-->

sosial media

Wednesday, 16 November 2022

Tinjauan Etika Kristen Terhadap Pemberkatan Pernikahan Terhadap Pasangan Yang Bercerai

I.                   Pendahuluan

Salah satu trend dalam masyarakat saat ini adalah naiknya angka perceraian dari pasangan yang sudah menikah. Kasus perceraian adalah berita yang hangat dan sering sekali terjadi di kalangan masyarakat, dan juga tidak tertutup kemungkinan perceraian terjadi bagi keluarga Kristen. Tentu ini adalah sebuah masalah yang sangat serius yang harus segera ditanggulangi untuk mengurangi akibat akibat yang akan timbul ketika hal itu terjadi. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya adalah kemajuan zaman. Dengan majunya zaman, memungkinkan masyarakat menjadi terbuka terhadap apa yang dulu disebut dengan tabu dan menyediakan sarana untuk menikmati kehidupan dengan nyaman dan bebas, tanpa hambatan apapun. Semua ini dikarenakan rasionalisasi terhadap nilai moral dan agama, sehingga logika lebih berperan daripada iman. Keputusan keputusan yang diambil tidak lagi dipertimbangkan dengan dosa, tetapi pertimbangan logika. Manusia berpikir apa yang benar dan dan masuk akal, maka itu boleh dilakukan. Selain itu, faktor perpindahan penduduk juga menjadi faktor timbulnya perceraian, mengapa? karena melalui perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), maka manusia bertumpuk dan berhempit hempitan dan bisa bertemu lebih intensif. Lingkungan kota menyebabkan nilai nilai lama yang dipegang kuat di desa mulai meluntur, termasuk nilai perkawinan tidak lagi dipegang dengan kuat. Munculnya berbagai persoalan di kota menyebabkan pegangan yang semakin melonggar dan akhirnya lepas. Demikianlah perkawinan yang tidak kuat pondasinya akhirnya dilepaskan, maka terjadilah kasus kasus perceraian.

Semua masalah dan faktor faktor diatas juga bisa dialami oleh keluarga Kristen. Pasangan yang telah menikah dahulu kemudian bisa bercerai dan meminta untuk menikah kembali dan ingin hidup bersama pasangan yang lain. Nah, apakah etika Kristen menyetujui orang yang telah bercerai bisa diberkati kembali? Itulah yang akan kita bahas dalam seminar ini, dimana kita akan membahas apa itu  pernikahan, dan juga perceraian, sehingga melalui hal itu kita bisa mengambil kesimpulan etis tentang permasalahan seperti yang ditawarkan dalam judul seminar ini.

II.                Pembahasan

2.1. Pernikahan

Pernikahan adalah kontrak secara resmi, sosial, dan rohani antara pria dan seorang wanita. Pernikahan merupakan janji Ilahi yang dibuat dihadapan Allah. Ini adalah komitmen satu sama lain-ikrar untuk hidup bersama, saling melayani dan tetap setia satu sama lain. Pernikahan juga merupakan cara Allah untuk menunjukkan kasih-Nya bagi kita dan rencana-Nya bagi pernikahan kepada dunia, dan membantu kita menjadi lebih serupa dengan Dia. Dari sudut sosial, pernikahan  adalah kontrak dimuka umum yang berbunyi “kami adalah satu” karena kami berbagi hidup dengan orang lain. Secara emosiaonal, pernikahan berati rentan untuk dikecam, transparan, dan jujur satu dengan yang lain. Dari segi intelektual, pernikahan berarti berbagi pemikiran, pendapat, dan keinginan kepada pasangan. Dari sudut fisik, pernikahan berarti apa saja, mulai dari ciuman lembut hingga gairah hubungan seksual. Dari segi rohani, pernikaahan adalah berdoa bersama, beribadah, dan bertumbuh ddalam iman. Pernikahan adalah bekerja dengan karakter kita, cinta, kasih karunia, dan pengampunan yang masing masing kita tawarkan kepada pasangan, dan bertumbuh melalui kesalahan kita. Tidak adda diantara kita yang sempurna, dan terlebih dulu memahami serta menerima fakta ini adalah penting. Kita semua bekerja untuk kemajuan. Ketika kita mengetahui ada pernikahan yang gagal, kadang kkadang kita beranggapan bahwa pernikahan itu adalah sesuatu kesalahan. Namun ingat, pernikahan melibatkan dua orang yang tidak sempurna dan menempatkan keduanya dalam hubungan yang berkomitmen agar mereka dapat bertumbuh bersama dengan aman serta dewasa sementara mereka menangani ketidaksempurnaan dan permasalahan. Pernikahan mengejawantahkan tindakan memberi, menolong, mempercayai, mengampuni, memperhatikan, mempelajari, dan menjalani hidup suka dan duka.[1] Hakekat penikahan adalah suatu tata tertib suci yang ditetapkan oleh Allah dan dinyatakan didalam Alkitab. Kejadian 1:26-28 mengungkapkan tentang kesegambaran antara manusia dengan Allah itu menggambarkan persekutuan Allah dengn manusia yang dihasilkan dalam pesekutuan suami istri. Hakekat pernikahan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan yang diberkati oleh Allah sendiri, dan diberi tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia.[2]

Menurut Alkitab, perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu:

Ø  Persahabatan dan saling bertolong tolongan  di antara suami dan isteri

Dalam kisah Alkitab tentang penciptaan manusia, Tuhan Allah berfirman “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Ke 2:18). Ddarisini dapat dimnegerti bahwa kehidupan berpasangan merupakan hakekat kehidupan umat manusia. Dalam Perjanjian Lama ditekankan “Demikian juga kamu, hai suami suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah Hormatilah mereka sebagai teman pewais dari kasih karunia, yaitu kehidupan supaya doamu jangan terhalang” (1 Pet 3:7). Ungkapan ‘lebih lemah’ disini bukanlah merujuk pada stamina moral atau kekuatan karakter atau juga kapasitas, melainkan merujuk kepada kekuatan fisik. Sedangkan ungkapan ‘pewaris dari kasih karunia’ merujuk kepada pengalaaman kaum wanita tentang karrunia penyelamatan oleh Yesus Kristus yang memeprgunakan bahasa yang sama dengan pengalaman laki laki sebagaimana tertuang dalam Galatia 3:28. Kegagalan dalam persahabatan suami istri dapat mebghalangi persahabatan antara Allah dengan manusia. Nats 1 Pet 3: 7 diatas seiring dengan anjuran “Hai istri istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia” (Kol 3:18-19). Istilah ‘tunduk’ disini bukan berarti bersedia dikuasai suami dalam arti dominasi, melainkan berupa sikap mengasihi terhadap suami. Perlakuan kasar dari suami terhadap istri atau sealiknya merupakan rintangan yang besar buat melestarikan persahabatan pasangan keluarga.

Ø  perkembang-biakan (prokreasi)

Perkembangbiakan disini bukan dilihat hanya  dari segi jumlah anak, melainkan juga dari segi mutu dan kualitas anak anak dalam setiap keluarga. Allah berfirrman kepada manusia “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” (Kej 1:28). Tujuan perkembangbiakan ini adalah agar seluruh anggota keluarga memuliakan Tuhan. Disamping itu perkembangbiakan berarti supaya para orangtua mendidik anak anak yang dianugerahkan Allah kepada mereka (Ul 6: 7-9), dan anak anak itupun menaati ajaran orangtua mereka. Itu sebabnya dalam Alkitab dikatakan “Hai anak anak taatilah orangtuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa bapa janganlah sakiti anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol 3: 20-21).

Ø  Kesepakatan menghindari perselingkuhan

Salah satu tantangan untuk etika perkawinan dewasa ini adalah kecenderungan sebagian orang untuk berselingkuh dengan yang bukan pasangan resminya. Perselingkuhan biasanya dikarenakan yang bersangkutan tidak puasa secara seksual dengan pasanganya sendiri, tentu dengan berbagai alasan. Sebagian lainya karena kkeinginan  untuk mengadakan pertualangan seksual dengan orang lain yang berlawan jenis. Firman Tuhan bertentangan dengan perselingkuhan yang membawa orang kedalam jurang ketidaksetiaan dalam perkawinan. Untuk itu Rasul Paulus berseru “karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol 3:5). Seruan menghindari perselingkuhan ini ternyata sangat relevan untuk masa sekarang ditengah maraknya berita perselingkuhan di media massa belakangan ini. Sarana sarana kehidupan modern dewasa ini memungkinkan banyak orang yang berlainan jenis untuk mau sama mau mengadakan perselingkuhan di tempat tertentu yang memungkinkan perselingkuhan itu terjadi. Perselingkuhan merupakan gejala yang mengancam kerukunan rumah tangga sejumlah pasangan suami istri. Hal ini dilarang dalam Alkitab, yakni ayat yang mengatakan “Dan janganlah engkau bersetubuh dengan istri sesamamu, sehingga engkau menjadi najis dengan dia” (Im 18:20). Perselingkuhan bisa terjadi karena ketidakharmonisan  dan tidak memperoleh kemesraan seperti yang diimpikan  dari pasangan hidupnya ayng sah. Suasana kehidupan yang bernuansa mobilitas dan dinamika memberi peluang untuk perselingkuhan, terutama bagi mereka yang tidak kuat imannya.[3]

2.2.Perceraian

2.2.1.      Pengertian Perceraian

Untuk membahas atau mengerti tentang perceraian, kita harus bertanya dulu persoalan-persoalan apa yang harus digumuli dalam pembahasan ini. Disini kita akan membahas perceraian dari 3 aspek pertanyaan berikut; pertama: apakah orang Kristen boleh bercerai atau sama sekali tidak?, kedua: apa yang harus dilakukan oleh seorang suami/istri Kristen jika ternyata istri/suaminya hendak meninggalkan dia?, ketiga: apakah orang orang Kristen boleh menikah lagi? atau pihak “tidak bersalah” tetap harus hidup single untuk  jangka waktu yang tidak terbatas? Pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang sulit untuk mencari jawabanya. Dalam hal ini kita membatasi pembahasan ini pada ajaran Tuhan Yesus dan Rasul Paulus, maka kita perlu membaca: Matius 5: 27-32 (masalah perzinahan), Matius 19:3-12 & Ulangan 24:1-4 (dasar perceraian Alkitabiah), Markus 10: 2-12 (menikah setelah bercerai), Lukas 16:18 (masalah zinah dalam rangka perceraian), juga 1 Korintus 7 dan Roma 7:2 (sikap sikap terhadap pihak yang belum atau tidak ber Tuhan dan maut sebagai batas ikatan pernikahan). Sebaiknya kita memaklumi hal yang ideal tentang perkawinan, yang kita terima dari Allah, yaitu pernikahan tanpa perceraian.  Meskipun Alkitab melaporkan kasus kasus perceraian akan tetapi menurut Alkitab Maleakhi 2:16 Allah membenci perceraian, sedangkan menurut Matius 19:8 Allah mengizinkan suami istri zaman Perjanjian Lama bercerai hanya “karena ketegaran hatimu”. Ternyata kekejaman sebagai akibat ketegaran hati dan dosa manusia menjauhkan manusia dari pengertian dan pelaksanaan ideal yang ditetapkan Allah tadi. Itulah sebabnya persekutuan pernikahan merupakan suatu ikatan/ persatuan yang diteguhkan  oleh Tuhan sendiri (Mat 19:6). Pernikahan menurut sifatnya dimaksudkan sebagai hubungan yang permanen, yaitu hubungan seumur hidup. Kedua belah pihak dituntut agar  memeliharanya dalam keadaaan suci dan setia.[4]

2.2.2.      Perceraian Menurut Alkitab

Penikahan keluarga Kristen biasanya ditandai dengan hubungan eksklusif, artinya pernikahan itu hanya terdiri dari suami istri yang jumlah nya satu-satu, dan tidak lebih dari itu. Jumlah ini tidak termasuk anak-anak dan keluarga dekat. Penikahan pertama pun hanya terdiri dari dua orang saj yaitu adam dan hawa. Demikian pula sekarang dua mnejadi satu, dan satu inilah yang tidak boleh bertambah. Inilah yang dalam etika kristen yang disebut dengan prinsip monogami. Sifat kedua dalam pernikahan Kristen adalah hubungan yang permanen, artinya perkawinan seumur hidup. Dalam Matius 19:6 “demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Dengan demikian, maka hanya kematianlah yang dapat menceraikan suami istri. Inilah yang dimaksud dengan sehidup semati. Paulus juga mengingatkan supaya tidak terjadi perceraian, seperti tertulis dalam 1 Korintus. Istri tidak boleh menceraikan suaminya dan suami juga tidak boleh menceraikan suaminya. Memang ada perceraian menurut hukum Musa, tetapi bukan berarti Allah menyetujuinya. Perceraian itu justru menunjukkan kedengilan hati manusia itu sendiri. Perceraian tidak berkenan bagi Allah.[5]

            Menurut hukum Musa perceraian itu dibenarkan. Alasan yang dapat diterima untuk mengizinkan perceraian itu adalah  karena sesuatu “ yang tidak senonoh”. Jenis-jenis ketidak senonohan itu tertentu mempunyai hukuman tersendiri. Perjinahan dijatuhi hukuman mati dengan cara melempari batu. Apabila seorang laki-laki yakin atas istrinya yang tidak lagi perawan, maka ia dapat membawa istrinya kepada tua-tua kota, dengan hukumannya adalah kematian (Ul. 22:13-21). Walaupun taurat Musa memperbolehkan seoarng laki-laki menceraikan istrinya, istri itu tidak diperbolehkan menceraikan suaminya karena alasan apapun. Barangkali banyak wanita yang melarikan diri dari keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan tanpa surat cerai. Apabila seorang wanita diberi surat cerai, ia memenuhi syarat untuk kawin dengan laki-laki manapun kecuali seorang imam, imamat 21:7, 14; Yeh. 44:22. Bagaimanapun, hal kawin lagi atau mencemarkan dia berkenan dengan suaminya yang pertama, sebab boleh dikatakan bahwa istrinya itu telah berjinah terhadap suaminya (Mat. 5:31). Sekalipun ada ketetapan-ketetapan yang diperbolehkan perceraian, Allah tidak setuju dengannya. Ia membenci perceraian, ia menyebutnya sebagai “kekerasan dan berkhianat” (Maleakhi 2:16).[6]

            Dalam Markus 10:2-12, ketika orang Farisi mencobai Yesus dengan mengatakan “apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istirnya?”. Tetapi Yesus menjawab, apa yang diperintahkan musa kepadamu? Maka mereka menjawab musa mengizinkan dengan membuat surat cerai. Tetapi Yesus mengatakan itu justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan hal itu kepadamu. Disini Yesus mengatakan sejak awal Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dan mereka akan bersatu, dan apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan manusia. Yesus berkata: barangsiapa menceraikan istrinya lalu menikah dengan perempuan lain, ia berzinah, demikian sebaliknya. Jadi dari pernyataan ini jelas bahwa Yesus sangat menolak adanya perceraian, karena itu sama saja dengan melakukan zinah.

2.2.3.      Alasan Alasan Bercerai

Konflik-konflik dalam pernikahan dapat menyebabkan keretakan hubungan suami istri atau bahkan dapat juga menyebabkan perceraian, biasanya bersumber pada kepribadian suami istri dan hal-hal yang erat kaitannya dengan pernikahan. Contohnya masalah penyesuaian kepribadian dapat timbul dalam pernikahan, kalau salah satu atau kedua belah piha memiliki kepribadian yang belum dewasa. Demikian pula salah satu atau kedua belah pihak yang memiliki kebiasaan pemabuk, penjudi, egois, tertutup, keras kepala dan lain sebagaimya. Penyebab utama yang menyebabkan pasangan suami istri bercerai adalah karena pada umumnya mereka kurang persiapan diri untuk pernikahan. Mereka menikah begitu saja, tanpa mengerti benar hakekat dari pernikahan itu, dan kewajiban-kewajiban yang banyak diantaranya belum pernah dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut, akibatnya sama saja seperti sepasang suami istri di dalam sebuah biduk perahu dilaut,  tetapi kedua-duanya tidak mengetahui bagaimana caranya mendayung atau memegang kemudi.[7]

Banyak sekali alasan bercerai.  Dalam berbagai diskusi yang ditampilkan di media, khususnya TV, seringkali kita melihat alasan alasan yang dikemukakan sangat bervariasi. Alasan alasan iitu tentu saja sangat subjektif, namun dilihat secara objektif. Beberapa alasan berikut dapat disebutkan yaitu:

1.      Pendidikan. Di Amerika Serikat penelitian menunjukkan bahwa angka perceraaian di kalangan mereka yang pendidikanya rendah, 55% dari angka perkawinan bercerai. Di Indonesia, angka perceraian di kalangan masyarakat kurang berpendidikan banyak ditemukan di desa desa, dan variabelnya dengan perkawinan dini dan dengan tingkat pendapatan yang rendah.

2.      Pendapatan/pekerjaan. Penelitian Glick dan Norton di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa perceraian di kalangan pasangan yang pendapatan rendah tiga kali lebih banyak dibanding di kalangan pasangan dengan pendapatan yang cukup. Masalah ekonomi juga menjadi alasan orang untuk bercerai. Terlebih kalau sang suami tidak mempunyai pekerjaan.

3.      Perkawinan dini. Penelitian Spener dan Glick di Amerika Serikat menunjukkan bahwa perkawinan dini menghadapi resiko dan dapat menjadi ppenyebab perceraian yang serius. Perempuan  muda yang menikah 18 tahun tigakali berkecenderungan bercerai dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia 20 tahun ke atas. Bahkan mereka yang menikah 18-19 tahun 50% mengalami kegagalan pernikahan. Kecenderungan yang sama terjadi pada pria yang menikah terlalu muda. Perceraian yang disebabkan perkawinan dini sering juga kita temui di Indonesia. Kenyataan ini terkait dengan kedewasaan emosional pasangan muda. Mereka masih sangat labil sehingga ketikaa menghadapi badai rumah tangga, pperceraian menjadi sarana alternattif yang ditempuh. Memang ini bukan semata mata kematangan psikologis karena faktor lain seperti pendidikan dan pekerjaan juga turut berpengaruh. Mereka yang menikah dini berkecenderungan pendidikan menjadi terbatas dan tentu saja dengan demikian pekerjaan dengan income/pemasukan cukup sulit diraih, kecuali bagi mereka yang memang orangtuanya kaya atau punya perusahaan sendiri.[8]

2.2.4.      Dampak perceraian

1.      Terhadap anak

Perceraian walaupun  dianggap sebagai salah satu cara mengatasi pernikahan yang tidak bahagia, pastilah membawa akibat-akibat yang tidak menyenangkan. Bagi mereka yang sering saling mencintai maka perceraian adalah mimpi  buruk, traumatik, dan bahkan bisa mnegakibatkan kehidupan seseorang itu hancur. Perceraian pastilah menyakitkan dan menimbulkan luka yang besar. Perceraian juga menimbulkan dampak buruk bagi anak-anak bahkan mungkin mereka adalah korban yang paling buruk. Tiada pengertian dan pengenalan yang benar tentang alasan-alasan orang tua bercerai, dapat mengakibatkan trauma dan mimpi buruk serta penderitaan bagi anak-anak.[9] Tidak ada suatu perkara yang lebih menyedihkan bagi seorang anak daripada hidup dibawah bayangan perkara perceraian. Apa yang mereka alami dirumah akan merusak pola hidupnya, menambah ketakutannya kepada hidup, melenyapkan kepercayaannya terhadap pernikahan dan terhadap masa depennya. Mereka pun menjadi sinis, tidak berperasaan, takut lekas tua. Oleh karena itu orang tua yang bercerai sangat berdosa terhadap anak-anaknya. Perceraian itu merupakan tamparan bagi anak-anak yang akibatnya tidak dapat diatasi seumur hidup.[10]

2.       Terhadap suami Istri

Menurut Hetherington, peristiwa perceraian akan menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah dalam meghadapi kemelut hidup ini. Dan biasanya kaum ibulah yang paling pahit merasakannya.[11] Pasangan yang mengalami perceraian pasti akan mengalai sakit hati yang snagat mendalam karena merasa dikhianati, ditinggalkan atau dicampakkan oleh pasangannya. Hal ini juga disebabkan oleh karena adanya persaan bahwa mereka adalah korban kebohoongan. Disamping merasa kecewa dan marah pasngan pelalku perceraian akan berubah persepsi menjadi cenderung berfikir negatif terhadap orang lain.[12] Rasa tidak percaya terhadap pasangannya berselingkuh menimbulkan rasa kecewa yang besar. Rasa kecewa ynag besar selanjutnya menimbulkan rasa prustasi atau ketidak berdayaannya ini menimbulkan amarah di dalam dirinya. Kemarahan individu tersebut diarahkan kepada berbagai pihak yaitu: pasangan yang telah ingkar janji, kepada pihak ketiga penyebab terjadinya perselingkuhan dan mengakibatkan perceraian, lingkungan sosial yang dianggab mendukung laksana perceraian, kepada Tuhan karena dianggab telah melimpahkan beban yang berat kepadanya, dan kepada diri sendiri yang menilai telah gagal membina pernikahan.[13]

2.3.Pandangan Etika Kristen Terhadap Pemberkatan Nikah Pada Pasangan Yang Bercerai

Pernikahan Kristen sangat berbeda dengan pernikahan non-Kristen karena pernikahan kristen adalah suatu lembaga yang dibentuk Allah sendiri. Ada 4 hal yang membedakan pernikahan Kristen dengan pernikahan non-Kristen:

Ø  Pernikahan Kristen adalah insyatif Allah

Pada awal penciptaan, Allah nsudah mempunyai rencana  agar pria besatu dengan wanita untuk tujuan saling melengkapi dan beranak cucu memenuhi bumi (Kej 2, 18 dan Kej 1:28)

Ø  Pernikahan Kristen adalah kudus

Pernikahan kristen adalah sesuatu yang kudus di mata Allah. Itulah sebabnya Allah menganggap dosa bagi mereka yang mencemarkan  ikatan pernikahan dengan melakukan perzinahan (Baca Ibrani 13:4 dan Maleakhi 2:15)

Ø  Pernikahan Kristen adalah monogami

Allah sudah menetapkan bahwa pernikahan Kristen adalah suatu pernikahan monogami, yaitu seorang suami hanya mempunyai seorang istri dan sebaliknya. Itulah sebabnya Allah hanya menciptakan satu orang Hawa dan satu orang Adam, dan mereka akan menjadi satu daging (Kej 2:24). Dalam Matius 19:4-6 dikatakan, “apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Yesus mengatakan mereka bukan lagi dua. Yesus tidak berkata mereka bukan lagi tiga atau empat, tetapi mereka bukan lagi dua. Pernikahan Kristen tidak mengenal monogami (beristri lebih dari satu) atau poliandri (bersuami lebih dari satu). Paulus juga mengatakan bahwa setiap laki laki harus mempunyai istrinya sendiri, dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri, tidak dikatakan suami-suaminya atau istri-istrinya, (1 Kor 7:2-3).

Ø   Pernikahan Kristen tidak dapat diceraikan

Pernikahan Kristen adalah suatu ikatan yang kudus di mata Allah dan tidak boleh diceraikan manusia (Mark 10:9), sebab Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16), seorang istri/suami tidak boleh menceraikan istrinya, istri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya (1 Kor 10-11).[14] Jadi pernikahan itu adalah tetap dan untuk selama lamanya dan manusia tidak boleh menceraikan pernikahan jikalau bukan karena kematian yang memisahkan.

Cita cita perkawinan kristen adalah untuk seumur hidup. Disini ada tiga gereja yang menambil sikap dengan pernikahan setelah adanya cerai. Pertama, gereja gereja protestan mengambil sikap bahwa ajaran Yesus merupakan cita cita yang harus diperjuangkan oleh pasangan nikah, tetapi karena adanya masalah masalah pernikahan itu dapat berakhir. Dalam hal seperti ini, gereja protestan menerima perceraian sipil sebagai akhir perkawinan. seorang yang bercerai biasanya boleh menikah lagi di gereja Protestant, bahkan seandainya mantan pasanganya masih hidup. Kedua, Gereja Inggris, telah mengubah peraturan peraturan mengenai perceraian dan pernikahan kembali. Pada akhir akhir ini, biasanya tidak mengizinkan pasangan bercerai untuk menikah kembali di gereja, meskipun kadang kadang pemberkatan tidak resmi diberikan setelah perkawinan sipil di kantor pencatatan sipil. Namun sejak 1981 (sinode umum badan pemerintah gereja Ingris) telah memberi kuasa kepada pendeta pendeta paroki untuk menikahkan kembali orang orang yang bercerai di gereja tanpa merasa bahwa hal ini tidak pas, dengan izin uskup mereka. Ketiga, Gereja Katolik, sangat berbeda dengan gereja lainya, dimana Katolik mengambil kata kata kitab Suci secara literer: sekali suatu perkawinan Kristen terjadi, kedua orang telah menjadi satu daging, perkawinan diciptakan oleh Allah dan manusia tidak boleh menceraikan  walau dengan alasan apapun - hanya oleh kematian. Bagi gereja Katolik perceraian sipil tidak cukup. Walaupun pasangan yang menikah di gereja mendapatkan izin perceraian dari negara, gereja mengajarkan bahwa mereka di mata Allah masih menikah. Mereka tidak bebas menikah lagi sementara pasangan mereka masih hidup, (duda, janda yang ditinggal mati bebas untuk menikah lagi). Keempat, Gereja Ortodoks Timur, mengambil sikap bahwa gereja mempunyai hak untuk mengakhiri perkawinan, dan gereja sendiri akan memberikan perceraian. Bahkan ada upacara khusus dimana perkawinan diakhiri. Pernikahan kembali diizinkan di gereja, meskipun upacaranya tidak semeriah yang pertama. Namun, anda tidak boleh berulangkali bercerai, perkawinan ketiga jarang diizinkan.[15]

2.4.Analisa Penyeminar

Pemahaman manusia pada umumnya adalah bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Mereka menganut sistem patriakal, yang menganggap wanita hanya sebagai milik suaminya yang tidak diperhitungkan. Tetapi Yesus datang untuk merubah pemikiran itu, dan dalam pemberitaan-Nya Ia membantah pendapat yang mengatakan  wanita lebih rendah kedudukanya dari laki laki. Panggilan Yesus dialamatkan baik untuk laki laki maupun perempuan. Yesus bergaul dengan wanitaa, bukan hanya laki laki saja, malahan diantara murid-Nya ada juga perempuan (Luk 8:3). Perlu kita ketahui bahwa persatuan yang dikehendaki Allah adalahn”menjadi satu daging” (Mrk 10:8), atau “bersatu” (Mat 19:5). Berhubungan dengan pemhaman nikah seperti ini, dimana didalamnya tercakup kesetiaan dan kelanggengan, maka perceraian ditolak. Dalam Markus 10:2-9 perceraian dilarang dengan alasan, Allah sendirilah yang telah mempersatukan kedua mempelai. Menurut Yesus, siapapun yang menceraikan istrinya dan menikah dengan orang lain, ia berzinah dan dengan demikian ia melanggar hukum Allah yang asasi (Mark 10:10). Pemahaman Yesus ini melarang perceraian, baik atas prakarsa suami ataupun prakarsa istri.[16]

Jadi Kami penyeminar melihat bahwa dalam memutuskan ya atau tidak untuk pemberkatan pernikahan bagi pasangan yang bercerai, kita harus melihat apa sesungguhnya yang dikatakan oleh Allah terhadap pernikahan orang Kristen. Dalam Maleakhi 2:13-16 dikatakan Aku membenci perceraian, Firman Tuhan Allah Israel. Meskipun dalam Perjanjian Lama perceraian diizinkan, namun Yesus tidaklah demikian. Dalam Markus 10: 2-12 dikatakan bahwa, Ia menyingkirkan hukum Musa dan mengatakan bahwa yang benar adalah seharusnya tidak ada perceraian sama sekali. Allah menciptakan pernikahan adalah untuk seumur hidup. Maka dalam tingkat tertentu, ajaran Yesus mengenai perceraian jauh lebih ketat daripada ajaran taurat. Yesus mengajarkan bahwa kerajaan Allah telah datang, manusia harus hidup sesuai dengan kehendak Allah. Maka disini Yesus menekankan bahwa setiap orang yang bercerai dan mengawini atau menikah dengan orang lain, ia berzinah. Hukum untuk perzinahan adalah kematian. Jadi dari hal ini sangat jelas bahwa pernikahan kembali tidak diizinkan oleh Allah karena itu adalah perbuatan zinah. Allah tidak mengizinkn manusia menilkah kembali jikalau bukan karena kematian yang memisahkan. Dalam 1 Korintus 7:39, dikatakan kebebasan seorang wanita untuk menikah kembali jika suaminya telah meninggal, akan tetapi alangkah lebih baik jika ia tinggal dalam keadaanya dan itu lebih berbahagia.

Jika masalah perceraian dikarenakan karena hubungan dalam keluarga tidak baik, maka kami penyeminar disini mengatakan betapapun  beratnya tantangan dalam rumah tangga, tidak ada yang tidak bisa diatasi. Yang penting adalah komitmen pada perkawinan  dan rumah tangga sebagai persekutuan hidup yang suci dan abadi. Kita harus  memahami bahwa pernikahan adalah anugrah Allah yang seharusnya dijaga dan dipelihara.  Pernikahan itu adalah simbol hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan itu artinya pernikahan itu bersifat sakral dan itu menuntut kesadaran yang penuh tanggungjawab dari pihak. Dalam akta perkawinan orang Kristen sering dikatakan bahwa “apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Perceraian secara hukum memang sah, namun karena perkawinan telah ditetapkan untuk seumur hidup, seharusnya masalah yang timbul dalam rumahtangga harus diperbaiki segera dengan kedewasaan iman. Hendaknya orang orang yang bersangkutan memikirkan kembali bukan haka atau kesenangan mereka  pribadi terlebih dahulu, melainkan kemajuan dan kebahagiaan masyarakat. Jika terjadi suatu masalah, hendaknya suami istri saling mengampuni segala kesalahan yang terjadi dan  melanjutkan persekutuan keluarga dengan rencana Allah untuk mereka.

Jadi setelah perceraian, kemudian ada niat untuk menikah kembali, maka secara etika kami mengatakan itu ditolak dan tidak diperbolehkan (bnd 1 Kor 7: 10-11). Memang kita akui bahwa dalam gereja gereja protestan saat ini sudah banyak yang mengizinkan pemberkatan nikah pada pasangan yang bercerai, namun setelah kami pahami apa yang kita seminarkan disini, kami melihat Allah tidak setuju dengan perceraian, itu artinya bahwa Allah juga tidak setuju dengan pernikahan kembali. Jadi gereja seharusnya tidak boleh melakukan pemberkatan pernikahan bagi pasangan yang bercerai, karena itu menimbulkan dosa atau perzinahan di mata Allah.

 

III.             Kesimpulan

Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah rencana Allah bagi setiap umat manusia untuk membentuk suatu rumahtangga yang baru. Kita melihat dalam Perjanjian Lama bahwa perceraian itu diperbolehkan oleh Musa, namun itu karena kekerasan hati dari bangsa Israel. Namun Yesus datang dan menegaskan bahwa pernikahan itu adalah untuk seumur hidup, dan bagi mereka yang telah menikah tidak diizinkan untuk bercerai karena itu adalah perbuatan zinah dimata Tuhan. Jadi kesimpulan yang bisa dibuat adalah Allah saja melarang perceraian, itu artinya bahwa Allah juga tidak setuju dengan pernikahan kembali sesudah perceraian. IA mengatakan lebih baik kita bertahan dalam keadaan yang demikian.

 

IV.              Daftar Pustaka

Borrong Robert P.,  Etika Seksual Kontemporer, Bandung: Ink Media, 2006

Dagun Satiadarma Monty P., Menyikapi Perselingkuhan  Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2001

Hadiwardoyo purwa  , Pernikahan Menurut Khatolik , Yogyakarta: Kanisius, 1990

M Save., Psikologi Keluarga, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002

Machis Date & Susan Machis, Menuju Pernikahan Yang Sehat Dan Solid, Yokyakarta: ANDI, 2010

Marx Dorothy I., Itu’Kan Boleh ?, Bandung: Yayasan Kalam Hidup,  1995

Munthe A., Tema-tema Perjanjian Baru, Jakarta: BPk GM, 2009

Nainggolan Binsar, Pengantar Etika Terapan, P. Siantar: L-SAPA, 2007

Napel Henk Ten, Jalan Yang Lebih Utama Lagi , Jakarta: BPK GM,  2001

Pakker J. I., Ensiklopedi Fakta Alkitab Bible Almanac – 2 , Malang: Gandum Mas, 2004

Prince Derek, Jodoh, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil, 1994

Simon & Christoper Danes, Masalah Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen, Yokyakarta: Kanisius, 2000

Unarto Erich, Hidup Dalam Etika Kristen, Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2010

Verkuyl J., Etika Kristen Seksuil, Jakarta: BPK GM, 1989




Tags :

BPPPWG MENARA KRISTEN

KOMITMEN DALAM MELAYANI

PRO DEO ET EIUS CREATURAM

  • PRO DEO ET EIUS CREATURAM
  • COGITARE MAGNUM ET SOULFUK MAGNUM
  • ORA ET LABORA

INFORMASI KEPALA BPPPWG MENARA KRISTEN
  • : Pdt Hendra C Manullang
  • : P.Siantar - Sumatera Utara - Indonesia
  • : crisvinh@gmail.com
  • : menarakristen@gmail.com
/UMUM

Post a Comment

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim