabi serta injil. Melalui kesaksian para rasul, Kristus meneruskan, melalui Roh Kudus kepada gereja. Dengan untuk Calvin, seperti juga Luther, Kristus adlah pusat Alkitab.

Maka Luther dan Calvin memandang sama hal yang mendasar yakni bahwa Kitab suci memiliki otoritas yang tinggi sebagai penyataan Allah kepada manusia dan dijadikan sebagai sumber ajaran bagi umat kristiani. Hanya dalam perkembangannya mereka berbeda dalam hal penafsiran. Dimana Marthin Luther mengarah subyektif dan Calvin mengarah objektif. Penafsiran tradisioanal (oleh GKR) ditolak oleh Marthin Luther karena dianggap membatasi pengertian pribadi akan kitab suci. Akhirnya Alkitab bukanlah salah satu ukuran wibawa diantara yang lain, seperti halnya ke-Khatolikan Abad pertengahan. Alkitab satu-satunya ukuran. Dan itu bukanlah ukuran obyektif tetapi Alkitab adalah ukuran sekaligus obyektif dan subyektif karena di dalamnya dan melaluinya Allah sendiri berbicara kepada hati manusia. Alkitab menjadikan dirinya sendiri berwibawa. 

Ulrich Zwingli membuahkan hasil karya pertamanya Von Klarheit und Gewissheit des Wortes Gottes (Kejelasan dan kepastian Firman Allah), yang diterbitkan tahun 1522. Disini Zwingli mengajukan prinsip Protestan mendasarkan tentang Alkitab yang mempunyai wewenang terakhir. Firman Allah adalah pasti. Kalau Allah berbicara, terjadilah.

Sementara itu dalam pemahaman gereja Katholik dikenal dengan istilah apokrifa pada umumnya kitab-kitab Apokrif/ Deutrokanonika dikaran sesudah kitab-kitab Perjanjian Lama, dan sebahagian dikarang dalam bahasa Yunani, sehingga tidak termuat dalam bahasa Ibrani. Sewaktu Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka kitab-kitab tersebut diikutsertakan, ditambah dengan beberapa tulisan lainnya.

Dalam pemahaman gereja Khatolik, istilah Apokrifa itu diperguakan, hal itu menunjukkan brarti tulisan tersebut tidak diilhami dan tidak otentik, sehingga mereka menghindari istilah tersebut. Maka gereja Khtolik menyebut Kitab-kitab yang terdapat di dalam Alkitab bahasa Ibrani sebagai kitab-kitab ‘Protokanonik’, sedangkan kitab-kitab tambahan, serta tambahan  kepada kitab protokanonik yang hanya terdapat dalam Pejanjian Lama Yunani dsebut kitab-kitab ‘Deutroknonik’. Gereja Khatolik Roma pada Konsili Trente (1546 M) dan konsili Vatikan (1870 M) menganggap kitab Protokanonik dan Deutrokanonik diilhami dan berwibawa dan ditempatkan secara layak di dalam Perjanjian Lama. Meskipun tidak di dukung Konsili gereja mana pun, pembedaan antara Kanon I dan kanon II sesudah reformasi umumnya tetap berlaku pada masa kini. Namun para reformator memahami bahwa mereka tidak menerima Kitab Apokrifa dan hanya menggesernya sebagai kitab lampiran atau dianggap hanya sebagai buku bacaan saja yang tidak sama wibawanya dengan kitab suci.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa para reformator ingin mengembalikan wibawa Alkitab kepada kedudukan yang sebenarnya. Bahwa Alkitab merupakan sentral dari pengajaran agama kristen tidak bisa disamakan dengan tradisi dan juga reformasi menekankan pentingnya gereja untuk mendasarkan diri pada Alkitab (Kontra tradisi gereja).

 

1.3.4.      Gereja dan Alkitab Masa Modernitas (Abad XIX-XX)

Dalam masa ini agaknya ada nampak suatu krisis di dunia modern tentang konsep kewibawaan pada umumnya. Dalam krisis ini terlibat bukan hanya Alkitab, tetapi juga kewibawaan gereja, kewibawaan synode-synode, kewibawaan Sri Paus dan kewibawaan pemimpin-pemimpin gereja lain-lainnya, kewibawaan hukum dan pemerintah. Kertas kerja yang dipersiapkan oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia mencatat demikian: “agaknya krisis umum tentang kewibawaan telah muncul pada masa kini; atau sedikit-dikitnya konsep kewibawaan itu sudah berubah. Kewibawaan lembaga tertentu tidak lagi diakui begitu saja, tetapi hanya apabila lembaga mau dianggap berwibawa itu sungguh-sungguh membuktikan kewibawaannya. Maka dengan demikian makin lama makin sulitlah mempertahankan kewibawaan Alkitab secara Axiomatis atau secara umum”.

Dalam masa ini otoritas gereja tidak lagi dianggap mutlak. Pembuktiaan kebenaran haruslah bersifat objektif termasuk kebenaran dari Alkitab. Untuk itu dilakukanlah penelitian-penelitian sejarah Alkitab. Tujuannya adalah membuktikan apakah kisah-kisah Alkitab itu benar-benar merupakan fakta sejarah.

Menurut David L. Edward, memang sejak tahun 1930 ada tiga arus memberi harapan, yaitu arus yang bersifat Alkitabiah, arus yang berusaha memperbaiki liturgi dan gerakan oikumenis,tetapi ketiga gerakan ini sangat mengecewakan. “Gerakan Alkitabiah bermaksud mengajak orang-orang melepaskan pandangan yang fundamentalis terhadap Alkitab, yaitu pandangan yang menganggap bahwa Alkitab mengandung segala kebenaran dan oleh karenanya harus diterima seperti apa adanya. Dunia modern sekarang ini sukar untuk menerima pandangan yang demikian itu. Gerakan ini mengajak orang kembali pada Alkitab dalam arti yang benar, yaitu dengan memandang Alkitab sebagai kesaksian tentang apa yang telah dikerjakan oleh Allah di dalam sejarah untuk menyelamatkan manusia. Alkitab bukan turun dari sorga, melainkan kitab yang ditulis oleh manusia, yang dipengaruhi oleh zamannya.

Suatu konsep lain yang juga sering muncul dalam hubungan dengan ide-ide Karl Barth yang menyatakan bahwa Alkab hanya merupakan Firman Allah bilamana diterima dengan iman dan diberitakan oleh gereja. Konsep ini menyatakan bahwa scriptura tidak merupakan firman Allah melainkan menjadi firman Allah. Selain itu sering sekali dilihat bahwa secara dasariah, pengertian firman Tuhan bila dikenakan pada Alkitab sebenarbya harus dipertimbangkan bersama-sama dengan pengertian firman Tuhan yang dikenakan pada Yesus Kristus. untuk yang terakhir ini, “f’ nya memakai huruf besar karena keyakinan iman Kristen, hanya Yesuslah yang disebut sebagai firman Tuhan (Yoh 1:1) Dialah Sang Kalam itu. Melalui Dia Allah berkomuikasi dengan manusia. Sementara itu Alkitab sendiri perannya adalah sejauh menyaksikan Sang Firman saja. Jadi Alkitab tidak sama dan tidak setara dengan firman.

Pada abad ini muncul juga beberapa kelompok-kelompok yang memberikan pandangan mereka terhadap Alkitab, yaitu:

1.      Kaum Fundamentalis kata-kata itu berarti bahwa Allah berfirman dan firman-Nya ditulis da dalam Alkitab,sehingga Kitab Suci itu pasti, atau dengan kata lain, kitab suci tidak mungkin membuat kesalahan. Ini membuat firman dalam seluruh Alkitab sebagai sabda Allah yang membimbing umat manusia.

2.      Kaum Evangelis kata-kata itu berarti bahwa sabda Allah disampaikan secaa langsung kepada umat manusia yang menulisnya- yang kadang-kadang kurang sempurna dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri. dengan demikian para pembaca dapat melihat dengan sepintas kepribadian para penulis melalui tulisan mereka, tetapi kewibawaan Alkitab,sabda Allah tetap tidak dapat diragukan.

3.      Kaum liberal kata-kata itu berarti bahwa para penulis kitab dipengaruhi oleh sikap dan pemikiran pada masa itu, dan banyak di antaranya tidak akan dapat lagi diterima sekarang ini. alkitab berisi firman Allah tetapi bukan sabda Allah dalam keseluruhannya.

Dari uraian di atas dapat kita lihat pada masa ini bahwa kewibawaan Alkitab telah mulai diragukan keadaannya, namun walaupun demikian gereja-gerja hingga saat ini masih memakai Alkitab sebagi tolak ukur pembenaran dan sumber pengajaan di dalam gereja.

 

1.3.5.   Gereja di Indonesia dan khususnya HKI

            Dalam konteks pluralitas agama-agama di Indonesia dan dalam perspektif ekumenis gereja-gereja sedunia perlu diperhatikan bahwa kontribusi yang khas dari pandangan Lutheran tentang Alkitab, khususnya otoritas Alkitab, harus diformulasikan kembali dalam dialog dengan konfesi-konfesi yang ada. Tinjauan terhadap dokumen-dokumen konfesional yang telah diketengahkan di atas menunjukkan bahwa setiap generasi harus merumuskan kembali tantang jawabnya sesuai dengan panggilan dan tantangan konteksnya. Keinginan untuk mempertahankan ajaran yang murni (pura doctrina) sebagai tanda gereja yang benar, tidak perlu beralih menjadi suatu eksklusifisme konfesional. Seperti yang dikemukakan oleh Pannenberg, umat percaya harus melihat dengan jeli unsur-unsur mana yang masih relevan dengan konteks tempatnya berada dan unsur-unsur mana yang sudah tidak relevan lagi. Misalnya saja, pertikaian sengit pada masa reformasi antara pihak Lutheran dan Gereja Katolik tidak relevan lagi menandai tantang jawab kita pada masa kini. Namun kontribusi Lutheran yang penting dalam masalah otoritas Alkitab, misalnya, dapat ditemukan pada pendirian Luther tentang kebebasan dalam menafsir Alkitab yang begitu terbatas pada masa reformasi.

            Di samping itu dengan bangkitnya penelitian kritis-historis terhadap Alkitab, pada masa kini kita tidak dapat lagi membaca Alkitab edengan cara yang sama seperti pada masa reformasi. Konteks histories baik dari para penulis Alkitab maupun para pembaca Alkitab masa kini membentuk horizon masing-masing yang sangat berbeda, bukan saja dari segi waktu tetapi juga dari segi presuposisi kultural zaman masing-masing. Meminjam istilah Gadamer, untuk mencapai "leburnya kedua horizon" diperlukan kesadaran akan prapaham (Vorverstaendnis) dan interaksi hermeneutis antara pembaca dan teks Alkitab. Benar, Alkitab tetap berbicara dengan otoritas penuh sebagai firman Allah yang relevan bagi pergumulan umat percaya pada masa kini. Namun, bagaimana firman Allah ini menyapa manusia dalam konteksnya benar-benar menuntut suatu proses penerjemahan (Uebertragung) yang terus-menerus kini dan di sini dengan keterbukaan akan tuntutan Roh Allah. Jadi dalam rangka menerjemahkan firman ini sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, pandangan Lutheran tentang otoritas Alkitab kiranya memperlihatkan warnanya sendiri dalam rangka lukisan yang utuh dari seluruh umat percaya di segala abad dan tempat.

Alkitab memuat pesan yang mesti disampaikan kepada semua bangsa sepanjang zaman dalam berbagai kontes. Di Indonesia terdapat banyak suku yang memakai bahsa sendiri, sehingga masalah penerjemahan perlu diberi perhatian khusus. Terhadap usaha penerjemahan ini, ada yang berpendirin bahwa teks harus diterjemahkan secara harafiah, bentuk bahsa sumber tidak dapat diubah karena diangap bahsa surgawi atau bahasa Roh Kudus. Pada hal sebenarnya bahasa yang dipakai dalam Alkitab bukanlah bahasa khusu yang diciptkan oleh Roh Kudus, melainkan bahasa manusia biasa yang dipakai pada zaman Alkitab ditulis. Oleh karena itu, ada yang menyatakan bahwa bahsa sumber mestinya disesaikan dengan bahasa si penerima agar isi teks dapat menjadi jelasbagi pembaca masa kini. Dengan demikian yang lebih diutamakan adalah makna bukan semata-mata mempertahankan bentuk. Pandangan yang disebut terakhir dikenal sebagai “penerjemahan dinamis”, yang lebih fungsional dan komunikatif, karena pesan Alkitab itu diungkapkan dengan bentuk-bentuk yang lazim dalam bahasa penerima. Ini meluruskan penyebaran yang menjangkau segenap lapisan masyarakat dan sekaligus mempermudah pemahaman isi Alkitab, sehngga masing-masing dapat memberikan respon terhadap firman itu. Dengan demikian bahwa melalui penerjemahan, Allah menyapa dan berdialog dengan manusia secara aktual.

 

II.     Analisa Penyeminar

  Alkitab dan gereja adalah dua unsur yang tak terpisahkan dalam perjalanan Sejarah serta perkembangan gereja dimulai dari gereja mula-mula hingga gereja modern saat ini. Hal ini dapat kita lihat bahwa kedua unsur selalu berkaitan. Dari satu abad kesatu abad selalu mengalami naik turunnya kewibawaan Alkitab tersebut.

Penyeminar melihat bahwa pada awalnya Alkitab hanya sekumpulan naskah-naskah yang dipakai oleh orang-orang yang percaya pada Tuhan Yesus sebagai sumber pengajaran bagi mereka dan sumber pengenalan akan Kristus. Kemudian pada akhirnya hal ini bergeser menjadi sebuah kitab yang terbentuk dari beberapa kumpulan naskah tersebut. Dalam hal ini Alkitab pun dijadikan sebagai alat melawan ajaran-ajaran Montanisme, Marcionisme, dan Gnostisisme. Dengan harapan dapat meredam semua kesalah pahaman tentang pengajaran Kristen. Alkitab pun dijadikan sebagai tolak ukur atas sebuah kebenaran bagi orang-orang Kristen. Sumber pengajaran gereja adalah Alkitab tersebut. Walaupun pada dalam setiap abad Alkitab mengalami kewibawaannya naik turun tapi harus perlu kita ketahui bahwa dia selalu dijadikan sebagai sentral ataupun pusat pengajaran.

Pada masa modern hingga pada saat ini kebenaran Alkitab sudah mulai diragukan, hal ini dikarenakan semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan manusia dan juga semakin canggihnya Tekhnologi yang ada. Namun Alkitab tidak pernah berubah sebagai tolak ukur kebenaran, hanya saja, berbagai penafsiran-penafsiran baru sering hadir sebagai hal yang mencurigai Alkitab. Namun hal ini tidak menjadikan Alkitab tergeser dari fungsi sentral dalam kehidupan gereja hingga saat ini.

 

III. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan Alkitab adalah merupakan sentral pengajaran yang dipakai dalam kehidupan gereja, walaupunpada dasarnya Alkitab selalu mengalami tantangan dari dalam dirinya. Hal ini dapat kita lihat mulai dari abad mula-mula munculnya aliran Montanisme, Marcionisme dan Gnostisisme yang meragukan pengajaran dan alkitab agama kristen pada saat itu, di abad pertengahan yang disejajarkannya antara otoritas tradisi dan Alkitab itu sendiri, abad reformasi yang menyerukan bahwa hanya Alkitab dan harus kembali ke dalam pengajaran yang dilakukan oleh Alkitab, serta abad reformasi hingga saat ini yang mulai meragukan kebenaran Alkitab dalam kehidupannya.

 

IV. Daftar Pustaka

....., Tata Gereja Huria Kristen Indonesia, Pematangsiantar: Percetakan HKI, 2006,

Althaus, Paul, The Theology Of Marthin Luther, Philadelphia: Fortress Press, 1979

Bainton, R., Here I Stand: A Life of Marthin Luther, New York: Abingdon Press, 1950

Baker, David L., Mari Mengenal Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 1994  

Baker, David L., Satu Alkitab Dua Perjanjian, Jakarta: BPK-GM, 2006

Barr, James. Alkitab di Dunia Modern, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 36

Beceker, Theol. D., Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2001

Beker, Dieter, Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2009

Berkhof, H. & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009

 Birdsall, J. N., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta: YKBK, 1988

Grant, Robert M. & David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2000

Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke 20, Jakarta: BPK-GM, 2004

Hill, Andrew E. & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004

Jones, Tony, Allah Menyapa Anda (Mengenal Praktik Doa Lectio Divina), Jakarta: BPK-GM, 2009

Jonge, Christian de, Apa Itu Calvinisme?, Jakarta: BPK-GM, 2001

Keene, Michael, Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2009

Lane, Tony, Runtut Pijar (Sejarah Pemikiran Kristiani), Jakarta: BPK-GM, 2007

Lohse, Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2004

Mardiatmaja, Ekklesiologi Makna dan Sejarahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1991

McGrath, Alister E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 2006

Niftrik, G. C.  van & B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK-GM, 1990

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995

Robert, David & Robert. B. Coote, Apakah Alkitab Benar, Jakarta: BPK-GM, 1997

Sairin, Weinata, Persebaran Firman di Sepanjang Zaman, Jakarta: BPK-GM, 1994

Setiawan, H. M. Nur Kholis & Jaka Soetapa (ed), Meniti kalam Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2010

SJ, Adolf Heuken, Ensiklopedia (Jilid A-B), Jakarta: Yayasan Loka Caraka, 2004

Tjen, Anwar, “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang Seorang Lutheran,” dalam Forum Biblika, No.4, April, 1994

Verkuyl, J., Aku Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1995

Wellem, F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM. 2011

Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh, Jakarta: BPK-GM, 2003

 

Sumber Website

http://Filed under: Wacana_noviz@6:39 am, Kitab Apokrif, diakses pada tanggal 01 April 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Lutheran, diakses pada tanggal 8 April 2013

http://lutheran-hki2011.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses pada tanggal 7 Aril 2013

http://studentsinchrist.blogspot.com/2010/01/fakta-fakta-alkitab.html, diakses pada tanggal 5April 2013, pukul 16.00 wib

http://www.alkitab.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=157&Itemid=131, diakses pada tanggal 7 April 2013

Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim