-->

sosial media

Tuesday, 16 September 2025

ARTIKEL MKI : KRISIS EKSISTENSIAL - SPIRITUAL ADAM DAN HAWA DALAM KEJADIAN 3 : 1 - 24

ARTIKEL MKI : KRISIS EKSISTENSIAL - SPIRITUAL ADAM DAN HAWA DALAM KEJADIAN 3 : 1 - 24

 © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.


Krisis Eksistensial-Spiritual Adam dan Hawa dalam

Kejadian 3:1–24

Ditulis Oleh : Pdt. Hendra Crisvin Manullang, S.Th

Nomor : eAMK170925003

I. Pendahuluan

Kejadian 3:1–24 adalah perikop yang paling fundamental dalam teologi Perjanjian Lama. Teks ini menggambarkan kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, yang mengakibatkan perubahan radikal dalam relasi eksistensial-spiritual manusia dengan Allah. Adam dan Hawa bukan hanya kehilangan status “tak bercela” di hadapan Allah, tetapi juga mengalami keterasingan dari Sang Pencipta, diri mereka sendiri, sesamanya, dan dunia ciptaan.

Narasi ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial: “Siapakah manusia di hadapan Allah?”, “Mengapa manusia memilih jalan pemberontakan?”, serta “Bagaimana Allah tetap berkarya dalam krisis itu?”. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan Kejadian 3 bukan sekadar kisah kuno, melainkan refleksi universal tentang kondisi manusia sepanjang zaman.


II. Penjelasan

2.1. Arti Krisis Eksistensial–Spiritual

Krisis eksistensial adalah keterombangan batin manusia ketika menghadapi realitas hidup yang tidak sesuai dengan maksud penciptaannya. Adam dan Hawa seharusnya hidup dalam harmoni bersama Allah, tetapi dosa menciptakan jarak. “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kej. 3:7).

Krisis spiritual menyangkut relasi manusia dengan Allah yang terguncang. Mereka tidak lagi dapat berdiri di hadapan Allah dengan hati nurani yang murni, melainkan bersembunyi (Kej. 3:8–10). Paul Tillich menyebut kondisi ini sebagai keterasingan manusia dari “Ground of Being,” yaitu Allah sendiri.¹

 

2.2. Rancang Bangun Iman dalam Kehidupan Adam dan Hawa

Allah memberi perintah yang jelas: “Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:17).

Rancang bangun iman Adam dan Hawa dibangun di atas ketaatan kepada Firman Allah. Namun, iman mereka tidak kokoh. Mereka membiarkan diri digoda oleh ular, yang memutarbalikkan Firman Allah: “Sekali-kali kamu tidak akan mati” (Kej. 3:4). Dengan demikian, krisis ini berawal dari retaknya fondasi iman.²

 

2.3. Kehadiran Allah dalam Krisis Eksistensial–Spiritual

Di tengah ketersembunyian manusia, Allah hadir dengan pertanyaan eksistensial: “Di manakah engkau?” (Kej. 3:9). Pertanyaan ini adalah undangan untuk refleksi diri dan pengakuan. Gordon Wenham menafsirkan bahwa Allah tidak mencari informasi, tetapi mengundang manusia untuk kembali kepada-Nya.³ Kehadiran Allah dalam krisis menunjukkan bahwa kasih dan pemeliharaan-Nya tidak berhenti sekalipun manusia jatuh.

2.4. Faktor Krisis Eksistensial–Spiritual Adam dan Hawa

  1. Godaan eksternal: ular menaburkan keraguan (Kej. 3:1–5).
  2. Ambisi internal: keinginan menjadi seperti Allah (Kej. 3:6).
  3. Kerentanan iman: kegagalan menolak suara lain di luar Firman Allah.
  4. Rasa malu: menyadari ketelanjangan (Kej. 3:7).
  5. Ketakutan: bersembunyi dari Allah (Kej. 3:10).
  6. Saling menyalahkan: Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular (Kej. 3:12–13).

2.5. Karya Allah dalam Krisis Eksistensial–Spiritual Adam dan Hawa

  • Menghukum dosa: kutuk atas ular, perempuan, laki-laki, dan tanah (Kej. 3:14–19).
  • Menyatakan kasih karunia: “Dan Tuhan Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu lalu mengenakan pakaian itu kepada mereka” (Kej. 3:21).
  • Janji keselamatan: “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu” (Kej. 3:15). Ini adalah protoevangelium, janji keselamatan pertama yang digenapi dalam Kristus.⁴

2.6. Dimensi Psikologis Krisis Adam dan Hawa

Kejadian 3 tidak hanya berbicara tentang dimensi rohani, tetapi juga psikologis. Adam dan Hawa mengalami rasa malu, takut, dan rasa bersalah. Psikologi eksistensial Kierkegaard menekankan bahwa dosa memunculkan keputusasaan sebagai “penyakit yang menuju maut.”⁵

2.7. Dimensi Sosial Krisis Adam dan Hawa

Krisis itu juga berdampak sosial. Relasi antar-manusia rusak. Adam menyalahkan Hawa (Kej. 3:12), sehingga cinta yang seharusnya saling menopang berubah menjadi konflik dan dominasi (Kej. 3:16).

2.8. Dimensi Kosmik Krisis Adam dan Hawa

Dosa Adam dan Hawa tidak hanya memengaruhi mereka sendiri, tetapi juga seluruh ciptaan: “Terkutuklah tanah karena engkau” (Kej. 3:17). Paulus menegaskan bahwa ciptaan pun turut “mengeluh” menantikan pemulihan (Rm. 8:20–22).⁶


III.  Pandangan Para Ahli Tentang Krisis Eksistensial–Spiritual Adam dan Hawa

  • Augustine: dosa asal sebagai akar kerusakan manusia.⁷
  • Martin Luther: dosa pertama sebagai “curvatus in se,” manusia yang melipat diri ke dalam egoisme.⁸
  • Karl Barth: dosa sebagai pemberontakan manusia terhadap anugerah Allah.⁹
  • Søren Kierkegaard: dosa sebagai keputusasaan eksistensial.¹⁰
  • Bruce Waltke: Kejadian 3 sebagai fondasi teologi Perjanjian Lama tentang keselamatan.¹¹

IV . Perbandingan Teologi Kejatuhan dalam PL dan PB

Narasi Kejadian 3 mendapatkan penjelasan dan penggenapannya dalam Perjanjian Baru. Paulus dalam Roma 5:12–21 menegaskan bahwa melalui satu orang, yaitu Adam, dosa masuk ke dalam dunia, dan melalui dosa, maut menjalar kepada semua orang. “Sebab sama seperti semua orang telah berbuat dosa, dan kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23).

Namun, Paulus membandingkan Adam dengan Kristus: “Jadi sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm. 5:18). Kristus disebut Adam yang terakhir (1 Kor. 15:45), yang menjadi sumber hidup baru bagi manusia.

Dengan demikian:

·        Adam pertama: sumber krisis eksistensial-spiritual karena dosa dan maut.

·        Kristus (Adam terakhir): sumber pemulihan eksistensial-spiritual melalui salib dan kebangkitan.

N. T. Wright menyebut relasi ini sebagai “the new creation reality,” bahwa Kristus tidak hanya menghapus dosa, tetapi membuka jalan bagi ciptaan baru.¹²

V. Kesimpulan

Krisis eksistensial-spiritual Adam dan Hawa dalam Kejadian 3:1–24 menunjukkan bahwa dosa bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi keterasingan total manusia dari Allah. Namun, dalam krisis itu Allah hadir, menghukum tetapi sekaligus menjanjikan keselamatan. Kisah ini bersifat universal, eksistensial, dan eskatologis: universal karena menyentuh seluruh umat manusia, eksistensial karena menyangkut identitas terdalam manusia, dan eskatologis karena menunjuk pada karya penebusan Kristus.

 

Catatan Kaki

  1. Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), hlm. 31.
  2. Derek Kidner, Genesis: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP, 1967), hlm. 62–63.
  3. Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Word Biblical Commentary, Vol. 1; Waco: Word Books, 1987), hlm. 76.
  4. Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 2007), hlm. 262.
  5. Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death (Princeton: Princeton University Press, 1980), hlm. 45–46.
  6. N. T. Wright, Surprised by Hope (New York: HarperOne, 2008), hlm. 90–92.
  7. Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), hlm. 47–49.
  8. Martin Luther, Lectures on Genesis: Chapters 1–5 (St. Louis: Concordia, 1958), hlm. 141.
  9. Karl Barth, Church Dogmatics III/1 (Edinburgh: T&T Clark, 1958), hlm. 184.
  10. Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (Princeton: Princeton University Press, 1980), hlm. 82–83.
  11. Bruce K. Waltke, Genesis: A Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), hlm. 95.
  12. N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (Minneapolis: Fortress Press, 2013), hlm. 412–415.

 

Daftar Pustaka

Augustine. Confessions. Terjemahan Henry Chadwick. Oxford: Oxford University Press, 1991.

Barth, Karl. Church Dogmatics III/1. Edinburgh: T&T Clark, 1958.

Kidner, Derek. Genesis: An Introduction and Commentary. Downers Grove: InterVarsity Press, 1967.

Kierkegaard, Søren. The Concept of Anxiety. Princeton: Princeton University Press, 1980.

Kierkegaard, Søren. The Sickness Unto Death. Princeton: Princeton University Press, 1980.

Luther, Martin. Lectures on Genesis: Chapters 1–5. St. Louis: Concordia, 1958.

Tillich, Paul. The Courage to Be. New Haven: Yale University Press, 1952.

Waltke, Bruce K. An Old Testament Theology. Grand Rapids: Zondervan, 2007.

Waltke, Bruce K. Genesis: A Commentary. Grand Rapids: Zondervan, 2001.

Wenham, Gordon J. Genesis 1–15. Word Biblical Commentary, Vol. 1. Waco: Word Books, 1987.

Wright, N. T. Surprised by Hope. New York: HarperOne, 2008.

Wright, N. T. Paul and the Faithfulness of God. Minneapolis: Fortress Press, 2013.

 

 

 

Monday, 15 September 2025

ARTIKEL MKI : KONTINUITAS 613 MITZVOT DALAM KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN MASA KINI

ARTIKEL MKI : KONTINUITAS 613 MITZVOT DALAM KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN MASA KINI

 © [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

KONTINUITAS 613 MITZVOT DALAM KEHIDUPAN JEMAAT KRISTEN MASA KINI

Ditulis Oleh : Pdt. Hendra Crisvin Manullang, S.Th

Nomor : eAMK150925002

I. PENDAHULUAN

Tradisi iman Israel kuno membentuk fondasi yang kokoh bagi perkembangan iman Kristen. Salah satu unsur pokok dalam tradisi Yudaisme adalah 613 mitzvot (perintah Taurat), yang menjadi pedoman hidup rohani, sosial, dan moral bagi bangsa Israel. Sementara itu, komunitas Kristen lahir dari rahim Yudaisme dan sejak awal menghadapi pertanyaan teologis: bagaimana hubungan jemaat Kristen dengan hukum Taurat, termasuk mitzvot?

Tulisan ini bertujuan menguraikan sejarah 613 mitzvot, perannya dalam kehidupan bangsa Israel, kedudukannya dalam tradisi keagamaan, pandangan konsili gereja serta tokoh-tokoh Kristen, hingga kontinuitas prinsip-prinsip mitzvot dalam kehidupan jemaat Kristen masa kini. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai kesinambungan nilai hukum Taurat dalam terang Injil.

II. PENJELASAN

2.1. Sejarah 613 Mitzvot

Istilah mitzvot berarti perintah, berasal dari bahasa Ibrani tzavah (memerintah). Dalam tradisi rabinik, 613 mitzvot terdiri dari 248 perintah positif (aseh) dan 365 perintah negatif (lo ta’aseh)¹. Angka tersebut pertama kali dibakukan oleh Rabbi Simlai pada abad ke-3 M².

Pembakuan mitzvot bertujuan menegaskan identitas Israel di tengah bangsa-bangsa lain, serta menjaga kehidupan kudus yang mencerminkan perjanjian Allah dengan umat-Nya³.

2.2. Kehidupan Bangsa Israel Dahulu dan Kini

Pada zaman kuno, bangsa Israel menempatkan mitzvot sebagai landasan kehidupan sehari-hari. Ritual keagamaan di bait Allah, tata sosial, hingga aturan makan (kasrut) diatur oleh hukum Taurat⁴.

Kini, setelah kehancuran Bait Suci pada tahun 70 M, sebagian mitzvot yang berhubungan dengan korban bakaran tidak dapat lagi dilakukan. Namun komunitas Yahudi tetap mempertahankan mitzvot lain, seperti hukum sabat, makanan kosher, dan perayaan hari-hari raya⁵. Hal ini menunjukkan keteguhan bangsa Israel menjaga identitas rohani melalui mitzvot meskipun dalam konteks modern.

2.3. Kedudukan Mitzvot dalam Tradisi Israel

Dalam tradisi Yudaisme, mitzvot dipandang sebagai kewajiban suci, bukan sekadar aturan moral. Ketaatan terhadap mitzvot merupakan tanda kesetiaan kepada perjanjian Sinai⁶. Kitab Ulangan 6:4–9 (Shema Israel) menjadi dasar spiritual yang mengikat umat Israel untuk menghidupi hukum Taurat dalam seluruh aspek kehidupannya.

2.4. Konsili–konsili Gereja dalam Membahas Mitzvot

Kekristenan awal tidak lepas dari perdebatan mengenai hubungan dengan hukum Taurat. Konsili Yerusalem (Kisah Para Rasul 15) menjadi tonggak penting ketika para rasul memutuskan bahwa orang bukan Yahudi tidak diwajibkan menanggung seluruh hukum Taurat, termasuk sunat, tetapi tetap diminta menjauhi berhala, percabulan, darah, dan daging binatang yang mati dicekik⁷.

Konsili-konsili berikutnya dalam sejarah Gereja lebih menekankan pemisahan identitas Kristen dari hukum-hukum Yahudi, sambil tetap mempertahankan nilai moral yang terkandung di dalamnya.

2.5. Pandangan Tokoh Kristen terhadap Mitzvot

Beberapa tokoh Kristen memberi penekanan berbeda terhadap mitzvot:

  • Agustinus menekankan bahwa hukum Taurat digenapi dalam kasih⁸.
  • Martin Luther menggarisbawahi perbedaan antara hukum moral (tetap berlaku) dan hukum seremonial (telah digenapi Kristus)⁹.
  • John Calvin menekankan nilai pedagogis hukum Taurat untuk menuntun manusia pada Kristus, sekaligus sebagai pedoman moral umat percaya¹⁰.

Dengan demikian, meskipun praktik literal mitzvot tidak lagi diwajibkan bagi jemaat Kristen, esensi moral dan spiritualnya tetap mendapat tempat.

 

III. KONTINUITAS MITZVOT DI TENGAH KEHIDUPAN SAAT INI

Bagi jemaat Kristen masa kini, kontinuitas 613 mitzvot tidak hadir dalam bentuk literal ketaatan pada hukum-hukum ritual, melainkan dalam penerapan prinsip-prinsip rohaninya. Misalnya:

  • Kasih kepada Allah dan sesama dipandang sebagai ringkasan dari seluruh hukum (Mat. 22:37–40)¹¹.
  • Etika sosial seperti keadilan, kepedulian kepada orang miskin, dan kejujuran mencerminkan mitzvot dalam konteks modern¹².
  • Disiplin ibadah (doa, sabat rohani, pelayanan) menjadi bentuk kontinuitas spiritual.
  • Perlindungan ciptaan juga dapat dipahami sebagai perpanjangan prinsip hukum Taurat yang mengatur relasi manusia dengan alam.

Dengan demikian, meskipun gereja tidak menjalankan mitzvot secara yuridis, nilai dan semangatnya tetap hidup dalam ajaran Kristus dan praktik kehidupan jemaat.

 

IV. KESIMPULAN

Kajian ini menunjukkan bahwa 613 mitzvot merupakan warisan spiritual bangsa Israel yang berpengaruh besar pada perkembangan iman Kristen. Dalam sejarahnya, mitzvot meneguhkan identitas umat Israel dan menjadi dasar kehidupan religius mereka.

Dalam tradisi Kristen, meskipun tidak diterapkan secara harfiah, mitzvot tetap berlanjut dalam bentuk prinsip moral, kasih, dan etika yang ditegaskan oleh Kristus. Gereja sepanjang sejarah menegaskan bahwa hukum Taurat telah digenapi dalam Injil, namun kontinuitas nilai-nilainya tetap relevan.

Dengan demikian, kontinuitas mitzvot dalam kehidupan jemaat Kristen masa kini hadir dalam bentuk transformasi: dari hukum tertulis menjadi kehidupan dalam kasih dan ketaatan kepada Kristus.

 

Catatan Kaki

  1. Jacob Neusner, The Idea of 613 Commandments in Judaism: Their History and Meaning, (Atlanta: Scholars Press, 1998), hlm. 15.
  2. Maimonides, Sefer HaMitzvot (Kitab Perintah-Perintah), diterjemahkan oleh Charles B. Chavel, (New York: Soncino Press, 1967), hlm. 3–5.
  3. Shaye J. D. Cohen, From the Maccabees to the Mishnah, (Louisville: Westminster John Knox Press, 2006), hlm. 121.
  4. Walter C. Kaiser Jr., Toward Old Testament Ethics, (Grand Rapids: Zondervan, 1983), hlm. 62.
  5. Philip S. Alexander, Textual Sources for the Study of Judaism, (Chicago: University of Chicago Press, 1984), hlm. 87.
  6. Ibid., hlm. 91.
  7. F. F. Bruce, The Book of Acts, (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), hlm. 293.
  8. Augustine, On the Spirit and the Letter, diterjemahkan oleh P. Holmes, (Edinburgh: T&T Clark, 1995), hlm. 47.
  9. Martin Luther, Lectures on Galatians, (St. Louis: Concordia Publishing House, 1963), hlm. 37–38.
  10. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill, (Philadelphia: Westminster Press, 1960), II.7, hlm. 347.
  11. Alkitab, Matius 22:37–40.
  12. Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God, (Downers Grove: InterVarsity Press, 2004), hlm. 211–213.

 

Daftar Pustaka

Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2009.

Alexander, Philip S. Textual Sources for the Study of Judaism. Chicago: University of Chicago Press, 1984.

Augustine. On the Spirit and the Letter. Diterjemahkan oleh P. Holmes. Edinburgh: T&T Clark, 1995.

Bruce, F. F. The Book of Acts. Grand Rapids: Eerdmans, 1988.

Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Disunting oleh John T. McNeill. Philadelphia: Westminster Press, 1960.

Cohen, Shaye J. D. From the Maccabees to the Mishnah. Louisville: Westminster John Knox Press, 2006.

Kaiser, Walter C. Jr. Toward Old Testament Ethics. Grand Rapids: Zondervan, 1983.

Luther, Martin. Lectures on Galatians. St. Louis: Concordia Publishing House, 1963.

Maimonides. Sefer HaMitzvot. Diterjemahkan oleh Charles B. Chavel. New York: Soncino Press, 1967.

Neusner, Jacob. The Idea of 613 Commandments in Judaism: Their History and Meaning. Atlanta: Scholars Press, 1998.

Wright, Christopher J. H. Old Testament Ethics for the People of God. Downers Grove: InterVarsity Press, 2004.

 

Saturday, 13 September 2025

ARTIKEL MKI : PENGARUH EKONOMI GLOBAL DALAM GEREJA

ARTIKEL MKI : PENGARUH EKONOMI GLOBAL DALAM GEREJA

© [2025] [Hendra Crisvin Manullang]. Seluruh hak cipta dilindungi undang-undang.

Tulisan ini tidak boleh diperbanyak, disalin, atau dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa izin tertulis dari penulis. Setiap kutipan atau penggunaan sebagian dari tulisan ini wajib mencantumkan sumber secara jelas sesuai etika akademik.

Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

PENGARUH EKONOMI GLOBAL DALAM GEREJA

Ditulis Oleh : Pdt. Hendra Crisvin Manullang, S.Th
Nomor : eAMK140925001

I.           Pendahuluan

Ekonomi global dewasa ini telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk tatanan sosial, budaya, dan politik dunia. Globalisasi ekonomi ditandai oleh perdagangan bebas, aliran modal lintas negara, perkembangan teknologi finansial, dan dominasi kapitalisme sebagai sistem utama. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sekuler, melainkan juga merambah wilayah keagamaan, termasuk Gereja.

Sebagai lembaga yang memiliki misi spiritual sekaligus sosial, Gereja berhadapan dengan tantangan besar: bagaimana tetap setia pada Injil Kristus di tengah arus globalisasi ekonomi yang sering kali bercorak materialistik dan utilitarian.

II.     Gereja dalam Konteks Ekonomi Global

1. Ketergantungan Finansial dan Manajemen Gereja

Pelayanan Gereja membutuhkan dana—baik untuk pembangunan sarana ibadah, karya sosial, maupun misi internasional. Globalisasi memberi akses terhadap sumber dana internasional, seperti hibah lembaga asing atau jaringan misi global. Namun, ketergantungan pada mekanisme ekonomi kapitalistik dapat mengaburkan prinsip iman, di mana pelayanan dapat berubah menjadi sekadar proyek yang diukur dengan keuntungan finansial[1].

Prinsip Alkitab menegaskan bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Timotius 6:10). Oleh karena itu, Gereja ditantang untuk mengelola keuangan secara transparan dan etis, bukan tunduk pada logika pasar.

2. Kesenjangan Sosial dan Panggilan Profetis Gereja

Globalisasi ekonomi sering memperlebar jurang kaya-miskin. Data menunjukkan bahwa sebagian kecil populasi dunia menguasai sebagian besar kekayaan global[2]. Dalam situasi ini, Gereja dipanggil menjalankan fungsi profetisnya: menegur sistem yang tidak adil, serta berpihak pada kaum tertindas.

Yesus sendiri dalam pelayanan-Nya menegaskan, “Roh Tuhan ada pada-Ku... Ia telah mengutus Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin” (Lukas 4:18). Gereja, sebagai tubuh Kristus, harus meneladani panggilan ini dalam konteks ekonomi global.

3. Komersialisasi Agama

Fenomena globalisasi juga menyebabkan agama menjadi bagian dari industri budaya dan pasar. Produk rohani seperti musik, buku, dan pariwisata religius menjadi komoditas bernilai tinggi[3]. Di satu sisi, hal ini memberi ruang kreatif bagi penyebaran Injil; di sisi lain, terdapat bahaya “pengkomersialan iman” di mana nilai spiritual direduksi menjadi sekadar barang dagangan.

Yesus sendiri pernah mengkritik keras praktik jual-beli di Bait Allah dengan berkata: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Matius 21:13). Hal ini mengingatkan Gereja untuk tetap menjaga kesakralan pelayanan dari logika pasar.

4. Digitalisasi Ekonomi dan Gereja

Perkembangan ekonomi digital membuka peluang besar bagi Gereja, seperti penggalangan dana daring (online giving), ibadah virtual, dan literasi keuangan jemaat[4]. Namun, digitalisasi juga menghadirkan tantangan berupa berkurangnya keintiman persekutuan, serta potensi manipulasi ekonomi melalui platform digital.

Gereja harus bijak menggunakan teknologi sebagai sarana misi, bukan sebagai tujuan. Prinsip Paulus dalam Roma 12:2 relevan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”

 

II.      Peranan Gereja dalam Menghadapi Ekonomi Global

1.     Peranan Profetis – Gereja dipanggil menjadi suara kenabian yang menegur ketidakadilan, melawan sistem ekonomi yang eksploitatif, dan menegakkan etika publik.

2.     Peranan Pastoral – Gereja mendampingi jemaat yang terdampak krisis ekonomi global: pengangguran, PHK, inflasi, dan kemiskinan.

3.     Peranan Edukatif – Gereja mengajarkan jemaat tentang pengelolaan keuangan yang sehat, prinsip memberi, dan bahaya mentalitas konsumerisme. “Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya” (Amsal 13:11).

4.     Peranan Diakonal (Pelayanan Sosial) – Gereja hadir melalui karya sosial-ekonomi: bantuan pangan, koperasi jemaat, dukungan UMKM, serta pendampingan bagi kelompok yang termarginalkan (Matius 25:40).

5.     Peranan Ekumenis dan Global – Gereja membangun solidaritas lintas negara dalam menghadapi krisis global, termasuk melalui advokasi, bantuan kemanusiaan, dan kerja sama internasional.

 

IV.         Penelitian & Survei: Kemunduran Keuangan Gereja

Beberapa survei global menunjukkan bahwa sebagian gereja mengalami kemunduran finansial akibat tekanan ekonomi:

a.      Inflasi menurunkan daya beli umat dan mengurangi kemampuan memberi secara riil[5].

b.  Perubahan pola donasi pasca-pandemi membuat banyak jemaat mengalihkan bantuan ke lembaga sosial atau komunitas lain[6].

c.      Ketidakpastian ekonomi makro mendorong jemaat menahan donasi[7].

d.    Sekularisasi dan penurunan kehadiran jemaat memperburuk situasi, seperti yang dialami     Church of Scotland yang harus menutup banyak gedung karena krisis finansial[8].

V.            Tabel Ringkasan Survei & Penelitian

Sumber / Tahun

Temuan Kunci

Implikasi bagi Gereja

Giving to Religion Report – Lake Institute (2023)

Pemberian untuk agama naik secara nominal, tetapi setelah disesuaikan inflasi nilainya menurun.

Gereja harus memperhitungkan inflasi dalam anggaran dan mendidik jemaat agar memberi secara konsisten meskipun daya beli menurun.

State of Church Giving Report (2022)

Banyak gereja melaporkan penurunan pemberian akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi; meskipun ada juga yang tetap stabil.

Perlu strategi diversifikasi sumber dana, perencanaan berbasis skenario, dan transparansi pengelolaan keuangan.

MinistryWatch – Evangelical Giving Trends Post-Pandemic (2023)

Beberapa gereja evangelikal masih belum pulih ke level pra-pandemi; penurunan terus terjadi pada segmen donor tertentu.

Gereja perlu memperkuat hubungan dengan jemaat, membangun sistem donasi digital, dan mengembangkan program pemberdayaan jemaat.

The Times – “Church of Scotland Faces Financial Crisis” (2023)

Church of Scotland menghadapi krisis keuangan serius hingga harus menutup banyak paroki dan menjual properti.

Gereja perlu memperhatikan tren demografis dan sekularisasi; penting untuk menyesuaikan model pelayanan dengan konteks sosial-ekonomi lokal.


VI.         Kesimpulan

Ekonomi global membawa dampak signifikan bagi Gereja, baik dalam bentuk peluang maupun ancaman. Banyak gereja mengalami kemunduran keuangan akibat inflasi, krisis global, dan perubahan pola pemberian jemaat. Namun, hal ini juga membuka peluang bagi Gereja untuk lebih kreatif dan setia dalam melaksanakan misinya.

Dengan mengembangkan peranan profetis, pastoral, edukatif, diakonal, dan ekumenis, serta memperhatikan hasil penelitian mengenai tren keuangan gereja, Gereja dapat menjadi agen transformasi yang menghadirkan keadilan, damai sejahtera, dan kasih Allah di tengah dunia yang dikuasai oleh logika ekonomi global.

VII.      DAFTAR PUSTAKA

Max L. Stackhouse, Globalization and Grace (New York: Continuum, 2007), hlm. 45–46

Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press,

2014), hlm. 257–259

Vincent J. Miller, Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a Consumer Culture (New

York: Continuum, 2004), hlm. 25–27

Heidi A. Campbell, Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media (New York:

Routledge, 2013), hlm. 98–100

Lake Institute on Faith & Giving, Giving to Religion Report (Indianapolis: Indiana University Lilly

Family School of Philanthropy, 2023), hlm. 12–13

State of Church Giving Report (Champaign, IL: Empty Tomb, Inc., 2022), hlm. 34–36

MinistryWatch, Evangelical Giving Trends Post-Pandemic (MinistryWatch Research Report, 2023),

hlm. 7–9.

The Times, “Church of Scotland Faces Financial Crisis and Parish Closures” (London: News UK, 2023),

hlm. 4–5


[1] Max L. Stackhouse, Globalization and Grace (New York: Continuum, 2007), hlm. 45–46

[2] Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), hlm. 257–259

[3] Vincent J. Miller, Consuming Religion: Christian Faith and Practice in a Consumer Culture (New York: Continuum, 2004), hlm. 25–27

[4] Heidi A. Campbell, Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media (New York: Routledge, 2013), hlm. 98–100

[5] Lake Institute on Faith & Giving, Giving to Religion Report (Indianapolis: Indiana University Lilly Family School of Philanthropy, 2023), hlm. 12–13

[6] State of Church Giving Report (Champaign, IL: Empty Tomb, Inc., 2022), hlm. 34–36

[7] MinistryWatch, Evangelical Giving Trends Post-Pandemic (MinistryWatch Research Report, 2023), hlm. 7–9.

[8] The Times, “Church of Scotland Faces Financial Crisis and Parish Closures” (London: News UK, 2023), hlm. 4–5

 

Tedbree Logo
BPPPWG Menara Kristen Silahkan bertanya kepada kami. Kami siap membantu Anda
Halo, Ada yang bisa kami bantu? ...
Kirim