Teologi Oikos ( Rumah Tangga ) dalam Gereja awal dan dampaknya dalam pertumbuhan gereja saat ini
I.
Pendahuluan
Gereja dalam Perjanjian Baru adalah gereja di
rumah. Timbul sebuah pertanyaan, bahwa
mengapa murid-murid Yesus dan Paulus menggunakan rumah untuk kegiatan
gereja?. Mereka menggunakan rumah karena
rumah adalah unit sosial, ekonomi dan religius.
Ibadah dan pengajaran rohani biasa diadakan dalam rumah-rumah pada waktu
itu. Karena fungsi sosial dan
ekonominya, rumah juga membuka kontak dan komunikasi bagi para penginjil untuk
memberitakan tentang Injil Yesus Kristus kepada jaringan sosial rumah di mana
mereka melayani. Dengan demikian
murid-murid Yesus dan Paulus telah melakukan upaya kontekstual yang cerdas
dengan menggunakan rumah untuk membangun komunitas Kristen sekaligus pekabaran
Injil. Terbukti kekristenan diterima
secara luas dengan pendekatan gereja di rumah ini di tiga abad pertama sejarah
kekristenan.
II.
Pembahasan
Dalam Perjanjian
Baru, gereja adalah
gereja rumah. Di dalam rumah orang-orang berkumpul untuk
beribadah dan berkomunitas. Ketika menuliskan
teologia Paulus tentang
gereja rumah, Branick menulis:
“the house
hold with its
family setting was
the church. Out
that household arose
some of the
earliest offices and structures that would shape the course of the
church through the centuries.”[1]Menurut Flemming,
Paulus menggunakan sejumlah
aspek budaya Helenistik
seperti bahasa dan
gambaran-gambaran, retorika dan juga
institusi dan kebiasaan
dalam budaya.[2]
Dalam hal institusi
budaya, Paulus menggunakan hal
mendasar dalam kehidupan
sosial dunia Helenistik, yaitu rumah
tangga.[3]
2.1.
Oikos dalam Perjanjian Baru
Kata “rumah”
dalam Alkitab banyak
digunakan. Baik dalam
pengertian harfiah maupun
metafora. Untuk itu
dalam awal artikel
ini akan diuraikan
secara singkat survei
kata “rumah” dalam
Perjanjian Baru. Bahasa
Yunani untuk “rumah”
adalah oikos atau oikia. Banyaknya penggunaan oikos dan oikia
menunjukkan bahwa penulisan teks-teks Perjanjian Baru
mempunyai latar belakang
para pembaca jemaat gereja rumah.
Dalam TDNT oikos lebih
dimengerti sebagai tempat
yaitu rumah dan
tempat tinggal.[4]Oikia
dalam Perjanjian Baru dapat berarti rumah, keluarga
atau rumah tangga.[5]
TDNT menuliskan
bahwa sering kali
oikos merujuk pada sebuah
tempat ibadah. Dalam
Perjanjian Lama oikos
merupakan kata favorit
karena digunakan juga
dalam arti keluarga
dan ras serta metafora rumah Allah yang nantinya berpengaruh
dalam Perjanjian Baru.
Dalam hal ini oikolah yang biasanya dikaitkan dengan rumah Allah, bukan
Oikia Dalam Perjanjian Lama, Musa
adalah pelayan setia
dalam rumah Tuhan
(Ibr. 3:1-6) tetapi
Kristus sebagai Anak adalah berkuasa atas rumah Allah (3:2, 6; 10:21).
Dalam Perjanjian Lama rumah-Ku
adalah Israel. Jadi
rumah Allah berkaitan dengan komunitas.[6]Menurut EDNT,
pada umumnya oikosdan
oikiadapat dipakai saling
menggantikan[7].Walaupun
demikian oikoslebih dominan dari oikia dalam PB, yaitu muncul 115 kali. Oikialebih
dominan dalam Markus
dan Matius. Berbeda dengan TDNT, EDNT memperlihatkan adanya
nuansa arti yang
berbeda antara oikos dan oikia, oikos lebih dekat
dengan kepunyaan seseorang
sedangkan Oikia lebih pada
tempat tinggal[8].
Tetapi secara keseluruhan oikos dan oikia dapat ditukarkan penggunaannya. Hal
ini terlihat pada
satu nats digunakan
kedua kata tanpa
membedakan arti. Misalnya dalam
Lukas 15:6, 8; 1 Korintus 11:22, 34; juga 1 Korintus
1:16, 16:15 di mana kedua
kata berarti keluarga. Dalam Injil Sinoptik, untuk cerita
yang sama kata rumah dalam Markus 5:38 menggunakan oikos sedangkan ayat
paralelnya Matius 9:23
menggunakan oikia Markus 3:25 dan Matius 12:25 menggunakan
oikia sedangkan dalam ayat
paralelnya di Lukas
11:17 menggunakan Oikos Matius 24:43
menggunakan oikia sedangkan Lukas
12:39 menggunakan oikos. Pengajaran Yesus,
teks-teks Injil dan
surat-surat banyak menggunakan
kata rumah dan
mengambil kisah dengan
latar belakang rumah, karena
gereja saat itu
ada di rumah[9]
2.2.
Fungsi Oikos pada masa gereja awal
Dari
beberapa faktor luar yang menyebabkan terjadinya perluasan kekristenan, Harnack menyebutka bahwa adanya asosiasi-asosiasi yang
berkembang dalam Kerajaan Romawi menjadi
lahan diterimanya kekristenan[10].Harnack
sendiri lebih melihat bahwa organisasi Kristen yang dikembangkan murid-murid
dan saudara-saudara Yesus
meminjam dari Yudaisme,yaitu sinagoge[11].Riset terkini
yang sejalan dengan
Harnack adalah tulisan
Banks dan Dunn.Harnack cenderung
melihat banyak persamaan
antara berkembangnya sinagoge dan gereja. Para penulis setelah
Harnack mempunyai pandangan
yang berbeda.
Scroggs lebih
melihatnya sebagai sekte[12].Ia menjelaskan
dengan pendekatan social-scientific criticism bahwa komunitas
Kristen mula-mula adalah
sebuah sekte karena
bercirikan: dimulai dari
sebuah protes, menolak
realitas yang diabaikan
oleh lembaga yang mapan,
egalitarian, menawarkan kasih
dan penerimaan dalam
kelompoknya, merupakan asosiasi
bebas, menuntut komitmen
total anggotanya, dan
bersifat adventis (menunggu saat akhir). Malina lebih menjelaskan
komunitas Kristen mula-mula sebagai asosiasi sukarela di dunia
Mediterania, yaitu kelompok
orang karena adanya
kepentingan sosial yang
sama, yaitu merasakan
perlunya perubahan dan
untuk mencapai kepuasan
secara sosial[13].Pilihan lainnya
adalah model sekolah
filsafat. Ada sejumlah penulis
yang memperlihatkan beberapa aspek yang
dikembangkan oleh Paulus serupa dengan pola sekolah filsafat[14].Pandangan Meeks
lebih bersifat mengintegrasi pilihan-pilihan yang ada. Ia
menuliskan bahwa ekklesia sebagai
komunitas Kristen terbentuk dari perpaduan model-model yang ada di
sekitar lingkungan gereja
yaitu model rumah
tangga, asosiasi sukarela,
sinagoge dan sekolah filsafat/retorik. Meeks sendiri
memberikan kesimpulan tambahan
bahwa tidak ada
satu pun model
yang menangkap semua
nuansa komunitas gereja
tetapi ia menyatakan bahwa rumah
tangga merupakan konteks dasar[15].
Dengan demikian
konteks rumah dan
rumah tangga merupakan
model utama.Rumah, yaitu
oikosmenurut Luhrmann bukan
hanya sekadar menjadi
konteks dasar dari pertemuan suatu kelompok dalam berbagai
jenis kelompok di atas, tetapi: “merupakan
bentuk dasar sosial
dan ekonomi untuk dunia kuno
dan Perjanjian Baru
dan bahkan untuk
semua kehidupan menetap
sebelum masa industri.”
Berikut ini akan
diuraikan rumah dalam
fungsi ekonomi, sosial
seperti yang disebutkan
oleh Luhrmann dan
akan ditambahkan kemudian dengan
fungsi religius seperti yang dipaparkan
oleh Gehring untuk
memperlihatkan bahwa mengapa
rumah menjadi konteks
dasar perkembangan kegiatan religius pada umumnya dan
kekristenan secara khusus pada masa Perjanjian Baru[16].
2.3.
Pemahaman Ekonomi dan Sosial Oikos
2.4.1. Ekonomi Rumah Tangga
Dalam bahasa Yunani kata ekonomi
mempunyai kata dasar “rumah”. Ekonomi atau oikonomia berarti manajemen rumah
atau pengaturan rumah. Dari kata dasarnya terlihat bahwa rumah dalam budaya Romawi-Yunani
dan bahkan pada budaya kuno lainnya merupakan unit dasar ekonomi. Dalam
Perjanjian Baru fungsi ekonomi rumah banyak disebutkan khususnya dalam
perumpamaan dan pengajaran Yesus.Yesus menggunakan perumpamaan yang diperankan
oleh tuan dan hamba (Mat. 24:45), hal keuangan (Mat. 25:15); diskriminasi
terhadap istri dan anakanak (Mat. 18:23-34); buruh upah harian (Mat. 20:1) dan
produksi dari rumah (Mat. 21:33-41) dan lain-lain Dalam konteks pedesaan,
perekonomian masyarakat bertumpu pada tanah.
Tanah merupakan sumber utama dihasilkannya makanan yang menjadi
kebutuhan dasar manusia. Tanah dikelola menghasilkan sayuran, biji-bijian dan
tumbuhan lainnya yang dapat dimakan.
Pada tanah dipelihara ternak yang menghasilkan susu, daging, wol dan
barang-barang lainnya. Dengan uraian di atas maka masyarakat agrikultural di
pedesaan pada umumnya mengaitkan kekayaan dengan tanah. Jika mereka mempunyai kelebihan sumber daya,
mereka akan berusaha memiliki tanah lebih banyak lagi. Karena ketika dikelola
tanah, akan menghasilkan lebih banyak lagi kekayaan. Kekayaan berupa tanah ini akan diwariskan
secara turun-temurun, dan karenanya ekonomi rumah terbentuk dari keluarga.
Anggota keluargalah yang pada mulanya membantu segala pekerjaan mengelola
tanah. Mereka yang lebih kaya dengan
tanah yang lebih luas mempekerjakan orang lain atau budak untuk mengelola
tanahnya. Masing-masing keluarga dalam
mengelola tanah menghasilkan barang-barang tertentu yang dikonsumsi sendiri.
Kelebihan produksi mereka kemudian dibarter atau dijual. Biasanya hal ini
terjadi di pasar di desanya atau dibawa ke kota untuk dijual di sana. Dalam
konteks perkotaan, interaksi sosial karena faktor ekonomi ini menjadi lebih
luas karena pertukaran barang bukan semata barang-barang yang berkaitan dengan
makanan. Di perkotaan muncul orang-orang
yang ahli membuat barang tertentu misalnya para tukang tembikar, pembuat
piring, tukang tenun kain, pandai besi, pembuat barang dari kulit seperti
sepatu dan tenda, pematung, pembuat perhiasan dan lain-lain yang biasanya
dikerjakan dalam bengkelbengkel mereka sendiri. Pada umumnya, mereka menjadikan
lantai pertama rumah atau bagian muka sebagai bengkel dan atau toko. Sedangkan
lantai dua atau bagian belakang rumah sebagai tempat tinggal. Hal ini yang terjadi pada Priskila dan Akwila
sebagai tukang kemah, yaitu membuat ataupun menjual kemah dari kulit (Kis.
18:3, 26).[17]
Demikian juga ada para penjual jasa
seperti pembersih kain, pedagang, ahli hukum, dokter, pemilik penginapan,
tukang cukur. Ataupun para pekerja
seperti budak, buruh harian dan pekerja tetap yang bekerja untuk para majikan
pada rumah tangga tertentu atau tempat usaha tertentu. Semua kegiatan ekonomi
di atas, baik dalam konteks pertanian maupun kota, pada umumnya dilakukan di
rumah-rumah dan dari rumah ke rumah. Dengan adanya perdagangan, maka terjadi
interaksi antarkeluarga dan sumber-sumbernya sehingga komunitas yang lebih luas
menjadi dapat berfungsi. Itulah sebabnya rumah merupakan unit dasar ekonomi
yang membangun komunitas yang lebih luas.[18]
2.4.2. Sosial Rumah Tangga
Selain
berfungsi secara ekonomis, rumah mempunyai fungsi sosial. Di dalam rumah keluarga-keluarga
tinggal. Keluarga dalam rumah jelas
merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga terdapat ayah, ibu, anak-anak
laki-laki, anakanak perempuan, sering kali berikut anggota keluarga lainnya
seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, kakek, nenek atau saudara lainnya
serta para pembantu, selir dan tamu yang menumpang. Daftar ini untuk
memperlihatkan luasnya cakupan yang disebut keluarga dalam suatu rumah dalam
masyarakat kuno.Walaupun demikian pada umumnya keluarga terdiri dari keluarga
inti yang terdiri dari ayah, ibu, anak pertama dengan keluarganya dan anak-anak
lain yang belum menikah. Keluarga
semacam ini menjadi unit sosial, residensial, konsumsi dan produksi yang
efektif. Perjanjian Baru mengindikasikan anggotaanggota keluarga ini, khususnya
keluarga inti yaitu suami, istri, anak-anak dan para pekerja dalam rumah.[19]
Hal ini
terdapat dalam dua house codes (aturan
rumah tangga) dalam tulisan-tulisan Paulus, yaitu Efesus 5:21-6:9 dan Kolose
3:18-4:1.Dalam aturan rumah tangga ini diperlihatkan bagaimana anggotaanggota
keluarga menjalankan perannya masing-masing dan berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Hal ini merupakan pola umum
dalam masyarakat kuno karena para filsuf pengikut Aristoteles dan Neo-Pitagoras
membahas hal ini. Demikian juga dapat ditemukan paralelitas dengan tulisan para
rabi dan filsuf Stoik. Dalam keluarga ayah atau suami adalah kepala rumah tangga.Baik
orang Yahudi maupun budaya Romawi-Yunani menganut patriarkalisme, yaitu pria
yaitu ayah yang menjadi pemimpin keluarga. Dalam budaya Romawi hal ini dikenal
sebagai paterfamilias.Ia digambarkan mempunyai kuasa untuk menentukan
mati-hidupnya seorang anak.Walaupun demikian sebenarnya paterfamilias lebih
merupakan pemahaman dari aspek hukum dan kepemilikan. Ia tidak harus punya
istri atau anak untuk menjadi paterfamilias, ia hanya perlu punya barang-barang
sebagai hak milik. Menarik dicatat di sini bahwa walaupun pria menjadi
pemimpin, para wanita biasanya menjadi manajer dalam rumah. Dalam Alkitab hal
ini tecermin dalam Amsal 31:1031, 1 Timotius 5:14 dan Titus 2:4-5. Ialah yang
mengelola keseharian rumah tangga.
Artinya peran wanita cukup banyak dan penting. Wanita juga dapat menjadi
pemimpin keluarga. Mereka menjadi
materfamilias bukan karena kelahiran atau status pernikahan tetapi karena
karakter yang baik dan kesuksesan mereka.
Wanita, biasanya para janda, yang mempunyai barang milik seperti budak
dan tanah dapat disebut sebagai paterfamilia. Ada contoh-contoh tertulis untuk hal ini
dalam literatur Yunani-Romawi. [20]
Demikian
juga dalam Perjanjian Baru: ibu dari Yohanes Markus (Kis. 12:12-17), Lidia di
Filipi (Kis. 16:14-15, 40), Nimfa (Kol. 4:15). Anak-anak dipelihara dan dididik
dalam keluarga, khususnya oleh ibu dan para budak atau pembantunya. Ayah juga bertanggung jawab untuk pendidikan
anak. Pendidikan ini pada umumnya
dilakukan di rumah. Mereka yang
mempunyai uang akan membayar guru untuk mengajar anak-anak mereka. Anak wanita tetap dalam pengawasan ibunya
sampai ia menikah. Dengan demikian anak
menjadi “berutang besar” kepada orang tuanya dan karena itu sebagai balasannya
mereka wajib menghormati dan taat kepada orang tua. Dari sudut pandang orang
tua, anak akan menjadi rekan dan pendukung utama orang tua ketika mereka
berusia lanjut. Dalam cakupan yang lebih luas, terjadi juga hubungan antara
keluarga dengan keluarga yaitu klan.
Pada umumnya klan terbentuk karena pertalian darah atau pernikahan dalam
keluarga-keluarga.[21]
Hubungan
antarkeluarga juga dapat terjadi karena afiliasi politik atau kerjasama
ekonomi. Hubungan-hubungan antarkeluarga
ini menjadi penting dalam konteks perkembangan kekristenan karena jaringan
sosial semacam ini yang memungkinkan Injil disebarluaskan dengan cepat. Dengan adanya jaringan sosial semacam ini
para misionaris mendapat kemudahan. Jika
ia mendapat tuan rumah yang menampungnya, maka anggota keluarga dan jaringan
sosial tuan rumah akan menjadi objek pekabaran Injil.[22]
2.4.
Oikos untuk Pekabaran Injil
Rumah yang mempunyai fungsi ekonomi, sosial
dan religius merupakan struktur yang ada dalam masyarakat dan telah mengakar
lama. Orang Kristen mula-mula
menggunakan struktur rumah ini untuk pengembangan pekabaran Injil. Dengan demikian jelas terlihat bahwa para
pemimpin dan misionari dalam Gereja Mula-mula telah melaksanakan upaya
kontekstualisasi pertama dan cerdas agar Injil dapat diterima oleh masyarakat
pada waktu itu. Hal pertama yang menonjol mengenai penggunaan rumah pada Gereja
Mula-mula adalah karena untuk pertumbuhan gereja diperlukan ruang untuk
melaksanakan pertemuan. Untuk itu
rumahlah yang dipakai.[23]
Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
membangun rumah ibadah khusus, cukup menyediakan ruang makan atau ruang lainnya
untuk pertemuan Kristen. Karena itu
gereja di rumah menjadi bangunan gereja yang umum pada masa dua abad pertama. Grant
menyebutkan bahwa orang Kristen lambat dalam membangun rumah ibadah khusus juga
karena alasan eskatologis, yaitu dirasakan tidak perlu membangun gedung ibadah
jika dunia segera berakhir. Alasan
teologis ini juga ditambah dengan kesulitan pendanaan dan status hukum yang
belum jelas serta kecenderungan untuk lebih menggunakan dana untuk kebajikan
membuat rumah merupakan tempat paling mudah untuk melaksanakan pertemuan
Kristen. Penggunaan rumah bagi kekristenan mulamula juga menguntungkan untuk
penerimaan sosial masyarakat di luar Kristen.
Dengan menggunakan rumah sebagai tempat pertemuan, maka gereja pada masa
Paulus adalah seperti pertemuan asosiasi keagamaan ketika dipandang oleh para
anggota gereja, para tetangga maupun pihak berwenang setempat. Dengan demikian
orang Kristen mulamula merasa aman untuk bertemu sebagai kelompok sosial dan terhindar
dari perhatian umum.Dengan demikian dari seluruh uraian di atas maka gereja
menggunakan struktur rumah sebagai media perwujudannya karena sudah ada dalam
masyarakat sebelumnya sehingga tidak perlu membentuk lagi yang baru tetapi menggunakan
bentuk yang sudah ada. Karena itu ada kemiripan dalam hal tertentu dengan
kelompok sosial lain yang telah ada, khususnya dalam hal penggunaan rumah. Struktur oikos kuno diambil menjadi struktur
kegiatan Kristen karena ada dalam budaya di sekitar mereka. Hal ini merupakan upaya kontekstualisasi yang
cerdas karena memudahkan untuk melakukan penyebaran agama Kristen kepada
orang-orang lain. Rumah menjadi basis
pekerjaan misi serta menjadi pusat organisasi jemaat lokal dan pertemuan
ibadah.Tulisan dan pekerjaan Paulus memperlihatkan hal di atas dengan lebih
jelas. Paulus mengintegrasikan struktur
oikos/rumah dalam masyarakat dengan strategi misi. Ia menjangkau orang-orang
dalam rumah mereka setelah gagal menjangkau orang di sinagoge. Dari rumah ini
ia menjangkau keluarga-keluarga lainnya.[24]
Hal ini terjadi karena dunia Hellenis memang diikat oleh struktur keluarga
secara menetap. Dengan demikian Paulus menggunakan struktur sosial yang sudah
ada yang dikenali oleh orang Kristen maupun orang bukan Kristen. Paulus menggunakan secara khusus rumah tangga
untuk mengorganisasi gerakan Kristen mula-mula.
Dan kesuksesan misi Kristen mula-mula dan kehidupan gereja sangat
terkait dengan rumah. Dengan demikian Paulus telah melakukan upaya
kontekstualisasi yang efektif, yaitu menggunakan struktur rumah tangga yang ada
dalam masyarakat untuk menyebarkan kekristenan.[25]
2.5.
Implikasi pada Gereja Masa Kini
Berikut ini akan diuraikan secara ringkas
implikasi kontekstualisasi penggunaan rumah dalam upaya pekabaran Injil untuk
gereja masa kini:
a. Gereja
di rumah mendorong gereja masa kini untuk kembali mengembangkan gereja sebagai
organisme daripada sekadar organisasi, sedikitnya menyeimbangkan keduanya. Gereja
di rumah lebih memiliki suasana kekeluargaan daripada suasana formal dan
struktural. Organisasi gereja haruslah
lebih mementingkan hubungan dan orangorang daripada aturan dan birokrasi. Gereja mestinya menjadi tempat yang hangat di
mana anggota-anggotanya dekat dan saling mengasihi dan saling menumbuhkan.
b. Gereja
di rumah mendorong dikem-bangkannya pelayanan kelompok kecil di gereja masa
kini. Tidak cukup hanya ibadah mingguan.Setiap orang percaya mesti masuk dalam
kelompok kecil untuk bertumbuh melalui komunitas dan pemuridan di dalamnya.
c. Gereja di rumah mendorong upaya pekabaran
Injil melalui hubunganhubungan informal selain kegiatankegiatan formal seperti
ibadah dan pengajaran. Anggota-anggota jemaat didorong untuk menyaksikan kasih
Tuhan melalui kehidupan mereka sehari-hari dan membangun hubungan dengan
orang-orang sekitar mereka untuk nantinya bisa diberitakan Injil. Juga dengan terbangunnya hubunganhubungan
dengan orang-orang di sekitarnya, anggota-anggota jemaat dapat mengajak mereka
ke komunitas kelompok kecil atau ibadah untuk mendalami kehidupan bergereja
lebih mendalam dan bertumbuh di dalam Tuhan
III.
Kesimpulan
Keluarga merupakan lembaga yang fenomenal dan universal. Di
dalamnya terdapat anak-anak yang dipersiapkan untuk bertumbuh. Keluarga adalah
lembaga masyarakat paling kecil tetapi paling penting. Tetapi, kata
keluarga terlalu banyak dipakai oleh berbagai orang dari berbagai kelompok
sehingga menjadi hilang makna yang sesungguhnya. Keluarga adalah persekutuan
hidup antara ayah, ibu, dan anak-anak. Inilah yang disebut dengan keluarga
kecil atau keluarga inti. Keluarga pertama di dunia ini dibentuk oleh
Allah sendiri yakni keluarga Adam Kejadian 1:27-29). Adam sebagai suami
Hawa sekaligus ayah dari Kain dan Habel; Hawa sebagai istri Adam sekaligus
sebagai ibu Kain dan Habel; Kain dan Habel sebagai anak-anak dari Adam dan
Hawa; Inilah keluarga ini pertama yang dibentuk oleh Allah. bahwa keluarga Kristen merupakan tempat
berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Keluarga
Kristen dibentuk serupa dengan Allah yang berarti mencerminkan sifat - sifatNya
dalam pola hidup sehari - hari. Orang tau harus memperkenalkan kebiasaan yang
baik dengan menanamkan nilai - nilai kristiani kepada anak.
Pentingnya kehidupan keluarga yang baik, yang sesuai dengan prinsip Alkitab (2
Timotius 3:16-17) yang akan membentuk anak (generasi) yang berakhal mulia
sesuai kehendakNya.
[1] Vincent Branick, The House Church in the Writings of Paul,
(Wilmington, Michael Glazier, 1989), 13
[2] Dean Flemming, Contextualization in
the New Testament:
Pattern for Theology
and Mission Downers (Grove:IVP, 2005), 133
[3] Dean Flemming, Contextualization in
the New Testament:
Pattern for Theology
and Mission Downers ,134
[4] Gerhard Kittel,
Gerhard Friedrich, eds.,
Theological Dictionary of the
New Testament Vol. 5.
Tr. Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: Eerdmans,
1967), 119
[5] Gerhard Kittel,
Gerhard Friedrich, eds., Theological
Dictionary of the
New Testament Vol. 5.
Tr. Geoffrey W. Bromiley ,128
[6] Ibid, 130
[7] Horst Balz dan
Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary
of the New
Testament Vol. 2. (Grand
Rapids: Eerdmans, 1991), 501
[8] Collin Brown,
ed., New International Dictionary of New Testament
Theology Vol. 2 (GrandRapids:
Zondervan, 1986), 247
[9] Collin Brown,
ed., New International Dictionary of New Testament
Theology Vol. 2 , 248
[10] Adolf von
Harnack, The Expansion of
Christianityin the First Three Century 2 Vols. Tr. James Moffat (Eugene:
Wipf & Stock, 1998), 122
[11] Adolf von
Harnack, The Expansion of
Christianityin the First Three Century 2 Vols. Tr. James Moffat ,147
[12] Robin Scroggs,
“The Earliest
Christian Community as
Sectarian Movement,” dalam
David G. Horrel,
Social-scientific Approaches to New Testament Interpretation, (Edinburgh:
T&T Clark, 1999), 69-91
[13] Bruce J.
Malina, “Early Christian
Groups: Using Small
Group Formation Theory
to Explain Christian
Organization,” dalam Philip
F. Esler, Modelling
Early Christianity: Social-Scientific Studies
of the New
Testament in its
Context ,(London:
Routledge, 1995), 110
[14] Bruce J.
Malina, “Early Christian
Groups: Using Small
Group Formation Theory
to Explain Christian
Organization,” dalam Philip
F. Esler, Modelling
Early Christianity: Social-Scientific Studies
of the New
Testament in its
Context ,112
[15] Ibid, 114
[16] Ibid. 115
[17] Dale Burke,Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, (Jakarta: Metanonia,2000), 23
[18] Dale Burke,Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, 23
[19] James Dobson, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga, (Batam:Gospel Press,
2004), 142
[20] James Dobson, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga, (Batam:Gospel Press,
2004), 143-144
[21] Ibid, 145
[22] Leon Morris, New Testamant Theology, (Malang: Gandum Mas,2006), 63
[23] Leon Morris, New Testamant Theology, 64
[24] Ibid, 65
[25] Ibid, 65-66
Tags :
BPPPWG MENARA KRISTEN
KOMITMEN DALAM MELAYANI
PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- PRO DEO ET EIUS CREATURAM
- COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
- ORA ET LABORA
- : Pdt Hendra C Manullang
- : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
- : crisvinh@gmail.com
- : menarakristen@gmail.com
Post a Comment