Arti dan makna kehidupan dalam Kitab Pengkhotbah (Arti dan makna kehidupan dalam kitab Pengkhotbah diperhadapkan dengan pemahaman dalam ilmu pengetahuan science, sistematika, ilmu agama-agama, agama suku, kaum ateis, di tengah-tengah krisis kehidupan manusia masakini)
I.
Latar
Belakang Masalah
Seluruh sejarah umat manusia adalah wujud dari rentetan usahanya menemukan hakikat diri dan makna hidup. Sebab dalam adanya rasa dan kesadaran akan makna hidup, kebahagiaan dapat terwujud. Eesadaran hidup bermakna dan bertujuan diperoleh orang hampir semata-mata karena dia mempunyai tujuan yang diyakini cukup berharga untuk diperjuangkan, kalau perlu dengan pengorbanan. Hanya saja, mengatakan hidup orang bermakna, atau mungkin sangat bermakna, tidak dengan sendirinya mengatakan bahwa hidup orang itu bernilai positif, yakni baik. Sebab bisa disebutkan dua contoh paradoks yang keduanya hidup penuh makna. Pertama, bisa disebutkan tokohtokoh seperti Nabi Muhammad saw., Nabi Isa al-Masih a.s., Mahatma Ghandhi, Bung Karno, Bung Hatta, dan Iain-lain, adalah tokoh-tokoh kebaikan. Sementara kedua, sebut saja tokoh-tokoh lain seperti Hitler, Stalin, Pol Pot, James Jones (pendiri sekte People's Temple), Bhagwan Shri Rajneesh, dan Iain-lain yang merupakan tokoh-tokoh kejahatan. Namun semuanya diketahui telah menempuh hidup penuh makna, dengan tingkat kesungguhan dan dedikasi yang luar biasa kepada perjuangan mencapai tujuan mereka, positif atau baik maupun negatif atau jahat. Berdasarkan pernyataan di atas, tampak jelas bahwa selain ada masalah makna dan tujuan hidup, juga tidak kurang pentingnya, ialah persoalan "nilai" makna dan tujuan hidup itu. Karena hampir setiap orang merasa mempunyai tujuan hidup, maka mungkin persoalan nilai makna dan tujuan hidup itu sendiri justru lebih penting.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian Hidup Secara Umum
Hidup
adalah bentuk atau kualitas eksistensi yang membedakan maklhuk hidup dari benda
mati.Karakteristik kehidupan yang dimiliki oleh semua organisme hidup adalah
pertumbuhan, reproduksi, metabolisme, dan kemampuan untuk menanggapi
rangsangan.[1]
Hidup berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya,
bertempat tinggal (diam), mengalami kehidupan dalam keadaan atau dengan cara
tertentu.[2] Selain itu hidup merupakan
keberadaan spiritual dianggap melampaui kematian jasmani.[3]
2.2. Konsep Hidup dalam Perjanjian Lama
Dalam istilah Ibrani untuk kata hidup/kehidupan adalah
הׇיkhay (Tunggal) atau הׇיִםkhayim (Jamak), yang terdapat 147 kali
dalam Perjanjian Lama.Kata kerjanya yaitu הׇיׇהkhayah pada awalnya berarti lamanya
waktu seseorang hidup, biasanya jumlah tahun tertentu.[4]Selain bermakna lamanya waktu
hidup, kata ini juga berarti status kehidupan yang berlawanan dengan kematian
(2 Sam. 15:21; Kej. 27:46), (kepemilikian atau sukacita) hidup atau kesehatan
atau totalitas (Mzm. 56:14; Yer. 21:8), serta mata pencaharian (Ams. 27:27).[5]
Bagi orang Ibrani hidup/kehidupan
mempunyai makna selain makna kehidupan fisik.Bagi mereka, hidup adalah
aktivitas atau keadaan yang baik/kesejahteraan. Penggunaan kata ini dalam PL
didasarkan atas konsep gerekan, aktivitas.Hal ini dikuatkan terutama karena
adakalanya kata ini digabungkan dengan שלום
(Shalom).Dalam kitab hikmat, semua jalan hikmat adalah shalom dan bahwa hikmat adalah pohon kehidupan bagi mereka yang
bersandar padaNya (Ams. 3:17) yang berbicara tentang panjang umur, kekayaan, kehormatan
dan kebahagiaan.Maleakhi 2:5 menyatakan bahwa perjanjian Allah dengan orang
Lewi adalah perjanjian “Hidup dan Damai”.Ada juga hubungannya dengan berkat
(Ul. 18; 30:16; 30:19).Karenanya kehidupan berarti berkat dan kematian adalah
kutuk.[6]
Selain itu, kehidupan juga
berarti kesehatan atau kehidupan yang penuh.Hidup artinya bukan hanya tetap
hidup, melainkan juga menikmati suatu hidup yang penuh, kaya dan bahagia.Sering
juga berarti “kuat dan sehat”. Orang Israel digigit ular di padang gurun,
melihat pada tiang ular dan “hidup” atau disembuhkan (Ul. 21:8). Hidup dihubungkan dengan
“kepemilikan tanah” (Ul. 4:1; 5:33; 8:1).Jika demikian, hidup hanya didapatkan
dengan menjaga perintah Allah.[7]
2.3. Arti dan Makna Kehidupan Secara Umum
Makna
hidup adalah suatu tujuan kenapa manusia ada dan kenapa kita ada. Sebab
asumsinya adalah manusia tidak selalu ada dan pernah tidak ada. Jadi
kehadirannya dianggap membawa suatu makna tertentu.Kejadian 1:26-29,
berfirmanlah Allah :"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia ; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah :
"Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di
seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah yang akan
menjadi makananmu."
Secara
umum Allah menciptakan manusia dengan tujuan:
a.
Untuk menjadi wakil Allah di bumi.
b.
Memerintah segala isi bumi ini atau alam semesta, juga menunjukkan
manusia itu diciptakan Tuhan untuk menikmati semua karya ciptaan Tuhan.
Tujuan utama atau tujuan puncak manusia diciptakan Tuhan adalah
untuk menikmati Tuhan, untuk dirinya bersekutu dengan Tuhan, dan menikmatiNya.
Standar
atau kriteria penciptaan manusia adalah hal yang sangat-sangat khusus, yang
juga menandakan betapa spesialnya dan berharganya manusia itu.Semua ciptaan,
diciptakan Tuhan melalui perkataanNya, tapi hanya satu ciptaan yang diciptakan
dengan tangan Tuhan yaitu manusia. Alkitab mencatat hal itu untuk menunjukkan
betapa khususnya manusia, sehingga Tuhan perlu mendisainnya dengan tanganNya
sendiri dan Tuhan yang menghembuskan nafas kehidupan ke dalam manusia itulah
yang menghidupkan manusia. Dr. Victor Frankle adalah seorang terapi yang
menekankan bahwa manusia itu harus mempunyai makna hidup, tanpa makna hidup
manusia sebetulnya kehilangan hidup itu sendiri.[8]
2.4. Arti dan Makna Hidup dalam Kitab Pengkhotbah
Kitab
Pengkhotbah adalah salah satu kitab sastera hikmat yang terdapat dalam kitab
PL. Secara etimologi pengkhotbah berasal dari kata Ibr Qohelet dengan akar kata qahal
yang artinya sidang atau pertemuan, sehingga pengkhotbah adalah orang yang
berdiri di depan sidang/ jemaat untuk mengajar atau memberitahukan jalan-jalan
Tuhan. Ibrani kuno awalnya memakai istilah “hossoperet”artinya:
orang yang cerdas dan pintar, sehingga orang yang berdiri di depan jemaat
tersebut adalah orang-orang yang cerdas dan pintar. Septuaginta memakai istilah
ekklesia artinya jemaat atau gereja.
Sebagai pengajar yang bijaksana maka tujuan pengajaran adalah memahami arti dan
makna kehidupan.[9]
Kitab ini sesungguhnya menyatakan bahwa Allah mengetahui apa yang sedang
terjadi dan umatNya harus bergantung pada-Nya serta melayani Dia. Kitab ini
memperingatkan agar hati-hati dalam hidup karena manusia harus mempertanggung
jawabkan kepada Dia. Penulis seakan-akan berkata: “Marilah kita melihat
bagaimana rasanya hidup tanpa Allah? Apa yang akan diperoleh jika hanya hidup
untuk hal-hal duniawi? Hidup menjadi sia-sia dan hampa, menjengkelkan dan penuh
dengan penderitaan. Namun, Allah bisa mengubah semua itu.[10]
Kehidupan dalam
Kitab Pengkhotbah adalah sebagaimana yang dijalani manusia, dimana dalam kitab
ini mengatakan bahwa tanpa Allah hidup adalah sia-sia, tiada arti, tiada
tujuan, kosong, dan merupakan sebuah gambaran yang suram. Kehidupan ini tidak
adil, bekerja itu tidak ada gunanya, kesenangan tidak dapat memberi kepuasan,
kehidupan yang baik dan pikiran yang bijaksana menjadi sia-sia karena pada
akhirnya menghadapi kematian.[11] Dalam pasal-pasal pertama
kitab Pengkhotbah, pernyataan demi pernyataan dari Pengkhotbah yang tidak
biasa, ia mengatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (Pengkhotbah 1:2).
Ungkapan kesia-siaan ini mendominasi dan dapat ditemukan hampir di seluruh
bagian pasal dalam kitab tersebut. Dan bagi Pengkhotbah, segala sesuatu adalah
kesia-siaan.[12]
Kitab Pengkhotbah ini bukan berisi khotbah agar pembaca meyakini hidup,
bekerja, dan belajar adalah sia-sia. Tetapi Pengkhotbah mengajak manusia untuk
merenung dan menimbang secara kritis segala aspek kehidupan ini, mulai dari
tingkah laku manusia, termasuk makna dan tujuan hidup sendiri. Pengkhotbah
bergumul lalu menyadari bahwa semakin keras ia berusaha memaknai hidup, semakin
ia menyadari bahwa hal tersebut adalah sia-sia. Menurut Pengkhotbah, ternyata
tidak semuanya sia-sia. Ada satu yang tidak, yaitu Allah. Pengkhotbah mengajak
orang untuk menikmati hidup pemberian Allah. Pengkhotbah mengajak untuk tunduk
kepada Allah karena Allah-lah yang tahu segalanya dan hanya Dialah yang tidak
sia-sia.[13]
Penemuan Pengkotbah membuktikan bahwa
semua peristiwa dan pengalaman yang dilakukan oleh manusia adalah kesia-siaan
atau useha untuk menjaring angin. Selain itu kitab pengkotbah juga mengatakan
bahwa Hikmat pun sia-sia dan tidak berdaya karena kekesalan tumbuh sama kuat
dan cepat dengan hikmat itu, dan kemajuan pengetahuan menambah kesengsaraann.
(1:218). Olch karena itu dalam kitab Pengkotbah juga terdapat penekanan tentang
Presdestinasi. Kegiatan dan tingkah laku manusia mempunyai pola yang tetap dan
sama dengan pola kogiatan dan tingkah laku alam (3:1-8) Apa yang telah dibuat
oleh Allah tak' akan dapat berubab dan diubah dan tak ada hal baru yang muncul
serta dapat mengubah arah keberadaan sesuatu. Kesusahan kedudukan manusia telah
ditetapkan dan dimateraikan oleh kenyataan bahwa Allah telah menaruh sıfat
kekekalan di dalam hati manusia Dengan kata lain manusia memang dibuat tidak
puas dengan pemahamanya yang sepotong-potong tentang dunia ini, sekaligus ia
tidak dimampukan untuk melengkapkan pemahamanya itu, ia memang ditakdirkan
untuk bingung dan hampa sia-sia Gambaran tentang dunia dimana manusia dimana
manusia hidup adalah' gambaran kekacauan nilai-nilai moral yang memang intheren
dalam dunia ini," inilah yang dimaksudkan pengkotbah bahwa jika kita
menghilangkan kemungkinan eksistensi Allah maka hidup kita tidak akan
berarti" dan Sebenamya yang dimaksud dengnn kesia-siaan dalam kitab ini
ialah: dimana, kata ībrani yang dipakai untuk sia-sia dalam kitab ini adalah
hebel berarti breath (nafas), breeze (hembusan angin, selain itu kata hebel
juga berarti tidak berguna dan kekosongan. Ada pula yang menerjemahkanya dengan
meaningless yang tidak ada artinya Menurut Gerrit Singgih pemakaian ungkapan
hebel tersebut dalam kitab par.gkotbah hendak menunjukkan bahwa hidup ini
sebagai yang absurb, dalam arti ada jurang yang besar antara apa diharapkan dan
apa yang dialami manusia. Kegiatan yang absurd adalah usaha yang terus menerus
diulangi tetapi tidak rampung Kitab pengkotbah bukan berisi kotbah agar pembaca
meyakini bahwa hidup, bekerja, dan belajar adalah sia-sia. Malahan pengkotbah
mengajak manusia untuk merenung dan menimbang secara kritis. segala aspek
kehidupan ini melalui tingkah laku manusia termasuk makna dan tujuan hidup itu
sendiri. Perngkotbah juga sebenarnya hendak memperlihatkan kepada pembaca bahwa
kenyataan itu apa adanya, realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan
ini..[14] Seluruh hidup kita akan
bermakna bila kita menjalaninya dalam takut akan Allah. Segala sesuatu pun akan
bermakna bila dikerjakan dan dipergunakan dalam ketundukan kepada Allah.
Mengapa? Karena itulah ketetapan Allah bagi setiap orang. Selain itu, kelak
Allah akan menuntut pertanggungjawaban kita, la akan menghakimi segala
perbuatan kita menurut keadilan dan kebenaran-Nya. Apakah gunanya kepuasan
selama hidup yang singkat di dunia ini bila kelak kita menerima penghukuman
kekal? Karcna itu, penting bagi kita untuk senantiasa mengarahkan pandangan
kita kepada kekekalan selama menjalani hidup di dunia ini. Penting pula bagi
kita untuk memiliki juruselainat yang daput menjamin keselamatan kekal kita
Bila. tidak, kita akan terus-menerus dihinggapi ketakutan dan kekuatiran akan
kematiun Akhirnya, hanya di dalam Allah sajalah ada kepuasan dan damai
sejahtera yang sejati. Hanya di dalam Dia sajalah ada kehidupan yang bermakna
Dialah satu-satunya jawaban dari segala kesia-siaan hidup kita. [15]
2.5.
Arti dan Makna Hidup Dalam Science
Secara biologis, manusia tidak berbeda
dari makhluk hidup yang lain, khususnya hewan. Manusia tidak lepas dari semua
ciri-ciri makhluk hidup yang disampaikan di atas (zoe dalam tulisan Pak
Yasraf). Fisiologi manusia serupa dengan mamalia – kita memiliki kelenjar
mammae, menumbuhkan rambut dan berkembang biak secara vivipar (beranak). Secara
fisiologis juga, manusia adalah makhluk yang sangat biasa. Kemampuan lari
manusia jauh di bawah banyak mamalia lainnya seperti rusa, kuda atau singa,
tetapi tidak juga kita selambat kukang dan kura-kura. Kemampuan pendengaran
kita ada dalam rentang yang terbatas, demikian pula indra penciuman dan
penglihatan kita. Ukuran tubuh manusia tidak cukup besar, tetapi juga tidak
terlalu kecil sehingga lebih mudah untuk dimangsa. Rambut manusia jauh lebih
tipis ketimbang rambut pada beruang atau kucing, sehingga manusia lebih tidak
toleran terhadap kondisi dingin dibandingkan hewan lainnya. Secara evolutif,
dibandingkan dengan banyak mamalia lain, manusia adalah organisme yang sangat
lemah. Kemampuan fisik manusia sangat terbatas, meskipun dengannya manusia
tetap mampu memangsa hewan lain sehingga ia tidak berada di dasar jaring-jaring
makanan. Hal ini menarik untuk dilihat karena ‘produk terunggul’ dari evolusi,
jika memang benar itu kita, tidak berasal dari organisme yang terkuat dan
dominan, terbesar, ataupun tercepat.[16]
Terlepas dari kesamaan dan ke-‘biasa’-an
manusia, harus diakui bahwa manusia juga memiliki keunikan yang memungkinkan
kita mampu melakukan hal-hal yang secara fisik tidak dapat dilakukan oleh hewan
lain. Manusia dan keluarga primata memiliki ibu jari yang posisinya berhadapan
dengan jari-jari lainnya (opposable thumb). Kondisi fisik ini memungkinkan
primata untuk mencengkeram dan menggunakan alat secara lebih bebas dibandingkan
hewan lainnya. Banyak penelitian menunjukkan bagaimana simpanse mampu
menggunakan ranting untuk mengambil semut atau batu untuk memecahkan biji yang
keras. Lebih lanjut, manusia memiliki tangan yang relatif lebih pendek dari
kakinya dan postur tubuh yang memungkinkan dia untuk berjalan dengan dua kaki.
Hal ini juga memberi keleluasaan bagi manusia untuk menggunakan tangannya
secara lebih bebas lagi untuk keperluan lain. Hal lain yang unik pada
manusia adalah struktur pita suara dan lidahnya yang memungkinkan manusia untuk
menghasilkan berbagai bentuk suara. Kemampuan suara kita tentunya tidak seindah
burung, tetapi manusia mampu menghasilkan berbagai perpaduan fonem dan morfem
yang menjadi dasar pembentukan bahasa. Berbeda dengan burung dan beberapa
mamalia lainnya, kemampuan suara manusia tidak terbatas pada satu jenis kelamin
saja, sehingga komunikasi yang sifatnya lebih mendasar daripada sekadar
perilaku kawin dapat terbentuk. Kombinasi dari kondisi fisik ini setidaknya
menjadi modal dasar bagi berkembangnya budaya peralatan dan penggunaan bahasa,
yang mana keduanya unik pada manusia. Akan tetapi, mengapa kera yang juga menggunakan
alat atau bahasa tidak berkembang sejauh kita?. Di banyak tulisan di dalam
ranah biologi dan antropologi biologis, keunggulan manusia yang paling utama
adalah di dalam otaknya. ukuran otaknya, relatif terhadap tubuhnya. Dari
bukti-bukti fosil, diketahui bahwa ‘manusia purba’ seperti Australopithecus dan
Pithecanthropus berjalan dengan dua kaki terlebih dahulu sebelum kemudian
secara evolutif menunjukkan perbedaan di ukuran otak. Richard Dawkins, seorang
ahli biologi yang terkenal melalui bukunya The Selfish Genes, berargumen bahwa
kondisi tersebut secara bertahap memungkinkan otak manusia purba untuk
membesar. Saat ini diketahui bahwa manusia memiliki rasio otak-tubuh
(encephalization quotient) yang tertinggi. Meskipun demikian, beberapa jenis hewan
seperti tikus tanah memiliki rasio yang tinggi pula, sekalipun hewan tersebut
tidak menunjukkan kecerdasan yang tinggi. Beberapa ilmuwan kemudian mengajukan
bahwa perbedaan di dalam kecerdasan tidak hanya diukur dari rasio tersebut,
tetapi juga dari diferensiasi yang ada di dalam otak, jumlah sel-sel neuron
yang ada dan kecepatan koneksi antar sel-sel neuron tersebut. Dalam hal ini,
otak manusia masih yang paling unggul dibandingkan yang lainnya.[17]
Frankl terkenal
dengan logo terapinya, secara teori logo terapi adalah teori yang berorientasi
untuk menemukan arti, suatu arti dalam dan bagi eksistensi manusia. Yang
terpenting dalam hal ini adalah bagaimana berusaha menemukan dan bertanggung
jawab terhadap arti atau nilai dibalik kehidupan.[18] Frankl juga mengatakan
bahwa kebermaknaan hidup disebut sebagai kualitas penghayatan individu terhadap
seberapa besar ia dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi
dan kapasitas yang dimilikinya dan seberapa jauh ia telah berhasil mancapai
tujuan-tujuan hidupnya, dalam hal memberi makna atau arti kepada kehidupannya.[19]
Makna hidup merupakan sesuatu yang penting
dan berharga bagi sesorang individu, apabila seorang berhasil menemukan makna
hidup maka kehidupan ini akan dirasakan sangat berarti. Makna hidup merupakan
hal yang sangat pribadi, sehingga dapat selalu berubah-ubah sering berjalannya
waktu dan perubahan situasi dalam kehidupan individu tersebut. Menurut Kruger
makna hidup adalah ―manner, suatu cara atau gaya yang digunakan untuk
menghadapi kehidupan, untuk menunjukkan eksistensi, dan cara pendekatan
individu terhadap kehidupannya sendiri berbeda-beda dan unik. Dan apabila
individu telah mencapai tingkat kesadaran yang lebih diman kesadarannya lebih
tertujuuntuk pencarian makna-makna, maka dapat dipastikan bahwa pemaknaan
seorang individu terhadap kehidupan dengan individu lain akan berbeda satu sama
lain.[20]
2.6.
Arti dan makna Hidup dalam Sistematika
Makna hidup merupakan suatu persoalan yang
sangat urgen (The meaning of life is the most urgent question). Makna hidup
adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan
nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup -bila berhasil - ditemukan dan
dipenuhi- akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan
berharga. Dan pada akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia (happieness)
sebagai aMbat sampingannya. Ada tiga karakteristik makna hidup.
Pertama, makna hidup itu sifatnya unik dan
personal Artinya, apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti
bagi orang lain. Bahkan mungkin, apa yang dianggap penting dan bermakna pada
saat ini oleh seseorang belum tentu sama bermaknanya bagi orang itu pada saat
lain. Dalam hal ini, makna hidup seseorang dan apa yang bermakna baginya
hiasanya bersifat khusus, berbeda dengan orang lain, dan mungkin dari waktu ke
waktu berubah pula.
Kedua, sifat lain dari makna hidup adalah
spesiflk dan konkrit. Artinya, dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan
nyata sehari-hari dan tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan
idealitas, prestasi-prestasi akademis yang tinggi, atau hasil-hasil renungan
filosofis yang kreatif. Mengagumi merekahnya ufuk Timur pada saat terbit fajar,
raemandang dengan penuh kepuasan tumbnhnya putikputik bunga hasil tanaman
sendiri, turut tersenyum melihat senyuman bayi montok, menghayati perasaan
kasih dan haru menyaksikan anak sendiri terbaring sakit, bersemangat
mengerjakan tugas yang disenangi, mendengarkan khotbah yang sarat dengan
kebijakan dan kebajikan, merupakan contoh peristiwa sehari-hari yang bermakna
bagi seseorang.
ketiga, sifat lain makna hidup adalah
memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga
makna hidup seakan-akan menantang (challennging) dan mengundang (inviting)
seseorang untuk memenuhinya. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup
ditentukan, maka seseorang seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan
memenuhinya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun menjadi lebih terarah. [21]
Dalam makna kehidupan , ada dua kelompok
yang refresentatif mendeskripsikan problem makna hidup di atas, yakni kaum
pesimis dan kaum optirais.
1.
Fandangan
Kaum Pesimis
Kaum pesimis, berpandangan bahwa hidup ini
tidak bermakna dan tidak pula bertujuan, bahkan dengan mengambil pengalaman
keseluruhan manusia sebagai pangkal penalarannya, mereka berpendapat bahwa
hidup ini tidak saja tanpa makna dan tujuan, melainkan juga penuh kesengsaraan,
sehingga mati sebenarnya adalah lebih baik daripadanya. Karena itu, menurut
mereka, semua orang, seandainya bisa memilih, tentu lebih suka tidak pernah ada
dan hidup di dunia ini, dan puas dengan "damainya ketiadaan yang serba -
berkecukupan" (the peace of the
all-sufficient nothing). Di antara kaum pesimistis, seperti Schopenhauer
menolak adanya makna hidup berdasarkan pada beberapa pandangan.
Pertama,
berawal dengan pandangan bahwa setiap kematian adalah peristiwa tragis dan amat
menyedihkan. Semua orang takut mati. Ini berarti bahwa bag! semua orang, hidup
masih lebih baik daripada mati. Tapi justru kematian itu salah satu dari
sedikit kejadian yang mutlak tak terelakkan oleh siapa pun. Ini berarti,
menurut kaum pesimis, hidup ini hanyalah proses pasti menuju tragedi. Jadi
hidup adalah kesengsaraan. Darrow pun mengatakan bahwa hidup adalah "guyon
yang mengerikan" (awful joke), dan Tolstoy melihat hidup sebagai
"tipuan dungu" (stupidfraud). Jadi untuk apa hidup ? Bukankah, kalau
begitu, lebih baik tidak pernah hidup di dunia ini dan tetap berada dalam
ketiadaan yang tanpa masalah itu ? Atau, kalau seseorang cukup
"rasional" dan "berani", bukankah lebih baik kembali kepada
ketiadaan semula yang tanpa masalah itu, melalui bunuh diri ? (Tapi nyatanya
sedikit sekali kalangan kaum pesimis sendiri yang memilih "kembali kepada
ketiadaan" daripada tetap hidup dengan segala tragedinya ini).
Kedua,
mereka menolak adanya makna dan tujuan hidup karena mereka memandang bahwa
dalam hidup itu tidak ada kebahagiaan sejati. Setiap gambaran mengenai
kebahagiaan adalah palsu, sebab kebahagiaan itu sendiri adalah palsu. Suatu
lukisan kebahagiaan menarik hati hanya selama lukisan itu sendiri masih berada
di masa depan yang belum terwujud, atau malah di masa lalu yang diromantiskan
dan didambakan kembalinya secara nostalgik. Orang pun terdorong dan tergerak
jiwa raganya dalam usaha inewujudkan lukisan kebahagiaan itu. Tetapi segera
setelah suatu usaha mewujudkannya dianggap selesai dan tujuan tercapai,
mulailah kekecewaan demi kekcewaan timbul, dan proses pun berulang kembali.
Karena kebahagiaan adalah semu dan palsu, maka manusia adalah makhluk yang
sengsara.
Ketiga,
kaum pesimis menolak makna dan tujuan hidup karena mereka mendefinisikan
kebahagiaan dengan negatif. Menurut mereka, jika toh kebahagiaan itu ada, maka
paling jauh, hanya dapat didefinisikan secara negatif: "kebahagiaan ialah
tidak adanya kesengsaraan". Karena kebahagiaan itu negatif, maka ia tidak
mengandung kesejatian, alias palsu. Oleh karena itu, dalam hidup tidak ada
kebahagiaan, atau, lebih tegasnya, hidup pada hakikatnya adalah kesengsaraan..
Dan, meskipun masa lalu senantiasa dirindukan, dan masa depan selalu diimpikan,
tapi, kata kaum pesimis, semuanya itu tidak hakiki. Yang hakiki hanyalah sekarang.
Tapi karena "sekarang" terdiri dari deretan atom waktu yang terns
bergerak menjadi masa lalu, maka "sekarang" pun bukanlah hal yang
memadai. Maka tipikal ucapan kaum pesimis ialah, "segala yang lalu telah
tiada, segala yang akan datang belum terjadi, dan segala yang ada sekarang
tidak memadai" (all that was is no more, all that will be is not yet, and
all that is is unsufficient). Jadi, merindukan masa lampau adalah sia-sia,
memimpikan masa depan adalah tetap impian belaka, dan menjalani hidup sekarang
tidak cukup menarik. Lalu untuk apa hidup? Bukankah kalau begitu, keberadaan
kita di dunia ini adalah peristiwa yang terjadi secara kebetulan belaka, tanpa
makna maupun tujuan.[22]
2.
Kaum
optimis
Kaum Optimis memandang bahwa hidup ini
memiliki makna dan tujuan. Oleh karena itu, "menghidupkan" atau
"menghidupi" orang adalah lebih baik daripada
"mematikan"-nya. Kenyataan yang umum pada hampir setiap orang ialah
pandangan bahwa hidup ini cukup berharga, sekurang-kurangnya sebelum ia
menyadari bahwa ia akan berakhir dengan kematian. Kesadaran akan pasti
datangnya kematian yang membuat semua kegiatan menjadi muspra itu, bagi
sementara orang, memang bisa membuatnya putus asa begitu rupa sehingga akan
menghalangi kemungkinannya melakukan tindakan bermakna dalam hidupnya. Tapi
keputusasaan itu bukanlah suatu kemestian yang mutlak tak terhindarkan. Ia bisa
dihindari, dan kebanyakan orang memang mampu menghindarinya. Sedangkan sikap
berlarut-larut tenggelam dalam keputusasaan adalah suatu gejala sakit
(patologis) dan tidak wajar. Dalam kewajaran, yaitu sebagaimana terjadi pada
umumnya orang, bahkan ketika seseorang merasa kurang mampu sekalipun biasanya
masih berusaha - sedapat-dapatnya mewujudkan keinginan atau cita-citanya. Ini
cermin adanya harapan, dan harapan itu bertumpu kepada pandangan bahwa hidup
ini cukup berharga untuk clijalarii dengan penuh minat dan sungguh-sungguh. [23]
Menurut kaum optimis, hidup ini berharga,
karena memiliki makna dan tujuan. Tujuan hidup ialah memperoleh kebahagiaan,
dan makna hidup ada dalam usaha mencapai tujuan itu. Artinya, pertanyaan
tentang makna hidup dilontarkan dalam rangka memutuskan bagaimana caranya
menjalani hidup. Oleh karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak mempunyai
makna dan tujuan hidup. Sebab setiap orang mempunyai tujuan yang cukup berharga
untuk diperjuangkan agar terwujud. Maka hidup ini cukup berharga, dan
kenyataannya ialah bahwa hampir setiap orang berjuang untuk mempertahankan dan
meningkatkan taraf hidupnya, biarpun ia mungkin merasa sengsara di dunia ini. Namun
adanya harapan dalam hati menjadi penyangga kekuatan jiwanya untuk tetap hidup,
kalau dapat selama mungkin, di dunia Satu hal yang menarik dalam perbincangan
kaum optimis ini adalah tidak semua kaum optimis itu agamawan, kaum komunis pun
termasuk dalam kelompok ini. Perbedaan antara kaum optimis yang agamawan dengan
yang komunis terletak pada "sumber makna hidup". Bagi kaum agamawan,
agama adalah sumber makna dan tujuan hidup, sementara bag! kaum komunis makna
dan tujuan hidup ada dan ditemukan dalam hidup pada dunia nyata ini, dan
pengalaman hidup bermakna dan bertujuan itu tidak akaii melewati saat kematian.
Sekalipun begitu, semua kaum optimis melihat hidup ini cukup berharga
(worthwhile), dan tidak masuk akal bahwa mati adalah lebih baik daripada hidup.
Hidup, bagaimana pun, adalah lebih baik daripada mati.[24]
2.7.Arti
dan Makna Hidup dalam Agama-agama
2.7.1.
Islam
Tidak ada
seorang pun yang tahu berapa lama ia akan hidup, di mana ia akan mati,(Q.S 31:
34) dalam keadaan apa ia akan mati, dan dengan cara apa ia akan mati, sebagian
manusia menyangka bahwa hidup ini hanya satu kali dan setelah itu mati ditelan
bumi. Mereka meragukan dan tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan kembali
setelah mati(Q.S An-Naml: 67).Adapun mengenai kepercayaan adanya kehidupan setelah
mati pandangannya sangat beragam tergantung pada agama dan kepercayaan yang
dipeluk dan diyakini.Islam menjelaskan makna hidup yang hakiki melalui
perbandingan dua ayat yang sangat kontras, seperti dicontohkan di dalam
Alquran. Seorang yang telah mati menurut mata lahir kita, bahkan telah terkubur
ribuan tahun, jasadnya telah habis dimakan cacing dan belatung lalu kembali
menjadi tanah, namanya sudah hampir dilupakan orang. Tetapi yang mengherankan,
Allah SWT memandangnya masih hidup dan mendapat rezeki di sisi-Nya serta
melarang kepada kita menyebut mati kepada orang tersebut.[25]
Hal ini
dapat kita lihat dalam (Q.S 3: 169). “Janganlah kalian menyangka
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan mereka itu hidup
dan mendapat rezeki di sisi Allah.” Sebaliknya ada orang yang masih
hidup menurut mata lahir kita, masih segar-bugar, masih bernapas, jantungnya
masih berdetak, darahnya masih mengalir, matanya masih berkedip, tetapi justru
Allah menganggapnya tidak ada dan telah mati, seperti disebutkan dalam
firmannya “Tidak sama orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.
Sesungguhnya Allah SWT mendengar orang yang dikehendaki-Nya, sedangkan kamu
tidak bisa menjadikan orang-orang yang di dalam kubur bisa mendengar,” (QS
Al-Fathir 22). Maksud ayat ini menjelaskan Nabi Muhammad tidak bisa memberi
petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.[26]
Dua ayat
ini memberikan perbandingan yang terbalik, di satu sisi orang yang telah mati
dianggap masih hidup, dan di sisi lain orang yang masih hidup dianggap telah
mati. Lalu apa hakikat makna hidup menurut Islam?. Hidup dalam pandangan Islam
adalah kebermaknaan dalam kualitas secara berkesinambungan dari
kehidupan dunia sampai akhirat, hidup yang penuh arti dan manfaat bagi
lingkungan. Hidup seseorang dalam Islam diukur dengan seberapa besar
ia melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai manusia hidup yang telah diatur
oleh Dienull Islam. Ada dan tiadanya seseorang dalam Islam ditakar dengan
seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh umat dengan kehadiran dirinya. Sebab
Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya manusia di antara kalian
adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. (Alhadis).
Oleh karena itu, tiada dipandang berarti (dipandang hidup) ketika seseorang
melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diatur Islam.[27]
Dengan
demikian, seorang muslim dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas hidup
sehingga eksistensinya bermakna dan bermanfaat di hadapan Allah SWT, yang pada
akhirnya mencapai derajat Al-hayat Al-thoyyibah (hidup yang diliputi kebaikan).
Untuk mencapai derajat tersebut maka setiap muslim diwajibkan beribadah,
bekerja, berkarya berinovasi atau dengan kata lain beramal saleh. Sebab esensi
hidup itu sendiri adalah bergerak (Al-Hayat) kehendak untuk mencipta
(Al-Khoolik), dorongan untuk memberi yang terbaik (Al-Wahhaab) serta semangat
untuk menjawab tantangan zaman (Al-Waajid).
Makna
hidup yang dijabarkan Islam jauh lebih luas dan mendalam dari pada pengertian
hidup yang dibeberkan Descartes dan Marx. Makna hidup dalam Islam bukan sekadar
berpikir tentang realita, bukan sekadar berjuang untuk mempertahankan hidup,
tetapi lebih dari itu memberikan pencerahan dan keyakinan bahwa. Hidup ini
bukan sekali, tetapi hidup yang berkelanjutan, hidup yang melampaui batas usia
manusia di bumi, hidup yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan sang Kholik.
Setiap orang beriman harus meyakini bahwa setelah hidup di dunia ini ada
kehidupan lain yang lebih baik, abadi dan lebih indah yaitu alam akhirat (Q.S.
Adl-dluha: 4).
Setiap
muslim yang aktif melakukan kerja nyata (amal saleh), Allah menjanjikan kualitas
hidup yang lebih baik seperti dalam firmannya “Barang siapa yang melakukan amal
saleh baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan ia beriman, maka pasti akan
kami hidupkan ia dengan al-hayat al-thoyibah (hidup yang berkualitas tinggi).”
(Q.S. 16: 97). Ayat tersebut dengan jelas sekali menyatakan hubungan amal saleh
dengan kualitas hidup seseorang[28]
2.7.2.
Hindu
Setiap kelahiran jika dipahami, sesungguhnya manusia membawa
perannya masing-masing. Manusia yang telah melakukan perenungan secara mendalam
dengan pikiran yang jernih akan bertanya, apa sesungguhnya yang menjadi tujuan
hidupnya. Ada 2 macam tujuan hidup manusia yaitu tujuan duniawi dan
spiritual.Tujuan duniawi berupa keinginan untuk mengejar harta, kekayaan dan
keinginan. Sedangkan tujuan
spiritual yaitu keinginan untuk bersatu kepada yang hakekat dan asal yang
sesungguhnya. Dalam Hindu, tujuan hidup manusia terdapat dalam Catur
Purusartha. Yang terdiri dari 4 bagian yaitu : Dharma, Artha, Kama Moksa. Dharma merupakan ajaran kebenaran,
sebagai pandangan hidup, tuntunan hidup manusia. Artha yaitu kekayaan yang berupa materi. Kama merupakan keinginan dan Moksa
yaitu bersatunya sang diri atau jiwatman dengan yang lebih tinggi.[29]
Jadi jelas dalam hidup
manusia selalu mengejar artha, kama dan moksa. Namun dalam mengejar artha dan
kama harus berdasarkan dharma, kebajikan dan kebenaran, bukan dengan cara-cara
yang tidak baik. Penyatuan kepada yang hakekat merupakan tujuan yang harus
dicapai manusia dengan berdasarkan etika keagamaan dan dharma yang telah
ditentukan. Pembangkitan kesadaran bahwa kita merupakan salah satu bagian dari
pada esensi dunia ini merupakan hal yang harus dicapai agar pikiran dapat
terbuka, menyadari hakekat sang diri. Harapan tersebut dapat terwujud dengan
mengimplementasikan ajaran dharma. Dalam pustaka suci Hindu telah disebutkan
bahwa menjelma menjadi manusia merupakan suatu keberuntungan dan hal yang
utama. Dengan manas atau pikiran yang dimiliki, maka manusia dapat menolong
dirinya sendiri dari keadaan samsara dengan jalan berkarma yang baik. Kesadaran
akan mampu meluruskan pikiran yang selalu hanya mementingkan kehidupan duniawi.
Dalam Sàrsamuccaya 8 disebutkan ; Mànusyam durlabham pràpya
vidyullasita cañcalam, bhavakûayem atiá kàyà bhavopakaraóesu ca. artinya
;Menjelma menjadi manusia itu, sebentar sifatnya, tidak berbeda dengan kerdipan
petir, sungguh sulit (didapat), karenanya pergunakanlah penjelmaan itu untuk
melaksanakan dharma yang menyebabkan musnahnya penderitaan. Sorgalah pahalanya.
Dalam kehidupan modern ini, seseorang menghargai orang lain dari
penampilannya, sikapnya yang sopan, lemah lembut, tutur katanya manis dan ramah
dan memancarkan budhi pekerti yang luhur. Orang-orang yang demikian keadaannya,
apalagi sangat giat belajar, giat bekerja, rendah hati dan ramah, serta
memiliki keimanan yang tinggi senantiasa akan mendapatkan perlindungan Tuhan
Yang Maha Esa, karena pada dirinya memancarkan kasih sayang yang sejati. Ketika
seseorang merenung dengan dalam tentang arti dan tujuan hidupnya, maka bagi
mereka yang mendalami ajaran Agama Hindu, arti hidup yang pertama adalah mewujudkan Dharma yakni kebajikan,
kebaikan, kebenaran, kasih sayang, taat kepada hukum dan taat kepada ajaran
agama. Dan tujuan akhir adalah untuk mencapai moksa yaitu bersatunya atma
dengan paramatma.[30]
2.7.3.
Budha
Banyak orang yang masih memiliki salah
pengertian mengatakan bahwa,Agama Buddha (Buddha Dhamma) hanya menaruh
perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi, dan pikiran yang
mengandung filsafat tinggi saja, dengan mengabaikan kesejahteraan kehidupan duniawidari
umat manusia. Padahal, Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga menaruh perhatian
besar terhadap kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang
merupakan kebahagiaan yang masih berkondisi.Memang, walaupun kesejahteraan
kehidupan duniawi bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi
hal itu bisa juga merupakan salah satu kondisi (sarana / syarat) untuk
tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang
tidak berkondisi,yaitu terealisasinya Nibbana.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan duniawi
adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir yang
mengatasi keduniaan.Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbana, bukanlah kesuksesan atau
kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan keterikatan batin
kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk terealisasinya Nibbana.[31]
Di dalam Vyagghapajja sutta, seorang yang
bernama Dighajanu, salah seorang suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha.
Setelah memberi hormat, lalu ia duduk di samping beliau dankemudian
berkata:“Bhante, kami adalah upasaka yang masih menyenangi kehidupan duniawi,
hidup berkeluarga, mempunyai isteri dan anak. Kepada mereka yang seperti kami
ini, Bhante, ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk mendapatkan
kebahagiaan duniawi dalam kehidupan sekarang ini, dan juga kebahagiaan yang
akan datang.”[32]
Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha
bersabda bahwa ada empat hal yang berguna yang akan dapat menghasilkan arti
dalam kehidupan duniawi sekarang ini, yaitu:
1. Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam mengerjakan apa
saja, harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan benar terhadap
pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.
2. Arakkhasampada: ia harus pandai menjaga penghasilannya,
yang diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih payahnya sendiri.
3. Kalyanamitta: mencari pergaulan yang baik, memiliki sahabat
yang baik, yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya ke jalan yang
benar, yaitu yang jauh dari kejahatan.
4. Samajivikata: harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas
kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan
penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit / kikir.
Keempat hal tersebut adalah merupakan
persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan
duniawi sekarang ini, sedangkan untuk dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan
yang akan datang, yaitu kebahagiaan dapat terlahir di alam-alam
yangmenyenangkan dan kebahagiaan terbebas dari yang berkondisi, ada empat
persyaratan pula yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Saddhasampada: harus mempunyai keyakinan, yaitu keyakinan
terhadap nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan pengertian,
sehingga dengan demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan
mempraktikkan apa yang dia yakini tersebut.
Di
dalam Samyutta Nikaya V, Sang Buddha menyatakan demikian: “Seseorang … yang
memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian.”Saddha
(keyakinan) sangat penting untuk membantu seseorang dalam melaksanakan ajaran
dari apa yang dihayatinya; juga berdasarkan keyakinan ini, maka tekadnya akan
muncul dan berkembang. Kekuatan tekad tersebut akan mengembangkan semangat dan
usaha untuk mencapai tujuan.
2. Silasampada: harus melaksanakan latihan kemoralan, yaitu
menghindari perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang tidak benar, dan
menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
(hilangnya pengendalian diri).[33]
2.8. Arti dan Makna Hidup dalam Agama Suku
Agama memainkan peran penting dalam
kehidupan banyak orang. Kadang-kadang agama kelihatan absurd, kadang-kadang
menjadi "semacam teladan tantang apa yang sebaiknya dilakukan
manusia" dalam kehidupan mereka. Akan tetapi agama juga membuat pikiran
kita terpusat pada masalahmasalah besar dan masalah-masalah yang ditimbulkan
agama itu sendiri, seperti kesengsaraan dan ragam pemikiran. Dan telah menjadi
kenyataan bahwa Mta hidup di atas dunia di mana manusia menjadi bagian darinya.
Waktu dan kematian tidak membawa kebaikan apa-apa terhadap diri orang yang
telah baik. Agamalah yang menafsirkan kehidupan dan kematian orang ke dalam
bahasa-bahasa simbolis.[34]Dalam perspektif
antropologis, sosiologis, historis, dan psikologis, evolusi agama adalah suatu
fenomena sosial, kultural dan spiritual. Yaitu dari agama primitif (primitif
religion) atau agama alam (natural religion) menuju bentuk yang lebih sempurna
(politeisme-monoteisme) yang kita jumpai sekarang.[35]
Agama berlandaskan pada konsep yang suci
(sacred), bukan pada dunia (profane). Agama berlandaskan pada yang gaib
(supernatural), bukan pada hukum-hukum alamiah (natural). Agama berisikan
ajaran-ajaran kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia agar
dapat hidup selamat di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa
kepada Tuhannya, beradab, dan menjalankan aktiviats sesuai dengan petunjuk
agama, tidak seperti cara-cara hidup hewan atau makhluk gaib yang jahat. Agama
sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian inti dari sistemsistem nilai yang
ada dalam kebudayaan dan masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong,
penggerak, dan pengontrol berbagai tindakantindakan anggota masyarakat tersebut
untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Jika pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai
yang ada dalam kebudayaan masyarakat, maka sistem-sistem nilai kebudayaan
tersebut akan terwujud sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber
kepada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Dalam keadaan
demikian, secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman
eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat dipengaruhi,
digerakkan, dan dirahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama
yang dianutnya. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan warga masyarakat tersebut
merupakan tindakan-tindakan dan karya-karya yang dibingkai oleh simbol-simbol
suci.[36]
Agama merupakan simbol keyakinan yang
melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang bersifat pribadi dan
diwujudkan dalam tindakantindakan keagamaan. Agama apa pun tidak akan dapat
menghindarkan diri dari nilai-nilai esoterik yang diyakini secara ruhaniyah
oleh para penganutnya sebagai "kebenaran" paling otentik dan mutiak
yang dapat menyelamatkannya dari segala penderitaan lahir batin.[37]
2.9.
Arti dan Makna Kehidupan dalam Atheis
Atheis menciptakan dan memiliki arti
kehidupan dimana ateis memandang sebuah hasil yang dicapai dalam pemenuhan
makna hidupnya itu dikarenakan oleh hasil karya dan usaha subjek sendiri. Tidak
ada Tuhan, tidak ada nasib, tidak ada takdir, yangada hanyalah apa yang telah
dan dapat dicapai subjek untuk memberisuatu arti bagi hidupnya. Dengan cara
itulah subjek dapat merasahidupnya utuh, penuh, dan bahagia.Bastaman (1996)
mengatakan bahwa bagi mereka yang tidakmendasari pemaknaan hidupnya dari
nilai-nilai agama tampaknya lebihtepat jika berusaha meninggalkan inhautic
existence untuk menuju authentic existence. Adapun yang dimaksud dengan
inhautic existence adalah corak kehidupan pribadi yang sepenuhnya ditentukan
oleh tuntutan-tuntutan masyarakat tanpa mampu menentukan apa yang
terbaik bagi dirinya sendiri. Sedangkan authentic existence
adalah corak kehidupan pribadi yang ditentukan oleh pribadi yang ditentukan
sendiri secara bebas dan bertanggung jawab mengenai apa yang baik bagi dirinya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
dapat membuat hidup subjek bermakna berakar pada eksistensi. Pandangan
dan pembuktian subjek terhadap independensinya serta keberartian hidup
disaatkeberadaan dirinya dapat menjadi berarti bagi orang lain juga
dirinyasendiri didasarkan atas satu pandangan eksistensialis. Atheis seakan
ingin menegaskan bahwa kehidupan seorang manusia menjadi sesuatu hal yang
berarti bukan karena apa yang dipikirkan atau yang diyakini oleh seorang
manusia,melainkan apa yang didapat dari manusia tersebut.
Harga diri dan keunikan karakter yang
didapatkan subjek sejalan dengan penemuan makna hidupnya telah memberi suatu
perasaankeyakinan pada diri subjek. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Baumeister(dalam Snyder dan Shane, 2005) yang menyimpulkan bahwa pencarianmakna
hidup dapat dipahami salah satunya dengan self-efficacy yaitukeyakinan pada
diri sendiri Hal ini menimbulkan kepercayaan bahwaindividu dapat membuat
perbedaan. Hidup yang mempunyai tujuan dannilai tetapi tanpa Efficacy akan
menjadi tragis. Individu mungkinmengetahui sesuatu yang diinginkan tetapi tidak
dapat melakukan sesuatusesuatu dengan pengetahuan itu.[38]
Menurut Craumbaugh ada beberapa sumber
makna hidup yang dilihat dalam perpektif Atheis yaitu :
1.Creative
Values
Subjek memenuhicreative values dengan cara
melakukan sesuatuhal yang berarti bagi orang lain dimana hal tersebut dapat
menjadialasan keberartian bagi pemaknaan keberadaan diri subjek sendiri.Selain
itu nilai lainnya yang dapat membuat tindakan subjek memilikiarti yaitu subjek
selalu berusaha untuk terus-menerus belajar dari pengalaman.
2.
Experimental Values
Subjek memenuhi experimental values dengan
cara berkumpuldengan teman-temannya. Subjek merasa bahwa hal tersebut
sebagaisesuatu yang berarti sebab dari kegiatan tersebut terkadang subjekdapat
menemukan inspirasi atas makna hidup dengansharing; berbagi pengalaman
dengan banyak orang.
3.
Attitudial Values
yaitu seseorang menerima dengan penuh
ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak
mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tak dapat disembuhkan, kematian, dan
menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal.
Perlu dijelaskan di sini dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya melainkan
sikap (attitude), yang diambil dalam menghadapi keadaan itu.[39]
III. Refleksi Teologis
Tuhan menciptakan makhluknya dengan
berbagai macam variasi. Ada yang baik ada yang jahat, ada yg kaya dan ada yang
miskin, ada yang cantik dan tampan, yang lainnya buruk atau biasa saja. Kadang
manusia diberi rasa sakit, dan kadang diberikan sehat. Sekali waktu hidup
bahagia, lain waktu hidup susah dan menderita. Segala sesuatu yang terjadi atas
kehendak Tuhan. Tuhan menciptakan semua ini, dan tak mungkin Tuhan
menciptakannya tanpa hikmah dan maksud apa-apa. Ketika kita lahir, kita tidak
membawa apapun. Dan ketika mati nanti, tak ada sesuatupun yang dibawa kecuali
kain kafan dan amal perbuatan. Namun pada saat hidup, sang pencipta telah
menjamin keberlangsungan hidupnya dengan menyediakan fasilitas di dunia,
seperti tanah, air, api udara, tumbuh-tumbuhan, barang tambang, hewan
peliharaan dan semua yang ada di dunia ini disediakan untuk sarana hidup
manusia. Semua makhluk-Nya diciptakan dengan jaminan rejeki di dunia. Bahkan
seekor serangga pun tak dibiarkan kelaparan, saat pergi pagi sorenya pulang
dengan perut kenyang. Jadi, ketika kita miskin sesungguhnya Tuhan sedang
menguji kesabaran kita. Dengan adanya orang miskin, maka ada kesempatan orang
kaya berbuat baik dan menolong orang. Namun ketika kita kaya, sebenarnya itu
pun juga ujian, apakah dengan kekayaan kita bisa menyisihkan dan memanfaatkan
harta titipan Tuhan untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya sesuai perintah
Tuhan. Hidup sejatinya adalah menunggu pulang. Sementara pulang adalah
sebuah perjalanan menuju tempat yang dirindukan yaitu Rumah. Perjalanan pulang
itu ada suka dukanya, ada sedih gembiranya. Jangan
meminta Tuhan untuk menjadikan hidup kita menjadi mudah, mintalah agar kita
dijadikan sebagai orang yang kuat dan Berdoalah bukan karena kita membutuhkan
sesuatu, tapi berdoalah karena begitu banyak yang harus kita syukuri atas
pemberian Tuhan. Itulah makna
hidup manusia yang sebenarnya.
Tujuan hidup manusia itu mempermuliakan
Allah dan hidup di dalam anugerahNya untuk selama-lamanya Kita memuliakan Allah
dengan menghormati dan menaati-Nya, memusatkan pandangan kita di surga kelak,
dan mengenal Dia secara intim Kita menikmati anugerah Allah dengan mengikuti
rancangan-Nya bagi kchidupan kita, schingga memampukan kita untuk mengalami
sukacita yang benar dan yang abadi - kehidupan berlimpah yang la rencanakan
bagi kita Tuhan Yesus datang untuk memberi hidup yang luar biasa kepada kita.
Yesus berkata, "Akulah Hidup" (Yoh 14:6) Apakah kita mempunyai sumber
hidup yang baru ini di dalam diri kita? Di Kolose 3:4, Paulus berkata,
"Kristus adulah hidup kita". Hidup kekristenan adalah hidup dengan
kualitas yang tinggi, karena ada pengampunan, kasilh dan pimpinanTuhan yang
melimpah. Seperti sebuah lagu dengan syair "Hidup ini adalah kesemputan,
hidup ini untuk melayani Tuhan, jangan sia-siakan apa yang Tuhan berikan hidup
ini harus jadi berkat ......”. Mari kita gunakan hidup kita dengan
sebaik-baiknya untuk melayani Tuhan
IV. Kesimpulan
Tidak ada kata sepakat tentang makna hidup
atau the meaning of life. Jalani realitas yang ada, paling tidak ada tiga
kelompok yang memperdebatkan tentang itu. Kaum pesimis, menyatakan bahwa hidup
ini tidak memiliki makna dan tujuan, sementara bagi kaum optimistis, yang
terdiri dari kaum komunis dan kaum agamawan, hidup ini memiliki makna dan
tujuan. Hanya saja mereka tidak sepakat tentang sumber makna dan tujuan hidup
itu. Bagi kaum agamawan, agama adalah sumber makna dan tujuan hidup. Bagi kaum
agamawan, yang dipersoalkan tidak hanya makna dan tujuan hidup, tetapi juga
persoalan nilai makna dan tujuan hidup, atau dalam bahasa lain, masalah makna
dan tujuan hidup yang benar. Dan, agama adalah sistem pandangan hidup yang
menawarkan makna dan tujuan hidup yang benar dan baik itu
V. Daftar Pustaka
Sumber
Buku
Bastaman
H.D., Logoterapi” Psikologi untuk
menemukan makna hiduo dan meraih hidup bermakna,”, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2007
Bergant Diane, Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Britton Karl, Filsafat
Kehidwpan Dekonstruksi atas Makna Kehidupan. Terj. Inyiak Ridwan Muzyir.
Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002
Dammananda Sri, Keyakinan
Umat Budha, Penerjemah:Ida Kurniati, Jakarta: Yayasan PenerbitKaraniya,2005
Holladay William L., A Consice Hebrew and Aramic Lexicon of The Old Testament, Grand
Rapids: Eerdmans, 1980
inggihEmanuel Gerrit S, Hidup di Bawah Bayang-bayang Maut, Jakarta: BPK-GM, 2001
Islam Nurcholish Madjid, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000
Macmillan, Dictionary,
New York: Macmillan Publishing, 1977
Munir Amin, Bimbingan
dan konseling Islam, Jakarta: Amzah,2013
Purwodarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Ringgren, Theological
Dictionary of The Old Testament Vol IV, G. Johanes Botterweek, Helmer
Ringgren (ed), Grand Rapids: Eerdmans, 1980
S., Lukas Adi, Smart
Book of Christianity: Perjanjian Lama, Yogyakarta: Andi, 2015
Saragih Agus Jetron, Kitab Ilahi Pengantar Kitab-Kitab Perjanjian Lama ,Medan: Bina
Media Perintis, 2016
Von Rad Gerhard, Old
Testament Theology Vol. I, London: SCM Press, 1975
Wayan Nurkancana, Pokok-pokok
Ajaran Agama Hindu,Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha,2011
Weiden Wim Van Der, Seni Hidup, Yogyakarta:Kanisius, 1995
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment